20. Tersudut Masalah

Windu merangsek masuk tanpa salam sama sekali. Wajahnya tampak sangat terkejut, mata membelalak, mulut setengah terbuka dan kulit yang menegang. Dia masih berdiri menatap Riani serta Jehian, menunggu pertanyaan yang langsung pemuda itu ajukan ketika masuk.

"Kenapa kalian diam semua? Ada apa sama wartawan?" tanyanya lagi saat tak ada yang menjawab.

Ibu pengurus bayi menaruh telunjuknya di bibir menginstruksikan Windu untuk diam. Dia mewakili dua remaja dewasa menjawab, "Tadi ada wartawan di sini, A."

"Ngapain, Bu?" Windu menanya tanpa basa-basi. Lelaki itu menjatuhkan lututnya di karpet sehingga dia seperti berlutut.

"Ya ngapain lagi atuh, A, selain wawancara."

Jawaban Ibu pengasuh bayi membuat sekujur tubuh Windu menegang. Dia melirik Riani dan Jehian bergantian ingin memastikan, tetapi dua juniornya menundukkan kepala.

Windu bertanya lagi hati-hati, "Wawancara buat?"

"Iya hari ini teh Aa tadi wawancara tentang bayi-bayi panti, pas pisan sama kunjungan adik-adik ke sini," jawab si Ibu tenang.

Pemuda berpotongan rambut pendek itu mengembus napas cukup lega. Setelah mendengar jawaban Ibu pengasuh bayi, Windu mengajak Jehian juga Riani permisi dengan sopan keluar.

"Wartawan tadi ... tidak sempat tanya-tanya sama kalian, kan?" tanya Windu setelah mereka jauh dari kamar bayi.

Wajah-wajah di depannya seperti menggelap, kening berkerut seolah-olah ada keengganan yang tak ingin mereka suarakan. Hal itu membuat ketua WDNL semakin menatap Jehian juga Riani gelisah. Windu mengarah kepada gadis yang sedari tadi membuka dan menutup mulut. Namun, mendadak Jehian mengeluarkan suara.

"Sempat," sahutnya singkat.

Windu menenggak ludah tak percaya. "Apa? Apa aja yang dia tanyakan?"

Saat Jehian hendak menjawab lagi, tangan Riani menahan tubuhnya. Jehian melirik perempuan tersebut bingung lantaran penahanan itu seakan-akan permintaannya untuk berhenti bicara.

"Lagian aku yang jawab," ujarnya muram. Riani mendongak menatap Windu. Meski ia sedikit terhenyak dengan ketajaman tatapan Windu, Riani berusaha tetap stabil. "Mengenai darimana kita, sedang apa dan ... organisasi apa kita."

Suara Riani mengecil ketika menyebutkan yang terakhir. Sontak Windu mencengkeram bahu Riani kuat dan berseru keras, "Kamu bilang apa ke wartawan?!"

Jehian lekas menahan Windu supaya tak menyakiti Riani. Namun, desisan Riani yang akhirnya menyadarkan Windu kalau dia sudah keterlaluan.

"Maaf," ucap Windu bersalah.

Riani menggeleng cepat. "Aku memang salah, Kak, aku gak hati-hati."

"Tapi kamu gak jelasin apa-apa Ni!" sergah Jehian membelanya. Dia menghadapkan bahu Riani ke arahnya kemudian menoleh pada Windu. "Riani gak menjelaskan apa-apa tentang WDNL, dia gak sengaja sebut nama klub."

Windu menghela napas dengan dadanya yang tampak kembang-kempis lalu berbalik badan. Dia mengibaskan tangan menyuruh keduanya bubar. "Kalau begitu seharusnya tidak masalah, kalian pergi ke anak-anak WDNL lain, suruh kumpul di Squash habis selesai ini."

"Kakak mau kemana?" teriak Riani yang melihat punggung Windu menjauh ke lawan arah.

"Saya mau tanya ke pengurus panti, wartawan tadi dari media mana, kamu tidak usah ikut."

Ucapan terakhir Windu membuat Riani tertunduk lesu. Tiba-tiba pundak kirinya dipegang Jehian, membuat Riani tersentak. Begitu ia menoleh pemuda itu sedikit mengangkat senyum. "Ayo pergi," ucap Jehian pelan.

Riani menghela napas dalam karena kecewa dengan dirinya sendiri. Dengan keadaan seperti ini pun, ia tidak bisa memikirkan harus menghindari Jehian atau tidak. Laki-laki itu sempat membantu berbicara untuknya, terlepas dari maksud terselubungnya, Riani tetap merasa berterima kasih.

Jehian berjalan lebih dulu daripada Riani. Kala tangan pemuda itu meninggalkan pundak Riani, jemari Jehian bersentuhan sedikit dengan miliknya. Hal tersebut mengejutkan Riani seakan-akan ia habis terkena percikan listrik. Ia menatap punggung Jehian dari belakang, bertanya-tanya apakah Jehian sengaja melakukannya, tetapi orang di depannya itu tampak biasa saja.

Riani tidak memusingkannya lagi dan mengikuti langkah Jehian dengan gontai. Sesuai dengan perintah Windu, Jehian yang menyampaikan pesan kepada semua anggota WDNL.

Hari itu kunjungan We Don't Need Love di panti asuhan sudah selesai. Berakhirnya kegiatan WDNL satu ini membuka masalah baru sehingga terpaksa kapten mereka menetap lebih lama untuk mencari informasi. Sisa anggota WDNL lain meninggalkan tempat tersebut menuju kafe yang telah Windu suruh.

Entah sudah berapa kali Riani menarik napas gusar selama perjalanan. Ia juga meremas kaos Jehian yang dipegangnya saat berboncengan sebagai bentuk pelampiasan emosi. Begitu Jehian menyadari itu, dia menceletuk, "Gak akan ada apa-apa."

Dengkusan Riani terdengar keras. Ia buru-buru melonggarkan cengkeramannya di kaos Jehian. "Gampang bilangnya."

"Kalau pun ada apa-apa, kamu gak sengaja, aku bakal bilang ke yang lain."

Riani menatap Jehian serius dari belakang. "Kamu kenapa berusaha segininya? Jangan kira cuma karena kamu bicara untuk aku, aku bakalan terima kamu lagi."

"Lihat aja nanti," ucap Jehian terselubung. Dia langsung memacu motornya lebih cepat sehingga Riani yang takut buru-buru menggenggam kaos di sekitaran pinggang Jehian.

Perihal suruhan Windu untuk berkumpul kembali di kafe setelah habis dari panti, mendatangkan tanya bagi semua anggota WDNL kecuali Jehian dan Riani. Keterdiaman yang menunggu Riani untuk menjelaskan insiden keceplosannya sangat memberatkan. Meski Jehian sudah unjuk diri akan bantu bicara, tetapi ia tidak mau kesalahannya diwakilkan.

Riani dengan segala keberaniannya menuturkan kejadian bersama sang Wartawan. Banyak perubahan raut muka ketika mereka sadar tentang yang Riani lakukan. Dari semua ekspresi itu, kebanyakan menatap gadis berumur sembilan tahun dengan kecewa. Tanisha bahkan langsung menghardiknya.

"Kamu gak bisa mikir?!" bentak Tanisha yang sudah menahan geram, "klub kita bukan organisasi normal kayak yang lain, kita gak bisa seterbuka mereka!"

"Mau semulia apa pun kegiatan kita, klub ini bakal cuma jadi bahan ketawaan!"

"Kak Tanisha jaga kata-katanya!" seru Jehian menghalangi di depan Riani.

"Minggir Ian! Aku gak terima kalau ada sesuatu sama klub ini!"

Perempuan yang tengah tersudut menerima guratan marah secara sukarela. Riani sedari awal memasrahkan keteledorannya sebagai kesalahan yang amat riskan. Namun, Riani kehilangan fokus kala panggilan yang familiar di lidahnya terucap di bibir Tanisha. Ian ... sejak kapan Kak Tanisha manggil Jehian jadi Ian? batin Riani bingung.

"Kak, aku sudah jelaskan, aku dengar sendiri kalau pertanyaan wartawan itu memang memancing jawaban spontan sampai Riani gak sengaja bilang," tutur Jehian.

Akan tetapi, Tanisha yang terhalangi Jehian tetap memaksa keras mendekati Riani. Beberapa anggota lain berusaha menenangkan senior tersebut. Hanya saja Tanisha tampaknya sudah terlampau marah.

"Sha, tenang." Suara yang mendekati tempat duduknya WDNL menghentikan keributan itu. Windu datang dengan pembawaannya yang kalem dan langsung mendudukkan diri di tengah mereka semua.

"Win, gimana?" tanya langsung Tanisha panik.

Windu merapatkan jari-jarinya di depan mulut. Pandangan pemuda itu sangat serius. Tak ada yang berani menginterupsi saat Windu yang seperti itu.

"Wartawannya dari Suara Juru Bicara, dia memang sudah janji datang untuk wawancara sama Ibu pengasuh bayi," ungkap Windu yang mempertahankan ketenangan. Dia melirik kecil Jehian juga Riani yang menunggu perkataan selanjutnya. "Sudah jelas janji untuk wawancara hanya sama pihak panti, seharusnya tanya-jawab antara wartawan itu sama Jehian Riani tidak termasuk wawancara."

"Yang kami lakukan itu hanya obrolan biasa," timpal Jehian meneguhkan.

Windu berdeham kemudian mengambil sepotong kertas dari sakunya. "Semoga ... ini kontak si wartawan, setidaknya kita bisa memastikan kalau berita yang dia buat cuma tentang bayi-bayi dan Ibu panti, jadi tolong tanyakan tentang berita apa yang mau wartawan itu rilis."

Pemuda yang menjabat sebagai ketua itu mendesahkan napas saat menyodorkan kertas di atas meja. "Saya sempat menghubungi, tapi panggilannya sibuk," ucap Windu kecut.

Seluruh anggota WDNL mendadak menahan napas. Informasi yang diberikan Windu sama sekali tidak memberi ketenangan, terlebih kepada dua gadis yang sempat berselisih.

Riani langsung mengambil gawainya dan mengetikkan nomor tersebut. Ia melakukan panggilan pada kontak yang katanya si wartawan. Namun, persis seperti yang Windu katakan, panggilan itu berakhir dengan suara operator. Beberapa anggota yang lain pun termasuk Tanisha mencoba menghubungi nomor tersebut, tetapi mereka semua memiliki akhir yang sama.

Windu lekas menghentikan kegiatan mereka semua lalu berkata, "Kalau semuanya menghubungi, yang ada kontaknya makin tidak bisa dihubungi."

Seluruh kepala tertunduk layu. Dalam hati semuanya membenarkan pernyataan Windu yang masuk akal serta memarahi diri yang terlanjur impulsif.

"Sekarang kita balik ke rumah masing-masing, untuk nomor itu biar saya sama senior lain yang hubungi," ucap final Windu membubarkan pertemuan WDNL hari ini.

Riani segera mendesak bicara, "Kak aku mau menghubu--"

"Cukup Riani." Windu memotong ucapan Riani sangat cepat sampai-sampai membuat perempuan itu bungkam.

Pemotongan ucapan tersebut terdengar tidak enak di telinga seluruh anggota yang masih hadir. Termasuk Jehian yang ingin mengingatkan Windu untuk berbicara lebih baik, tetapi dihentikan Riani.

Pemuda berambut ikal itu akhirnya membawa Riani pergi dari sana. Suasana yang terlanjur menegangkan selepas perginya Jehian juga Riani tanpa pamit membuat yang lain canggung. Namun, Windu segera berujar dengan tutur katanya yang kalem untuk mencairkan suasana. Meski tidak berpengaruh banyak, ketegangan yang lain pun sedikit hilang.

Kelopak mata Windu turun seiring dengan kekecewaan yang melingkupi dirinya. Lagi-lagi bikin dia ngerasa bersalah! batin Windu.

Dia melirik Tanisha yang tenggelam dalam pikirannya sembari memegang si potongan kertas. "Sha, hayu balik," ucap Windu menggapai pergelangan tangan Tanisha.

______________

Kemalangan memang datang tanpa menunggu persiapan. Masalah yang diharap berlalu justru menggegerkan pagi berikutnya. Tidak dapat dimengerti kenapa berita dengan ide mengada-ada lebih cepat ramai dibanding yang bermanfaat. Begitu pula dengan topik berita yang menyangkut WDNL dan ITT, seketika menjadi buah bibir di kalangan kampus.

Setelah usaha WDNL terus menghubungi si wartawan tidak membuahkan hasil. Ternyata pagi ini berita yang dimuat mengekspos keberadaan klub anti cinta.

Windu menggerutu di grup chat mereka. Katanya, "Wartawan itu sengaja gak bisa dihubungi supaya bisa buat berita ini."

Kegegeran pagi ini menyebabkan Windu dan Tanisha harus segera menghadap bagian kemahasiswaan, begitu pula Jehian serta Riani yang wajahnya terpampang dalam berita. Sepertinya, selain menjadi bahan olokan, WDNL terancam mendapatkan peringatan.

Dalam perjalanan ke bagian kemahasiswaan Riani dihujani tatapan meremehkan. Gadis itu menyembunyikan wajahnya dengan menunduk sepanjang jalan. Namun, ketika matanya menangkap sepasang flat shoes mendekat, Riani sontak mengangkat kepala. Ia tahu sepatu itu milik Della dan benar saja temannya kini menghadang jalan Riani.

"Del—"

"Kamu teh masuk klub anti cinta?"

Riani langsung terdiam kala ditodong pertanyaan. Della menatapnya dengan sengit sehingga Riani ragu mau menjawabnya atau tidak. Suara bisik-bisik di sekitar mereka terdengar karena Della dan Riani yang sama sekali tidak berkata-kata.

"Dia cewek yang ada di berita, kan?" Perempuan yang tengah menutupi mulut saat berbisik ke temannya di sebelah tertawa kecil. "Aneh banget, anggota klub anti cinta ceunah."

Suara bariton laki-laki memanggil Riani asal, "Hei, anak WDNL! Mau pacaran sama saya gak biar gak anti cinta?" Lelaki tersebut lantas tertawa puas bersama teman-temannya. Riani ingin memberikan tatapan tajam, tetapi tidak sempat lantaran ada yang mendorongnya maju dan terus berjalan.

Ketika Riani menengok ke samping, wajah Windu yang mengeras terlihat jelas. Riani bergumam lirih, "Kak Windu ...."

"Jalan terus jangan berhenti," ucap Windu tanpa basa-basi. Mereka berdua sampai di BAK dengan tidak memedulikan semua hunjaman ledekan ke arah keduanya. Selama beberapa menit mereka menunggu Jehian dan Tanisha yang muncul satu per satu dan masuk bersama ke dalam sana.

Wajah Pak Abidin, salah satu pengurus bagian kemahasiswaan jelas terlihat tidak senang. Suara ketukan sepatu terdengar mengiris telinga seakan-akan tidak sabar menunggu dari keempat mahasiswa yang dipanggil. Begitu semuanya menghadap sang pengurus kemahasiswaan, Pak Abidin langsung memulai pembicaraan.

"Kalian ini apa-apaan?! Buat apa klub anti cinta anti cinta segala?" todongnya jengkel. "sampai keluar kampus bawa nama klub yang seperti ini? Kalian ini mahasiswa atau anak SMP?"

"Maaf atas kelakuan kami, Pak," ucap Windu setenang air.

"Kamu ketuanya?" Tunjuk Pak Abidin kepada Windu. Pemuda yang di tuju mengangguk sembari mengiakan.

"Sekarang saya tanya, tujuan adanya klub ini buat apa? Apa kalian tidak malu sudah sebesar ini masih merepotkan urusan cinta?"

Windu menarik napas diam-diam untuk menjaga ketenangan emosinya. Dia kemudian menatap Pak Abidin tak gentar sebelum menjawab, "Betul, Pak, klub ini memang berorientasi tentang cinta, tapi di sini kami menerapkan bahwa ada hal yang lebih penting dilakukan selain mengurusi cinta, sebab itulah disebut klub anti cinta."

Pak Abidin menggeleng-geleng tak percaya. Dia berpikir anak muda jaman sekarang terlalu punya banyak makanan di piring mereka. "Lalu kontribusi organisasi kalian untuk kampus apa? Kalian mungkin melakukan kegiatan seperti menyantuni panti asuhan, tapi kalian sendiri tidak mengakui nama organisasi kalian."

Pertanyaan Pak Abidin membuat keempat mahasiswa tersentak. Seolah-olah memukul telak kenyataan yang tak mereka akui.

"Itu karena kami cuma organisasi ekstra jadi kami tidak sering ... menggunakan nama organisasi."

Riani refleks menoleh ke arah Windu. Pernyataan bahwa WDNL hanya organisasi luar yang tidak sama resminya dengan kebanyakan UKM membuat gadis itu terdiam. Selama ini Riani salah memahami status WDNL di barisan UKM kampus.

Pak Abidin kemudian berbicara lagi, "Untung berita dari wartawan itu mau merombak lagi isinya, saya tidak mau ada kejadian seperti ini lagi."

"Baik, Pak," ucap serempak keempat orang.

"Dosen serta dekanat lain ingin klub ini ditiadakan, tapi saya memberi pilihan jika kalian bisa mengganti nama klub dan visi-misinya maka izin organisasi ada di tangan kalian," ungkap Pak Abidin di terakhir pembicaraan.

Namun, pemberitahuan itu terlalu mengguncang untuk empat orang yang hadir. Seusai pertemuan dengan Pak Abidin, mereka saling berdiri, tetapi tidak mengucapkan sepatah kata.

Tanisha menatap kosong lantai kampus lalu berujar, "G-gak mungkin WDNL ditiadakan, kan?"

Sayangnya, pertanyaan wanita tersebut tidak ada yang menjawab. Tanisha pun pergi dengan tergesa meninggalkan yang lainnya.

Helaan napas terdengar dari Windu. Pemuda tersebut menepuk pucuk kepala Riani berkali-kali. "Tenang, jangan khawatir," ucapnya dengan lembut kemudian dia juga pergi untuk menyusul Tanisha.

"Riani ...," panggil Jehian hati-hati. Dia menggenggam tangan Riani dan memberikannya usapan di ibu jari perlahan. Seakan-akan tengah mengirimkan kekuatan untuk menghadapi musibah kali ini.

______________

.

.

.

Jumlah kata: 1968

Bersambung

😶😶😶😶😶

What are you blabbering here, diiiiiii
Tau gak kayak umur anak baru 6 taun tapi dipaksa masuk sekolah yg kudu 7 taun usianya

Alias

Aku maksa maksain supaya make sense
Oke, otakku dah ngebul
Karakter pun dah gak stagnan, asa suaranya jadi beda

Aku tau aku salah tapi lanjuttttt jahhaha

Sekian dan Terima kasih

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top