4. Kisah yang Terulang
Riani sudah lupa rasanya bersorak senang terselamatkan dari kekalutan. Meski pada akhirnya ia mendapat tatapan aneh dari sang Kakak tingkat, dirinya tidak bisa memalingkan muka lantaran jika Riani melakukannya, hal itu akan tampak memalukan di hadapan Kak Windu. Mungkin Riani sangat perlu belajar untuk mengendalikan perasaan.
Satu yang aman ia perbuat hanyalah membalas tatapan datar, tetapi sedikit antusias.
"Kayak mau pada ujian, tegang begini," celetuk Windu yang mengambil tempat di kursi dosen. "Kepikiran mantan lagi ya?"
Tanisha langsung berdiri dari kursinya dan menunjuk Windu berapi-api. "Heh! Maneh mau ngomong apa?"
"Apa coba?" tantang Windu jahil. Dia menengok ke arah Riani dan berujar, "Riani, emang tadi aku mau ngomong apa?"
Tentu saja bagi Riani yang belum akrab dengan Kak Windu, tiba-tiba diajak dalam perselisihan konyol ini sangat mengejutkan. Ia hampir ingin menyembunyikan diri di bawah kursi minimalis kuliah saat Kak Windu tersenyum ke arahnya.
"Eh, sepahamku ... mungkin Kak Windu mau ngomong yang nyerempet ke peraturan pertama." Si Kakak ini mau mancing bahas peraturan pertama pakai acara tanya-tanya berhadiah apa?! lanjut Riani terheran-heran dalam hati.
"Tuh Win, tong sok ngabobodo, aku juga nangkepnya langsung ke situ!" timpal Tanisha kesal.
Beberapa anggota yang baru datang dan langsung menyaksikan skandal penuduhan pun hanya bisa tercengang sambil takut-takut mencari tempat duduk. Pasalnya walau telah menilai Kak Tanisha yang terlihat mudah berteman dan Kak Windu yang murah senyum, tetapi keduanya masih orang dengan posisi tertinggi di WDNL, siapa yang tahu kisah apa yang membuat mereka terdampar di sini serta respon seperti apa jika hal sensitifnya disinggung.
Riani juga di sisi lain menatap bingung. Atmosfer yang tanggung ini berbeda dari perkenalan sebelumnya. Apa ini ada sangkut-pautnya sama rumor anak WDNL kena confess di fakultas dirgantara? batinnya menebak-nebak.
Namun, menilai situasi saat ini, yang Riani tebak-tebak mungkin terjadi. Kak Windu tetap mempertahankan pembawaan tenangnya, dia berjalan ke tengah kelas dengan kedua tangan terlipat di atas perut. "Kalian ingat peraturan paling penting di sini?"
Benar, kan! Ini pasti mau bahas rumor! Riani melirik kiri dan kanan, mencari reaksi anggota lain yang mungkin berpikiran sama dengannya. Apalagi saat Kak Windu bertanya, matanya seolah-olah memindai semua orang dengan dingin.
Suara berat di ujung kelas yang pertama menjawab, "Jangan membicarakan tentang cinta, Kak."
"Jehian," gumam Riani pelan ketika tahu siapa yang berbicara. Ia melihat pemuda itu menegakkan punggungnya sambil terus memandang lekat Kak Windu.
"Tepat, Jeh-ian." Windu memenggal nama Jehian saat mengucapnya. Ketegangan semakin terasa kala Windu berjalan mondar-mandir di depan. Semua orang benar-benar menyadari akan ke mana pembahasan ini berlanjut bahkan Tanisha juga tidak lagi menodong pertanyaan.
"Karena kita klub anti cinta, buat apa membahas tentang cinta kalau cinta yang kita kasih disia-siakan, benar?"
Benar sekali. Riani menyetujuinya dalam hati, tetapi ia juga tetap mengangguk tanpa melepas pandangan dari Kak Windu. Matanya melirik Jehian hati-hati. Cintaku untuknya sia-sia selama ini.
Setelah Riani kembali memandang Windu seakan-akan tidak berkedip, Jehian yang giliran mencuri pandang pada sosok gadis rambut panjang bergelombang. Garis bibir di wajahnya turun dan Jehian menunduk dalam.
Suara Windu masih terdengar lantang. "Makanya gak perlu memberi cinta dan kasih sayang punya kita biar gak disia-siakan!" Dia menahan beberapa waktu sebelum ucapan berikutnya dengan perubahan ekspresi.
"Karena lebih baik membagikan kasih sayang dan cinta kita buat orang-orang yang membutuhkan, misalnya para anak yatim piatu yang kehilangan cinta orang tua mereka!"
Riani belum pernah merasa tertipu seperti ini. Jika ia berusaha tetap menjaga pembawaannya sebagai perempuan wajah datar, kini tidak terhindarkan lagi. Wajahnya melongo bodoh dengan mulut menganga. Yang benar aja, aku udah siap-siap kena marah bersama lho ....
Tiba-tiba Tanisha yang bersedekap sambil menyandar santai berkata, "Pake kacamata dululah, anak-anak pada takut lihat panon maneh sinis gitu."
"Guys! Windu, matanya emang minus, jadi kudu nyipit sinis gitu buat lihat yang jauh-jauh. Sok-sokan galak doang."
Pantas aja!
Begitu Windu selesai memakai kacamata, ia tampak pasrah kedoknya dibuka Tanisha. Isyarat tutup mulut yang pemuda itu kirimkan tidak dipedulikan. "Makasih lho, udah mewakilkan."
"Sama-sama," ujar Tanisha tanpa berdosa.
Namun, kebetulan tak terduga lain muncul dari ucapan dua muda-mudi. "Bangke," ucap Riani dan Jehian bersamaan. Mereka lantas saling menengok kaget di saat yang lain pecah dalam tertawaan. Riani mengepalkan tangan kesal pada dirinya sendiri dan melempar muka ke depan lagi sementara Jehian memasang wajah tak berekspresi.
Usai tertawa puas, Tanisha maju ke depan di sebelah Windu. Dia mengungkapkan, "Jadi daks, WDNL sebelumnya ada rencana mau nyantunin anak yatim piatu, tapi ditahan dulu nunggu kalian gabung."
"Ini juga salah satu kegiatan yang perlu ada di WDNL," tambah Windu. "Emang kayak bertentangan sama peraturan pertama kita, tapi intinya ini untuk menghargai perasaan kita."
Anti cinta, tapi malah bagi-bagi cinta ke yang gak dikenal, batin Riani hampir menyuarakannya. Akan tetapi, ia memang tidak mempermasalahkan kegiatan kali ini. Dibanding dengan daftar dan peraturan yang aneh, kegiatan ini sedikit menyentuh hati Riani.
"Jadi, bagaimana progres kalian sama list to do kita?" tanya Windu tidak ada angin tidak hujan mengungkit daftar yang tempo hari dibagikan di grup. Daftar tantangan kegiatan pribadi yang harus dilakukan tiap anggota baru. Seruan serentak pun berbondong-bondong menyerbunya.
"Sulit, Kak!!!"
Windu langsung terkekeh geli, hampir pula tega meneteskan air mata karena tertawa melihat reaksi putus asa anggota baru WDNL. Terkecuali bagi satu orang yang dia lihat tidak banyak terlibat pembicaraan.
"Emang perlu terbiasa sama benar-benar udah memutuskan buat pilih jalan ini, bertahap ya progresnya, soalnya habis ini kita masuk tahap selanjutnya."
Riani agak tidak menyangka, alur dalam klub anti cinta dipaksa maju secepat ini. Rasanya memang baru kemarin mereka perkenalan dan melakukan daftar pertama kegiatan pribadi untuk tidak mengucap apa pun berkaitan dengan pasangan lalu masing-masing. Sebentar lagi bahkan mereka akan beralih. "Tahap selanjutnya? Hangout satu klub?"
Niatnya mengatakan itu hanya untuk terdengar sendiri, tetapi Riani cukup kaget ketika Kak Windu malah mengangguk padanya. Pemuda tersebut bahkan secara pribadi mendekati tempatnya duduk.
"Ini lumayan berhubungan sama peraturan kedua, nanti saya jelasin," ujar Kak Windu hanya padanya. Hal ini sungguh di luar perkiraan Riani. Toh seharusnya Kak Windu mengatakannya kepada seluruh anggota, kenapa berbisik kecil dengannya?
Namun, pemuda aneh yang memegang kunci WDNL tidak menggubris raut kebingungan Riani. Dia menjauh dan mulai mengucap penutupan untuk kumpul hari ini.
"Oke, terima kasih yang udah nyempetin kumpul WDNL, rabu depan kita bahas progres kegiatan lanjut--"
"Tunggu dulu," potong Tanisha begitu Windu akan membubarkan mereka. Banyak pasang mata langsung menatapnya penuh tanya karena malam yang sudah tiba mengapa masih menahan mereka di sini.
"Ini kan udah gelap, abis ujan juga, yang cewek-cewek pulangnya gimana? Takutnya bahaya kalau sendirian."
Windu di sampingnya mengangguk-angguk konstan kemudian menatap sekumpulan orang di depan sambil mengangkat lengan kanan. "Yang pulang sendiri di sini siapa aja? Cewek atau cowok angkat tangan."
Riani menaikkan tangan perlahan, tetapi saat ia celingak-celinguk mendapati tidak ada lagi yang melakukan hal sama sepertinya seketika ingin menurunkan tangan cepat-cepat. Ia pikir semua anggota yang gabung WDNL datang sendirian, ternyata mereka sudah membentuk pertemanan!
Kalian menerapkan peraturan kedua cepat sekali, gerutunya dalam hati pasrah.
"Eh ini Riani aja yang sendirian? Riani pulang naik apa?" Berondong tanya dari Tanisha.
"Angkot," jawab Riani datar.
"Tuh kan naik angkot lagi, bahaya ah, yang lain ada yang kosong enggak?"
Anggota lain menggelengkan kepala bersamaan. Riani melihat reaksi sedu Kak Tanisha terhadap respon yang lain tidak enak hati, padahal semalam dan seribut apa pun cuacanya ia sudah terbiasa pulang dengan angkutan umum.
Ia ingin menyudahi pencarian tebengan untuknya, tetapi kembali tertahan saat Kak Tanisha menodong Kak Windu dengan tanya.
"Lha bukannya yang kamu kosong?"
Windu menatap skeptis Tanisha seakan-akan telah terlupakan oleh gadis tersebut. "Kan aing sama maneh, mau sama siapa lagi? katanya kemarin mau kumpul sama anak lab," ucapnya telak menimbulkan kehebohan Tanisha.
"OH IYA ANJIR LUPA!" Tanisha memegang kepalanya sendiri dengan kedua tangan. Mata dia melebar persis orang yang terkejut melupakan sesuatu. Dia langsung mengangkat kedua jempolnya pada Windu meski hanya dibalas tatapan bosan.
"Nuhun ngingetin, Kapten! Kalau gitu Riani sama Jehian aja, Ian kosong, kan?"
"Hah?!"
Gak salah?
Seolah-olah petir baru saja mengguntur langsung ke jantungnya, Riani berdiri kaku menerima tawaran Kak Tanisha. Ia berbalik mengarah ke Jehian setiap satu langkah. Bak di hari pertama mereka kembali berjumpa, keterkejutan mewarnai keduanya.
Wajah pucat Riani yang seakan-akan melihat hantu memandang raut gusar Jehian. Lagi-lagi keduanya bersamaan menatap Kakak tingkat mereka yang telah membuat ide super jelek. Namun, yang ditatap hanya tersenyum tenang tampak seperti sudah menemukan solusi paling mutakhir.
Jehian tampaknya tidak bisa menolak dan Riani juga tidak enak setelah Kak Tanisha repot-repot mencarikan tumpangan untuknya. Mereka pada akhirnya berdua di koridor kampus menuju parkiran. Seperti mengulang kedatangan keduanya ke klub, Jehian Riani berjalan dalam satu garis lurus. Pemuda dengan jaket hitam berkerah tinggi memimpin jalannya di depan.
Namun, Riani mendadak tidak melanjutkan lagi langkah-langkahnya. Hanya memandang punggung Jehian yang lama-lama berbalik.
"Kenapa berhenti?" tanya Jehian.
Riani tidak menjawab langsung dan malah berkata, "Kamu gak perlu nganter aku."
"Kamu juga tau, aku biasa naik angkot."
Akan tetapi, Jehian menggelengkan kepala, bukan karena lupa kebiasaan milik Riani saat di SMA melainkan tentangnya yang tetap keras kepala. "Aku harus nganter kamu."
Riani menyembunyikan rasa terkejutnya dalam balutan ekspresi dongkol. Kalimat Jehian sungguh memukul titik kenangan yang pernah mengharukannya.
"Aku harus antar kamu, sama kayak aku harus antar adik aku." Begitu ucapan seorang pemuda yang merelakan jadwal lesnya terlambat hanya untuk mengantar Riani pulang.
Kenangan usang tersebut cepat-cepat Riani singkirkan karena yang saat ini di depan tidak lagi memiliki alasan yang sama. "Gak usah terbebani permintaannya Kak Tanisha, nanti aku tetap bilang di ant--"
"Bukan karena Kak Sha yang minta! Aku memang mau antar kamu!"
Gadis tersebut dibuat tersentak akibat nada bicara Jehian yang meninggi. Menyentil emosi Riani yang terus-menerus berusaha tenang. Ia mengeraskan rahang dan membalas, "Kamu udah terlambat! Di hari terakhir kita ketemu, aku berharap kamu bilang ini, tapi kamu pergi!"
"Buat apa masih peduli?"
Mata Jehian menatap nanar tempat yang Riani tinggalkan. Dia melihat dari ujung mata begitu Riani berjalan melewatinya. Aura yang tidak mudah digapai memancar kuat, membuat Jehian merasakan dingin di hati.
"Hari itu, yang bisa aku lakukan ... cuma melihatmu untuk terakhir kali."
______________
.
.
.
Jumlah kata: 1675
Bersambung
Kamus-kamusan
1. Tong sok ngabobodo
Jangan bodoh-bodohin
2. Panon : Mata
3. Maneh : Kamu
4. Daks(barudak) : Anak-anak/guys
5. Kudu : Harus
Capek gak sih jadi riani gelud mulu sama mantan
Jujur aku gak sreg nulis yg ini kecuali bagian jehian riani 🤣
Menurut kalian gimana?
Jangan lupa komen ya
Sekian dan Terima kasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top