5. Memori Kepastian

Jalanan tengah berada di akhir keramaian di mana volume kendaraan yang lewat semakin berkurang. Bunyi-bunyi klakson dan deru mesin hampir menyatu dengan heningnya malam. Tidak aneh mengingat di kawasan bandung utara ini, jam delapan ke atas selalu sepi kecuali akhir pekan. Percuma saja berlama-lama di pinggir jalan menanti angkutan umum lewat, bahkan sejak naik malam mobil itu sudah jarang lalu-lalang.

Dari kejauhan Jehian hanya merasakan getir dengan apa yang Riani lakukan. Di sisa hujan yang masih terasa dingin tambah udara malam serta kawasan bandung atas yang memang lebih dingin dari tempat lain, harus menunggu tanpa pasti angkutan umum dengan rute arah rumahnya sendirian di bahu jalan. Jika gadis itu memiliki jiwa yang lemah, mungkin sudah dari lama dia menangis.

Pasalnya Jehian tahu Riani tidak mudah menangisi keadaan-tidak menghitung waktu dia mencampakkannya. Seingatnya dulu walau Riani sempat mengeluh ada demo angkutan umum sehingga memasrahkan diri jalan kaki, perempuan tersebut tetap menjalaninya tanpa menunjukkan keberatan.

"Sekarang kamu berdiri di sana hampir satu jam," ucap Jehian bergeleng kepala. Sudah beberapa kali dia memeriksa waktu, menahan diri menghampiri Riani setiap kelipatan lima menit demi menunggu gadis itu mendapatkan kendaraan.

Jehian menghela napas lalu memakai helmnya. Dia memacu pelan kendaraan beroda dua tersebut sampai berhenti di depan Riani.

"Kenapa kamu masih di sini?" tanya Riani sambil memberi jarak kedatangan motor Jehian.

Alih-alih menjawab, setelah Jehian melepas helm, pemuda itu malah mengatakan, "Ini udah malam banget, aku gak yakin masih ada angkot sambungan ke arah rumah kamu, masih mau nunggu angkot?"

Riani menghindari kontak mata Jehian setelah perkataannya menguak jelas kenyataan. Maka dari itu Riani akan selalu cepat-cepat pulang seusai kuliah sore karena takut kendaraan makin jarang. Akan tetapi, kali ini memang kegiatannya menyita banyak waktu sehingga mau tak mau ia pulang saat gelap.

Perempuan berkulit kuning langsat itu menggeleng. "Aku mau pesan gojek."

Jehian tersenyum kecut memandang Riani yang bahkan tak mau melihatnya sedikitpun. Tangannya mengambil helm lain dan menyodorkan di depan Riani yang tengah membuka gawai. "Aku antar setengah jalan sampai perbatasan, di sana masih banyak angkot ke rumah kamu, kan?"

Namun, helm yang dia berikan hanya Riani pandang tanpa berniat mengambilnya. Jehian lagi-lagi mengembus napas pasrah. "Terlepas masalah kita, aku gak ada maksud lain untuk nganter kamu pulang."

"Baiklah, tapi sampai perbatasan aja," ujar Riani mengambil helm tak asing dari tangan Jehian.

Satu yang muncul dalam pikiran Riani. Kenapa sama persis? Tentang sebuah memori pertama kalinya mereka mendekat pada satu sama lain.

"Ni, mau bareng?"

Waktu kemunculannya tiba-tiba di samping Riani yang baru keluar gerbang sekolah, hampir membuat gadis itu tercengang. Riani mengenal orang ini, sosok yang pernah diberitahukan temannya sebagai orang paling jenius di angkatan mereka. Akan tetapi, mereka baru saja melalui dua minggu pertama di kelas sebelas dan seorang Jehian kini mengajaknya pulang bersama.

Jehian Peter, lelaki yang membuat anak kelasnya berbondong-bondong meminta bantuan memecahkan soal fisika. Saat itu cuma Riani saja yang tidak tahu dia dan baru setelah sekelas, ia sadar eksistensi Jehian.

Malu-malu Riani menaikki tempat kosong di belakang Jehian. Bodohnya memang ia tidak menjawab dulu melainkan langsung naik.

Anggap aja aku naik sama dengan setuju, batinnya ingin meremas muka yang tak tahan tersenyum-senyum.

Eh tunggu, dia manggil aku Ni?

Namun, pertanyaan dalam benak Riani melayang begitu saja sebab pikiran itu diisi dengan rasa penasarannya akan sikap tiba-tiba Jehian. Sama halnya dengan Jehian, bagi pemuda tersebut untuk melakukan aksi dari keinginannya sejak awal sekelas bersama Riani benar-benar mendebarkan jantungnya, tetapi dia sangat puas sampai-sampai tak kehilangan senyum setelah mengantar gadis yang tengah dia sukai.

"Rumah aku jauh banget, Jehian. Kayak ujung ke ujung kalau kamu antar aku sampai sana."

Riani melihat Jehian menggeleng kecil dari belakang. Pemuda itu menyahut santai, "Enggak apa-apa, aku sekalian mau ke saudara dekat rumah kamu."

"Oh," ujar Riani singkat tak tahu harus berkata apa. Perasaannya sungguh tak karuan hanya dengan berbagi obrolan singkat, ia menatap jaket Jehian yang tengah dirinya pegang. "Terima kasih."

Jika Riani yang dulu berwajah datar dapat dengan mudah dibuat tersenyum merona oleh perhatian kecil Jehian, tidak lagi berlaku dengan sekarang. Kenangan paling tidak terlupa, tetapi malah mengundang air mata.

Terlalu menyakitkan untuk diingat, meski itu adalah memori manisnya yang tidak ingin ia hapus.

Dari dulu memang sebagian besar perjalanan mereka di atas motor berlalu tanpa banyak percakapan. Jehian dan Riani menyukai keheningan itu asalkan mereka bersama, tetapi bungkamnya suara mereka sekarang justru membuat suasana semakin canggung.

Riani tidak berpegangan pada baju Jehian, inginnya menjaga jarak, tetapi jarak sejauh apa yang bisa dilakukannya di atas motor. Dalam hatinya pula Riani sangat ragu untuk mengutarakan sesuatu sampai akhirnya ia tidak tahan sendiri.

"Jehian, kenapa mau antar aku?"

"Gak tega lihat kamu pulang malam sendirian,"

Riani menyahutnya hanya dengan berdeham lalu melontarkan tanya lagi. "Terus kenapa kamu masuk WDNL?"

Cukup lama Jehian tidak bersuara sebelum akhirnya menjawab, "Kamu."

"Aku?" ujar Riani rendah sambil menunjuk diri sendiri.

Dalam benaknya, jawaban Jehian merupakan di luar perkiraan Riani. Ia selalu menekankan bahwa sosok yang mengkhianati tak akan pernah melalui fase sulit perpindahan hati alias gagal move on. Akan tetapi, Riani jadi memikirkan ulang tentang Jehian yang mungkin tidak bisa melupakannya.

Riani bisa termenung tanpa gangguan di dalam angkutan umum, ditambah pula interaksinya dengan Jehian menambah beban pikiran. Namun, setelah ia benar-benar sampai di rumah, Riani tidak membuang waktu masuk ke kamarnya dan mencari sesuatu.

Selebaran We Don't Need Love club-nya yang menganggur di ujung meja.

"Untuk mereka yang telah dikhianati, disakiti, tidak berbalas," ucap Riani membaca satu per satu kriteria orang yang mengikuti WDNL. "Di sini ada lagi, yang baru saja putus atau mengalami patah hati."

Perempuan itu mengernyitkan dahi terhadap bacaan yang ia telaah. "Satu-satunya yang sesuai sama kondisi Ian cuma baru putus, yah kalau selama enam bulan ini dia tidak punya pacar lagi."

Tanisha sendiri yang waktu itu memberinya selebaran WDNL. Berdasarkan yang seniornya implikasikan, pamflet WDNL disebar pada orang tertentu yang terlihat seperti kehilangan diri. Sementara Jehian di mata Riani tidak menunjukkan tanda-tanda yang seperti itu. Bagaimana laki-laki itu bisa tahu WDNL?

"Tidak mungkin untuk orang kayak dia karena putus aja sampai masuk klub ginian, alasannya kurang kuat," gumam Riani terheran.

Alasan!

Seketika bunyi berdenting di kepala Riani terdengar sangat nyata. Alasan, alasan, ya alasan masuk WDNL! Itu ada di formulir data yang dikasih ke Kak Windu!

Riani melempar ke belakang pamflet WDNL tidak lagi peduli dan menggapai tasnya. Mencari-cari gawai yang ia anggurkan selama perjalanan di dalam angkutan umum. Tangan Riani yang terlampau semangat hampir menjatuhkan gawainya kembali ke dalam tas. Ia buru-buru mencari kontak si Kakak tingkat dan mengirimkan pesan.

Riani:

malam, kak, maaf ganggu malam-malam gini
aku mau nanya soal yg kakak bilang ke aku pas kumpul tadi
hubungan peraturan kedua sama list kegiatan yg hangout
terima kasih sebelumnya, kak! ^^

Bahu Riani yang menegang baru bisa rileks sekarang. Entah kenapa ia jadi benar-benar terlalu semangat untuk mencari tahu kebenaran alasan Jehian.Walaupun Riani tidak bisa begitu saja bertanya langsung ke inti mengenai data Jehian, setidaknya hal yang Windu katakan padanya secara pribadi bisa mengantarkan pembicaraan ke sana.

Kak Windu WDNL:

Malam juga, Riani, gapapa saya kalong kok jadi gak keganggu
Boleh gak kamu ketik ulang, peraturan kedua WDNL apa?

Hampir Riani mengumpati Kakak tingkatnya yang selalu bermain tebak dan jawab. Sedikit mengesalkan mengapa pemuda ini tidak bisa langsung saja memberi pembahasan dan malah membuat seperti tengah mengajar anak TK.

Riani:

We could life alone without girl/boyfriend, we are only friend!

itu kak

Tidak butuh waktu lama pesan Riani terbalas. Ia pikir Windu benar-benar tidak memiliki kerjaan lain sehingga begitu cepat meladeninya.

Kak Windu WDNL:

So, apa menurutmu kalau kita hangout satu klub, tapi diantara kita ada yang bukan friend aja?

Riani tertegun kosong saat menerima pesan itu. Berulang kali ia membacanya karena takut salah memahami. Akan tetapi, memang tepat sekali yang ditanyakan Windu padanya.

"Kalau gitu mereka yang bukan 'teman aja' akan punya dunia sendiri pas jalan-jalan bareng." Entah mereka saling berselisih atau memadu kasih, yang pasti tidak dapat sesuai dengan peraturan kedua WDNL.

Peraturan apa penyiksaan ini?!

Denting lainnya menyusul ketika Riani sibuk melamun. Ia tambah terperangah membaca sebaris kalimat yang Windu kirimkan.

Kak Windu WDNL:

So, apa menurutmu kalau kita hangout satu klub, tapi diantara kita ada yang bukan friend aja?

Riani, dengan peraturan ini semua yg ada di klub seharusnya berteman, tidak ada istilah lain

"Apa yang mau dia maksudkan?" tanya Riani sendiri kebingungan. Namun, ia mengingat kembali tujuan sebenarnya menghubungi Windu. Dengan seluruh biodata yang intinya berisi alasan masuk klub serta sebuah kisah cinta terakhir tiap anggota di tangan Windu, pemuda tersebut pasti telah membaca semuanya, termasuk milik Riani dan Jehian.

Riani:

kakak pernah bilang kalau punya hubungan, cuma peraturan kesatu yang berlaku

-

Kak Windu WDNL:

Itu kalau punya hubungan LAGI atau udah move on

Jujur aja, saya tau kamu sama jehian itu mantan dan kalian tidak memenuhi 2 kondisi di atas untuk memberlakukan 1 peraturan

Riani tertawa keras di dalam kamarnya, menertawai kebetulan bertemu mantan, kesialannya digantung Jehian dan kelelahannya bersandiwara seolah-olah tak ada yang tahu rahasianya. Ia berharap bisa segera melepas topeng tidak apa-apanya saat di dalam klub, tetapi butuh lebih dua minggu baru kepalsuannya dibuka.

Riani:

kakak pasti udah nyocokin dataku sama jehian

Balasan Windu terbilang sangat cepat dan amat singkat. Kalau Riani bayangkan orang itu ada di hadapan dia, mungkin cuma terdengar dehamannya saja. Gadis itu memijat pelipisnya lelah. "Kalau tau begini tinggal tanya langsung."

Riani:

kak, aku ngehubungin kakak sebenarnya ingin tau sesuatu
alasan Jehian masuk WDNL

Setelah pesan dengan niat sesungguhnya terkirim, panggilan telepon masuk berdering. Tampak di layar gawainya menunjukkan kontak Windu memanggilnya, yang berarti kakak seniornya mau membahas itu dengan berbicara langsung.

"Iya, halo, Kak," sahut Riani mendengar sapaan dari seberang.

"Kamu mau tau alasan Jehian masuk WDNL dari biodatanya?" tanya Windu lebih seperti memastikan.

Anggukan Riani mungkin tidak terlihat, tetapi ia terlanjur melakukan itu sambil berdeham. "Aku perlu tau alasannya."

Terdengar helaan napas Windu di pengeras suara gawai. Respon tersebut menimbulkan rasa gugup di hati Riani. Khawatir akan sesuatu yang mungkin tidak bisa dibayangkannya.

Setelah lama Riani menunggu, Windu akhirnya bekata, "Maaf, saya gak bisa beberin alasan lengkapnya, tapi intinya karena kamu dan jangan harap kalian bisa balikan lagi."

______________

.

.

.

Jumlah kata: 1690

Bersambung

Ini slowburn banget emang, tapi mulai dari sini ada pergerakan besar

Coba tebak alasan apa yg bikin jehian masuk WDNL?

Jangan lupa tinggalin komen dan vote yaa

Sekian dan Terima kasih

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top