5. The Forgotten Ring
Sebelumnya maaf, karena harusnya part ini di-publish kemarin, tapi baru diselesaikan pagi ini.
Dan mau lapor ke bu kepala sekolah NisaAtfiatmico ah, kalo part ini ga ada di kerangka yang dikirim. Mau diselipin masih kepanjangan.
Part 6 diusahakan di-publish nanti malam ya, biar ga terlalu jauh tertinggalnya.
Selamat menikmati, dan silakan diobrak-abrik kalo ada yang kurang.
####
"Kamu sudah siapin cincin buat Muti 'kan?" tanya Linda pada anaknya ketika baru saja menutup pintu taksi.
"Cincin?" Enoch balik bertanya yang membuat ibunya geleng-geleng kepala.
"Iya, cincin! Kita ini berangkat ke Solo mau melamar Mutia. Dan nggak ada lamaran yang lengkap kalau kamu nggak kasih cincin ke calonmu." Linda memijat pelipisnya. "Kamu niat melamar anak orang atau nggak? Untung minggu lalu Mami cuci cincin ini." Tak ambil pusing terlalu lama Linda melepas cicin dari jari manis kirinya.
"Mami mau apain cincin dari Papi?" Enoch terkejut melihat Linda, dia tahu dari sekian banyak benda peninggalan mendiang ayahnya, cincin bertahta saphire itu adalah yang menjadi kesayangan si Ibu.
"Tunggu sebentar, Mami masuk dulu," ucap Linda kembali membuka pintu mobil dan melangkah masuk rumah.
Dua menit kemudian Linda sudah kembali dan di tangannya tergenggam sebuah kotak beludru warna biru tua. Enoch tak bisa membaca ekspresi ibunya, sedikit tersirat kecewa, tapi juga ada sedikit perasaan lega yang terpancar.
"Mami bisa kasih Muti cincin Mami yang lain 'kan? Atau nanti setelah sampai di Solo kita bisa mampir ke toko perhiasan sebentar sebelum ke rumah ...,"
"Kita jalan Pak," ucapan Linda kepada supir taksi memotong ocehan Enoch. Dengan lembut tapi tegas Linda menatap anaknya. "Pernikahan bukan main-main, kamu harus menghargai setiap tahapannya. Kamu ini laki-laki, tunjukkan tanggungjawab kamu," Linda meletakkan kotak beludru di tangan Enoch. "Mami serahin taruhan Mami ke kamu, mainkan peranmu dengan baik."
Mendengar kalimat terakhir Linda, Enoch tak mampu berkata apa-apa, bahkan menelan ludah pun suit rasanya. Linda berharap banyak atas hubungannya dengan Mutia, dan itu dibuktikan dengan menyerahkan benda paling berharga bagi Linda ke Enoch. Enoch tahu, ibunya adalah orang sentimentil yang hidup di antara benda-benda yang mempunyai kenangan, dan Linda memberikan benda dengan kenangan terpenting untuknya dan Mutia. Menggemgam kotak cincin di tangan terasa seperti memanggul juataan ton harapan Linda di pundak Enoch. Lelaki itu sadar, ini bukan sekedar main-main.
Sudah tiga bulan sejak pertemuan Enoch dan Mutia di Crunch and Hunch, dan seperti dugaan Enoch sebelumnya, Ibunya dan ibu Mutia telah mempersiapkan pertemuan-pertemuan lain untuk mereka. Dan seperti pertemuan pertama hingga ketiganya dengan wanita itu, Enoch tidak dapat menemukan hal material yang membuat Enoch menolak Mutia. Bagi Enoch, Mutia adalah orang yang apa adanya, tapi selalu memberi kejutan dengan hal-hal baru tentang dirinya. Dan yang utama Mutia tak terganggu dengan pernyataannya tempo hari, tidak lari darinya. Tidak seperti sebagian wanita yang langsung menyingkir ketika dia menyatakan tak mampu lagi mencinta, ataupun sebagian yang lain yang ingin membuatnya jatuh cinta pada mereka.
Burung besi mendarat dengan lancar di Bandara Adi Sumarmo sekitar pukul tujuh pagi, embum masih manyelimuti area sekitar bandara. Enoch dan Linda berjalan pelan di antara para penumpang sampai akhirnya mereka sampai pintu keluar seorang pria di awal akhir lima puluh telah menunggu mereka. Hari ini Enoch dan Linda akan ke kediaman keluarga Mutia dengan ditemani oleh salah satu adik laki-laki mendiang ayahnya yang tinggal di Solo,Teguh.
Mereka bertiga sampai di rumah bergaya joglo milik Keluarga Mutia setelah sekitar empat puluh lima menit perjalanan dan disambut oleh keluarga Mutia. Mutia hanya muncul di awal, mencium tangan Linda dan Teguh, tersenyum kecil pada Enoch, sebelum kembali masuk ke bagian dalam rumah. Setelah basa-basi singkat tentang cuaca dan perjalanan, Murnita mempersilahkan para tamu untuk menyicipi menu sarapan yang telah dipersiapkan. Meskipun Enoch dan Linda telah sarapan tadi dalam perjalanan, tapi masih ada ruangan yang tersedia untuk mencicipi makanan yang telah disajikan tuan rumah.
Menjelang tengah hari ketika acara puncak hari itu dimulai. Teguh membuka pembicaraan yang didengarkan oleh Ayah Mutia, yang sedari tadi sedikit bicara, dan beberapa paman Mutia. Enoch lebih memilih menyimpan suaranya ketika para sesepuh berdiskusi. Dia sudah membicarakan apa keinginannya pada Teguh beberapa hari lalu melalui telepon dan memantapkannya saat perjalanan dari bandara tadi. Sehingga sekarang dia menyerahkan pada Sang Juru Bicara. Linda ditemani Murnita duduk di sini lain ruangan.
Enoch hanya berbicara singkat ketika Agus, calon ayah mertuanya, menanyakan kesungguhan niat memperistri anak bungsunya. Enoch berbicara sopan namun tegas, menatap mata garang Agus. Sebelum acara ditutup Mutia dipanggil ke ruangan, ditanyakan kesediaan atas lamaran yang sedang terjadi. Dengan menunduk malu-malu dia mengangguk pelan, berbicara tak kalah lirih sehingga hanya bisa didengar oleh ayahnya yang ikut mengangguk perlahan.
Linda meminta cincin yang tadi pagi dia serahkan kepada Enoch, dengan perlahan wanita itu memandangi Mutia, ada haru yang membuncah di dada dan tersalurkan melalui bening di sudut matanya yang mulai menganak. Linda menyelipkan cincin yang sudah lebih dari tiga dekade menemaninya di jari manis Mutia, menatap sedikit terlalu lama seperti tak ingin berpisah, sebelum menangkupkan kedua tangan di sisi kepala calon menantunya dan mencium kening Mutia.
Ada rasa yang mengembang di dada Enoch menyaksikan bagaimana ibu dan calon istrinya itu saling tatap, tapi yang paling penting adalah bagaimana ibunya menatap Mutia dengan senyum tipis dan mata berkabut. Enoch tahu Linda sedang bahagia dengan kebahagiaan yang sudah lama tak ia saksikan setelah kematian ayahnya enam tahun lalu. Ada janji terpatri dalam jiwanya. Janji untuk membahagiakan wanita di hadapannya.
##
Setelah matahari terbenam Enoch, Mutia, kedua orangtua Mutia, Raffa—ponakan Mutia yang masih berumur empat tahun mengantar Linda kembali ke bandara bersama Teguh. Iya, Enoch hanya mengantar, karena Linda memutuskan pulang terlebih dahulu dengan alasan besok pagi ada acara yang harus dia hadiri dan tak ingin terlambat. Meninggalkan Enoch untuk lebih mengenal calon keluarganya.
"Mau jalan-jalan?" tanya Muti pada Enoch setelah Linda masuk ke waiting room. "Ke Galabo."
"Galabo?" Enoch balik bertanya.
"Gladag langen bogan. Wisata kuliner malam. Gimana?" sebelah alis Muti memanjat.
"Boleh, bareng Mamah dan Papah 'kan?" Enoch merasa aneh mengucapkan sebutan itu untuk kedua orangtua Mutia, tapi harus mulai membiasakannya.
"Pah, kami mau ke Galobo, pareng nopo mboten?" tanya Muti sopan pada ayahnya yang berjarak beberapa langkah dari tempat mereka berdiri. Agus menatap mereka berdua beberapa saat.
"Ajak Raffa, ojo kesuwen," ucap Agus singkat sebelum beranjak.
"Mamah-papah ada pengajian, kami dulu ya. Kami naik taksi saja," ucap Murnita pada Enoch sebelum menggandeng tangan suaminya.
Mereka hanya menikmati suasana Galobo tak terlalu lama, selain kalimat Agus tadi juga karena Raffa memutuskan untuk tidur dalam perjalanan ke salah satu pusat wisata kuliner malam itu. Tanpa alat gendong atau stroller, menggendong balita dua puluh kilo sambil berjalan-jalan benar-benar uji stamina bagi Enoch, yang untungnya juga disadari oleh Mutia sehingga dia mempersingkat acara icip-icipnya.
##
Pemberitahuan keberangkatan kereta Argo Lawu jurusan Stasiun Solo Balapan ke Gambir telah diumumkan melalui pengeras suara. Mutia mencium takzim tangan ayahnya sebelum memeluk erat tubuh ibunya. Petuah panjang mengalir dari mulut Murnita sebelum melepaskan pelukan anaknya dengan berat hati. Enoch juga secara bergantian mencium tangan Agus dan Murnita. Murnita tampak lebih ramah dibanding Agus yang masih juga dingin.
"Kamu nggak apa-apa 'kan pulang naik kereta?" tanya Mutia setelah mereka duduk nyaman di bangkunya.
"Tak apa, sudah lama juga aku nggak naik kereta." Setelah memastikan koper Mutia aman berada di kompartemen atas Enoch duduk di samping Mutia.
"Aku hampir selalu naik kereta ketika ke Solo, kecuali ada keperluan urgent, baru aku akan memilih pesawat. It's calming." Mutia membuka tirai penutup jendela, memperhatikan keadaan yang mulai sepi ketika penanda keberangkatan kereta berbunyi. Sebuah hentakan lembut menandai berjalannya kereta, bunyi roda besi beradu dengan rel, dan pemandangan yang mulai mengabur seiring bertambahnya kecepatan ular besi.
"Kamu tahu? Kamu lulus kriteria terakhir calon mantu yang baik menurut Papah," sebuah senyum tersungging di bibir Mutia, memamerkan gingsulnya.
"Kriteria terakhir?" Ada degup aneh di dada Enoch, dia tak tahu degup ini timbul karena untuk pertama kalinya dia bisa melihat senyum Mutia dalam jarak yang begitu dekat, atau karena berhasil melewati seluruh kriteria Agus yang selalu berpenampilan dingin.
"Kamu salat Subuh tepat waktu tanpa perlu dibangunkan orang lain."
'.6z
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top