Di Hadapan Pohon yang Mati
Arka kembali bersila di hadapan sebatang pohon bercabang tanpa ranting dan dedaunan. Barangkali cuma dia di antara yang subur. Barangkali cuma dia di antara yang lebat. Barangkali cuma dia di antara pepohonan yang masih diberi napas. Mati; gundul dan tak berdaun. Siapa? Pohon yang mati.
Menatap dalam terka pemuda yang tak rela pohon di hadapannya kandas, Arka serupa orang bertapa. Ia termangu meratapi ketandusan tunggal. Dialasi rumput hijau, dikawal segerombol batang lain yang besar dan segar, Arka lantas bertanya-tanya, mengapa hanya pohon itu yang berdiri di atas kesendiriannya?
Angin berembus ramah menyapa bentang taman kecil di depan gedung tempat Arka menimba ilmu. Langit siang senantiasa berbahagia, berbagi senyumannya dengan matahari bersemangat membakar kulit Arka. Tak ada satu manusia pun meratap bersama pemuda itu. Gemerisik daun berbisik nakal, rumput-rumput bergurau menggelitik, aroma tanah menguap bersama udara, cacing-cacing tanah saling menggeliut hangat bersama sanak keluarganya, teriakan orang-orang bersuka cita tampak menggema dari kejauhan. Hari ini sempurna, pikir Arka. Namun, ia masih pula bertanya: mengapa dia yang di hadapanku ini masih saja memiliki ruang tersendiri?
Pohon itu seakan memiliki dinding yang membatasi dirinya untuk turut merayakan keceriaan hari ini. Anugerah hari ini. Kesukacitaan hari ini. Pohon itu lebih memilih bergeming dalam duka yang tak dapat Arka pahami. Duka yang menyelimutinya kian dalam hingga seakan-akan tiada secuil pun celah yang memberinya percik keceriaan. Pohon yang mati itu benar-benar terpuruk dalam keberkabungannya yang abadi.
Menepis sekat-sekat yang menggelayut ringan di ambang dunia mereka, Arka mengajak kumbang kecil bicara, "Hamparan ini luas dan gembira, mengapa kau biarkan dia berduka sendirian?"
Kumbang itu menoleh, tampak wajahnya memberengut tersinggung. "Bukan aku, tetapi manusia," ujarnya sarat sindiran, lalu ia terbang dan hilang ditelan terik.
Mata Arka masih terpaku pada titik hilang si kumbang. Selembar daun kering jatuh pukul dua siang, kedua matanya teralih, dan terpaku pada daun di atas tanah itu.
"Manusia?" tanya Arka entah pada siapa.
Seolah mendengar tanyanya, angin yang semula ramah, mendadak berembus rusuh penuh gemuruh. Helai-helai rambut Arka melayang tak karuan, tak ingin diam di akarnya. Lalu kerotak mengilukan bersuara dari tanah. Arka tertoleh. Ia kira gempa melanda.
Ia lupa menutup mulutnya kala terkesiap tanpa suara. Matanya setengah membelalak, sementara jantungnya berpacu lebih cepat dari kereta. Arka melihat pohon yang mati itu tengah bergerak, akar-akarnya memutuskan diri dari dalam tanah, seakan-akan tengah berusaha berdiri, meloloskan diri dari jeratan bumi.
Bukan hanya itu, langit di atasnya pun bergerak secepat cahaya. Melesat terus ke arah yang berlawanan dari rotasi bumi, Arka melihat orang-orang di sekelilingnya ikut bergerak seperti menuruti waktu yang tengah bergerak ke masa lampau. Seakan waktu bergerak mundur.
Waktu bergerak mundur ...?
Arka melihat ke arah jarum arlojinya. Kepalanya pening seketika. Ketiga jarum bergerak ke arah kiri dengan kecepatan kacau. Arka melirik kembali pohon yang mati. Pohon itu terus mematahkan tiap-tiap ranting dan kayu-kayu lapuk pada tubuhnya untuk melepaskan diri dari tanah. Gerakannya yang cenderung lamban begitu kontras dengan sekelilingnya yang melesat bahkan lebih cepat dari lebatan setan. Bayangan orang-orang di sekeliling Arka kabur, entah apa yang sekarang tengah terjadi, Arka takut. Ia sebut nama Tuhan ribuan kali dalam dadanya, sepenuh hati.
Masih ia tatap pohon yang mati itu, kini tiga perempat akarnya membludak dari tanah, ranting-ranting yang semula buntung, mulai bertumbuhan dengan lebatnya, lengkap beserta daun-daun hijau yang sekarang sudah merindang menutupi sinar matahari yang timbul-tenggelam sebab waktu bumi yang terus bergerak mundur. Sementara kerut-kerut pada batangnya membentuk pola yang lama kelamaan semakin jelas bentuknya, kerut-kerut kayu itu kian membentuk sebuah wajah. Wajah pria tua. Terwujud kedua mata beserta kantungnya, lalu hidung, lalu kerut-kerut kecil yang membentuk bibir di tengah kedua pipinya yang peyot. Terakhir, sebiji kutil menyembul di sisi kiri hidung kurusnya.
Apa-apaan ini, Ya Tuhan.
Dan waktu terhenti. Angin kembali berembus tenang, segalanya kembali seperti semula. Kecuali bangunan kampus Arka yang sirna, tiada orang-orang berlalu-lalang, jejeran kendaaraan di parkiran raib, bahkan sampai lahan fakultas pun lenyap tak berbekas. Semuanya merupakan hamparan rumput luas yang ditumbuhi pohon-pohon serupa si pohon yang mati ini.
"Ah ...," lenguh Pohon tua itu bagai meregangkan tubuh.
Arka masih bergeming di tempat. Akal sehatnya mestilah rusak total.
"Selamat siang, Arka. Tak perlu takut. Ini masih tanah Jawa Barat, tak ubahnya titik kau bersila tadi," ujar sang pohon. Suaranya berat dan dalam, sarat kebijaksanaan. "Kau masih di hadapanku. Perbedaannya, detik ini kau tengah berada di masa ketika aku masih hidup, di padang rumput yang belum terjamahi manusia pada zamanmu. Kau ingat bagaimana kumbang kecil tadi menatap ketus manusia?"
Arka hanya mengangguk.
"Kami membenci bangsamu sejak kebusukan hati menguasai peradaban kalian," jelas Pohon. "Aku adalah pohon tertua di padang ini. Pada masaku, banyak sebangsamu menjadikanku ruang berteduh pekerja mereka, tempat bermain anak-anak mereka, sumber makanan untuk mereka, maupun peliharaan mereka, bahkan sebagian ada yang mengabadikan nama kekasih mereka pada kulit-kulitku," lanjutnya berkisah. "Aku sahabat mereka, mereka sahabatku. Kau, sahabatku, Arka."
Arka masih mendengarkan, ketenangan mendekapnya perlahan.
"Pada hakikatnya, manusia dan alam itu bersahabat. Keduanya bersenggama, saling mencurahkan cinta dan anugerahnya masing-masing. Sejuk dan sehat. Perpaduan sempurna ciptaan Tuhan. Namun, masa kian menua dan manusia kian lupa, bahwa mereka ada hanyalah fana. Lantas, mereka angkuh, merasa akal mereka layak merusak." Pohon tersenyum.
"Memburu binatang-binatang kesayanganku, menebangi dan membakar kerabatku, menimpa tanah pijakanku dengan beton-beton, tanpa memberi jalur pada air untuk bermuara. Egois kalian."
Arka terdiam sesaat. Tak pernah ia melakukan satu dari sekian yang Pohon sebutkan, tetapi ia merasa bersalah. "Lalu bagaimana dengan kisahmu?"
Sang Pohon berkerut kening meremehkan. "Kisahku?" Ia tersenyum miring. "Tidak begitu tragis. Aku hanya ditebang ranting-rantingnya. Tetapi aku ditebang ketika bunga-bungaku mulai tumbuh, ketika burung-burung mulai bersarang pada dahanku, ketika ulat-ulat gemar menggerogoti buahku, yang mereka semua menjerit ketika kalian menebangku. Itulah mengapa aku berduka dalam keabadian."
Arka tak mampu menimpal.
"Jangan menjadi raja yang meneraka. Jadilah manusia yang memulia."
Pohon tersenyum kembali. "Karena alam akan sayang pada kita jika kita juga sayang pada mereka."
Tangan dahan sang pohon bergerak. "Kembalilah bersenggama dengan kami, sebelum Yang Kuasa menitahkan kami."
Arka berkerut kening. "Menitahkan? Untuk?"
"Menghancurkan kalian dari muka bumi."
Langit cerah menggemuruh lagi, lalu akar-akar Sang Pohon kembali berderak masuk ke dalam. Jarum arloji Arka mulai bergerak ke arah kanan, kian lama kian cepat, seiring dengan angin yang berembus rusuh, beradu dengan kecepatan bumi berotasi secepat cahaya. Lebatan, kilasan dan perkembangan peradaban melesat hebat di mata Arka. Jantungnya berdebar lagi.
Dilihatnya kerut-kerut pada batang Sang Pohon memudar, wajahnya menghilang, ranting-ranting dan dedaunan rindang meyusut, kering, dan patah, lalu disaksikannya dalam sekejap mata orang-orang tengah menebang dahan dan ranting Sang Pohon. Kali ini Arka mendengar jeritan parau dan merana tetumbuhan, burung-burung, ulat, dan serangga di sekitar Pohon. Arka memejamkan mata mendengar jeritan alam. Ketika dirasanya semua mereda, Arka membuka sepasang matanya.
Angin kembali berdesir ramah, rumput dan kawanan pohon kembali bergurau, langit tersenyum bersama terik matahari tengah hari. Ia lirik arlojinya yang sekarang menunjukkan pukul dua siang. Bangunan kampus kembali berdiri, kendaraan di parkiran berjajar rapi, dan orang-orang berlalu-lalang seakan tiada sepucuk pun kegelisahan yang terjadi. Segalanya kembali seperti sediakala. Damai dan bahagia.
Arka mendongak. Seketika kabut kedukaan menyelimutinya, tiba-tiba saja ia turut terperangkap dalam dinding dan sekat-sekat kesendirian yang semula ia tak pahami. Baru ia paham dan merasakan keberkabungan yang mengalir dalam pembuluh kering itu. Sekarang, Arka merasa zaman telah berbeda, tetapi kebodohan yang sama masih merajalela. Sebab ia masih bersila di hadapan pohon yang mati.
-
[ KIRA'S NOTE ] - aduh fail wkwkw. Iya, dulu Kira suka maksain diksi makanya disgusting heuh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top