18. Bertahan
Mata yang berkaca-kaca, bibir bergetar, gerak tubuh tak tenang. Penampilan itu tak henti-henti membayangi benak Windu. Keputusan untuk melihat keadaan Riani pada akhirnya membawa masalah, masalah pada moralnya juga hatinya.
Riani mungkin tidak sesengukan seperti gadis lain yang mendapati kenyataan bahwa kekasih mereka selingkuh. Kondisinya lebih seperti dijatuhkan dari harapan yang perempuan itu bangun sendiri dan Windu turut memanasinya.
Windu menghela napas panjang. "Akan seperti apa dia jadinya kalau tau satu alasan lagi?" Dia mendongakkan kepala lalu mengurut pucuk hidungnya. Kelelahan dalam hati dan pikiran benar-benar menguasai Windu.
Pemuda yang tengah pusing itu terpantul karena seseorang yang tiba-tiba menjatuhkan diri di sofa yang sama. Dia melirik temannya sekilas kemudian memejam mata kembali.
"Win, amer?" tawar sosok di samping.
Windu hanya melambaikan tangan lemah dan berkata, "Maneh tau aing gak minum gituan."
"Siapa tau kali ini mah hayang, soalna maneh ni jiga nu stres gitu."
"Dibere amer, makin stres," celetuk Windu.
Johan, teman sekumpulan Windu menggeleng-gelengkan kepala saat melihat keadaan Windu yang tampak kehilangan semangat. Jika percepatan usia nyata adanya, mungkin Windu sekarang ini sudah beruban dan penuh keriput hanya karena memikirkan hal sepele.
"Win, Win, lagian ngapain maneh masih pertahanin klub aneh kayak gitu," kelakar Johan asal. Akan tetapi, perkataan itulah yang membuat dua mata Windu terbuka lebar.
Pemuda rambut berpotongan pendek tersebut memberikan tatapan tajam kepada sang teman. Membuat sosok Johan bergidik karena tatapan yang seakan-akan mengulitinya. Namun, Johan bukan orang yang mudah terpengaruh intimidasi Windu. Dari sekian banyak orang yang telah berhadapan dengan Windu, tidak banyak yang tahu bagaimana sosok murah senyum ini ketika marah selain Johan.
Tanisha juga bahkan tidak pernah tahu.
Johan tersenyum miring sembari memutar-mutar gelas. "Maneh tau ngumpulin orang orang hopeless cinta gitu nasibnya gak jauh-jauh bakal cari pelampiasan." Dia menyenggol bahu Windu dan berujar sarat jenaka, "Yang nembak anggota maneh gimana jadinya? Bisa gitu cinlok di klub anti cinta."
Windu menyandarkan diri ke sofa lagi. Dia menatap langit-langit kafe dengan lamunan kosong. Pikirannya melayang ke dua perempuan yang terperangkap permainan si pria dan kini Windu turut bermain di dalamnya.
"Klub anti cinta bakal berjalan seperti biasa," ujar Windu sungguh-sungguh, "aing gak bakal biarin ada yang ngehancurin."
Johan berdecak kecil, heran dengan betapa keras kepalanya Windu mempertahankan sebuah organisasi nyeleneh. Dia meninggalkan sang Ketua WDNL untuk termenung sendirian lagi. Sementara itu, Windu mengeluarkan gawai dan langsung membuka aplikasi instagramnya.
Pemuda itu menuju pada satu unggahan dan memandangnya lama tanpa ekspresi. Emang tidak ada keterangan judulnya, tapi siapa aja yang tau bisa langsung sadar ini lagu penantian seseorang yang sempat pisah, batin Windu.
Dia menekan tombol kunci untuk mematikan gawainya. Benda persegi metal tersebut terlempar ke sebelah yang kini hanya sofa kosong. Tangan Windu beralih menopang pelipis yang kian berdenyut.
"Kalau waktu itu aing gak lihat dia sedih di kantin sebelum kumpul, udah pasti aing milih keluarin mereka berdua," gumam Windu entah pada siapa. Mahasiswa seni merangkap ketua WDNL tersebut tengah berkelana jauh dalam memorinya. Dia mengingat pertemuan keduanya dengan Riani setelah mengetahui latar belakang gadis itu.
Jika pada masa tersebut, Windu tidak melihat dan mendengar keluh kesah Riani tentang mantannya, dia sudah menetapkan akan mengeluarkannya. Akan tetapi, hati Windu yang lemah terbawa prihatin atas apa yang Riani hadapi dulu dan sekarang. Tentang kisahnya yang berakhir tanpa kejelasan dan harus berhadapan kembali dengan sosok yang ingin dilupakan.
Pada akhirnya Windu memberi kesempatan. Sayangnya, kesempatan tersebut berarti tidak terulur hanya untuk Riani, melainkan mantan gadis itu juga.
"Situasi mereka sulit, tidak ada yang benar, tapi mengatakan salah juga tidak bisa," ujarnya sembari mengambil bungkus rokok.
Windu bergeming lama tak membuka suara kemudian membuang napas kasar. "Aing paham kenapa si Jehian milih gak bilang apa-apa, anak itu ingin Riani marah supaya gak nyalahin diri sendiri."
Kepala Windu langsung jatuh merunduk. Tanpa terlihat oleh pasang mata publik di kafe, dia mengeraskan wajah dan menggeram. "Tapi siapa yang tau, buat lupain mantan tersayang sampai harus cari ...." Windu menutup mulut cepat lantaran tidak sudih melanjutkan lagi monolognya.
Tangan Windu menggebrak meja sampai bungkus rokok dalam genggamannya berhamburan. Udah kuduga, dua anak itu bakal balikan, kalau si Jehian mau lepas kondisinya dan buang niat awalnya.
Namun, sosok wajah Tanisha tiba-tiba muncul di benak Windu. Perempuan yang semangat, punya seribu kejahilan, tetapi bisa menjadi tegas di lain sisi. Windu tertawa sembari menggeleng ketika dia sudah menyadari lama kesalahannya, tetapi enggan mengaku bahkan pada dirinya sendiri.
Alasan Windu yang lain untuk memberi Riani dan Jehian kesempatan adalah karena Tanisha. Meski itu berarti membiarkan pihak lain dengan serakah maju ke dua tempat, dia tidak ingin mematahkan perasaan yang dijaganya dari jauh.
"Kalau klub ini tidak bisa bertahan, dia juga tidak punya alasan untuk tetap sama-sama di sini."
______________
Riani hanya mengeluarkan air matanya demi sesuatu yang layak untuk ditangisi. Ketika dirinya ditinggalkan Jehian, ia tidak menangis, melainkan kesal tiada akhir karena dicampakkan begitu saja. Riani justru menangis saat ia mengetahui fakta tentang teman sekelasnya yang lebih dulu menyukai Jehian.
Perasaan kecewa muncul dalam diri Riani karena tidak langsung peka dan membuat semua orang mengira dirinya menarik perhatian Jehian tanpa permisi. Riani sangat kesal hanya dengan memikirkan sebagian anak kelas yang lebih mendukung pendekatan Elsa karena dia yang duluan. Saat menyadarinya, Riani seperti figuran yang menonton dari pinggir bagaimana para tokoh utama beraksi.
"Jehian, yang ini tuh gimana, kamu ngerti gak?" tanya Elsa yang sedang nongkrong di bangku Jehian sambil mencondongkan badan pada pemuda tersebut.
Dina tiba-tiba mencolek Riani yang pandangannya tidak lepas dari sana. Begitu Riani membenarkan duduknya menghadap kelompok yang gadis itu punya sekarang, Santo di seberang menceletuk, "Kalau ingin mah tanya aja atuh, kita juga lagi kebingungan ngerjain, sama kamu mah pasti dijawab."
Riani tidak membalas apa-apa, tetapi masih melirik ke kelompok Jehian ragu. Mungkin Santo yang sudah gemas dengan keragu-raguan Riani dan progres kelompok kimia mereka yang tidak maju-maju karena tak mengerti akhirnya menuliskan sebuah catatan. Laki-laki yang menjadi teman sebangku Jehian menyodorkan kertasnya dan berkata, "Kasih ke Jehian sama kamu."
"Aku?"
"Ke Jehian?"
Anggota kelompok lain pun menganggukkan kepala, tanda untuk Riani menjalankan misi oper-operan. Riani berjalan kaku ke tempat Jehian dan tanpa kata langsung memberi kertas itu di mukanya.
Jehian mendongak kala Riani berdiri di samping mejanya, kemudian dia tersenyum simpul. "Bentar, aku tulisin dulu."
Diskusi Jehian bersama Elsa tadi putus karena kehadiran Riani. Beberapa pasang mata termasuk Elsa memperhatikan keduanya dalam diam, tetapi berbeda bagi Riani dan Jehian yang seakan-akan hanya ada berdua. Mereka tidak merasa risih akan tatapan itu lantaran sibuk menahan salah tingkah yang membuat ekspresi malu-malu kucing.
Usai menuliskan yang entah apa dipinta Santo, Jehian memberikan kertas itu ke Riani lagi. Perempuan tersebut mencicit kecil, "Makasih."
"Nanti kalau ada yang gak ngerti tanya lagi aja," ujar Jehian.
"Ok-"
"Je, kalau yang ini gimana?" Interupsi tanya yang tiba-tiba dari Elsa memotong ucapan Riani.
Riani lekas melenggang pergi, tak peduli raut keheranan Jehian atau senyum bermakna Elsa. Ia juga merasa cemburu serta tidak memikirkan dirinya lebih baik. Anak yang menyukai Jehian itu jauh dalam segala hal verbal darinya. Riani sempat berpikir, jika mereka lebih lama pendekatan, mungkin tidak ada yang menarik lagi darinya di mata Jehian.
Kini Riani hampir menangis. Ia takut menangis, membuang air mata yang tidak perlu pada sosok yang diam-diam diharapkannya, tetapi tidak mengharapkannya sejak awal.
"Jehian ngejar aku sekarang, tapi itu pas dia tau aku masih ada rasa," ujar Riani lirih, "sebelumnya, dia niat ngedeketin yang lain ...."
Riani menundukkan kepala dan menggenggam erat gawainya. "Dia ngajak berteman ... karena emang gak ada yang dia harapkan sama aku?"
"Sekarang dia ingin hubungan kita balik?"
"TERUS APA ARTINYA DULU BUKAN PERPISAHAN?" Boneka-boneka di kasur Riani berhamburan jatuh sebab terjangan kemarahan tangan gadis tersebut. Ia meringkukkan badan seperti bola, menyembunyikan wajahnya yang semakin kehilangan cahaya. "Jehian, apa kamu sengaja ngungkapin lagu itu supaya aku luluh?"
"Perasaan kamu bisa pindah secepat itu?" tanya Riani pada angin yang membisu. Ia mengangkat layar gawainya yang kini menampilkan pencarian nama pengguna instagram Tanisha di akun milik Jehian.
"Dia lagi pendekatan sama yang lain terus balik lagi hanya karena aku masih suka?"
Riani pun bangun dan duduk sila sembari mengusap tetes air di sudut mata. "Jehian, siapa yang kamu ingin sebenarnya?"
Tapi aku gak mau lagi ngerasain sakit cuma karena kamu, apa lagi berebut sama orang, ucap Riani dalam hati. Ia menelusuri gawainya dan mengetikkan dengan cepat beberapa kode sampai mengantarnya pada tampilan galeri tersembunyi.
"Bukannya kamu bajingan kalau gak punya pendirian buat ngejar seseorang?" ucap Riani pada fotonya bersama Jehian saat di trans studio. "Aku gak tau perasaan kamu yang mana saat ini, bisa jadi di lain waktu kamu suka yang lain."
Kamu mainin perasaan dua orang, Ian.
Dengan hal yang telah Riani pahami tentang kehadiran Jehian di WDNL, ia merasa memang pemuda tersebut seperti yang dibayangkan. Riani dari awal percaya jikalau Jehian tidak memiliki niat baik. Meski untuk alasan enam bulan lalu Riani masih belum menemukannya, tetapi yang satu ini ia yakin. Jehian tidak layak berada di WDNL.
"Jehian, kamu yang harus pergi!"
Riani mengingat semua peraturan WDNL yang telah ia dan Jehian langgar sejak hari pertama. Jika ia ingin mengeluarkan Jehian dan menyelamatkan tempatnya sebagai yang berhak, Riani harus menunjukkan pemuda tersebut tidak pernah sejalan dengan tujuan WDNL. Akan tetapi, Riani juga sama jelas tahu, kalau dirinya pun orang yang sama-sama melanggar peraturan WDNL.
"Membuktikan kelakuan Jehian sama dengan menyodorkan diri juga," ujar Riani dengan kening berkerut.
______________
.
.
.
Jumlah kata: 1251
Bersambung
Kamusnya nanti nyusul
Astagaaaa, makin ngaco aja ini arahnya
Kebanyakan muter -muter hal yg sama
Anyway kalo ada yg baca, silakan bagi kesan pesannya yah hahahha
Sekian dan Terima kasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top