13. Restless

Enoch membuka pintu apartemennya ketika sebuah ketukan terdengar. Ketika pintu terbuka seorang laki-laki dengan sebuah tas menggantung di pundak kiri sedang berdiri di hadapannya.

"Mutia ada?" tanya sang tamu dengan nada dingin, membuat Enoch waspada.

"Mas Reza?" Mutia muncul dari punggung Enoch. "Hai! Masuk dulu!" Mutia menggeser tubuh suaminya yang memilih mematung di pintu untuk memberi jalan pada lelaki itu. Enoch mengamati Mutia sekilas, lima menit yang lalu Mutia tiba-tiba menghilang ke kamarnya dan setelah muncul penampilannya berubah. Tidak ada lagi konde acak-acak di atas kepala karena sekarang rambut ikal wanita itu tergerai melewati pundakknya, kaos kebesaran telah berganti dress santai sebatas betis yang menutupi boxer Enoch yang sudah jadi milik bersama sejak sebulan pernikahan mereka. Mengetahui Mutia merapikan diri untuk pria lain rasa tak suka perlahan memenuhi dadanya.

Mutia udah bener kok. Apa kamu mau dia bertemu pria lain pakai celana pendek dan menunjukkan bukti 'keisengan' kamu tadi pagi di tengkuknya? Enoch berusaha merasionalkan tindakan Mutia, menyisihkan rasa tidak suka pada pria di hadapannya.

Sentakan di tangan Enoch membawa pria itu untuk kembali berhadapan dengan tamunya.

"Mas, ini Mas Reza. Dia sering bantu aku bikin portofolio desainku. Fotografer."

Mas? Kamu butuh berapa 'Mas' sih, Mut? Sisi Enoch yang lain bertanya kesal. Sisi yang Enoch tak sadar ada di dalam dirinya.

"Enoch." Menegakkan pundaknya, Enoch mengulurkan tangan lebih dulu yang dijawab dengan jabatan tangan mantap Reza.

"Reza," ujar sang tamu tak mau kalah membalas tatapan mata Enoch. Mungkin adu siapa-yang-lebih-kuat-menjabat-tangan-dan-menatap-sinis akan berlangsung selamanya jika saja ponsel Enoch yang ada di meja makan tidak berbunyi dan Mutia mengingatkan suaminya untuk segera mengangkat. Dengan enggan Enoch beranjak untuk menerima telepon dengan sedikit gusar.

Mereka bertiga masih di ruangan yang sama tapi Enoch merasa tak ingin meninggalkan Mutia sendirian. Tidak jika yang bersama istrinya adalah pria yang satu ini. Yang masih menatap Mutia intens ketika istrinya itu sedang mengamati beberapa foto yang baru saja diberikan.

Orang normal akan memperhatikan foto, oi! Teriak Enoch dalam hati ketika melihat Mutia sedang membicarakan foto tapi fokus Reza malah ke wajah istrinya.

"Nanti saya telepon balik, saat ini saya sedang ada urusan penting. Maaf." Enoch menutup teleponnya, tak bisa berkonsentrasi atas ucapan lawan bicaranya karena pemandangan yang terjadi sebelas langkah darinya.

"Bagus 'kan?" tanya Mutia sambil memperlihatkan foto-foto di tangannya ketika Enoch telah berada di samping Mutia dan langsung meletakkan tangan di pinggul istrinya. Foto tentang interior sebuah hotel, mulai dari lobi, kamar, hingga restoran.

"Itu karena desain kamu memang bagus," timpal Reza dengan nada bicara yang membuat Enoch melempar penyusup itu melalui jendela apartemen mereka di lantai 12. Enoch berusaha mengendalikan emosinya, yang entah mengapa meletup-letup.

"Pamit langsung ya." Reza beranjak kembali ke pintu diikuti tatapan dingin Enoch.

"Buru-buru?" tanya Mutia dengan nada sedikit kecewa tapi tetap mengantar Reza ke pintu dan membukakannya.

"Iya, ada acara." Tak sengaja Reza melihat sesuatu di meja console yang membuat matanya berbinar. "Kamu masih pakai vas itu?" tanya Reza sembari menunjuk sebuah vas kaca dengan gradasi warna ungu dan merah muda yang berada di tengah meja. "Aku kasih kamu sekitar lima tahun lalu 'kan ya?"

"Iya." Mutia tersenyum ketika menjawabnya.

##

Dua jam kemudian Enoch duduk di bean bag-nya di depan TV tapi berkali-kali pandangannya ke arah meja console yang berada di dekat pintu keluar. Sedangkan Mutia sedang mengedit video di ruang kerjanya. Tak lama kemudian Enoch berdiri.

"PRANG!" Suara kaca pecah membuat Mutia segera keluar dari ruang kerjanya. Dia berjalan mendekati Enoch yang berdiri di dekat meja console, dan ketika melihat ke arah lantai seketika matanya membulat.

"Kok bisa pecah sih?" Mutia berjalan cepat ke arah vas yang kini berceceran di lantai, membuat Enoch panik dan segera menyiapkan pembelaan atas apa yang terjadi jika istrinya marah karena vas itu pecah. Baru Enoch akan mengucapkan kalimat pembelaannya, kalimat Mutia berikutnya membuat pria itu tertegun. "Jadi nggak punya tempat untuk taruh bunganya!" ucap Mutia kesal.

"Bunga?" Pertanyaan Enoch tak diacuhkan Mutia yang kini sibuk memunguti belasan tangkai mawar kuning yang tercecer di antara kaca. Sedari tadi Enoch terlalu terfokus pada vas sehingga tidak menyadari bunga yang ada di dalamnya. Bunga yang dia berikan empat hari lalu kepada Mutia untuk mengikuti jejak mendiang ayahnya yang rutin membawakan bunga untuk ibunya. Juga petuah Linda untuk sering-sering memberi hadiah pada Mutia.

Sebuah senyum tersungging di bibir Enoch yang tidak terlihat oleh Mutia karena wanita itu sibuk menyelamatkan bunga pemberian suaminya. Mutia tidak mempedulikan vas itu karena vas itu juga baru keluar setelah Enoch mulai rutin memberinya bunga, yang tiap kesempatan pasti bertambah jumlah tangkainya.

"Ck," berdecak Enoch melingkarkan tangannya di perut Mutia yang sudah berhasil mengumpulkan semua bunga di lingkaran lengannya. "Kamu itu kebiasaan banget nggak pakai sandal kalau di dalam rumah." Enoch mengangkat tubuh Mutia hingga kaki wanita itu tak lagi menjejak lantai. "Kamu cari tempat untuk bunganya, aku aja yang beresin pecahan vas." Pria itu mencium tengkuk Mutia yang tak tertutupi rambut karena konde acak-acakkan itu sudah kembali bertengger di atas kepala, menghidu aroma manis dari perfumed balm kesukaanya.

Sepuluh menit kemudian Enoch melemparkan pecahan kaca yang sudah terbungkus plastik dan bertuliskan 'beling' ke tempat sampah dengan senyum puas. Sementara di meja maka belasan tangkai mawar sudah tertata rapi di dalam panci, memberi alasan untuk Mutia berbelanja lagi hari ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top