7. Jittery

Mutia berjalan sambil menggosok bibir dengan ujung lengan baju panjangnya. Dia merasa telinganya berdenging, rahangnya terkatup erat. Marah. Saat ini ingin sekali rasanya dia menendang sesuatu. Masuk ke dalam mobil dengan tergesa dia mengambil bantal kecil yang tersimpan di jok belakang. Menekan bantal di wajahnya, Mutia berteriak sekuat tenaga.

Berusaha mengatur emosinya Mutia bernapas perlahan, tapi tak lama kemudian ubun-ubunnya panas lagi. Seteleh melampiaskan amarahnya pada bantal yang pasrah sedari tadi, dia akhirnya memutuskan untuk turun dari mobil. Mutia tak ingin pulang dalam kondisi seperti ini, karena dia yakin di rumah nanti dia bisa gila sendiri karena amarah yang tidak tersalurkan.

Mutia mengetuk pintu apartemen di hadapannya sedikit terlalu keras, sedikit terlalu baru-baru. Begitu seorang wanita seumuran dengannya membukakan pintu, Mutia langsung masuk tanpa mengucapkan salam.

"Hai Gina lama tak bertemu, Anna ada di dalam? Boleh aku masuk?" wanita berambut panjang itu melakukan monolog sebelum menutup pintu. Kalimat itu ditujukan ke Mutia yang masih menekuk wajahnya ketika menjatuhkan tubuh di sofa. Kini Muti berada di apartemen salah satu sahabatnya, Anna. Apartemen ini berada dalam komplek yang sama dengan apartemen Enoch, hanya berbeda gedung.

"Udah deh, gue lagi bete." Muti melirik temannya yang kini bergabung di sofa. Tangannya masih secara tak sadar menggosok bibirnya.

"Lo nggak bilang juga udah ketahuan kali!" ucap Gina acuh. "Kenapa?"

Mutia mengatur napas sebentar, sebelum mulai bercerita.

"Enoch cium gue ...," Mutia berkata lirih, sementara Gina langsung terdiam. Dari ekor matanya dia bisa melihat Anna yang berjalan dari dapur hendak berjalan menuju sofa menghentikan langkahnya.

"Lalu?" tanya Gina hati-hati sambil melirik ke arah Anna. Mutia tahu betul bagaimana pandangan kedua sahabatnya terhadap laki-laki. Gina yang pernah bersumpah tak akan menikah, dan Anna yang selalu dingin pada kaum Adam.

"Gue langsung lari. Harusnya gue nggak suka dia main nyosor gitu ...," Mutia kini bisa melihat Anna menghela napas dan memilih menyandarkan pantatnya di kitchen island. Gina masih bersabar di sampingnya.

"Harusnya ...," Anna mengulang kata-kata sahabatnya, mengambil mug yang Mutia tahu berisi coklat panas dan menyesap cairan hangat itu.

Persahabatan mereka bertiga sudah terjalin dari tingkat pertama kuliah, ketika bertemu dengan Gina di ospek yang kemudian mengenalkannya pada Anna. Gina dan Anna sendiri sudah saling mengenal sejak SMA. Sehingga Mutia sadar betul apa reaksi yang akan ditampilkan oleh mereka tentang kejadian tadi. Mutia memandang wajah Anna yang tampak dingin, wajah yang lebih sering sahabatnya itu tampakkan jika ada lelaki itu kini muncul di antara mereka.

"Loe tahu apa fungsi pingitan yang muncul di beberapa kebudayaan?" pertanyaan Gina mengalihkan perhatian Mutia dari Anna. Gina adalah orang yang tahu secara pasti alasan sahabatnya itu bersikap begitu dingin dengan pria. Bahkan salah satu alasan Gina mengambil jurusan psikologi adalah karena mengetahui apa yang terjadi pada Anna dan trauma yang sempat dideritanya.

"Pingitan?" Mutia mengalihkan fokusnya ke ucapan Gina, Mutia yakin Anna punya ceritaya sendiri.

"Iya. Salah satu fungsinya, selain menenangkan jiwa-raga, juga mencegah calon mempelai saling bertemu dan jadi lepas kendali. Terkadang karena merasa akan segera sah, mereka akan lebih cenderung untuk melanggar norma." Gina menatap sahabatnya penuh pengertian, membuat Mutia merasa sedang dalam salah satu sesi konsultasi. "Jadi saran gue, jangan ketemuan dulu ama calon lo, kecuali ada orang yang nemenin kalian. Dengan laporan lo barusan, gue yakin Papah lo siap angkat keris kalau tahu apa yang terjadi." Mutia bergidik membayangkan kemarahan Ayahnya jika kejadian tadi sampai ke telinganya.

"Gue nggak keberatan gantiin Pak Agus buat kasih Enoch pelajaran kalau lo mau," ucap Anna tenang dan dingin. Dia pernah mendengar ancaman semacam ini sebelumnya, tapi ketika ancaman itu mengarah pada Enoch serasa ada yang meremas perutnya.

"Undangan gue udah disebar, jangan sampai pernikahan gue batal karena calon gue babak belur." Mutia berusaha tetap santai, meskipun ada sedikit khawatir yang terselip.

"Gue laper, lo udah makan belum? Anna masak ramen tuh." Gina berdiri dan berjalan menuju dapur. Gina tahu jika pembicaraan ini dilanjutkan, maka Mutia semakin tidak nyaman dan Anna semakin siap menghajar Enoch. Mutia juga tampaknya lebih tenang dibanding tadi ketika wanita itu baru masuk. Mutia hanya butuh orang untuk mendengarkan, setelah itu masalah seperti tak pernah ada di kepala Mutia.

"Mau juga dong, tapi dikit aja. Tadi gue udah makan bareng camer ...," Mutia mengucapkannya dengan ringan, membuat Gina dan Anna setuju bahwa kecemasan temannya sudah mulai berkurang. "Gue shooting di sini ya, Na?" Mutia mengeluarkan kamera mirrorless dari dalam tasnya.

"Bayar pake lipstick yang minggu lalu lo review ya. Gue nyari di counter udah sold out." Anna juga beranjak untuk menyiapkan peralatan makan.

Mutia menyalakan kamera dan mengarahkan lensa ke wajahnya.

"Hai, aku udah pakai lipstick ini selama dua belas jam. Dan ..., seperti claim-nya, warnanya tak berubah sama sekali, bahkan tadi aku berulang kali menggosok bibirku dengan lengan baju, karena tadi...," mendengar ucapkan itu kedua sahabatnya langsung melihat ke arahnya dan Mutia menyadarinya, "ada sesuatu yang menempel dan aku tak suka...," ucap Mutia ragu-ragu. "Aku menggosok cukup keras, tapi sama sekali tak bergerak, bahkan lengan bajuku juga tetap bersih!" Mutia kembali menggosok bibirnya dengan ujung lengan bajunya lalu menunjukkan ke kamera, dan tidak ada pigment warna yang berpindah ke kain itu.

Mutia berjalan ke arah dua sahabatnya, dengan memastikan bahwa wajah keduanya tidak tertangkap kamera. Bagaimanapun Mutia tetap memisahkan kehidupan pribadinya. "Dan sekarang tes terakhir adalah lipstick ini lawan ramen buatan Anna yang penuh minyak! Sekarang aku makan dulu, selesai makan akan aku update lagi."

##

Enoch berulang kali melirik HP-nya. Sudah dua hari sejak pria itu mencuri ciuman Mutia dan Mutia sama sekali belum menghubunginya. Biasanya Mutia akan menanyakan apapun, mulai dari menu makan siang sampai kegiatannya hari itu. Dan dia masih belum merasa perlu untuk menghubunginya terlebih dahulu. Tadi pagi ketika menelpon Linda, ibunya tidak menyinggung apapun tentang Mutia yang marah atau apapun, yang berarti Mutia masih belum membatalkan rencana pernikahan mereka.

Dia masih mengutuk dirinya sendiri karena peristiwa di balkonnya itu. Berbagai justifikasi telah dia lemparkan di kepalanya, tapi ditolak oleh sisi kepalanya yang lain. Perdebatan paling bodoh adalah perdebatan di kepalanya sendiri, karena bagaimanapun hasilnya kita sendirilah yang kalah.

Enoch mengeluarkan dompet, mencari kartu nama yang dulu pernah diberikan Mutia. Meraih HP dia membuka aplikasi youtube lalu mengetik username milik Mutia. Enoch mengenali pakaian yang Mutia kenakan yang muncul di thumbnail video teratas. Itu adalah pakaian yang sama yang dikenakan ketika wanita itu datang ke apartemennya dan .... Enoch menyingkirkan bayangan tentang bagaimana rasa bibir Mutia dari kepalanya, lalu memilih video itu.

Video dimulai dengan Mutia yang menyapa penontonnya, dilanjutkan dengan Mutia yang mengenakan lipstick itu. Bayangan rasa vanilla yang tertinggal di bibir Mutia kembali muncul, memaksa Enoch segera mengenyahkannya. Gambar selanjutnya adalah Mutia yang sedang berbicara ke kamera di siang hari, menyatakan bahwa lipstick masih sama bagusnya seperti pertama kali digunakan, dan dia bisa melihat punggung Linda di sudut layarnya.

Scene berikutnya membuat Enoch sesak, scene itu diambil di malam hari, dan Mutia mengatakan bahwa ada sesuatu yang menempel di bibirnya dan Mutia tidak menyukainya. Frustrasi Enoch melempar HPnya.

"Bego!" makinya kepada dirinya sendiri meskipun akhirnya dia kembali mengambil HP dan meneruskan menyaksikan video Mutia. Selesai satu video, dia meneruskan ke video yang lain. Tak menyadari bahwa dia merasa kehilangan karena tak mendengar suara Mutia selama dua hari ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top