12. Independent
"Mas beneran nggak apa-apa nunggu di sini?" Mutia memandang penuh perhatian pada suaminya ketika mereka sampai di dekat pintu masuk sebuah cafe di pusat perbelanjaan.
"Iya," Enoch tersenyum geli melihat wajah istrinya yang terlalu serius. "Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa titipin aku ke sana. Per-jamnya tujuh puluh lima ribu," pria itu menunjuk sebuah area bermain anak yang berjarak beberapa belas meter dari tempat mereka berdiri.
"Maksudnya? Emang Mas anak-anak?"
"Emang bukan, tapi wajahmu itu seperti ibu-ibu yang mau melepaskan anaknya sendirian," Enoch mengacak rambut istrinya.
"Oke ...," ujar Mutia berat. "Be good dan jangan kebanyakan kopi!" Mutia menjabat suaminya lalu mencium punggung tangannya.
"Iya ..., adalagi?" Enoch menatap Mutia lembut, sebuah senyum tulus terukir meskipun matanya tetap jahil.
"I love you," ujar Mutia dalam hati, tapi tak mau mengutarakannya lagi. Tidak, jika hanya akan membuat suaminya terbebani. Bukankah sebelum ini tanpa kalimat itu juga semua baik-baik saja?
"Kuusahakan nggak terlalu lama," Mutia mulai beranjak, tapi Enoch menahannya.
"Hati-hati," Enoch mengecup ubun-ubun Mutia sejenak sebelum akhirnya Mutia benar-benar melangkah. Setelah sepuluh langkah, Mutia berbalik dan masih melihat suaminya tetap berdiri di tempatnya. Enoch kembali tersenyum dan melambaikan tangannya. Setelah Mutia masuk ke dalam lift baru Enoch melangkah masuk ke dalam cafe. Hari ini Mutia ada janji untuk menemani kliennya berbelanja kebutuhan interior untuk mewujudkan hasil rancangan Mutia. Mereka akan bertemu di salah satu toko yang menyediakan berbagai pernik dekorasi rumah.
Enoch ingin menjadi suami yang baik untuk Mutia, jika dia tidak bisa memberikan tiga kata itu, maka Enoch akan memberikan hal lain sebagai gantinya. Hingga Mutia tidak akan merasakan kekurangan meskipun kalimat sederhana itu tak pernah terucap.
###
"Sudah selesai?" tanya Enoch ketika Mutia menjatuhkan diri di sofa tempatnya duduk. Cafe di mana Enoch menunggu tidak terlalu ramai dan dia memilih duduk di salah satu sudut dengan sofa yang nyaman.
"Sudah ...," jawab Mutia lelah sambil menyambar frappe milik Enoch dan langsung mengerutkan muka ketika mengecap pahit.
"Kamu menemani belanja klien?" Enoch kembali bertanya dan Mutia mengangguk. "Terus itu apa?" pria itu menunjuk dua kantong plastik di dekat kaki istrinya.
"Hehe ...," Mutia hanya tertawa kecil dan menyembunyikan wajah di bahu suaminya. "Apartemen Mas masih terlalu polos."
"Apartemen kita," koreksi Enoch sambil meremas tangan Mutia. "Siap belanja lagi?"
"Siap!" Mutia langsung duduk tegak, bersemangat.
"Dasar wanita!"
"Tapi kita mampir ke atas dulu ya. Ada lipstik yang baru di-launching, siapa tahu sudah tersedia di counter."
##
Enoch melangkahkan kakinya di toko kosmetik itu, mengikuti Mutia yang sudah masuk terlebih dahulu. Sebenarnya Mutia sudah menawarkan agar Enoch menunggu di cafe tadi saja, atau menunggu di luar saja, karena Mutia sepertinya akan lama berada di toko itu. Namun, pria itu menolak dan memilih ikut masuk. Meskipun sekarang dia merasa menjadi satu-satunya pria di sana. Well, sebenarnya ada satu lagi makhluk berjenis kelamin laki-laki di toko besar itu, tapi dengan bulu mata palsu yang lebih heboh dari ekor merak, Enoch tetap merasa sendirian.
"Ini untuk apa? Kayaknya kamu belum punya?" Enoch menunjuk sebuah kuas yang menurutnya terlampau besar untuk digunakan di muka ketika mereka berdiri di depan rak peralatan make up.
"Oh itu ...," ucap Mutia setelah melihat fan brush yang ditunjuk suaminya. "Itu kuas untuk wajah. Dulu pernah punya, tapi akhirnya kudonasikan. Terlalu besar untuk mukaku." Enoch hanya diam dengan bibir membentuk 'O', sebelum memperhatikan kembali benda-banda ajaib di depannya.
"Padahal kalau pakai ini siapa tahu jadi lebih cepat dandannya," dengan tiba-tiba Enoch menyapukan kuas itu ke wajah Mutia, dan dengan tiga kali usap sudah berhasil mengenai seluruh wajah istrinya.
"Usil banget sih, " ujar Mutia sambil cemberut dan berangjak ke lorong lipstick yang tentu saja diikuti oleh suaminya.
"Kalau semua koleksimu dikumpulin, termasuk yang udah didonasikan, kira-kira akan sebanyak ini nggak ya?" Adalah reaksi pertama Enoch ketika melihat satu lorong hanya berisi lipstik dari berbagai merk dan berbagai warna.
"Yakin beneran ingin aku jawab?" Mutia tersenyum usil, dan akhirnya Enoch memilih diam, sedangkan Mutia melanjutkan perburuannya. Setelah memasukkan sepuluh tabung lipstik, dua kotak bedak, dan sebuah palette eyeshadow ke kerangjang belanja Mutia beranjak ke kasir. Ketika dia meletakkan keranjangnya di counter untuk mengambil dompetnya, Enoch sudah terlebih dulu meletakkan kartu debitnya di hadapan petugas kasir.
"Aku aja," ujar Enoch ketika Mutia melotot ke arahnya.
"Nggak, ini belanjaanku," segera Mutia menghadap petugas kasir, "Pakai kartu saya, Mbak," lanjut Mutia sambil mengambil kartu ENoch dan menyerahkan kartunya sendiri.
"Saya yang bayar." Bicara Enoch terdengar lebih tegas, dia mengambil kartu dari tangan istrinya dan menyodorkannya lagi ke kasir. Membuat wanita penjaga kasirnya kebingungan menatap pasangan suami istri itu.
"Pakai kartu saya, atau saya batalkan semua belanja saya." Mendengar perkataan Mutia itu, sang Kasir langsung mengambil kartu yang disodorkan Mutia. Ketika Kasir memproses Mutia menatap suaminya yang, untuk pertama kalinya, terlihat marah. Menarik napas sejenak, Mutia menyentuh lengan suaminya.
"Jika ada api, jangan dilawan dengan api," terngiang ucapan Murnita di kepala Mutia.
"Mas ...," Mutia berkata pelan tapi tak dilanjutkan karena Kasir telah selesai mengemas.
##
"Mas marah?" tanya Mutia setelah mereka berjalan keluar, tapi tak ada jawaban. "Maaf jika membuat Mas bersinggung." Enoch tidak mengatakan apapun tapi Mutia tahu suaminya mendengarkan. "Bukan aku menolak pemberian Mas. Tapi yang kubeli tadi bukan untuk keperluan pribadi," Mutia mengambil jeda. "Jika Mas membayar belanjaku tadi, bisa dibilang Mas membelikanku perlengkapan kantor yang seharusnya disediakan oleh perusahaan jika aku bekerja."
Enoch masih terdiam, berusaha mencerna kata-kata istrinya.
"Sebagian besar belanjaku di sana, bukan untuk kebutuhanku, karena aku tahu aku tak butuh lebih banyak lipstik, foundation, atau yang lainnya. Aku belanja untuk melakukan pekerjaanku, aku mendapatkan uang dari melakukan itu, dan ada sebagian uang yg kuterima akan kubelanjakan lagi."
"Oke," Enoch menghela napas sebelum melanjutkan. Dia tak pernah berpikir memberikan sesuatu kepada wanita menjadi sangat rumit, tapi jika dia memaksakan pemberiannya kepada wanita seperti Mutia, wanita itu tak akan menyukainya. Itu akan melukai independensinya. "Tapi untuk kebutuhan lain, kamu tak perlu menggunakan uangmu sendiri," ucap Enoch final.
**
A/n merasa kurang feel untuk chapter ini. Sepertinya memang susah buatku kalau di tengah menulis terpotong oleh kegiatan lain.
Maafkan, semoga part berikutnya bisa lebih baik.
Terima kasih sudah mampir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top