Undangan

Budayakan vote dan komen setelah membaca👌
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Kertas sederhana yang mampu membuatku terluka. Yaitu undangan pernikahanmu dengannya.
~Soraya Bela~

Bela duduk termenung di salah satu kursi yang ada di Star kafe. Tangannya mengaduk-aduk sedotan yang ada dihadapannya. Matanya tidak pernah berhenti menatap pintu masuk. Dia seperti orang yang sedang mengabsen setiap pengunjunh yang masuk. Namun, hal sebenarnya yang dia lakukan bukan itu melainkan menunggu kehadiran kekasihnya.

Semalam mereka telah membuat janji untuk bertemu. Lebih tepatnya Bela yang menginginkan mereka untuk berkencan. Karena dia tahu kekasihnya tidak akan lama berada di Surabaya karena dia harus kembali bekerja di Bandung. Bela memberanikan diri untuk membuat janji temu dengan Vano. Dan dia merasa senang karena Vano langsung menyetujuinya.

Seorang laki-laki tampan sedang berjalan santai masuk ke Star kafe. Lengannya tampak digandeng oleh seorang perempuan yang usianya sepantaran dengannya. Mereka terlihat seperti pasangan kekasih yang akan makan siang bersama. Banyak pasang mata yang memandang ke arah mereka. Lebih banyak pandangan kagum yang mereka terima dari mata para pengunjung.

Bela menghentikan tangannya yang sedang mengaduk sedotan. Dia memasang wajah datar dan memandang orang yang seperti sepasang kekasih itu. Pikirannya menjadi tidak enak melihat hal itu. Dia merasa ada yang salah dalam hubungan percintaannya dan persahabatannya.

Pasangan yang menjadi pusat perhatian itu tak lain adalah Vano dan Dina. Mereka berjalan mendekat ke arah Bela yang sudah beberapa menit yang lalu menunggu mereka. Tidak, Bela tidak menunggu mereka. Namun lebih tepatnya Bela hanya menunggu kehadiran Vano.

Bela menatap tangan Dina yang melingkar di lengan Vano. Dina merasa santai saja dengan pandangan Bela. Dia merasa tidak sungkan menggandeng tangan kekasih orang lain di hadapan kekasihnya sendiri. Tangan Bela mengepal, namun dia mencoba menahan emosinya. Dia berpikir jika mereka terlalu dekat berteman hingga tidak ada jarak diantara mereka.

"Silakan duduk." Kata Bela datar. Sesekali matanya melirik lengan Dina yang masih melingkar dilengan Vano.

"Maaf ya kamu menunggu lama." Kata Vano dengan tidak enak hati. Dia telat menemui Bela karena ulah Dina yang seakan-akan sengaja mengulur-ulur waktu.

"Nggak papa kok." Jawab Bela dengan tersenyum.

Meja berbentuk bulat itu sudah dikelilingi oleh tiga orang. Semuanya memilih untuk tidak mengeluarkan suara. Bela memilih untuk diam karena dia masih terpikir bayangan Vano yang digandeng oleh Dina. Sedangkan Vano menjadi bingung dan canggung dengan Bela karena dia merasa tidak enak dengan Bela yang melihat lengannya digandeng oleh Dina. Dina sengaja tidak mengeluarkan suara karena memang dia tidak suka berada di sini, kalau bukan karena mereka akan menyelesaikan masalah, dia tidak akan mau pergi ke sini.

Keheningan yang terjadi di meja nomor 10 itu membuat Bela merasa tidak nyaman. Bukan suasana ini yang dia inginkan. Niatnya mengajak Vano bertemu karena dia ingin melepas rindu bukan saling membisu.

"Ehem ..." Dehem Bela singkat. "Aku nggak nyangka kamu juga ikut." Kata Bela kepada Dina. Dia mencoba mencairkan suasana.

"Iya, Vano yang ngajak aku kesini." Jawab Dina sekilas.

Bela menyunggingkan senyum sambil menatap Vano. Dia ingin meminta kejelasan kepada kekasihnya itu. Apa maksudnya membawa Dina sekarang, padahal semalam dia sudah mengatakan kalau dia ingin bertemu berdua saja.

"Sebenarnya ada sesuatu yang harus kami sampaikan ke kamu. Jadi, menurut aku lebih baik Dina juga ikut untuk meluruskan semua ini." Kata Vano pelan. Terlihat kegugupan yang ada diwajahnya.

Bela terdiam. Dia tidak mengerti dengan ucapan kekasihnya itu. Sesuatu apa yang akan mereka sampaikan dan masalah apa yang harus mereka luruskan? Bela penasaran namun dia berusaha untuk tetap tenang.

Vano menyenggol lengan Dina pelan. Matanya mengisyaratkan sesuatu hingga Dina paham apa yang dimaksud oleh Vano. Dina membuka tasnya pelan. Menyerahkan sebuah kertas berwarna tosca yang ada fotonya dengan Vano. Dia mendorong kertas itu hingga berada tepat di hadapan Bela.

Sedikit demi sedikit Bela membaca tulisan besar yang ada di bagian atas kertas itu. Kertas yang masih dibungkus oleh plastik itu mendapatkan tatapan tajam dari mata Bela. Seketika dada Bela menjadi sesak. Dia tidak ingin mempercayai semua ini, namun kenyataannya memang ini yang terjadi. Nama kekasihnya terpampang jelas di sana dengan nama sahabatnya. Bahkan foto mesra mereka berdua juga tersemat jelas di sana. Senyum lebar mereka dalam kertas itu seakan-akan sedang menertawakan luka yang dirasakan oleh Bela saat ini.

Bela menatap kedua orang yang ada di hadapannya itu. Matanya berkaca-kaca menahan air mata yang akan keluar. Hatinya terasa sakit mengetahui jika dua orang yang dia percayai justru mengkhianatinya. Tanpa rasa kasihan mereka menggores luka dihati Bela.

Secarik kertas yang sukses memporak-porandakan hati Bela. Dia tidak ingin mendapatkan kertas ini. Kertas undangan pernikahan kekasihnya dan sahabatnya sendiri.

"Maaf." Satu kata yang terucap dari bibir Vano. Melihat wajah sedih Bela membuatnya tidak tega. Apalagi melihat air mata yang sudah menetes dipipi Bela membuatnya ingin menghapusnya. Namun dia merasa tidak enak hati dengan Dina. Bagaimana pun juga, Dina adalah calon istrinya.

"Semua terjadi begitu saja." Kata Dina datar. Dia tidak mengucapkan maaf atau mencoba menjelaskan.

"Sejak kapan kalian memiliki hubungan?" tanya Bela lirih. Sejujurnya mengetahui undangan ini membuat hati Bela sudah sakit, apalagi kalau dia mendengar cerita percintaan kekasihnya dan sahabatnya, pasti dia akan merasa lebih sakit.

"Kami tidak memiliki hubungan khusus." Jawab Vano mencoba membela diri.

"Lalu bagaimana bisa kalian akan menikah jika hubungan kalian sebatas teman?" tanya Bela mulai emosi. Sedari tadi dia mencoba menahan emosinya namun melihat reaksi Vano membuatnya ingin menghabisi lelaki itu.

"Kami menikah karena dia hadir." Kata Dina dingin. Tangannya mengusap perutnya yang masih terlihat datar.

Bela memelototkan matanya. Dia menutup mulutnya yang menganga karena terkejut dengan apa yang baru saja dia dengar dan dia lihat. Ucapan Dina memang masih ambigu, namun Bela bukanlah orang yang bodoh. Dia peka dengan apa yang dia lihat dan dia dengar.

Bela menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Menerima kenyataan jika kekasihnya akan menikah dengan sahabatnya sudah membuat hati Bela sakit. Dan sekarang dia harus menerima kenyataan jika kekasihnya menghamili sahabatnya sendiri. Sungguh takdir benar-benar mengejutkannya. Sedikit pun tidak pernah terlintas dipikiran Bela tentang hal ini. Namun mengapa dia merasakan hal yang tidak pernah dia duga sebelumnya?

"Maafkan aku. Aku tidak sengaja melakukan hal itu." Kata Vano dengan menggenggam tangan Bela.

Bela mengibaskan tangan Vano. Dia merasa jijik tangannya dipegang oleh laki-laki yang mengkhianatinya. "Sengaja atau tidak, kamu sudah berhasil menghamilinya." Bentak Bela dengan keras. Seketika mereka menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung yang ada di kafe itu.

Dina menundukkan kepalanya. Dia merasa malu dengan pandangan jijik yang dilontarkan pengunjung lain kepadanya berbeda dengan pandangan yang dia dapatkan saat baru menginjakkan kaki di kafe ini. Dia sadar jika dia telah melakukan kesalahan, tapi menerima pandangan seperti itu membuatnya merasa tak nyaman.

"Jaga mulut kamu. Ucapanmu yang keras itu mempermalukan aku dan Vano." Kata Dina pelan menegur Bela.

"Kamu yang harusnya menjaga sikap kamu. Kamu tidak lupa, 'kan jika Vano sudah memiliki kekasih? Lalu kenapa kamu menggodanya?" Ucap Bela tanpa memelankan suaranya.

"Kamu jangan nyalahin aku saja. Vano juga salah dalam masalah ini." Jawab Dina tidak terima.

"Laki-laki tidak akan tergoda jika perempuan bisa menjaga dirinya." Kata Bela dengan tajam.

"Kamu juga. Jika kamu bisa menjaga kesetiaanmu padaku, kamu tidak akan pernah tergoda dengan perempuan macam dia." Kata Bela pada Vano.

Vano tidak bisa berkutik sedikit pun. Membela diri pun juga percuma karena memang dia telah melakukan kesalahan. Kesalahan yang fatal yang tidak bisa dia perbaiki lagi. Bahkan dia sadar jika dia tidak akan pernah bisa mendapatkan maaf lagi dari kekasihnya itu.

Bela bangkit dari duduknya. Dia menatap kedua orang di hadapannya itu dengan tajam. Terpampang kemarahan dimatanya. Kekecewaan yang dia rasakan membuatnya merasa tambah sakit. Berada di sini akan membuatnya merasakan sakit berkali-kali lipat.

"Kalian berdua benar-benar menjijikkan." Kata Bela dengan kasar. Dia berjalan meninggalkan meja nomor 10 itu. Dia sedikit berlari sehingga membuatnya cepat sampai dipintu keluar.

Vano hanya bisa memandang kepergian Bela tanpa bisa mengejar. Kemarahan gadis itu tidak akan reda hanya dengan kata-kata manisnya. Kesalahannya benar-benar tidak bisa dimaafkan lagi. Dan kini dia merasa menyesal telah melakukan sesuatu di luar batas itu.

***

Bela masuk ke dalam ruangannya. Dia mengunci pintu agar tidak ada yang mengganggunya. Matanya masih terbayang dengan undangan pernikahan kekasih dan sahabatnya. Rasanya sulit mempercayai apa yang baru saja terjadi. Namun memang kenyataannya mereka akan menikah karena bayi yang dikandung oleh Dina.

Bela merasa sangat dikhianati. Dia selalu menjaga hati dan cintanya hanya untuk Vano. Tapi balasan Vano tidak pernah terbayangkan sebelumnya, dia tega berselingkuh dengan sahabat kekasihnya sendiri. Vano benar-benar membuatnya jijik.

Soal perasaan, memang Bela masih sangat mencintai Vano. Karena memang cinta pertama sulit untuk dilupakan. Dan semua orang pasti setuju dengan hal itu. Seperti yang dirasakan oleh Bela saat ini. Dia masih begitu sangat mencintai Vano walaupun Vano sudah membuat hatinya sakit.

Tok tok tok

Bela menghapus air matanya. Dia mengambil kaca kecil yang ada di dalam tasnya. Menepuk-nepuk pipinya sebentar lalu bangkit dari duduknya. Mata sembabnya tidak terlalu kentara, jadi dia memutuskan untuk segera membuka pintu. Dia tidak ingin membuat tamunya menunggunya lebih lama.

Bela membuka pintu perlahan. Seorang pegawai yang sudah cukup lama bekerja dengannya tersenyum sopan sambil menganggukkan kepala ketika dia membuka pintu. Bela menyunggingkan senyum tipis sebagai balasan.

"Ada apa?" tanya Bela lembut.

"Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Mbak Bel, dia ingin menyewa jasa catering untuk acara nikahan anaknya." Kata pegawai itu menjelaskan.

"Oke. Saya akan ke depan setelah ini." Jawab Bela.

Pegawai itu mengangguk sopan, setelah itu dia meninggalkan Bela yang masih berdiri mematung di depan pintu ruang kerjanya. Dia menuju ke depan untuk kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda karena memberi tahu bosnya itu.

Bela kembali ke ruangannya. Dia mengambil notes kecil dan sebuah pena untuk dia gunakan mencatat segala hal yang berhubungan dengan pernikahan kliennya. Setelah itu Bela berjalan agak terburu-buru keluar dari ruangannya. Dia tidak ingin membuat kliennya menunggunya terlalu lama.

Bela mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut restorannya. Dia mencari sosok orang yang sudah menunggunya untuk menyewa jasa cateringnya. Matanya menatap sosok yang dia cari. Seorang perempuan paruh baya duduk di salah satu kursi yang ada disusut ruangan. Tangannya membolak-balik album foto kue tart pengantin. Bela tersenyum melihat wanita itu, dia melangkahkan kakinya untuk mendekati wanita itu.

"Selama siang, Bu." Sapa Bela ramah.

"Selamat siang." Jawab wanita itu sambil melihat Bela.

Bela terdiam. Dia sedikit terkejut melihat kliennya ini. Bela sangat mengenal wanita ini, karena dulu Bela sering main ke rumah wanita itu. Ya, wanita itu adalah ibunya Dina, sahabatnya yang tega mengkhianatinya. Hati Bela merasa tidak enak, dia yakin setelah ini akan terjadi hal yang membuatnya tidak enak hati.

"Bu Sari." Panggil Bela pelan.

"Kamu apa kabar, Bel?" tanya Sari ramah.

Bela tersenyum, "Alhamdulillah Bela baik, Bu. Bu Sari sendiri sehat, 'kan?" tanya Bela ramah.

"Iya, Ibu sehat kok." Jawab Sari.

"Ini rumah makan kamu?" tanya Sari pelan.

Bela mengangguk, "Iya, Bu." Jawabnya.

"Ibu baru tau kalau kamu punya rumah makan yang terkenal di kota ini." Kata Sari memuji Bela.

"Ini tidak seberapa kok, Bu. Masih banyak yang lebih terkenal dari ini." Jawab Bela merendah. Dia tidak ingin merasa tinggi hari karena sebuah pujian dari seseorang.

Bela membuka sebuah rumah makan dan kafetaria kecil. Kedua tempat itu berdampingan sehingga Bela tidak kewalahan jika dia ingin mengecek keadaan tempat usahanya itu. Sejak lulus kuliah, dia memutuskan untuk menjual tanah peninggalan ayahnya dan dia gunakan sebagai modal usaha. Dengan kerja kerasnya, akhirnya dia bisa membuat usahanya semakin besar dan sudah banyak dikenal banyak orang. Dan sekarang, Bela sudah berhasil membeli lagi tanah peninggalan ayahnya itu.

"Jangan merendah seperti itu. Ibu ikut bangga lihat kamu punya usaha seperti ini padahal usia kamu masih muda." Kata Sari lagi.

Bela hanya tersenyum sambil menundukkan kepalanya. Dia tidak menjawab lagi.

"Oh iya, Bel. Kamu sudah tau, 'kan, kalau Dina akan menikah?" tanya Sari memastikan.

Hati Bela seketika terasa sesak. Dia kembali teringat dengan kenyataan jika sahabatnya dan kekasihnya mengkhianatinya. Mata Bela terasa panas, dia ingin menangis mengeluarkan semua kesedihannya namun keberadaan Sari di sini membuat Bela mengurungkan keinginannya.

"Sudah, Bu." Jawab Bela singkat sambil menganggukkan kepalanya.

"Nah, Ibu mau pesan jasa catering kamu untuk pernikahan Dina. Sekalian Ibu mau pesen kue tart untuk pernikahan Dina juga." Kata Sari mengutarakan tujuannya datang ke rumah makan Bela.

Bela tersenyum kecut. Firasatnya tadi benar jika kedatangan Sari hanya membuat dia merasa sakit hati. Namun karena Sari adalah kliennya, dia tetap harus bersikap sopan dan menanggapi perempuan ini.

"Kamu bisa, 'kan?" tanya Sari lagi.

"Bisa, Bu. Ibu tinggal pilih aja menu apa yang Ibu inginkan lalu Ibu pilih juga tart seperti apa yang Ibu inginkan." Jawab Bela ramah. Dia mengesampingkan dulu sakit hatinya, saat ini dia akan bekerja secara profesional.

Bela memandang notes berisi menu makanan yang dipilih Sari untuk acara pernikahan Dina. Bela tidak menyangkan jika dia harus memasak dan mengurus catering diacara pernikahan kekasihnya dan sahabatnya. Padahal Bela berniat untuk tidak hadir diacara pernikahan itu, tapi sekarang dia diberi tanggung jawab untuk mengurus catering. Mau tidak mau, sanggup tidak sanggup, Bela harus menjalankan pekerjaannya secara profesional.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top