3. The Beauty Guru

Mutia melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya, masih sepuluh menit lagi sebelum waktu yang dijanjikan. Restoran yang sekarang dia kunjungi mulai ramai pengunjung, denting alat makan beradu dengan piring, diskusi antar pengunjung ada juga gelak tawa di ujung ruangan dari segerombolan ibu-ibu muda memenuhi ruangan. Mutia kembali menekuni daftar menu di hadapannya, nama-nama makanan khas nusantara terpampang di sana. Dia telah menentukan makanan dan minuman apa yang akan dia pesan nanti.

Mutia mengambil cermin kecil dari tasnya, melihat sekilas tampilan wajahnya, membuat beberapa catatan di kelapa tentang make up yang dikenakan. Ketika dia hendak mengeluarkan kamera mirrorless-nya dari tas, pria yang ditunggu berjalan mendekat.

"2 p.m., sharp!" ujar Mutia sambil melirik jam tangannya.

"Menunggu lama?" Enoch menarik kursi di hadapan Mutia, melihat wanita itu membereskan cermin dan kamera.

"Tidak juga, aku tadi ada janji dengan klien di dekat sini." Mutia mengangkat tangannya, memberi aba-aba kepada pelayan agar mendekat ke arah mereka. "Kita segera pesan makanan? Aku sudah lapar." Enoch sedikit terpana dengan sikap Mutia. Dari beberapa wanita yang dia temui di acara "perjodohan" sebagian besar akan berbasa-basi untuk memberi impresi baik, sebagian besar akan blak-blakan di awal bahwa mereka tak setuju dengan perjodohan.

"Kamu tahu 'kan perjodohan yang disusun oleh ibu kita?" tanya Enoch setelah pelayan selesai mencatat pesanan mereka. Nasi bakar, tempe mendoan, dan es campur untuk Mutia, sedangkan Enoch memilih paket nasi rawon dan jeruk nipis hangat.

"Kamu sepertinya tidak suka dengan rencana ini?" Mutia balik bertanya dengan senyum tulus yang mengembang.

"Kamu bukan wanita pertama yang ibuku minta untuk perkenalan," entah mengapa Enoch merasa nyaman berterus terang kepada wanita di hadapannya. Dalam kencan-kencan sebelumnya Enoch memilih bersikap sopan di awal meskipun pada akhir  pertemuan Enoch menyatakan tak bisa lagi menemui wanita-wanita itu. Mungkin dia sudah terlalu lelah untuk berpura-pura.

"Kamu pria pertama yang ibuku minta untuk perkenalan," kini senyum usil yang terpampang di bibir wanita yang memilih menggunakan lipstik peach cerah itu, satu sisi alisnya terangkat.

"Dan kamu langsung setuju?" Enoch melipat kedua tangannya di depan dada, gesture yang mulai Mutia kenali.

"Ck!" Mutia berdecak sebelum kedua sikunya bertumpu di atas meja, badan condong memperhatikan secara dalam ekspresi Enoch. Seperti kesan pertama yang diperolehnya seminggu lalu bahwa penampilan Enoch tidak akan membuat para wanita berhenti sejenak untuk mengagumi, tapi Enoch adalah pria yang membuat wanita betah berlama-lama menatapnya. Pesona menguar perlahan bersama kehadirannya. "Anggap saja aku adalah orang yang terbuka atas setiap kemungkinan. Saat ini aku tidak dekat dengan pria manapun, tidak memendam rasa kepada siapapun, tapi tidak menjadi bagian dari jones," Mutia tertawa kecil ketika mengucapkan kata terakhir. "So far, I enjoy my independency, tapi bukan berarti wanita yang sudah menjalin hubungan dengan pria kehilangan kemerdekaannya." Mutia berhenti sejenak membiarkan ucapannya mengendap. "Dan aku bukan anak yang akan secara frontal menentang perintah orangtua. Mamah bilang kamu adalah pria yang baik, mapan, dan nggak neko-neko. 'Pria yang sulit ditemui di jaman sekarang' kata Mamah. Apa itu benar?"

Enoch menikmati ucapan panjang lebar dari Mutia, wanita itu membiarkan Enoch melihatnya secara utuh. "Menurutmu?" Enoch ingin tahu apa yang ada di kepala perempuan yang tidak takut menampilkan dirinya tanpa banyak pura-pura.

"Jika menurutku, sebaiknya kita mulai saling mengenal untuk memutuskan." Obrolan mereka terputus ketika pelayan mengantarkan pesanan minuman mereka. Pembicaraan mereka beralih ke perencanaan interior Crunch and Hunch, topik yang relatif aman karena cara Mutia berbicara seperti kepada klien yang sedang konsultasi.

"Aku akan mengambil beberapa foto lipstikku jika kamu tak berkeberatan, tapi jika kamu keberatan aku juga akan tetap mengambil foto," Mutia mulai membongkar tasnya untuk mengambil kamera mirrorrless.

"Lipstikmu terlihat aneh. Kamu tidak ingin memperbaikinya lebih dulu?" Enoch mau tak mau memperhatikan bibir Mutia. Lipstik peach cerah yang tadi menutup bibir kecil  penuh milik Mutia, kini hanya tersisa di batas terluar bibir saja.

"Justru karena aneh aku harus memotretnya, bukan hanya hal baik tentang make up saja yang akan kubagi." Setelah beberapa kali mengambil gambar Mutia mengamati hasil fotonya dan tertawa. "Oh my God! It's horrible! Aku harus ke powder room untuk membereskan kekacauan ini." Mutia bangkit, menyambar tasnya, dan langsung ke arah toilet, membiarkan Enoch dengan segala pemikirannya.

"Kamu seharusnya memberitahu aku lebih awal." Bibir penuh Mutia mengerucut ketika wanita itu kembali ke tempat duduk. Tidak ada lagi lipstik sehingga hanya terlihat warna merah alami yang terlihat mengkilat dan sehat. Tampak jauh lebih baik dibanding ketika memakai lipstik tadi, pikir Enoch.

"Apa? Jika lipstikmu memudar?" Mutia menganguk atas pertanyaan Enoch. "Aku tak memperhatikan itu sampai kamu bilang ingin foto."

"Ck ..., dasar pria." Mutia mengucapkannya dengan ringan, tanpa tendensi.

"Jika tahu pria tidak memperhatikan hal-hal seperti itu, mengapa kamu tetap menggunakan make up?" Enoch menghisap minumannya melalui sedotan, dari salah satu sudut kepalanya dia berharap jawaban Mutia bisa membuatnya tidak suka. Pertanyaan Linda dalam perjalanan pulang dari Bandung masih memantul di kepalanya.

"Karena aku memakainya bukan untuk menarik perhatianmu. Aku memakainya karena aku menyukainya," Mutia tersenyum percaya diri memperhatikan ekspresi Enoch yang sepertinya terkejut. "Beritahu alasanku mengapa kamu memilih jam tangan itu? Dan kenapa kamu memakainya?" dagu Mutia menunjuk jam tangan berbentuk persegi dengan tali kulit coklat di pergelangan tangan Enoch. "Selain sebagai penunjuk waktu, karena aku yakin fungsi itu bisa diambil alih oleh handphone-mu."

"Karena aku menyukainya, dan aku terbiasa menggunakan jam tangan, jika tidak menggunakan aku merasa ada yang kurang," Enoch memberikan jawaban setelah berpikir sebentar.

"So do I, dan sebagian besar wanita penyuka make-up lainnya. Kami melakukannya untuk diri kami sendiri. Ada juga yang memang berdandan demi pasangannya, tapi biasanya tidak terlalu besar. Karena sebagian besar pria  sepertimu, tidak mengerti effort  yang telah kami lakukan."

"Belum ada wanita yang mengajakku mengobrol tentang makeup sebelum ini," Enoch hanya angkat bahu.

"Aku tak ingin hidup bersama pria yang mengatakan jika aku lebih cantik tanpa make up." Mutia menatap Enoch tajam. Mutia merasa perlu mengatakan itu pada Enoch, bagaimana pun Murnita menyatakan bahwa pria yang sedang duduk di hadapannya adalah calon potensial untuk menjadi suami.

"Apa kamu merasa tidak percaya diri jika tidak mengenakan makeup?"

Mutia menggelang sambil tertawa kecil sebelum menjawab, "Muka polosku sudah sering muncul di youtube atau instagramku, dan aku merasa nyaman-nyaman saja. Bagiku ini bukan tentang percaya diri, tapi self acceptance. Apakah priaku nanti bisa menerimaku dari berbagai macam sisi. Apakah dia siap dengan 'the whole me'. Karena aku adalah paket utuh yang tak pernah ingin aku bagi."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top