21. Walk Away
"Tolong ceraikan aku."
Enoch tak mampu bergerak mendengar kalimat pendek istrinya, serasa sebuah tangan tak kasat mata mencekik lehernya, membuatnya sesak napas. Mutia masih menatapnya dengan lembut, seperti memahami bahwa kini saatnya membiarkan Enoch pergi.
Enoch tak menyukai ini, dia sudah menduga Mutia akan marah, tapi tak pernah berpikir bahwa wanita itu akan menyerah kalah. Karena saat ini Enoch pun tak ingin menyerah dalam hubungan mereka. Perpisahannya dengan Mutia selama dua pekan menyadarkan pria itu arti kehadiran istrinya. Dia ingin menghidupkan pernikahannya.
"Nggak," ujar Enoch dengan suara serak. "Nggak, Mut. Buatku itu bukan permintaan." Enoch berkata tegas sambil bangkit dari kursinya, dia butuh mendekatkan dirinya ke Mutia. "Kalau kamu marah karena kejadian dua minggu lalu, aku bisa jelaskan." Pandangan mereka bertemu, dan tatapan Mutia tak berubah. Tak ada sinisme yang ditampakkan dua pekan lalu, tak ada senyum mengejek. Semua tampak nyata, seolah-olah semuanya sudah dipikirkan matang-matang.
"Dua minggu lalu adalah pertama kalinya aku bertemu kembali dengan Verona setelah dia pergi."
Akhirnya pencuri itu memiliki nama, Verona.
"Jujur, aku terkejut. Tapi kami tidak melakukan apapun, Mut. Dia memang punya kebiasaan duduk di atas meja, yang ternyata nggak berubah juga meski ...." Enoch ingin mengucapkan banyak kata, ingin menjelaskan semuanya. Dua minggu lalu dia melakukan kesalahan karena memilih diam, tapi dia tahu sikap diamnya tak akan menyelesaikan masalah.
"Minggu lalu aku ke Singapura," potong Mutia dengan nada tenang dan membekukan Enoch. "Aku menemukan flyer seminar itu ketika aku mencari Mas di kantor." Mutia membentuk sebuah senyum yang Enoch yakin sebuah paksaan. "Ketika sampai aku melihat wanita itu, Verona, menggandeng tangan Mas di lobi hotel. Dan Mas membiarkannya." Getir terasa di kalimat Mutia.
"Aku datang ke sana untuk menyelesaikan pertengkaran kita, tapi aku malah memilih lari." Mutia menarik tangannya dari permukaan meja dan meletakkan di atas pahanya. Jarinya saling terpilin tanpa disadari oleh si empunya. "Seperti bukan aku."
Enoch hanya terdiam memandang istrinya, rasa bersalah menghujam di seluruh sendinya. Menghilangkan kekuatan dan kembali terduduk dengan tangan menyangga kedua sisi kepalanya. Akan lebih mudah bagi Enoch jika Mutia meledak dan melempar barang atau menggunakan kalimat sinis untuk bicara dengannya seperti dua minggu lalu. Bukan dengan kalimat lemah seperti ini.
"Yang paling mengganggu adalah aku merasa kehilangan jati diriku. Aku melakukan hal yang sebelumnya kupikir tak mungkin kulakukan. Selama seminggu aku tak mengenali diriku sendiri. Aku merasa takut, Mas. Dan ketakutan itu menarik sisi terburukku untuk keluar." Menghela napas sejenak sebelum Mutia melanjutkan. "Aku meledak-ledak, sekaligus menjadi pengecut yang tak berani meng-claim hakku sendiri."
"Aku ingin kembali menjadi Mutia yang dulu, wanita yang tahu apa yang dia inginkan dan bagaimana cara mencapainya. Wanita yang tetap bisa mengangkat dagunya ketika kegagalan menyapa, karena dia tahu, dia telah memberikan usaha terbaiknya." Kalimat terakhir membuat Enoch mengangkat pandangannya.
"Apa kamu berpikir bahwa ini semua ...," ucap Enoch di antara gigi, "gagal?"
"Aku telah memberikan usaha terbaikku. Aku telah memberikan sebagian hatiku untuk Mas, tapi sepertinya Mas masih mengharapkan sebuah hati utuh yang telah dibawa pergi. Sesuatu yang tak bisa kulakukan." Mata Mutia mulai berkabut, tapi air matanya masih berusaha ia bendung. Dia sudah terlalu banyak menangis, dan dia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menumpahkan air mata lagi malam ini. "Karena aku takut jika aku memberikan lebih banyak lagi, aku akan semakin kehilangan diriku. Dan meskipun aku telah jatuh cinta pada Mas, bagiku tetap penting untuk mencintai diriku sendiri. Aku tetap ingin bisa berdiri tegap tanpa limbung ketika teman perjalananku harus pergi. Aku tak pernah ingin menyerahkan diriku sepenuhnya kepada orang lain." Seulas senyum menghiasai bibir Mutia, senyum meminta pengertian. Tapi Enoch sama sekali tak ingin mengerti.
"Aku ...," gagap Enoch berucap, "kamu ...." Tak tahu apa yang harus dikatakannya untuk menghentikan keinginan Mutia. Dia sama sekali tak tahu seberapa besar luka yang telah ditorehkan di hati Mutia. Tapi bagaimana Enoch akan tahu jika Mutia memilih pergi dan mengobatinya di tempat lain?
"Aku nggak pernah bermaksud menyakiti kamu, Mut. Harusnya ...."
"Aku tahu Mas tak pernah berniat menyakitiku, kesalahan ada di aku sendiri yang tak bisa mengendalikan perasaanku," ujar Mutia halus sambil bangkit dari duduknya. Mutia berdiri di samping suaminya yang masih terduduk dengan kepala menunduk, menolak untuk memandang ke arah wanita yang ingin merubah hubungan mereka. Perasaan gagal menyelimuti pria itu. Sebuah kegagalan yang kembali berulang.
Meski sempat dihinggapi ragu, Mutia membelai rambut Enoch. Mungkin yang terakhir kali, karena setelah ini dia mungkin tak mempunyai hak lagi untuk menyentuh pria itu. Meminta lebih, Mutia memeluk kepala Enoch yang masih juga tertunduk. Mengecup ubun-ubun dan mengindrai aroma khas dari rambut Enoch. Aroma yang tak pernah dia sangka akan dia rindukan karena selalu berhasil memberinya ketenangan.
Hingga akhirnya Mutia melepaskan pelukannya, mengambil tas tangan yang diletakkan di meja console, berjalan ke arah pintu dan melemparkan pandangan terakhir sebelum keluar dari apartemen, Enoch tidak merubah posisinya. Tubuhnya mencerminkan hatinya, beku.
---
Di KBM App sudah sampai part 41, ketika Mutia harus berhadapan dengan kesalahan masa lalu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top