11. Obligatory

"Mas ...," ucapan Mutia membuat Enoch hendak memandang wajah istrinya yang sedang terdiam di bahunya. Kesunyian yang mereka bagi, dan frustasi yang timbul hingga Mutia menggelengkan kepala di pelukannya membuat Enoch bertanya-tanya. Mutia adalah wanita yang secara jujur mengungkapkan dirinya, tapi Enoch belum mengenal semua sisi istrinya. Seperti berlian yang mempesona, memantulkan cahaya, tapi juga mempunyai banyak sisi yang berbeda.

"I love you," ucap Mutia tanpa mengangkat kepala.

Tiga buah kata sederhana yang keluar dari mulut Mutia membuatnya membatu, pikirannya melayang ke langit Jakarta. Terdiam tanpa dapat menjawabnya. Dia tak pernah menyangka akan menemui tiga kata itu lagi. Tidak, dia tahu suatu saat dia akan menghadapi kata-kata tersebut, tapi tidak sekarang, tidak secepat ini. Cara Mutia memperlakukannya dengan baik, penghargaan yang wanita itu berikan, pelayanan yang dia sediakan adalah ejawantah dari pengabdian seorang istri. Namun, apakah tiga kata itu juga mengambil peran dari perilaku Mutia?

Kalimat pendek itu membuatnya terkejut karena dalam dua bulan pernikahan mereka ini, mereka seperti dua sahabat yang sedang berusaha saling memahami. Berusaha saling memenuhi kebutuhan masing-masing tanpa perasaan egois. Tapi kini, perasaan sesak menghimpit rongga dada Enoch. Dia tidak siap dengan ini, dan entah kapan dia akan siap.

"A ...," Enoch berusaha menjawab tapi tak tahu jawaban apa yang akan diberikannya. " A ...," lagi-lagi mulut Enoch tertutup tanpa berhasil membentuk kata. " Lo ...."

"Ck ...," Mutia mengangkat kepalanya, memandang sejenak ke mata suaminya. "Kamu nggak harus membalasnya, it's not an obligatory." Mutia tersenyum, tapi tak sampai ke matanya. Apapun yang wanita itu sedang rasakan, sedang berusaha ditutupi. Kini yang sedang berusaha tampil di hadapannya adalah Mutia yang tak acuh dengan perasaan. "Aku nggak mengharapkan balasan dari pernyataanku barusan. Itu bukan sebuah kewajiban suami. Kewajibanmu adalah memperlakukanku dengan baik. Dan tanpa ketiga kata itu, kamu tetap suami yang baik."

Pernyataan Mutia seharusnya membuatnya lega, seharusnya. Namun nyatanya dadanya semakin sesak. Mengetahui bahwa dia tidak bisa memberikan apa yang Mutia inginkan, setelah istrinya memberikan banyak hal, dia merasa menjadi pecundang. Tapi bagaimana mungkin dia bisa memberikan sesuatu yang dia tak miliki? Sesuatu yang telah dia serahkan sukarela tapi dibawa pergi begitu saja.

Jika saja dia bertemu dengan Mutia lebih dulu, dan mendapatkan pernyataan dari wanita luar biasa di sampingnya, Enoch bisa menjadi pria yang paling bangga karena mendapatkan cinta Mutia. Tapi kini, setelah apa yang terjadi dengannya dia tak tahu harus bersikap bagaimana. Bangga 'kah? Atau merasa payah. Andaikan dia masih memiliki hatinya utuh ketika bertemu Mutia.

"Maaf," hanya kata itu yang mampu terucap kini. Ada banyak yang ingin Enoch katakan, tapi dia tak bisa mengucapkannya.

"Don't be," Mutia menangkupkan tangan ke pipi suaminya. "Bukankah dulu aku pernah bilang, jika kita tak bisa mengendalikan perasaan orang lain? Aku tak bisa mengendalikan perasaan Mas, dan aku tak ingin Mas terbebani dengan itu." Mutia mengecup bibir suaminya pelan. "Seharusnya aku yang minta maaf, jika pernyataanku tadi membuat tidak nyaman," senyum tulus Mutia tampilkan bersama tatapan lembut penuh pengertian. Inilah yang membuat dia dulu menerima perjodohan. Betapa egoisnya dia.

Menghela napas perlahan Enoch kembali mendekatkan wajah ke istrinya, "Don't be." Kini Enoch yang mengecup bibir Mutia. Karena aku yang bersalah. Enoch menunduk semakin dalam, merasakan pahitnya kopi yang sempat diminum Mutia dari gelasnya.

##

"Pagi ...," ujar Mutia merdu ketika menemui suaminya sudah sibuk di dapur. Sebuah kecupan ringan tapi bersuara keras dia berikan pada pipi Enoch yang sedang mempersiapkan kopinya.

"Susu coklatmu ada di kulkas ya," ujar Enoch tanpa mengalihkan pandangan karena sibuk dengan takaran kopi yang tepat.

"Wow ..., terima kasih." Sebuah ciuman kembali mendarat di pipi Enoch sebelum Mutia bergegas ke kulkas dan mengambil tumbler ukuran sedang yang bertengger di pintu. Mutia sudah mempunyai racikannya sendiri untuk menciptakan susu coklat yang sempurna baginya, semua bahan dan proporsinya harus sama, jika tidak dia akan mengulangnya dari awal. Dan setelah dia membagi resep itu dengan suaminya, kini hampir tiap pagi Enoch yang membuatnya. Well, Enoch memang suka menyiapkan minuman, itulah kenapa dia menjadi barista.

Menenggak minumannya beberapa teguk, Mutia kini mengamati isi kulkasnya yang terlihat kosong. "Ingatkan aku untuk groceries shopping nanti siang ya," Mutia mengambil beberapa butir telur, kubis, tomat, timun, dan sebuah botol kaca berisi bumbu halus yang dia siapkan seminggu sekali.

"Mau belanja di mana?" Enoch mulai menyesap minumannya.

"Online mungkin," Mutia hanya angkat bahu dan meraih peralatan masak. Menu sarapan kali ini nasi goreng.

"Baagaimana kalau kita belanja bersama? Belum pernah 'kan?" Enoch menyisih dari dapur dan memilih duduk di bangku meja makan, memberikan ruang untuk Mutia agar lebih bebas bergerak.

"Oh, belum pernah ya?" cara Mutia mengatakannya dengan ringan membuat Enoch tidak nyaman, tapi segera ia enyahkan rasa itu.

"Belum."

"Oke, nanti ketemu dimana? Bakalan ribet kalau aku harus pulang dulu baru kita berangkat belanja. Aku ada janji ketemu client di ...."

"Hari ini kuantar aja, jadi kita bisa langsung belanja ketika urusanmu selesai," potong Enoch cepat.

"What? Emang Mas nggak ada kerjaan di Crunch?" Mutia meletakkan pisaunya dan berbalik melihat suaminya yang sedang tersenyum lembut padanya.

"Nggak ada. Aku nggak harus ke sana tiap hari, Mut."

"Tapi Mas juga nggak perlu antar aku kemana-mana," kedua tangan Mutia berada di pinggang.

"Iya, tapi aku pengen tahu gimana kalau kamu lagi kerja. Aku pengen tahu lebih banyak tentang kamu, Mut."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top