24. Kejelasan Akhir
Kaki Riani melangkah terus tanpa henti sejak keluar dari rumah Jehian. Di belakangnya Windu sedikit terseret ditarik dalam genggaman gadis tersebut. Walaupun dia tidak mengucap sepatah kata untuk menghentikan atau menenangkannya sebab Windu yakin Riani sedang kacau.
Kecepatan Riani dalam berjalan sampai ke motor Windu yang berada di luar gerbang lebih dari biasanya. Ketika mereka sampai di sana pun, perempuan itu langsung melepas tangan Windu.
Riani bergumam, "Maaf ...."
Windu tidak yakin ucapan Riani dimaksudkan ke mana. Dia menatapnya lurus dari belakang. "Maaf untuk apa? Tidak mendengar kata-kata saya? atau menyeret saya dan Tanisha ke dalam masalah kalian?"
Berondong tanya sarkas dari Windu membuat Riani semakin tenggelam dalam sakit hati. Pemuda di belakang yang melihatnya pun menghela napas lalu mendekati Riani. Windu menaruh tangan di atas bahunya.
"Jangan minta maaf," ucap Windu di sela-sela meremas sedang pundak Riani.
"Tapi aku salah, Kak!" bentak Riani langsung membalikkan badan pada Windu. Air matanya mengalir turun ke pipi yang tampak pucat. "A-aku gak pernah sangka Jehian harus ngejauhin karena pengaruh buruk yang aku bawa ke dia, aku pengaruh buruk, Kak!"
"Lihat WDNL sekarang! Siapa lagi kalau bukan karenaku?!"
Riani terus memegang kepalanya yang menggeleng-geleng. "Aku harusnya gak percaya gitu aja dia bilang gak masalah telat les, kenapa Jehian harus utamain aku kalau itu bikin dia sulit!"
Karena itu, dia tidak mau buat kamu merasa bersalah, ucap Windu dalam hati.
Windu merengkuh bahu Riani ke dalam pelukannya meski masih tercipta sedikit jarak di antara mereka. Tangan Windu mengusap punggung Riani pelan dan berkata, "Bukan, gak ada pengaruh buruk di kamu, hanya situasi yang gak tepat dan orang intoleran."
"Jehian nutupin alasan mungkin emang karena dia gak ingin kamu merasa bersalah atas kelakuan intoleran ibunya, tapi ingat juga dia yang selama ini."
Pemuda berjaket coklat itu sedikit menundukkan badan hingga mulutnya tepat bersebelahan dengan telinga Riani. Windu berbisik, "... dia ingin kamu, tapi juga Tanisha ...."
Bisikan Windu ke telinga Riani adalah hal yang terus terngiang di pikirannya. Walau sejak malam itu, semua peristiwa yang terjadi benar-benar sulit Riani lupakan. Hinaan ibu Jehian, kenyataan di balik mantannya yang dulu pergi begitu saja serta Windu yang berusaha menenangkannya dalam pelukan.
Dua hal yang berkaitan dengan Jehian sebenarnya cuma memberi Riani luka batin jika terus diingat-ingat. Namun, ketika memutar kembali Windu yang menariknya dalam pelukan sambil membisikkan sebuah kebenaran lain, Riani sulit mengekspresikan seperti apa yang hatinya kini rasakan.
"Bukannya ini kayak terjebak dalam kotak?" gumam Riani sangat rendah, "tidak ada yang berdua dari sebuah persegi, kemana pun sudutnya, tetap empat."
Sudah sembilan hari sejak malam semua rahasia Jehian terkuak dan Riani terus mendapat pesan beruntun dari sang mantan. Dia meminta bertemu untuk memperbolehkan dirinya menjelaskan yang sebenar-benarnya. Riani jujur sudah muak berurusan dengan Jehian, tetapi jika ia tidak menuruti lelaki itu, Riani tidak bisa membuktikan niat pemuda tersebut.
Benda dalam genggaman Riani pun bergetar. Ia segera menengok gawainya yang kedatangan pesan.
Kak Windu WDNL:
Kamu yakin mau menyelesaikan sekarang sama Jehian?
Riani:
Iya, Kak
Setelahnya tidak ada balasan lagi dari Windu. Riani juga memfokuskan diri agar bisa siap berbicara dengan Jehian dan tidak terbawa tutur lembut laki-laki tersebut. Ia sudah cukup lama duduk sendiri di lapangan cinta sampai sosok yang tangannya masih terbebat dan jalan pincang kelihatan dari jauh.
Napas Riani mulai memburu kala mengingat perseteruan malam itu. Kegugupan mengaliri seluruh saraf badannya sampai terasa tegang. Riani menarik napas perlahan sampai ia merasa tenang. Bertepatan dengan itu, Jehian akhirnya sampai di sebelah tempat Riani duduk.
"Lama tidak bertemu," ucap Jehian.
Riani mengernyitkan dahi atas sapaan basa-basi itu. Sembilan hari gak lama, apa maksudmu lama gak ketemu ini dari delapan bulan yang lalu? batinnya kebingungan. Ia lalu menjawab dengan datar, "Iya, gimana sama luka-lukamu?"
Rasanya Riani seperti menggali kuburan sendiri. Pertanyaan basa-basi menyangkut kejadian malam itu bisa mengundang Jehian bersikap seolah-olah pahlawan yang membuatnya iba. Ia tetap memandang ke depan, tidak mau melihat sedikitpun raut Jehian yang tersentuh atas pertanyaannya.
"Udah lebih baik," jawab Jehian seraya memasang senyum di balik perasaan kecutnya. Riani sama sekali tidak meliriknya untuk melihat sendiri bagaimana keadaan Jehian sekarang.
"Jadi, apa lagi yang ingin kamu jelaskan?" Riani langsung menoleh kepada Jehian dengan tatapan muak. Sorot matanya membuat pemuda tersebut tegang.
Jehian berusaha menyembunyikan ketegangannya dengan berkata rendah, "Aku gak ingin kamu tau ... Ibu minta kita putus, makanya gak bilang apa-apa dan tiba-tiba menjauh."
"Untuk apa?" tuntut Riani.
Pemuda itu lantas menundukkan kepala. "Supaya kamu gak merasa bersalah."
Riani menenangkan dentuman hatinya yang mulai berdesir karena pilihan Jehian demi kebaikannya. Ia terus menerapkan dalam kepala bahwa mereka sudah berlalu dan tidak ada yang bisa diperbaiki meski akhir yang sesungguhnya tidak seperti yang Riani duga.
Gadis itu perlahan bangkit dari bangku taman dan menatap Jehian. "Kalau gitu kenapa gak bilang dari awal aku ganggu les kamu, kenapa harus bilang enggak apa-apa buat antar aku sampai rumah setiap hari?!"
"Kamu mungkin ingin aku merasa gak bersalah, tapi cara kamu ngebiarin pilihan kamu untuk ngelakuin itu semua apa gak bikin aku di tempat yang bersalah?!" sergah Riani berang.
"Kamu gak pernah biarin aku memahami kamu."
Riani mengepalkan tangan kiri dan kanannya. Ia berusaha sekuat mungkin menahan suaranya yang mulai bergetar. "Kadang kamu egois tau gak?"
"Aku ngebiarin pendekatan kamu kelihatan supaya aku bisa lebih ngerti kamu, tapi kamu yang kayak 'enggak apa-apa biar aku aja', terus kamu anggap aku apa dulu? Kamu gak bisakah berbagi dan bilang kesulitan kamu sama aku?"
Saat Jehian akan berbicara, Riani menyodorkan telapak tangannya di depan muka agar pemuda tersebut tidak menyelanya dahulu. Riani berdiri condong ke samping, melepaskan tatapannya yang berapi-api dari Jehian. Ia menarik napas panjang kemudian.
"Pada akhirnya semua yang kamu usahakan sendiri gak bisa kamu atasi, kan?" Riani bertanya rendah sembari menoleh sedikit pada Jehian.
"Iya, kamu benar, Ni," ujar Jehian lirih, "tapi itu bukan karena aku egois."
Jehian membawa Riani menghadap dirinya lagi. "Karena aku sayang kamu, gak ingin kamu sakit hati gara-gara Ibu."
Lantas Riani tertawa keras, di matanya tampak berkaca-kaca. "Kamu pikir aku gak sakit hati ditinggal pergi gitu aja? SAMA AJA JEHIAN!" teriak perempuan itu seraya melepas pegangan Jehian dari pundaknya. "Selama enam bulan lalu, aku terus pikir, apa yang buat kamu pergi tanpa kata-kata kayak kata putus aja gak bisa kamu sebut!"
"Setidaknya gak separah ini, aku gak pernah mau ...." gumam Jehian.
Saat mendengar gumaman Jehian, Riani tidak lagi bisa mengerti pemuda itu. Dengan napas yang masih terengah, ia memandang Jehian tidak percaya.
"Terus kamu bilang kamu sayang aku? Tapi kenapa kamu bikin aku sakit hati dengan ninggalin? Kamu kira sayangku ke kamu bakal cepat berlalu kalau kamu menghilang?"
Riani tahu Jehian tidak banyak bicara, tetapi laki-laki itu harusnya bisa saling memahami. Dengan begitu, Riani tidak terjebak rasa bersalah yang dimulai dari kelakuan Jehian sendiri.
Jehian menggeleng keras. Tangannya berusaha menjangkau lengan Riani yang kian menghindar untuk dia bawa mendekat. Setelah Jehian mendapatkan lengan Riani, dia berganti memegang telapak tangan gadis tersebut dan mengelus jarinya. "Gak mudah buatku juga," ucapnya terdengar sedu.
"Aku masih sayang sama kamu sampai saat ini."
"Sayang?" tanya Riani skeptis. Ia lalu tertawa seperti dibuat-buat. Air mata yang menggenang di sudut pelupuk ia tepis. Entah itu air mata karena kesedihannya pada Jehian atau sesuatu yang Riani tertawakan dengan miris dari pengakuan laki-laki tersebut.
"Sayang seperti apa yang bisa tembak cewek lain? Sayangmu padaku sudah kedaluwarsa."
Mata Jehian langsung membelalak. Raut lelaki itu mendadak berubah dan meninggalkan kesan yang dingin.
"Apa maksudmu?" tanya Jehian.
Riani menyilangkan lengan di atas perut lalu memutar badan ke arah lain. Ia enggan menghadap Jehian lagi. "Maksud apa? Bukannya udah jelas, sayang kamu ke aku udah gak ada setelah enam bulan ini makanya kamu bisa tembak Kak Tanisha."
"Ian, jujur aja, kalau aku gak pernah muncul di WDNL, kamu pasti jadi lebih cepat sama Kak Tanisha."
Tepat Riani beres berkata-kata, Jehian lekas menjawab terburu-buru, "Aku gak jadian sama Kak Sha."
Masih mengelak.
Decihan kecil keluar dari bibir Riani. Gadis itu menggeleng akan kelakuan Jehian yang sudah seperti maling tertangkap basah. "Lho, kamu masuk WDNL untuk dia, kan?"
"Karena Kak Tanisha bisa menggantikanku yang tidak pernah ibu kamu setujui ini," cecar Riani. Jarinya menunjuk ke luar dari lapangan cinta tempat mereka berdebat. "Karena kamu akhirnya nemuin sosok yang mirip aku, tapi bisa kamu bawa untuk dikenalkan ke ibumu nanti?"
Jehian berjalan menghapus jarak satu meternya dengan Riani. Dia hampir mencengkeram lengan atas Riani kuat-kuat sambil bertanya, "Kak Windu ngasih tau kamu?"
"Kenapa kalau Kak Windu yang ngasih tau?" tantang Riani nekat. Ia meluruskan tangannya sampai Jehian terdorong sedikit. Meski terlihat meringis karena kakinya yang masih pincang, Jehian maju lagi seolah-olah tidak peduli.
"Kamu punya keberanian buat deketin senior klub anti cinta dan sebut alasanmu di klub ini karena ingin lupa rasa lama atau aku dengan kehadiran baru yang sama, Kak Tanisha, terus kenapa takut kalau Kak Windu beberin itu semua?"
Ian mungkin pintar sembunyi dalam kata, tapi rumor yang ada di sekitarnya bisa langsung menjelaskan semua.
Penyataan itu sontak memukul telak Jehian, sebab sejak awal dia tidak pernah memperkirakan adanya Riani dalam WDNL. Namun, semua mendadak tidak sesuai langkahnya ketika Riani muncul. Jehian yang tidak bisa memperjuangkan Riani karena perintah ibunya, akhirnya bergerak maju dan berharap gadis itu kembali.
Sayangnya, Jehian telah membuat pergerakan awal yang tidak menguntungkan. Dia mengembuskan napas kasar lalu berkata, "Iya, aku emang menyimpan bayanganmu di Kak Tanisha, tapi perasaan aku buat kamu masih leb--"
"Stop Jehian," potong Riani segera. Kepalanya terus menggeleng menandakan tak ingin lagi Jehian mengatakan apa pun tentang perasaan. "Kamu di sini untuk menjelaskan bukan ngajak aku balikan, kalau gak ada lagi yang perlu kamu sampaikan, silakan pergi."
Jehian menatap Riani dengan matanya yang memohon. "Nini, please, I'm sure we could, aku bakal buat Ib--"
"Jehian Peter, tolong pergi," pinta Riani final.
Dengan begitu, Jehian tidak memiliki kesempatan berbicara lagi karena Riani sudah tidak mau mendengarkan permintaannya. Lelaki tersebut pergi dengan pundak lesu dari lapangan cinta.
Riani kemudian menarik napas yang sangat panjang lalu berujar, "Kenapa gak keluar Kak Windu?"
Di tempat yang sama sewaktu Riani memergoki Jehian menembak Tanisha munculah Windu. Dia datang dengan diam, tetapi memancarkan keteduhan. Setidaknya untuk hati Riani yang berapi-api.
______________
.
.
.
Jumlah kata: 1684
Bersambung
Kayaknya bener-bener banyak yg muter muter aja
Sekian dan Terima kasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top