22. A Cup of Cold Coffee
Nada tunggu sambungan telepon menggema di ruangan, sebuah suara konstan yang mulai memekakkan telinga. Begitu suara mesin penjawab terdengar, lelaki itu menggerakkan jarinya untuk menekan tombol merah. Beberapa detik kemudian dia akan mengulangi kembali panggilannya itu, entah untuk ke berapa puluh kalinya.
Enoch duduk di sofanya, tempat biasanya dia dan Mutia akan menghabiskan waktu berdua untuk saling bercerita tentang hari yang mereka lalui. Tidak, bukan berbagi cerita. Lebih tepatnya dia akan mendengarkan bagaimana Mutia menjalani harinya. Siapa saja yang wanita itu temui, apa yang membuatnya kesal, apa yang membuatnya excited, produk apa yang dicoba dan bagaimana reaksinya terhadap tubuh, termasuk cuaca dan hal-hal kecil lain yang Mutia dapati. Dia akan menikmati cerita Mutia, bagaimana mimik wajahnya, bola matanya yang berputar, juga gerakan bibir kecil nan penuh milik istrinya.
Adakalanya Enoch juga akan bercerita, tentang capaian-capaiannya hari itu, tentang masalah yang berhasil dia pecahkan. Dan Mutia akan mendengarkan dengan penuh minat, mata yang berbinar dan bibir yang tak lepas dari senyuman. Membuat Enoch merasa lengkap dalam usahanya. Andaikan dulu dia lebih banyak bercerita, bukan hanya tentang apa yang berhasil dia dapatkan, tapi juga tentang kegagalannya, bagaimana ekspresi yang akan Mutia tampilkan? Apakah dia akan tetap memiliki kekaguman di matanya? Apakah dia akan menjauh? Atau, malah dia masih akan duduk bersamanya di sini, saat ini?
Tapi kini Enoch hanya duduk sendiri, menatap langit malam Jakarta yang selalu berkabut. Dengan ponsel yang tergenggam dan secangkir kopi yang sudah terlalu dingin untuk dinikmati.
Tadi setelah duduk tanpa bergerak hampir selama satu jam sepeninggalan Mutia, akhirnya Enoch bergerak. Menuju dapur dengan tatap mata kosong, dia mengambil gelas dan coffee grinder manual dari lemari dapur. Ketika tangannya meraih toples kaca untuk mengambil biji kopi, jantungnya melompat tinggi hingga menyesakkan tenggorokan, dan saat kembali pada tempatnya benda kecil itu berdetak lebih cepat, dan memompakan darah ke wajahnya. Memanaskan wajah hingga matanya. Kelenjar air matanya mulai bekerja, hingga akhirnya otak berseru untuk tidak menangis.
Enoch ingat toples yang sekarang di tangannya, dua minggu lalu dia menyisakan biji kopi yang hanya cukup untuk membuat satu gelas kopi. Tapi kini toples itu penuh dengan biji kopi yang telah terpanggang sempurna. Ketika dia membuka penutupnya, aroma khas kopi yang baru saja dipanggang memenuhi rongga hidungnya.
Di sebelah toples itu ada toples yang lebih kecil, tempat Enoch biasanya menyimpan kopinya yang sudah tergiling, yang menjadi cadangan jika dia tak memiliki banyak waktu untuk ritual minum kopinya. Tangan Enoch bergetar ketika meraih toples berisi kopi bubuk itu, dua minggu lalu toples itu kosong, kini terisi bubuk kopi dengan butiran kasar. Dia selalu menggiling kopinya dengan ukuran itu, dan dengan jumlah hanya dapat dibuat untuk tiga gelas karena dia suka jika semuan bahan pembuat kopinya baru dan fresh. Toples itu mencerminkan pengertian Mutia akan dirinya, bahkan untuk hal-hal detail yang kadang tak disadarinya.
"Dan kamu tampak berantakan." Kalimat yang Mutia katakan dengan sepenuh kepedulian terngiang di kepala pria itu.
"Nggak ada kamu yang urus aku, Mut." Enoch mengucapkan kembali kalimat yang dia ucapkannya satu jam lalu, dengan suara bergetar dan serak, tapi kini dia hanya berhadapan dengan benda mati.
"Belajar urus diri sendiri ya." Seharusnya Enoch tahu apa makna dari ucapan itu, juga senyum yang menyertainya. Seharusnya dia sadar lebih cepat. Seharusnya. Tapi meskipun Mutia mengatakan semua kata itu, wanita itu tetap memastikan kesejahteraannya.
Jempol Enoch kembali bergerak di atas layar, kembali mencoba terhubung dengan ponsel Mutia. Meskipun respon dari mesin penjawab tetap juga dijumpai.
Enoch meraih kopinya yang dingin, mengecap pahit yang selalu dia nikmati. Teringat bagaimana reaksi Mutia jika mencicipi kopinya, alisnya yang berkerut dan matanya yang selalu terpejam ketika cairan pekat berpindah dan bertemu dengan lidahnya. Istrinya itu tak pernah menyukai kopi pahit, tapi selalu menyesap dari cangkirnya meskipun hanya satu teguk, ketika Enoch membuat untuk dirinya sendiri. Mungkin nanti Enoch bisa menambahkan gula jika membuat kopi lagi, sehingga Mutia bisa lebih menikmatinya. Atau mungkin dia bisa membuat caramel machiato setiap selesai makan malam sementara Mutia memasukkan piring ke dalam dishwasher, sehingga mereka bisa menikmati langit malam dengan minuman masing-masing. Tapi harus diakui, dia lebih suka ketika melihat Mutia minum dari gelas yang sama, sisi yang sama tempat Enoch minum.
Genggaman tangannya mengeras, begitu banyak rencana yang ingin dia lakukan, dan semua itu tak akan terlaksana jika pria itu hanya diam dan berangan-angan. Menggerakkan kembali ibu jarinya, Enoch mengulang panggilan yang disambut oleh nada tunggu.
Lima tahun lalu seorang wanita meminta hatinya. Ketika dia telah memberikannya, mempersiapkan diri untuk membangun sebuah istana sederhana untuk mereka berdua, wanita itu memutuskan untuk pergi. Dan tiap kali dia bertemu dengan wanita baru, tiap kali ibunya memintanya untuk berkenalan dengan perempuan yang baru, bayangan Verona tetap bergelayut. Pun ketika akhirnya pria itu menikah dengan Mutia.
Suara mesin penjawab kembali terdengar, tapi kali iniEnoch tidak memutuskan hubungan. Dia meletakkan ponsel ke samping telingasebelum berkata, "Kita butuh bicara, Mut. Dan kali ini aku akan benar-benarbicara dan menyelesaikan ini."
---
a/n. Jangan timpukin Enoch. Jangan sekarang, maksudnya. Nanti aja.
ditunggu vote dan comment-nya ya.
di KBM sudah sampai bab 42. Rencana tamat di bab 45, Febuari 2022 ini. Link di profil, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top