17. The Missing Husband

Suasana gelap menyambut Mutia ketika memasuki apartemennya, menandakan belum ada orang lain di tempat yang pernah Enoch sebut 'home' itu. Mengejek dirinya sendiri karena masih terngiang kata-kata suaminya yang sudah tiga hari ini menghilang, wanita itu berjalan menuju kamar tanpa menyalakan lampu. Penerangan dari gedung-gedung di luar yang berhasil menembus tirai memberinya cukup petunjuk ke mana kakinya harus dilangkahkan.

Tubuh Mutia terlampau letih untuk sekedar membersihkan diri sehingga dia memilih merebahkan dirinya di ranjang kamar utama. Ya, Mutia kembali ke kamar karena berharap jika Enoch kembali suaminya itu tahu bahwa Mutia sudah tidak marah. Dia sudah bersiap mengalah, tapi yang ditunggu belum juga hadir.

Mutia mengambil tab dari tasnya yang tergeletak di lantai samping tempat tidur. Membuka beberapa aplikasi e-mail dan chat. Tak ada satupun kabar dari suaminya, sementara HP Mutia sedang menginap di service center karena kemarahannya sendiri. Sekarang dia merasa jadi orang paling bodoh sedunia. Tak tahu harus bersikap bagaimana, menunggu seseorang yang bahkan mungkin sudah tak menganggap keberadaannya. Meskipun berulang kali Mutia mengatakan pada dirinya sendiri untuk memberi tangguh atas ketidak-hadiran Enoch, tapi sisi Mutia yang lain tetap mengatakan bahwa Enoch tidak mempedulikannya.

Mata Mutia menghangat untuk keempat kalinya hari ini, dia tak ingin menangis lagi, tapi ketika dia memejamkan mata air matanya meluncur di pipi. Bernapas perlahan Mutia mulai bangkit, dia harus mengganti pakaian dan membersihkan sisa makeup-nya. Tapi ketika wanita itu bangun kunang-kunang kembali menyapanya.

"Sepertinya aku mulai stress," runtuk Mutia dalam hati.

Meraba salah satu sisi tembok, Mutia mencari saklar untuk menyalakan lampu kamar. Dia perlu mengambil baju ganti yang tak bisa dilakukan di dalam kegelapan. Membuka pintu lemari tangan Mutia secara otomatis meraih boxer dan kaus Enoch sebelum tiba-tiba menghentikan gerakannya. Dua hari kemarin pikirannya terlalu berkabut untuk mengamati kondisi sekitar, tapi kini dia menyadari bahwa sebagian pakaian Enoch tidak ada di tempatnya. Tergesa Mutia membuka pintu lemari di sebelah kirinya, tempat mereka menyimpan koper, dan tenggorokannya langsung tercekat mendapati salah satu koper Enoch tidak ada di tempat. Perut Mutia langsung bergejolak, dia merasakan asam lambungnya meningkat dengan drastis hingga memberi sensasi terbakar di tenggorokannya.

"Tenang Mutia ...." Mutia perlahan luruh di lantai. "Tenang." Wanita yang tampak lebih kurus dalam tiga hari itu memeluk lututnya. Berusaha membendung air matanya.

##

Mutia melepas kacamata hitamnya ketika mobil yang dia kendarai telah terparkir sempurna. Melihat bayangannya di spion tengah mobil membuat wanita itu kembali memakai kacamata yang baru dilepasnya beberapa detik. Lingkaran di bawah mata Mutia terlampau hitam, bahkan corrector dan concealer yang biasa dia gunakan tidak memberikan kontribusi apapun untuk menutupinya.

Mengambil napas dalam Mutia bersiap untuk keluar dari mobilnya. Tadi pagi setelah kondisi tubuhnya membaik Mutia telah memutuskan untuk mencari suaminya. Dia tak ingin kucing-kucingan seperti ini. Dan tempat pertama yang terpikir adalah Crunch and Hunch. Berbagai kemungkinan berlompatan di kepalanya, tapi segera disisihkan karena dia sedang mencari tahu kenyataan.

Keramaian khas Crunch and Hunch ketika jam makan siang menyambutnya begitu dia membuka pintu kaca. Pandangannya menyapu seluruh penjuru, menunjukkan bahwa café ini tetap berjalan normal meskipun sudah tiga hari pemiliknya tidak pulang ke rumah. Semua tetap berjalan seperti biasa.

Emi yang memang menjadi penyambut tamu memberikan senyum terbaiknya.

"Siang Mbak Muti!" serunya senang, seperti tiga hari lalu tidak terjadi apa-apa.

"Siang," jawab Mutia singkat sambil melepas kacamata, pandangannya terlalu gelap jika dia tetap bertahan memakainya.

"Mbak pucat banget sih?" komentar wanita di awal dua puluh tahun itu. "Pasti karena ditinggal Mas Enoch ke Singapur ya?" Lanjut wanita itu dengan nada menggoda. Sebuah informasi baru yang membuat Mutia terkejut, tapi segera ditutupi, karena dia tak ingin orang lain tahu permasalahan rumah tangganya. Apalagi di depan anak buah suaminya.

"Bisa jadi." Mutia mencoba tersenyum dengan tulus. "Aku naik dulu ya. Ada barang yang tertinggal di ruang kerja Mas Enoch."

Ada perasaan lega yang mengembang di dada Mutia, melangkah ringan menuju tangga untuk ke ruang kerja Enoch. Sebenarnya dengan informasi yang diberikan Emi, Mutia tidak perlu lagi ke ruang kerja. Tapi jika dia langsung berbalik pasti akan menimbulkan kecurigaan dari Emi dan staf Crunch and Hunch yang lain. Barang yang tertinggal hanyalah sebuah siasat untuk mengorek informasi.

Ruangan itu sudah tertata, tidak ada lagi sambal rujak yang berhamburan. Menggelengkan kepalanya Mutia mencoba melupakan peristiwa itu. Ketika sampai di meja kerja Enoch, wanita itu melihat sebuah flyer dengan gambar Merlion, maskot Negara Singapura, di salah satu sudutnya.

Membacanya sekilas Mutia kini tahu di mana keberadaan suaminya. Seminar tentang pengembangan usaha kuliner dengan pembicara para pengusaha rumah makan yang memiliki ribuan cabang di seluruh dunia digelar di sebuah hotel di Singapura selama dua minggu. Dalam forum itu juga terdapat beberapa investor yang siap mengucurkan dana bagi pengusaha yang mampu menarik perhatian mereka. Seminar itu dimulai dua hari yang lalu.

Semua perasaan negatif dan prasangka yang selama ini merongrong dirinya dari dalam perlahan hilang. Seharusnya dia bisa lebih mempercayai suaminya dan memaklumi sifat Enoch yang tidak banyak bicara.

Teringat sesuatu Mutia bergegas membuka tasnya dan mengeluarkan tab. Tanpa duduk Mutia menjalankan aplikasi e-mail, membuka salah satu email yang telah diterimanya lima hari lalu, wanita itu segera mengetikkan jawaban. Setelah terkirim, tanpa menunggu lama Mutia berjalan cepat ke luar dari ruangan.

Ketika sampai di area parkir apartemennya, Mutia membuka kembali tabnya untuk melihat apakah sudah ada balasan atas email yang dikirimnya satu jam yang lalu. Sebuah logo amplop kecil terpampang di kiri atas layar tabnya, dan setelah membacanya mata Mutia membulat senang. Undangan dari sebuah perusahaan kosmetik internasional untuk menghadiri peluncuran produk terbaru dinyatakan masih berlaku. Dan pelaksanaannya adalah besok siang, di Singapura.

Malam itu Mutia mengemasi pakaiannya dengan senang, acaranya memang hanya berlangsung sehari, tapi dia sudah merencanakan untuk mengadakan bulan madu yang tertunda dengan Enoch di sana. Tak ada salahnya 'kan bekerja sambil berbulan madu? Tidak lupa dia memasukkan sebuah lingerie ungu ke dalam tasnya.

Tubuhnya terasa ringan, untuk pertama kalinya dalam tiga hari dia merasa bersemangat. Dia tak pernah tahu, hingga hari ini, bahwa harapan untuk bertemu dengan seseorang bisa mengubah mood-nya hingga seratus delapan puluh derajat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top