10. Three Small Words
“Ini.” Mutia menyerahkan sebuah map kepada suaminya. Makan malam telah selesai dan sekarang dish washer sedang menjalankan tugasnya.
“Apa?” Enoch menerimanya sambil menggeser tubuhnya di sofa, memberi ruang untuk Mutia duduk di sisinya.
“Daftar kebutuhan untuk interior Crunch. Semuanya dari langgananku, jadi udah harga termurah karena tanpa komisi juga.” Mutia mengambil gelas kopi dari tangan Enoch, menyeruputnya tapi kemudian merengut. Dia masih belum bisa menikmati kopi tanpa gula.
“Oke, langsung eksekusi aja kalau kamu sempat.” Enoch membuka map dan melihat sekilas tabel yang tertera.
“Nggak diperiksa dulu?” Mutia menatap heran kepada suaminya. “Lagipula, kenapa keputusannya di aku?”
Enoch duduk menyamping agar dapat memandang ke arah istrinya, “Aku percaya kamu. Lagi pula kamu juga pemilik Crunch jadi ….” Enoch terbawa cara Mutia menyebut nama cafe mereka.
“Tunggu,” Mutia memotong pembicaraan. “Sejak kapan aku jadi pemilik Crunch?” pertanyaan yang membuat Enoch bingung tapi akhirnya tersenyum.
“Tentu saja setelah menikah denganku. Kamu istriku, Mut.” Enoch mengacak rambutnya gemas. “Jadi semua milikku juga jadi milikmu.”
“Aku bukan orang yang punya prinsip ‘milik suami adalah milik istri, milik istri adalah milik istri’, aku pernah menyampaikan itu’kan?”
“Iya, kamu pernah bilang itu di pertemuan kita yang kelima.” Ucapan Enoch membuat Mutia tertegun sejenak karena Mutia sendiri tidak yakin kapan dia mengatakan hal itu. “Tapi bukan berarti seorang suami tak bisa berbagi kepemilikan dengan istrinya ‘kan? Aku berniat ke notaris untuk mengurus beberapa surat and include your name on them.”
“You don’t have to do it, you know. It’s not an obligatory ….” haru menyusup di dada Mutia sekaligus perasaan tidak nyaman. Dia tak pernah memikirkan ini. Membagi kepemilikan berarti membagi tanggungjawab. Dia tidak mungkin hanya diam saja ketika suaminya menyatakan bahwa usaha yang Enoch rintis kini menjadi tanggungjawabnya juga. Dia suka ketika membantu suaminya mengurus Crunch and Hunch, tapi hanya sekedar membantu, bukan memiliki. Mutia masih sangat menyukai pekerjaannya saat ini.
Sepertinya Enoch memahami apa yang di kepala Mutia, mengusap kepala istrinya perlahan dia berkata, “Kamu nggak harus bekerja di Crunch, kamu masih tetap bisa menjadi desainer interior juga beauty influencer. Aku hanya ingin kamu menjadi bagian Crunch, dulu aku membangun Crunch bukan untukku sendiri tapi juga untuk keluarga yang akan kubangun …,” ada jeda dan ekspresi asing yang tak dikenali Mutia dari wajah Enoch, ekspresi yang membuat Mutia merasa tidak nyaman.
“And now you’re here,” kalimat itu bukan ditujukan kepada Mutia, tapi pada dirinya sendiri. Dada Mutia sakit, seperti sebuah pukulan menghantamnya. Tapi dia tak mengatakan apapun dan memilih menyandarkan kepalanya di bahu Enoch. Memeluk badan Enoch rapat.
Selama mereka saling mengenal, hanya sekali Enoch membicarakan tentang hubungannya dengan wanita. Hanya sekali, yaitu ketika pria itu mengatakan akan menerima perjodohan mereka. Setelah itu Enoch bersikap seolah tak pernah mengatakan apapun, dan Mutia juga tak ingin mengungkitnya lagi. Bagi Mutia wanita pencuri itu adalah sebuah episode di masa lalu Enoch yang sudah selesai, yang tak perlu dibahas lagi.
Dan kini, mendengar bagaimana Enoch mengucapkan kalimat terakhir tadi, nyeri mengalir dalam tiap nadinya. Mutia selalu berpikir bahwa dia tak pernah takut untuk kehilangan, tapi kini? Mutia kembali mengeratkan pelukannya. Dia harus melakukan sesuatu.
Dari awal perkenalannya dengan Enoch, dia tak pernah mengharapkan tiga kata itu. Tiga kata yang selama ini dia anggap tidak penting dan sering dia saksikan menjadi beban dalam tiap hubungan. Dia tak peduli kata-kata, karena baginya yang terpenting adalah bagaimana sikap kita.
Dan apakah bila kata-kata itu terucap, apakah itu adalah kata yang jujur? Bukan sekedar kata-kata untuk menyelamatkan dirinya yang sedang terombang-ambing dalam ketidak pastian. Karena saat ini, dia pun belum yakin dengan perasaannya sendiri.
Tapi sisi lain dari kepalanya menantang, bukankah kata-kata merupakan sugesti? Jika terus menerus diucapkan, terus menerus diulang dia bisa menjadi sebuah kenyataan. Jikapun itu adalah kebohongan, bukankah itu adalah kebohongan yang diijinkan? Jika Enoch tak ingin memulainya, mengapa bukan Mutia yang memulainya? Bukankah Mutia menginginkan pernikahan ini berhasil?
Mutia menggelengkan kepalanya, berharap perdebatan di kepalanya mereda.
“Kenapa?” Enoch menjauhkan kepalanya sehingga bisa memandang wajah istrinya yang tiba-tiba menggeleng di pelukannya.
“Nggak apa-apa,” ujar Mutia kembali meletakkan kepalanya di bahu Enoch, menghela napas berat.
Kopi Enoch sudah mulai dingin tapi mereka tetap duduk di sofa yang menghadap balkon itu. Memandang langit malam Jakarta yang pucat karena polusi cahaya dari jutaan lampu, juga asap yang berkabut.
“Mas …,” kata Mutia lirih, mempererat pelukan mereka dan tanpa pengangkat kepala Mutia mengatakannya. “ I love you.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top