3. Tekad Keraguan

Kisah rumit membelit di awal perjalanan sebagai mahasiswa. Jehian jadi lebih sibuk karena rata-rata dosen di fakultasnya tidak mau berbasa-basi. Dia yang baru sampai parkiran kampus langsung lesu sewaktu teman kelas bawa kabar dari dosen.

Aldi FD1:

Pak mumun suruh cari buku buat referensi kelas minggu depan
[Foto]
Cari di palasari ceunah, soalnya keluaran lama terus udah langka juga katanya jadi semoga dapet ceuk beliau
Satu lagi disuruh kerjain tes ini, katanya buat tau kemampuan mahasiswa sampai mana, dikumpulinnya 1 september
[Foto]

Jehian mengacak-acak rambutnya yang ikal hingga makin berantakan. Dia mengeluh dapat tugas begitu banyak, tetapi tetap sadar kalau inilah yang mahasiswa alami ke depannya. Jehian ingin protes, walau pada akhirnya dia membuat catatan pengingat di kalender, tetapi saat membuka fungsi tersebut di gawai, Jehian melihat memo tentang hari ini.

"Kumpul WDNL?" gumamnya pelan.

Jehian kembali teringat klub aneh itu. Kisah rumitnya bukan hanya beradaptasi dengan lingkungan baru di kampus melainkan terjun ke dalam situasi yang melilitnya penuh kebingungan. Jehian menemukan simpul pertama yang masih mengikatnya erat, tetapi penuh dengan dendam.

Ketika mata yang menatap penuh harap, tetapu langsung pupus kala teman-temannya menceletuk perihal hubungan dia dan Riani kandas, Jehin tidak tahu harus berbuat apa. Sekarang mereka bertemu lagi tanpa sengaja. Luka yang belum terobati malah terbuka kembali. "Pasti sakit buatmu."

Dia memegang kedua sisi helm dengan tangannya, memandang benda hampir bundar tersebut sarat nostalgia. Memunculkan kenangan lama yang manis menjadi tak jelas lagi seperti apa rasanya.

Setelah sekian lama sama-sama menghilang, takdir telah menentukan mereka kembali bertemu. Padahal Jehian berharap kelakuan terakhirnya membuat Riani tidak lagi sudih mengingat. Pudar bersama lenyapnya hubungan mereka.

"Kamu memang harus benci aku," ucap Jehian pelan seiring tiupan angin menerpanya seorang diri di lahan parkir.

Meski hatinya merasa ribuan kali tersayat dengan kekecewaan yang perempuan itu layangkan, Jehian ingin Riani semakin muak sampai tahap membuang namanya. Dengan begitu Riani bisa meniti jalan baru tanpa peduli sosoknya yang tak layak diingat.

Namun, sekarang mereka malah terjebak bersama dengan tajuk anti cinta. Sebuah ironi tak terelakkan. Andai isi hatinya diketahui, mungkin Riani bisa semakin marah, tetapi hal itu juga menunjukkan sesuatu yang dirinya lakukan sangat rendah.

"Bagaimana aku masih melihatmu ...."

Jehian pun menggeleng kencang. Dia berkata pada dirinya sendiri tegas, "Kamu harus menyalahkan aku, Ni!"

Satu perhatiannya teralih pada bangunan yang berdiri megah di dalam sana. Melepaskan helm yang sedari tadi dipegangnya kembali tergantung di spion motor. Kalau aku di sana, kamu makin sakit, kan? Tapi dengan gitu kamu bakal benci aku.

Pemuda rambut agak ikal yang memiliki tahi lalat di bawah mata kanan pun turun dari motor. Seusai mengunci helm dalam bagasi, dia berbalik menuju pelataran kampus lagi. Niat dari lubuk hati sudah ditetapkan kembali.

______________

Masa transisi dalam hubungan percintaan tidak semudah yang tersiar dalam FTV. Entah itu berpindah status menjadi sah atau melepas keterikatan yang sebelumnya terjalin. Jika pada tahap menaikki jenjang kehidupan yang lebih tinggi bisa dibiasakan bersama-sama, bagaimana dengan membiasakan hati yang pernah terikat harus menghapus penghuni lamanya?

The Rules of We Don't Need Love Club

1. Don't talk about L̶O̶V̶E̶!

Berapa kali Riani harus mengatakan, peraturan pertama dalam organisasi ini benar-benar sulit. Sulit, susah, sukar, kemalangan perlu diucapkan tiga kali! Sempat terpikirkan olehnya, makin suatu hal dilarang semakin mengundang untuk dilanggar. Kalimat dalam peraturan pertama memang bagai mantra, tetapi terngiang lain di kepalanya.

Riani menyandarkan punggungnya pada kursi seraya menghela napas lelah. "Kalau aku naik ke posisi Kak Windu sekarang, peraturan pertama itu aku ubah jadi kata-kata yang haram disebutkan!"

"Terutama C word itu!" serunya menggebu-gebu. Namun, beberapa menit kemudian Riani mengusak kepalanya sendiri jengkel. "Tuh kan muka itu ada lagi!"

Lantas ia meraih mouse laptopnya, menggulirkan benda elektronik tersebut ke layar yang menampakkan situs tontonan. Satu-satunya jalan adalah melupakan dengan kesibukan dan menonton drama asal Tiongkok menjadi pilihannya. Setidaknya ia bisa lebih kepikiran mengartikan setiap kata hanzi dari drama daripada terbayang-bayang muka (tidak) jelek Jehian.

Dalam keriuhan kantin minimalis itu, Riani menonton dengan saksama si drama China. Seperti yang direncanakannya, berusaha menangkap dengar kata-kata familiar untuk dipelajari serta menikmati intrik yang disuguhkan. Hanya saja fokus Riani cuma bisa bertahan sampai dua episode. Tidak tahu apakah karena kantin yang semakin ramai atau pikirannya yang kembali ingat kala Jehian menahannya pergi.

Jika Riani tidak sadar tempat dan perasaannya yang amburadul, saat itu juga ia ingin menangis.

"Aku gak tau kamu ada di sana juga." Tampak tenggorokan Jehian bergerak tidak nyaman. Dia melanjutkan, "M ... maaf, tapi aku harap kita bisa bias--"

"Jehian. Aku yakin kamu ngerti," ucap Riani per kata. Tangannya ia genggam agar tak bergetar meski di dalam matanya terlihat jelas berkaca-kaca. "Kenapa aku bisa ada di sana itu karena kamu."

Jehian memberinya tatapan mengasihi walau tak sehangat dulu. Lagi pula Riani tidak butuh lagi kasihnya. Penampilannya memang terlihat lemah, tetapi bukan untuk mendapat itu lagi melainkan menunjukkan hasil yang telah laki-laki tersebut lakukan padanya.

"Aku paham!" Jehian menaikkan nada bicaranya. Dia tampak mengernyit kesal karena Riani yang menghindar. "Karena aku paham makanya kita tetap jalan sendiri-sendiri."

Mulut Riani terbuka tak percaya. Ia hampir tertawa menangis sebelum mengungkapkan lagi yang dulu pernah terjadi. "Karena kamu sangat jago pergi, kenapa gak pergi sendiri dari WDNL?"

Riani tahu Jehian mungkin tidak akan mengatakan apa-apa. Tentang alasannya berada di sana juga. Ia memutuskan untuk benar-benar meninggalkan Jehian dengan keterdiamannya sebelum dirinya makin rapuh.

Namun, siapa sangka suara Jehian yang tegas di belakang sana masih terdengar. "Tidak," katanya.

Tidak apa?

Walau Riani hafal pola pendekatan Jehian. Dirinya sudah amat yakin, pemuda tersebut tidak berniat mengajaknya kembali. Kontaknya yang dulu memang sudah tidak diblokir, tetapi sekarang mereka selayaknya orang asing di grup chat klub.

Kini keduanya menyimpan rahasia sepasang mantan tanpa sengaja bersama. Padahal baru dari pertemuan organisasi pertama, sudah banyak yang mereka langgar. Riani mendongak, menatap atap-atap. Jarinya ia lipat ketika mulai menghitung.

"Kita bukan bicara cinta lagi, tapi hubungan malah, satu."

"Yang kedua, memang statusnya berubah, tapi kita masih mantan anget dan gak akan bisa jadi teman!" ucapnya diikuti penekanan kekesalan di dua kata terakhir. Riani tiba-tiba duduk tegap dan melirik jam tangannya. "Masih setengah jam lagi ... apa aku kabur aja?"

"Ah tapi kenapa aku yang harus kabur! Seharusnya dia!"

Akhirnya Riani menyandarkan diri lagi sambil memejam mata. Mulai menimbang-nimbang pilihan yang akan diambil dalam pikirannya.

Kupikir, apa yang anak kelas bilang tentang kita pasangan terbaik adalah kenyataan, tapi setelah bagaimana keadaan berbalik, I only got hurt for every things I've with you.

Bagi Riani, dialah paling terdampak akan semua hal yang terjadi.

Hari ini lembayung senja mulai mewarnai langit. Sebagian besar kelas reguler sudah berakhir dan beberapa darinya silih berganti dengan kelas karyawan. Sepanjang koridor pun mulai lengang tak tampak huru-hara mahasiswa yang melintas. Riani, yang akhirnya menetapkan untuk ikut lagi kumpul WDNL berjalan di bawah suasana tersebut.

Ia menunduk memandang lantai putih saat berjalan. Riani mendesah berat, tenggelam dalam benang pikiran yang kusut. Tujuanku ikut ini karena mau melupakan Jehian, batin Riani muram.

"Tapi apa tujuanku bisa berhasil kalau dia ada di sana?" Riani bermonolog gusar. Tepat ketika ia kembali mengangkat kepala, di pertigaan koridor tersebut matanya bertemu sosok Jehian di seberang. Lantas mulutnya segera merapat erat.

Situasi itu terlalu sulit dijabarkan. Tentu saja tidak ada saling sapa seolah-olah teman lama. Tidak ada yang bisa dikatakan setelah menyadari prinsip satu sama lain waktu itu tak sejalan. Selain keduanya tetap saling menatap waswas, hubungan mereka bagai berdiri di ujung jurang, takkan ada kesimpulan akhir.

Riani memutuskan berjalan lebih dulu tanpa mengucap kata permisi. Di balik punggungnya ia merasai orang melangkah tertahan-tahan. Bagi seorang laki-laki pemilik kaki jenjang, menahan langkah panjang hanya untuk menjaga jarak lumayan menyiksa. Namun, Riani akui itu lebih menguntungkannya.

Di depan sana pintu kelas yang sudah mereka sepakati mulai terlihat. Riani tak sabar mempercepat langkah, tetapi belum lima meter ia sampai, dari tikungan kiri seorang gadis juga tengah berjalan.

"Riri!" serunya sambil melambai-lambai semangat, mirip pertemuan pertama mereka.

Riani yang hendak membalas lambaian Kak Tanisha terpaksa turun lagi saat seniornya tiba-tiba menarik tangannya ke bawah. Senyum dari Kak Tanisha tampak kikuk sebelum mengajak dirinya dan Jehian segera masuk.

Ia hanya melirik Jehian sekilas dan mendapati wajah yang datar itu kelihatan lebih bersinar. Ada yang tampak tidak asing, tetapi Riani tidak mau ambil pusing. Masih sama seperti sebelumnya, ia mencari tempat duduk yang menjauhi Jehian. Namun, dari kehadiran mereka bertiga yang baru datang, ketiganya berada di tempat yang saling berjauhan.

Aneh, Kak Tanisha gak banyak omong, batin Riani bingung. Keheningan yang melanda agak membuat mereka tertekan, tetapi tak tahu bagaimana harus menghidupkan suasana.

Jujur saja, kalau Jehian tidak ikut ngumpul secepat ini, aku mungkin mau cerita yang kemarin sama Kak Tanisha.

Sayangnya, kehadiran Jehian membuat pergerakan Riani terbatas. Ia juga mulai merasa malas hanya untuk berbicara. Harapan Riani terhadap satu-satunya orang yang bisa menghidupkan suasana mati itu pun malah diam saja. Tolong, Riani tidak kuat!

Tangan Riani kadang menjulur kemudian ia tarik kembali. Panggil, tidak? Panggil, tidak? Ah! Kak Sha duduknya jauh juga! ucap Riani dalam hati menyeru frustrasi.

Namun, bunyi ketuk sepatu yang agak keras mengalihkan perhatian mereka. Ketiga kepala mendadak menengok ke arah pintu dengan penasaran.

Suara tenang dan lembut pun langsung berkata, "Diem-dieman aja."

Pemuda berpotongan rambut poni kanan itu masuk dengan santai. Baik Riani dan Tanisha terlonjak dengan semangat, keduanya sama-sama meneriakkan hal serupa.

"Kapten Win!"

______________

.

.

.

Jumlah kata: 1374

Bersambung

Kamus-kamusan

1. Hanzi : Aksara China

2. I only got hurt for every things I've with you
Aku hanya tersakiti untuk setiap hal yang kualami denganmu

Apa ya apa ya, isinya makhluk galau semua
Spsppspapspsp agak nyesek ngetiknya hahah
Tapi aneh
Tau ah dadah

Jangam lupa komen yaww
Sekian dan Terima kasih

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top