20. Too Calm
Suara dari handle pintu yang bergerak pelan membawa Mutia kembali dunia nyata. Menarik napas untuk memenuhi paru-parunya wanita itu bergegas membuka pintu.
"Wellcome home!" sambut Mutia dengan sebuah senyum merekah, membuat Enoch tertegun di tengah pintu. "Bagaimana perjalanannya?" tanya Mutia basa basi sambil menarik Enoch masuk ke dalam rumah sehingga dia bisa menutup kembali pintunya.
"Lan ... car," jawab Enoch terbata. Mutia menarik koper yang dibawa suaminya dan meletakkan dekat dengan tembok agar tidak menghalangi jalan.
"Belum makan 'kan? Aku masakin ayam panggang resep Mami." Mutia hendak beranjak ke dapur tapi Enoch telah terlebih dulu mencengkram lengannya, membuat wanita itu kembali berbalik berhadapan dengan suaminya.
Mata Enoch menatap intens, seperti mencari sesuatu dari ekspresi Mutia. Dia merasa ada yang tidak tepat dari sikap Mutia. Tangan Enoch yang lain terangkat untuk menyelipkan rambut Mutia yang terayun bebas ke belakang telinga.
"Kamu cantik," guman Enoch dengan suara serak dan perlahan mendekatkan tubuhnya. Mutia mematung beberapa saat hingga suara denting timer oven menyadarkannya, pujian dari Enoch selalu berhasil menghangatkan hatinya.
"Ck ...," Mutia menjauh dan melepaskan tangan Enoch dari lengan lalu pipinya. "Ayamnya sudah matang. Cuci tangan dulu lalu tunggu di meja ya." Wanita itu sudah melangkah kembali ke dapur.
"Bagaimana seminarnya? Ada investor yang tertarik?" tanya Mutia ketika Enoch sudah kembali dari kamar mandi dan duduk di bangku meja makan. Caranya bertanya seolah-olah tak ada masalah komunikasi selama dua minggu di antara mereka berdua.
"Ada, dua hari lagi mereka datang," jawab Enoch kaku dengan tangan terlipat di atas meja makan.
"Syukurlah, semoga berhasil." Mutia berjalan ke arah meja makan sambil membawa baki berisi ayam yang menguarkan aroma menggoda. Dengan cekatan wanita itu menyiapkan nasi, lauk, dan sayur untuk pria yang lebih memilih diam untuk mengamati istrinya.
"Kamu nggak makan?" tanya Enoch ketika Mutia langsung duduk begitu menyerahkan piring ke Enoch tanpa mempersiapkan piring untuk dirinya sendiri.
Wanita itu menggeleng sebelum menjawab, "Aku nggak lapar. Aku tungguin aja." Sebuah senyum terukir, bukan senyum sinis, tapi tetap membuat Enoch tidak nyaman.
"Kamu cantik." Enoch mengulang pujiannya, ada begitu banyak hal yang ingin disampaikannya, tapi hanya kalimat sederhana itu yang bisa terlontar.
"Thanks to make up and spa treatment," ujar Mutia santai dengan senyum yang menampilkan gingsul-nya. "Dan kamu tampak berantakan." Dibandingkan Mutia, Enoch memang tampak sangat berantakan. Selain bajunya kusut akibat perjalanan, rambut yang tak beraturan karena terlalu sering diacak ketika pikirannya tidak tenang, juga rahangnya yang mulai tertutupi jenggot akibat tidak bercukur selama dua pekan.
"Nggak ada kamu yang urus aku, Mut." Kalimat Enoch yang terlontar, membuat Mutia tercekat, tapi segera wanita itu telan.
"Belajar urus diri sendiri ya. Sekarang makan dulu gih!" Mutia memaksakan sebuah senyum lagi.
Enoch makan dengan sunyi, begitu suapan pertama masuk ke mulutnya seluruh cacing di perutnya langsung beraksi. Semakin dia menelan, semakin dia ingin mencicipinya lagi. Masakan di hotel dan rumah makan yang Enoch jelajahi selama dua minggu tak bisa menandingi masakan Mutia. Setelah habis setengah piring Enoch baru mengangkat kepala dan mendapati Mutia sedang memandangnya dengan sebuah tatapan lembut dan mata yang lembab.
Meletakkan sendok dan garpu, pria itu menatap balik istrinya.
"Kamu mau bicara sesuatu?" tanya Enoch hati-hati.
"Iya." Jawaban singkat itu berhasil membuat jantung pria itu berdebar, cara Mutia mengatakannya menandakan sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi. "Tapi selesaikan makannya dulu aja. It's okey for me to wait a little longer."
Enoch cukup mengerti kalimat bersayap Mutia, istrinya itu membicarakan hilangnya komunikasi mereka selama dua minggu. "Aku berusaha menghubungimu sebelum berangkat ke Singapura, tapi aku lupa jika HP-mu sedang rusak. A...."
"HP-ku baru kuambil dua hari lalu dari service centre dan aku sudah melihat pesan yang Mas kirim. Tapi bukan itu yang ingin kubicarakan." Mutia memotong perkataan Enoch sebelum suaminya menyelesaikannya.
"Lalu apa yang mau kita bicarakan?" Enoch melipat tangannya di depan dada. Gesture yang membuat Mutia berat untuk mengutarakan maksudnya. Dia tak ingin pria di hadapannya bersikap defensif. Dia tak ingin kembali berperang.
"Aku ingin minta tolong sesuatu, tapi itu bisa menunggu setelah Mas menyelesaikan makan. Aku suka melihat Mas makan masakanku." Mutia mengulurkan tangannya untuk menyentuh jemari Enoch, dia ingin melakukan lebih dari, tapi Mutia berusaha mencukupkan diri dengan sentuhan kecil itu. "Cara Mas makan buat aku merasa aku adalah koki terbaik di dunia." Suara Mutia mulai serak, matanya terasa makin lembab.
"Masakanmu enak, beda rasanya dengan buatan Mami. But in a good way." Enoch berusaha mencairkan suasana, udara terasa berat di sekitarnya. Mutia tertawa kecil sebelum menarik tangannya yang langsung ditahan oleh Enoch. Ada kesangsian dalam diri Enoch jika dia melepaskan tangan Mutia sekarang, dia akan mampu menggenggam jemari lembut itu lagi.
"Bilang sekarang, aku nggak bisa makan kalau kamu lihat aku dengan cara seperti itu, Mut."
"Nanti sa ...."
"Sekarang," pinta Enoch dengan suara tegas, jantung berpacu.
Mutia membuka mulutnya, tapi kemudian menutupnya kembali tanpa menghasilkan suara. Menarik napas perlahan Mutia mengumpulkan kekuatan. "Tolong ...," suara Mutia serak di ujung kata, wajah tengadah berusaha agar air matanya tak jatuh. Setelah beberapa saat Mutia dapat memandang suaminya. Sebuah senyum sendu mengantar sebuah pinta seperih sembilu. "Tolong ceraikan aku."
***
Kelanjutan cerita ini dapat dibaca di Aplikasi KBM (KBMApp) dengan judul "Menikah Tanpa Cinta" oleh Opicepaka.
Terima Kasih atas dukungannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top