Additional Part -- You gotta try, try, try again!

Ini POV Jamal lagi, jadi saya langsung post.

Yang nulis Jamalenda


POV JAMAL

Gue menarik napas dalem dan menggosok - gosokkan telapak tangan gue yang dingin. Entah kenapa, walaupun gue udah nge-date sama Afrika untuk yang kesekian kali, gue masih belum bisa meredakan degup jantung nggak beraturan yang ritmenya kelewat cepet ini.

Gue usap muka gue yang berkeringat dingin dengan telapak tangan yang sudah hangat, dan mengulangi tarikan napas dalam beberapa kali sampai gue bener - bener bisa tenang.

Okay, this is it.

Wait, one last deep breath.

Done. Gue memajukan langkah gue, mengarahkan tangan ke bell rumah Afrika dan menekannya, kemudian memundurkan lagi tubuh gue selangkah. Menunggu sampai pintu terbuka, yang akan memperlihatkan sosok pujaan hati gue.

Gue terkekeh kecil karena sebutan itu dan gue jadi memikirkan seseorang yang gue sebut 'pujaan hati' itu.

He's become so sweet, day by day. Gue masih belum tahu apakah ini sudah terbilang cinta atau belum, but, I already feel that I can't get enough of him.

The way he blushes when I said sweet words to him, the way he talks when he was angry, dia yang sudah nggak malu - malu lagi meminta gue untuk menemaninya pergi ke toko buku, atau saat dia insist ingin telponan sama gue, minta ditemenin karena dia sendirian di rumah padahal gue lagi banyak kerjaan.

Apakah gue terganggu? Tentu aja enggak.

Gue malah seneng banget, banget banget, dengan dirinya yang sudah mulai membutuhkan gue. I can say, we've made a meaningful progress up till now. Cukup pelan tapi pasti. Yah, belum pasti juga sih, karena dia belum jawab confession gue.

Gue confessed minggu kemarin, tepat saat ada perayaan kembang api di taman kota. We're just hanging out, jalan santai saat sore, menceritakan diri masing - masing sampai nggak kerasa malampun datang. Ketika pesta kembang api dimulai, gue menggandeng tangannya ke tempat duduk di belakang, menghindari keramaian.

Gue nggak bisa menahan kekehan gue saat melihat dirinya yang super excited, mirip anak kecil yang dapet mainan baru. Matanya berbinar - binar karena kilat cahaya kembang api ditambah dengan buliran air mata bahagia, kedua tangannya menutup senyumnya yang lebar. Berkali - kali dia menyebutkan kalo kembang api itu indah, they're so beautiful like a million shooting stars, katanya.

Dia nggak tahu, kalau yang menurut gue paling indah itu sedang duduk di samping gue, menatap kembang api dengan sangat antusias. Tertawa bahagia dengan cantiknya. Rambutnya yang sengaja dibiarkan terurai, melambai diterpa angin malam. Menambah keindahannya yang disandingkan dengan mata bulatnya yang berbinar. Pemandangan paling indah, melebihi milyaran bintang manapun di antariksa yang membuat gue sampai sulit bernapas.

Dan gue menyatakan perasaan gue setelahnya, bahwa gue ingin kami jadi lebih dari sekadar teman. Gue ingin benar - benar mempunyai suatu ikatan dengan dirinya. Sudah nggak bisa gue pungkiri bahwa rasa ingin memiliki itu kian besar tiap harinya. Bahkan gue sudah nggak memikirkan lagi tentang kelamin kita yang sama serta masalah - masalah yang akan timbul nantinya. Semua itu sudah nggak mengganggu gue lagi. Rasa gue terhadapnya menang.

Gue ingin menjaganya, gue ingin memanjakannya, gue ingin menjadi orang yang paling dia butuhkan setiap saat.

Gue ingin dia.

Tapi gue harus menahan itu semua dan menariknya lagi dari permukaan ketika dia dengan gemetar mengatakan belum siap buat menjawab pernyataan perasaan gue. But, it's okay. Gue mengerti banget. Gue akan sabar menunggu sampai kapanpun dia siap. Sampai tiba harinya dia membalas perasaan gue.

Dan semoga hari itu adalah hari ini.

Gue mendongak ke arah pintu yang mulai terbuka.

Well, there he is. Sang Pujaan Hati gue.

"Hai. E-em.. Masuk dulu yuk." Sapa Afrika.

Gue membalas sapaannya dan mengembangkan senyum gue lalu mengangguk, menerima ajakannya.Kemudian gue berjalan beriringan dengannya menuju ruang tamunya. Bisa gue rasakan kalau dia kembali canggung bersama gue. Memang ini adalah pertemuan pertama setelah confession itu. Walaupun kita masih sering chat dan telponan tetapi gue mengerti, kenapa dia kembali canggung sekarang ini. Dan yang harus gue pikirkan adalah bagaimana menghilangkan kecanggungan itu dan menukarnya dengan perasaan nyaman.

"Lo mau minum dulu atau.. Em.. kita langsung.."

"Kita langsung jalan aja ya, nanti kemaleman. Kenya sama Mami kamu kemana? Aku mau pamit."

"Kenya pergi, Mami.. Tunggu!" Afrikamerentangkan tangannya di depan gue, "udah gue bilang kan, lo jangan pake aku-kamu!"

"Aku juga udah bilang kok ke kamu, kalau aku nggak bisa pakai gue-lo ke orang yang aku sayang." Gue nyengir.

Afrika melotot dan pipinya mulai merona kemerahan. Ya Tuhan, manisnya..

"Te-terserah!" Afrika membuang tatapannya, kemudian mulai berjalan ke arah sisi dalam rumah,"Ayok, kalo mau pamit sama Mami! Mami lagi serius nonton sinetron India di dalem, nggak bakal nyaut kalo dipanggil dari sini."

Cengiran gue melebar lagi melihat pujaan hati gue yang manis banget ini. Gue mengikuti dia dari belakang dan saat Maminya sudah kelihatan, gue meminta izin untuk membawa anaknya keluar.

Gue nggak tahu apakah Maminya itu sudah bisa mengira kalau gue membawa Afrika bukan untuk sekedar main tapi untuk kencan. Yang jelas, gue bisa melihat sirat maklum dari matanya yang lembut khas ke-ibuan, serta beliau memberi tahu gue kalau pulangnya jangan lewat dari jam dua belas malam. Afrika memutar bola matanya dan protes kalau dia itu bukan Cinderella yang mesti pulang sebelum tengah malam.

Masalah itu terbawa sampai sepanjang jalan ke luar rumah. Dia bercerita bagaimana kakak dan maminya selalu menyamakan dirinya dengan tokoh - tokoh princess di Disney atau karakter wanita lainnya. Dia bilang kalau dia benci disama - samakan dengan perempuan meskipun itu dari dunia khayalan sekalipun.

Gue hanya bisa menahan senyuman gue dan mendengarkan keluh kesahnya dengan serius. Padahal gue ingin sekali bilang, "Kamu itu memang cantik, bahkan lebih cantik dari princess di cerita manapun." Itu bukan gombal, itu memang benar apa yang gue lihat terhadap dirinya.

Tapi perkataan itu nggak gue ucapkan, nanti dia bisa tambah badmood sampai kencan kita selesai. Gue nggak mau memperparah keadaan. Gue sudah cukup bersyukur karena kecanggungannya sudah hilang dan dia sudah mulai merasa nyaman membicarakan isi hatinya kembali kepada gue dengan santai.

"Kita mau kemana sih? Dari kemarin lo nggak mau bilang! Kenapa pake main rahasia - rahasiaan segala, hm?"

"Aku nggak main rahasia - rahasiaan kok. Kalau sudah nyampe, nanti kamu juga tahukan kita mau kemana?" canda gue.

Afrika berdecak tapi detik berikutnya dia tertawa bersama gue. Kita sampai di tempat motor gue parkir. Gue menyerahkan helm yang baru gue beli, khusus untuk dia.

"Ini helm baru, kan ya?" katanya sambil memutar - mutar helm, menelisik helm barunya itu sebelum memakainya.

Gue sedikit kaget karena nggak nyangka akan dapet pertanyaan itu dari dia. "Iya, aku sengaja beli buat kamu. Yang biasanya itu helm minjem temen aku, hehe."

"Ya ampun, nggak usah sampe beli segala kali." Afrika merona lagi. "Tapi nggak apa-apa. Helm yang kemaren itu bauknya apek kaya rambutnya Kenyot!"

Gue hanya tersenyum menanggapi perkataannya.

Setelah itu, jantung gue mulai berdetak kencang tak beraturan lagi saat dia naik di boncengan.

"Pegangan, Frey." Kata gue deg - degan.

"A-apaan?! Enggak ah!"

"Biasanya juga pegangan. Nanti jatoh, Afrika sayang. Pegangan ya.." rayu gue.

Nggak ada jawaban.

Gue menunggu sambil memanaskan motor.

Setelah beberapa saat, gue tersenyum, beriringan dengan tangan Afrika yang memegang jaket gue. Bisa gue rasakan tangannya meremas jaket gue kencang. Dia pasti gugup, sama kayak gue. Gue mengusap tangannya lembut sekilas untuk menenangkannya.

"Nah, gitu dong. Udah siap, ya? Okay, aku jalan."

Selama di jalan, jantung gue terus - terusan nggak bisa diajak kompromi. Gue harus berkali - kali memaksakan diri gue untuk tetap fokus berkendara. Atau kita bisa jadi bahan berita kecelakaan di koran - koran. Kan nggak lucu.

Gue mulai masuk ke area pertokoan tempat tujuan kami. Gue mau ajak Afrika dinner sebenernya. Gue sampe research tempat diner yang bagus tapi yang masih bisa gue afford. Dan dapetlah tempat ini, hasil rekomen dari Mbak Widya. Kata Mba Widya, restoran ini baru buka dan jadi client di tempat gue kerja. Setelah Mbak Widya makan di sini, dia kaget katanya. Daging babi yang selama ini bikin dia mual gegara mesti ketemu terus sama daging babi tiap hari, bisa jadi makanan se-enak ini dan bikin dia ketagihan.

Selanjutnya gue tanya Kenya, dan ternyata babi panggang masuk ke dalam list makanan yang bikin mereka rebutan di rumah kalau Maminya lagi masak itu. Gue pun tambah semangat buat mencari tahu tentang restoran itu. Setelah gue cari tahu, restoran itu termasuk ke dalam mid-class dan makanan di sana lumayan mahal. Tapi, demi pujaan hati gue, gue tetap memutuskan buat mengajak dia ke sana. Meskipun gue harus ambil uang dari tabungan gue, nggak apa - apa. Gue yakin ini akan worth the spending.

Semoga duit gue cukup dan diapun senang. Aamiin.

Gue menggandeng tangan Afrika, berjalan mendekati pintu restoran. Sesampainya di dekat pintu restoran, dia melepas gandengan tangan gue.

Afrika mendekatkan kepalanya ke telinga gue, "Lo yakin mau makan di sini? Ini kayaknya tempatnya mahal deh. Eh, sorry, bukannya gue-"

"Nggak apa - apa," gue tersenyum, "Kalo aku kurang duitnya, tinggal nyuci piring di dapur, kan?" gue nyengir.

"Ih, nggak lucu." Afrika memukul lengan gue pelan.

"Yaudah yuk." Gue tertawa yang disambut oleh tawa pelan Afrika.

Kami lalu disapa ramah oleh seorang waitress ketika kami mulai memasuki area restoran. "Selamat malam. Selamat datang di Chef Data kitchen. Meja untuk dua orang?"

Afrika seketika itu juga terkesiap. Matanya melebar, alisnya mengernyit. Bibirnya yang tipis itu terbuka sedikit.

"Kamu kenapa?" Gue jadi ikut heran melihat reaksi Afrika yang diluar dugaan gue.

Apa dia punya trauma sama restoran ini?

"Gue nggak apa - apa kok. Em, bentar ya, Jamal. Gue mau nelpon Kenya dulu. Ada hal penting yang mau gue tanyain!"

Gue tambah heran ketika dia berlari menjauh sampai ke depan restoran dan mengeluarkan handphonenya. Dia memotret bagian depan restoran kemudian menelepon Kenya. Gue memutuskan untuk berbicara dengan waitress tadi, memesan meja untuk dua orang dan menunggu Afrika selesai.

Afrika berlari kecil menghampiri gue, "oh my God, lo tau nggak kalo yang punya restoran ini Data?"

"Hah, Data? Yang waktu itu ciuman sama Ke-" mulut gue ditutup telapak tangannya Afrika.

Damn.Jantung gue mulai nggak karuan lagi detakannya.

"Ssst! Lo, ya! Jangan kenceng - kenceng ngomongnya! Nanti kalo karyawannya Data ngedenger kan nggak enak!" serang Afrika yang lagi melotot sambil melihat ke kanan dan ke kiri.

Gue terkekeh lagi melihat tingkahnya yang lucu, gue raih tangannya yang menutup mulut gue dan mengembalikannya lagi ke tempat yang seharusnya, di dalam genggaman tangan gue. "Iya, maaf. Yuk, ngobrolnya di dalem aja. Aku udah mesan spot yang bagus di dalam."

Afrika mengangguk dan melepaskan genggaman tangan gue, tapi dia masih celingukan melihat ke kanan dan ke kiri. Saat matanya tertangkap oleh mata gue, dia berdeham dan kembali bersikap seperti biasa. Gue menyembunyikan senyuman gue yang nggak sengaja mengembang.

Kami berjalan menuju teras belakang restoran. Gue berjalan di depan dengan Afrika yang mengikuti gue di belakang. Lalu gue melambatkan langkah gue agar sejajar dengan Afrika yang sepertinya takut - takut untuk melangkah.

"Kalau kamu nggak nyaman makan di sini, kita pindah aja ya," kata gue sambil meraih pundaknya.

Dia mengambil tangan gue yang ada di pundaknya dan menatap gue, "Maaf ya, Jamal. Gue nggak apa - apa kok. Beneran." Dia memberi senyuman menenangkan ke gue dan melempar pandangannya ke arah tempat duduk kami. "Wow.. They're so cute! Gue suka banget ikan koi!"

Kami melanjutkan langkah kami menuju spot yang gue pilih, tempat duduk di atas kolam ikan koi yang berlapis kaca tebal. Gue menarik kursi yang akan dia duduki, kemudian dia memarahi gue karena gue memperlakukannya seperti wanita terus.

"Aku nggak pernah memperlakukan kamu seperti wanita kok, aku cuma ingin memperlakukan orang yang aku sayang dengan baik..." kelit gue.

Afrika membuang pandangannya dari gue dan pipinya kembali mengeluarkan semburat merah. Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke kolam ikan koi di bawah kami. Dia kembali excited dengan ikan koi kesukaannya, tetapi begitu dia sadar kalau gue memperhatikannya terus, dia jadi diam dan menyingkap anak rambutnya ke belakang telinganya dengan gugup.

"Bukan cuma kamu kok yang gugup, tapi aku juga. Jadi, tenang aja ya, Afrika." Gue meraih tangannya dan mengusapnya dengan lembut sambil memberikan senyuman gue dengan berharap dia bisa lebih tenang

Afrika mengangguk sambil tersenyum lalu memisahkan tangannya dari tangan gue.

"Selamat malam, silahkan lihat - lihat dulu menunya. Kalau sudah selesai, silahkan panggil saya kembali."

"Baik, terima kasih." Jawab gue sambil meraih buku menu yang di serahkan oleh pelayan.

Gue membolak - balikkan buku menunya. Dan gue sedikit lega karena setelah gue hitung - hitung, uang yang gue bawa cukup untuk kami makan berdua, di luar sampanye. Gue nggak bakal minum dan Afrika juga pasti nggak mau minum malam ini. Jadi, gue aman. Nggak bakal kena nyuci piring. Hehe.

"Kamu mau pesan apa, Frey?"

"Gue.. Apa ya.." Afrika juga mulai sibuk melihat - lihat buku menu.

"Katanya grilled pork di sini enak lho.Kamu suka sama babi panggang, kan?"

"Darimana lo.." mata Afrika menyipit kemudian melebar kembali. "Oh. Kenya."

"Saya sarankan Honey-Grilled Pork Loin kalau kamu suka babi panggang."

Gue melihat ke arah seseorang yang menimbrung percakapan gue sama Afrika. Afrika berjengit kaget melihat orang yang sama - sama kami kenal itu berdiri tepat di samping meja kami.

"Data!" seru Afrika.

"Hai, Afrika. Apa kabar?" sapa Data.

"Baik," jawab Afrika salah tingkah..

"Wah kebetulan kokinya datang!" kata gue ke Data, sekali lagi gue lirik Afrika yang gugup. Kenapa sih dia? "Lagi off duty ya, Bang? Mau gabung?" Gue nanya lagi.

"Oh, nggak. Sorry gangguin, aku masih ada kerjaan. Sebenernya kalo boleh, ada perlu dengan Afrika bentar."

"Hm. Oh iya, kita belum kenal secara langsung, ya?" Gue berdiri dari tempat duduk gue dan bersalaman dengan Data. "Saya Jamal, teman sekantornya Kenya."

Data tampaknya sedikit kaget dengan perkenalan gue ke dia. "Data Reza Maulana. Data aja."

Setelah berjabat tangan, gue kembali menempati tempat duduk gue.

"Biar aku yang pesankan, kalian mau pesan apa?" Data tersenyum sambil mengangkat captain order, bersiap untuk mencatat pesanan kami.

"Kamu mau Honey-Grilled Porknya kan, Frey?" tanya gue lembut.

"Mau," mata Afrika sedikit melebar setelah mengecek buku menu lagi, "Tapi.."

"Nggak apa - apa." Gue meyakinkannya sekali lagi. Ya ampun. Emang gue kelihatan kere banget ya?

"Okay, Honey-Grilled Pork Loinnya satu. Minumnya.. Hm.. Lime juice." Kata Afrika riang. Tapi begitu riang di senyumnya hilang, wajahnya berpaling dan berbisik ke gue. "Jamal, kamu beneran bawa duit, kan? Lo kan gajinya palingan sama kaya Kenya. Kalo ntar lo harus cuci piring, gue kan maluk!"

"Lime juice, ya.." kata Data pelan (pura-pura nggak peduli bisikan Afrika) yang masih bisa didengar oleh gue, mencatat pesanan Afrika sambil tersenyum.

Senyuman Data yang terakhir seperti punya arti. Seperti senyuman yang longing for someone. Gue hanya bisa menebak dan mengira - ngira. Apakah senyuman Data yang seperti itu muncul karena Afrika mengingatkannya sama Kenya?

"Kalau Mas Jamal?"

"Saya sirloin steak sapi, well done, minumnya lemon iced tea."

"Kamu nggak makan babi, Jamal?" Afrika menyahut.

Gue menggeleng lembut-nggak cantik, gue jum'atan. Kecuali kalo menu babi ini dapet potongan 50%, baru deh gue makan.

"Okay, Honey-Grilled Pork Loin dan Sirloin Steak Sapi, well done, minumnya lime juice dan lemon iced tea. Mau pesan dessertnya sekalian?"

Gue menatap Afrika sambil menaikkan alis gue dan tersenyum. Afrika mengerti, dia tersenyum lebar dan kembali melihat - lihat buku menu. "Gue mau Chocolate Fudge Brownie Ice Cream satu, Data. Kalo lo, Jamal? Eh iya, lo nggak suka makanan yang manis - manis. Itu aja, Data."

Gue kasih dia senyuman lagi. Kecut. Duh... Gegara gue sok laki kemaren, gue ngakunya nggak suka makanan manis. Padahal kan gue doyan Beng-Beng. Gigi gue ampe bolong ngemilin Beng-beng tiap hari. Tapi out of that topic, gue benar - benar tersanjung, Afrika inget sesuatu tentang diri gue.

Data menangguk dan mengulangi pesanan kami sekali lagi.

"Afrika, selesai makan gue boleh ngomong sesuatu kan sama lo, berdua aja." Data kemudian menatap gue seperti ingin meminta izin.

Afrika pun juga demikian. Gue mengangguk maklum.

"Oke, silahkan ditunggu sebentar ya. Saya permisi."

Data pergi dan masuk ke dalam. Gue kembali memandang Afrika yang kelihatan murung.

"Kenapa? Apa ada sesuatu yang mengganggu kamu?"

Afrika menghela nafas, "harusnya lo nggak usah ngajak gue makan ke tempat yang mahal begini."

"Nggak apa - apa, sekali - sekali."

"Gue beneran nggak enak sama lo, Jamal.."

"Kenapa? Apa kamu kepikiran confessionku? Tenang aja. Ini bukan sogokan kok!" gue memajukan tubuh gue, menjauh dari sandaran kursi.

"Actually, yes. Ini tentang itu. Gue masih belum bisa ngejawabnya sekarang ini." Afrika menunduk, seperti memandang ikan koi yang berenang bebas di bawah kami. "Makanya kan gue nggak enak lo jajanin mahal-mahal, nanti kalo ternyata gue nolak lo gimana? Gue nggak ada duit ya buat balikin duit lo..."

"Nggak apa - apa, Afrika.Please, jangan jadiin confessionku sebagai beban untuk kamu. Like I said before, aku akan menunggu kamu, sampai kamu siap buat menjawab pernyataan perasaanku. Aku cuma berharap, kamu bisa membalasnya karena, " gue mengambil tangan Afrika, mengaitkan jari kami satu sama lain, "I think I really am in love with you."

Afrika kembali menatap gue dengan mata bulatnya yang sedikit berkaca-kaca. Oh lucu sekali. Gue tersenyum dan mencubit pipinya dengan tangan gue yang bebas.

Gue mengeratkan genggaman tangan kami, "Tapi seandainya kamu nggak bisa nerima aku, tolong jangan jauhin aku ya. Itu aja yang aku minta dari kamu."

"Oh, Jamal. Gue nggak bisa ngomong apa - apa lagi, maafin gue." Kaca-kaca yang membayangi mata Afrika mulai berubah menjadi kristal-kristal kecil yang membasahi pipinya. Dia menaruh tangan yang satunya di atas genggaman tangan kami. Menggenggamnya erat.

Gue mulai menghapus itu dari pipinya yang halus, "Sst.. jangan nangis dong, sayang. Kita makan aja belum, lho. Nanti aja ya, lanjut nangisnya kalo udah makan, biar lebih enak nangisnya kalo perut udah kenyang."

Afrika memukul tangan gue sambil terkekeh kecil.

"Kamu bawa tissue, kan?" tanya gue.

Afrika mengangguk kemudian mengeluarkan tissue dari dalam slingbagnya. Dia keheranan saat gue mengambil tissue itu dari tangannya.

Gue mengambil beberapa tissue, lalu mengelap air matanya. Mengambil beberapa lagi setelah itu menutup hidungnya dengan tissue, "Ayo dihembusin."

"Apa?! Gue bisa sendiri, Jamal!" katanya dengan suara berdengung. Dia meraih tangan gue tapi gue bergeming.

"Frey.."

Afrika mengangguk malu - malu akhirnya kemudian dia menghembuskan napasnya lewat hidung. Gue membersihkannya dengan lembut kemudian membuang tissue - tissue bekas ke tempat sampah. Ya Tuhan kurang cinta apa gue sama dia, baru sekarang gue pake tissue buat ngelap ingus. Ingus orang lain pula. Biasanya buat ngelap pejuh.

Makanan akhirnya datang dan kita makan sambil bercanda - canda ringan. Gue nggak akan membahas masalah confession itu lagi. Gue harus berlapang dada dan bersabar sampai dia benar - benar siap buat menjawab confession gue.

Setelah selesai makan, Afrika berbicara dengan salah satu waitress, meminta tolong untuk memanggilkan Data. Gue bilang sama Afrika kalo gue akan menunggu di luar. Afrika mengangguk setuju.

Di depan restoran, gue mengambil spot yang nyaman untuk merokok. Gue berjalan dekat ke arah tempat gue memarkir motor. Bersandar pada pilar, mengeluarkan kotak rokok dan korek gue dari kantong celana, lalu mengambil sebatang. Gue menyalakan korek, menutup dengan telapak tangan gue sedikit untuk menjaga nyala api, dibantu dengan hisapan sedikit, sampai rokok gue berhasil menyala.

Gue kembali memikirkan Afrika. Dia benar - benar manis dan rapuh di saat yang bersamaan. Gue sangat membutuhkan sosok seperti dia untuk menemani hidup gue. When I'm with him, it feels so right.

Jujur, selama gue berpacaran dengan mantan - mantan gue, gue selalu merasa ada sesuatu yang mengganjal. Sepertinya karena mereka yang selalu mempunyai sisi ingin mandiri, like an independent women or something, mungkin, jadinya gue ngerasa ada sesuatu yang mengganjal. Gue sedikit nggak suka dengan wanita yang seperti itu. Selalu ada sisi dimana mereka berusaha sekeras mungkin bahwa mereka bisa melakukan sesuatu tanpa bantuan laki - laki. Wanita itu sudah kodratnya hidup dengan bantuan seorang pria. Nggak perlu harus berusaha mandiri seperti itu, menurut gue.

Sama Afrika, gue bisa maklum. Karena dia memang laki - laki. Jadi sangat wajar kalau dia ingin lebih kuat, lebih mandiri. Jadi rasa mengganjal di dada gue yang selama ini gue rasakan sama mantan - mantan gue itu nggak ada.

Dan meskipun dia itu laki - laki, di saat yang sama, naluri gue sebagai laki - laki tetap terpenuhi dengan dirinya yang manis dan rapuh, secara natural. Tanpa dibuat - buat. Gue merasa benar - benar dibutuhkan, sikapnya yang manja dan manis, membuat gue sangat ingin memilikinya. Ditambah dengan parasnya yang cantik, melebihi gadis cantik manapun.

Gue sungguh berharap kalau dia bisa menerima gue, kalaupun enggak-

"Jamal! Sorry ya lama." Afrika berlari kecil menghampiri gue.

"Nggak lama kok, " gue mengembangkan senyum gue untuknya sambil menggilas puntung rokok dan melemparkannya ke tempat sampah. "Yuk!"

Afrika diam. Matanya menatap ragu pada telapak tangan gue yang terulur. Gue nggak memaksanya, gue menunggu. Gue menanti sampai akhirnya tangannya menyambut uluran tangan gue dan membiarkan gue menggandengnya sampai ke dekat motor.

--Kalaupun enggak, asal gue bisa terus dekat dengannya, itu lebih dari cukup.

Ah tapi gue yakin kalo dia bakalan mau sama gue nanti! Gimana caranya Kenya aja deh. Kan dia yang jerumusin gue ke arena matador, jadi gue mesti dapetin matadornya. Kalo nggak, gue gundulin dia!


AN:

Unyu banget ya Jamal yaa... Saya suka deh sama dia, cucok gitu sama Afrika.

Oke, part depan, tenang aja kita ketemu lagi sama Kenya dan Delta. Terus mereka ketemu gitu sama Data dan berantem Huaaaahahahahha...

Ya ampun! Saya jadi tukang cerita nggak bisa banget ya jaga rahasia. Pokoknya, begitu POV Jamal ini hit 500 votes 300 komen, saya update.

Saya nggak muluk-muluk kok anaknya, muluk-muluk dikit part kemaren target komen 500 kaya Rendi, eh yang ada @feribian nyepam Dasar bencong cap kaki tiga!

OH karena ini part Boyslove, saya mau sekalian kasih tau saya ada cerita baru judulnya:

LDR [Long Distance Romance]

Ini Boyslove sih... tapi halal bersertifikat, bebas kata-kata jorok, nggak kaya di cerita Kenya ini. Isinya sweet sweet kaya Tim Tam. Jadi ada mahasiswa seni di jogja yang pacaran sama eksmud yang kerja di Oslo, Norwegia. Nah isi cerita ini adalah dokumen2 email dan chat mereka selama berhubungan jarak jauh. Ditulisnya bareng sama penulis lain. Saya ngga tag di sini deh, takutnya beliau nggak berkenan. Soalnya yang ini orangnya darah biru, bukan darah kotor kaya waktu saya nulis Variant dan Edd itu. Hihi...

Kamu cek aja di work saya kalo berkenan, ya?

Dadah!

Jamal titip salam katanya tuh! MAkasih ya Jamal udah mau repot2 nulis POV Jamal. Muah!

Love you, sayangggggsssssss!

-kincirmainan_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top