4. The Stolen Heart
Hai, sebelumnya maaf karena bagian ini agak pendek dan kemungkinan typo juga kesalahan tipe huruf tinggi. Udah nulis dg italic di google doc, begitu copas di hp ilang semua italic-nya. 😓.
Selamat menikmati.
Mutia melangkah masuk ke Crunch and Hunch siang itu. Seperti yang masih diingatnya dulu, caffee ini terlalu sederhana. Ruangan yang sangat luas dengan bangku dan meja tertata rapi dan sejajar, tak ada hiasan dinding kecuali poster makanan yang dijual. Pengunjung yang datang sebenarnya cukup banyak, tapi hanya memenuhi separuh kapasitas bangku yang tersedia, memberi kesan bahwa caffe ini sepi pengunjung.
Seorang wanita berseragam kaos biru langit dan celana jeans abu-abu menghampirinya. Mutia memperkirakan wanita itu masih di awal dua puluh tahun, tersenyum ramah dan menanyakan Mutia membutuhkan bangku untuk berapa orang. Emi, Mutia membaca papan nama yang tersemat di lengan baju sang pegawai.
"Dia datang denganku," ucap Enoch dari belakang pegawainya sebelum Mutia sempat menjawab. Senyum Mutia merekah tanpa disadari , membuat Mutia terkejut dengan dirinya sendiri karena baru sekarang dia merasa dia memang mengharapkan pertemuan ini.
"Oh ..., tamu pribadi Mas Enoch?" ada nada usil di kalimat yang diucapkan sang pelayan yang dibalas dengan mata melotot oleh Enoch.
"Ada pesanan yang harus diantar ke tamu!" Enoch ingin tetap terlihat santai tapi ternyata tingkah bawahannya berhasil membuat judes.
"Iya, Mas." Emi menggangguk, sebelum mengarahkan pandangannya ke Mutia, "Permisi, Mbak." Pandangan Enoch mengikuti Emi yang berjalan ke arah dapur, dia bisa membayangkan sebentar lagi Emi akan berbagi kabar tentang dirinya yang dikunjungi Mutia. Dan setelah Mutia pulang, para pegawainya akan meledeknya habis-habisan. Sepertinya dia perlu mendisiplinkan anak buahnya.
Mutia mengikuti Enoch menuju bangku di salah satu sudut ruangan, selama berjalan pandangan Mutia menyapu seluruh caffe. Pun ketika duduk Mutia belum berhenti mengobservasi.
"Apa?" Tanya Mutia akhirnya setelah melihat Enoch yang sedang menatapnya. "Kamu sadar nggak? Ekspresi kamu barusan seperti murid yang sedang menunggui gurunya mengoreksi tugas?" Mutia tak bisa menahan geli. Enoch tak menjawab dan hanya mendengus, menyandarkan tubuhnya ke belakang dengan tangan terlipat di dada.
"Ini titipan Mamah buat Tante Linda," lanjut Mutia yang kini meletakkan sebuah kantong kertas besar ke meja. "Intip dan ampyang."
Enoch menerimanya dan melihat ke dalam tas sekilas, kerak nasi yang digoreng dengan saus gula marah dan kacang tanah berbaluk gula merah. Melihatnya saja Enoch sudah bisa membayangkan betapa manis makanan yang dipesan ibunya itu. Giung kata orang Sunda.
"Nanti bilang ke Tante Linda, jangan banyak-banyak, takut diabetes."
"Mami nggak akan dengar. Jika kamu punya prinsip 'jangan pikirkan pekerjaan ketika liburan, dan jangan pikirkan liburan ketika bekerja'. Prinsip Mami adalah 'jangan pikirkan makanan enak ketika diet, dan jangan pikirkan diet ketika makan enak'." Ucapan Enoch membuat Mutia tergelak.
"Sepertinya Tante Linda orang yang menyenangkan, sayang pas di Bandung nggak sempat ngobrol banyak." Kini pandangan Mutia beralih ke poster makanan di dinding. "Sekarang sebaiknya kita bicarakan makanan, apa makanan utama yang jadi menu andalan di sini? Pertama kali kemari aku hanya sempat menyicipi dessert."
Enoch menjelaskan beberapa menu yang dimiliki restorannya, sebelum melanjutkkan obrolan mereka. Kesempatan kali ini topic pembicaraan mereka lebih beragam, lebih personal, dan lebih banyak soal masa lalu. Tentang sekolah dan kuliah. Mereka membagi antuasiasme yang sama dalam percakapan itu. Mutia selalu memberi kesempatan untuk Enoch bercerita, tidak mendominasi, tapi juga tidak pasif.
Pembicaraan tentang rencana masa depan juga mereka bagi. Tentang cita-cita Enoch membuka cabang baru Crunch and Hunch dan meluaskan pangsa pasar. Juga tentang passion Mutia terhadap dunia kecantikan.
Enoch mengantar Mutia ke mobil setelah makan siang mereka selesai. Membukakan pintu samping kemudi untuk wanita itu ketika kunci pintu telah Mutia non-aktifkan.
"Aku yakin kamu aware kemana hubungan ini akan berjalan jika kita terus menyetujui pertemuan yang diatur Mami dan ibu kamu," ucap Enoch membuat Mutia yang hendak masuk ke dalam mobil menghentikan langkahnya dan kembali berdiri tegak. "Dari pertemuan-pertemuan ini, aku belum menemukan alas an yang mungkin bisa diterima Mami jika aku menolakmu. Dan aku sudah mulai lelah menolak Mami," Enoch menatap Mutia tajam, "Aku akan menyetujui perjodohan ini."
Mutia tanpa sadar menahan napasnya, dia merasakan jantungnya melompat sebelum kembali ke tempatnya dan berdetak lebih kencang. Perlu beberapa detik bagi Mutia mencerna kalimat yang baru saja dilontarkan Enoch.
Enoch memperhatikan ekspresi Mutia, wanita di hadapannya terkejut, dia tahu itu, tapi apa yang dikatakannya setelah ini bisa membuat Mutia lebih terkejut lagi. "Tapi aku perlu memberitahumu satu hal," Enoch menarik napas sejenak. Dia tak pernah membahas ini dengan siapapun, dan orang-orang yang mengetahui tentang perihal ini memilih tidak membicarakannya. Dada Enoch sesak hanya karena mengingatnya. "Jika kita menikah nanti, aku akan menghargaimu sebagai istri, berusaha memperlakukanmu dengan baik. Tapi, aku tidak bisa memberikan hatiku padamu. Aku telah memberikannya pada seseorang, dan sekarang wanita itu telah pergi."
Enoch bisa melihat pandangan Mutia goyah, tapi hanya beberapa saat sebelum akhirnya wanita itu tersenyum, meskipun senyumnya tak mencapai matanya. Dengan menghela napas Mutia bergerak masuk ke dalam mobil, memastikan telah duduk dengan nyaman dan menyalakan mesin mobil sebelum berkata, "Ehm..., kamu tak perlu khawatir tentang hal itu. Aku memiliki hatiku sendiri, bahkan kadang aku memiliki lebih dari yang aku butuhkan, jadi aku tidak pernah berniat meminta hati siapapun. Dan mungkin, jika kamu cukup baik aku akan memberikan sebagian milikku padamu. Aku tak akan mempermasalahkan apa yang kamu rasakan, aku menilai dari yang kamu lakukan." Sebuah senyum lembut terukir di bibir kecil Mutia, "Aku cukup tahu bahwa aku tak akan bisa mengendalikan perasaan orang lain, I have tons of experiences about them."
Mutia menutup pintu mobilnya sendiri karena sekarang Enoch yang tertegun dengan pernyataan Mutia. Begitu pintu telah tertutup sempurna, Mutia membuka jendela di sisinya, "Sampai jumpa di kencan berikutnya." Mutia mengerling disertai sebuah tawa ringan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top