Additional Part-- I pick my poison and it's you


POV AFRIKA

Ya ampyun gila binggo ya kota ini, panas banget kayak di padang pasir. Gue memang belum pernah ke padang pasir sih kayak Dubai gitu yang keren, tapi gue yakin panasnya belum bisa ngalahin negara tropis. I was born in Afrika Selatan, iya memang. Cape town, written di KTP gue gitu. But gue kan cuma sampai batita di sana, so gue nggak tau gimana panasnya padang pasir.

Indonesia itu panas dan polusi pula, kalo bukan karena gue memang penasaran sama diri gue sendiri, nggak akan deh gue mau diboncengin motor butut temen sekantornya Kenya. So panas dan lengket badan gue sekarang.

Where is my magic Nano Spray, hm? Tadi kayaknya gue masukin ke kantong dalam sling bag gue, kok. Nah. Nah. Nah.

Voila! Ketemu! Gue semprotin nano spray ke muka gue dengan gerakan memutar sesuai petunjuk Variant. Gue suka banget barang ini, you know? Tante Ellen yang kasih ke gue, dia menang arisan MLM gitu. Suatu kali gue penasaran itu apaan, waktu Maminya si kembar Edd-Variant main ke rumah dan kelihatan sibuk menyemprot muka awet mudanya dengan Nano Spray ini. Eh ... dengan baik hatinya Tante Ellen ngasih gitu aja ke gue. Dia bilang, Variant udah punya, jadi tante Ellen bisa pinjem kalau mau pake.

Ngomong-ngomong soal Variant, gue harus ketemu dia like immediately. I heard from Mami, Edd-Variant itu gay semua. Kasian Tante Ellen. Of course Tante Ellen sempet shock, tapi akhirnya can deal with it. Mami bilang, Ellen itu cewek perkasa, sebab itu Om Henry tergila-gila sama dia. Mami sama Om Henry udah sahabatan dari SMA. Speaking about the twin, gue nggak mungkin nanya ke Edd, sebab dia itu tiap ngelihat gue kayak homo kelaparan. Mendingan gue nanya ke Variant gimana rasanya masukin pênis ke lubang pantat seseorang, apakah dia nggak ngerasa jijik?

Gue nggak akan mau pantat gue disodomi, like no the hell way. Meski Kenya bilang gue harus jadi bottom, gue nggak akan sudi.

Oh ya ampyun again, panasnya, padahal kami lagi duduk-duduk di J-CO yang seharusnya dingin. Gue melepas ikatan dan mengibas rambut ikal gue yang baru tadi pagi gue lulurin vitamin. Gue mencuci rambut bukan buat impres Jamal, ya. Gue mencuci rambut karena memang udah masuk intervalnya. Gue nggak tahan rambut gue lepek dan bau, rambut gue harus harum dan lembut kayak rambut Oscar Lawalata. Nggak kayak Kenya yang cuek aja meski rambutnya mulai ngegimbal. Itu cewek bisa-bisanya ya hidup kayak gitu, kalau nggak gue ingetin tentang kutu rambut yang suka hidup di bawah kulit kepala dan bikin kanker otak, dia bisa tahan nggak keramas sampai satu minggu.

"Lo bawa comb?" tanya gue ke Jamal yang ngelihatin melulu.

"Comb?" Jamal melongo.

"Comb. Sisir, buat nyisir rambut," jawab gue sambil putar bola mata.

Jamal menggelengkan kepalanya yang dilengkapi ornamen wajah sempurna. Matanya yang teduh dan bola matanya yang cokelat tanah, dinaungi bulu mata yang pendek dan kelopak mata sayu. Beda sama bola mata gue yang hitam kelam dan bulat besar. Dia bikin gue merasa bukan cowok sama sekali. Lihat warna kulitnya yang cokelat terbakar sinar matahari itu, bandingin dengan warna kulit gue yang shine bright like diamond. Lihat lengannya yang kekar dan jari-jarinya yang kasar itu, bandingin dengan lengan kurus dan jari-jari gue yang lentik ternutrisi. Apa orang-orang sadar gue ini cowok? Server J-co tadi aja manggil gue 'mbak' coba? Udah mau gue slap wajah ndeso-nya dengan tangan kosong kalau nggak ingat dia itu perempuan.

Gue nggak pernah menyakiti perempuan, perempuan yang selalu menyakiti gue.

Akhirnya gue mengangkat rambut ke atas tanpa menyisirnya duluan. Gue bikin gelungan tinggi-tinggi di puncak kepala sebelum menusuknya dengan sumpit hijau yang dicolongin Kenya dari toko bakmie organik minggu lalu.

"Kenapa?" tanya gue nggak nyaman. "Kok lo ngeliatin gue terus sih?"

Jamal tersenyum. Senyumnya lurus dan simetris, dia ganteng. Gue memang cowok, tapi gue nggak anti kok menilai ketampanan cowok lain. Ketampanan yang suka gue jeles-in. Gimana enggak? Gue itu cantik, nggak ganteng. Pipi gue putih dan halus, nggak ada guratan kelelakian di wajah gue. Kalau lagi tersipu, pipi gue akan langsung memerah secara otomatis. Biasanya, Kenya akan langsung mengeryit jijik kalo pipi gue merona.

Mata gue besar, kayak gue bilang tadi. Bagian putih di mata gue bening sebening air laut Raja Ampat. Alice bilang kalo dia natap mata gue, dia bisa ngelihat isi hati gue. Kayak kalau lagi diving di dalam air aja gimana. That whōre. I hate her. Kurang ajar dia ngebuang gue kayak sampah dan ngatain gue cowok obsesif kompulsif. Gue coba cek Facebook dia pakai akun Kenya, sebab dia sudah blokir akun gue, dia ngata-ngatain gue drag drama queen di wall. Bajingan. Gue dikatain waria.

Gue nangislah, hati gue sakit diperlakukan begitu sama cewek yang gue sayang, padahal gue udah berniat mencari kerja, supaya bisa nabung dan ngunjungin dia di Melbourne. Di sana kami bisa pacaran di taman-taman kota dan main sama koala. Eh lihat apa yang dia kasih ke gue sebagai balasan?

Emang salah kalau gue pengen tahu dia kemana aja seharian, makan apa, perasaannya pas bangun tidur gimana, dia ngimpiin gue atau nggak semalem, dan hal-hal perhatian lainnya? Kenapa cewek-cewek sekarang menganggap itu aneh? Contohnya Kenya, dia pasti ngatain gue over reacting dan mengingatkan pride gue sebagai cowok. What the heaven! Pride itu nothing kalo udah urusan cinta, ya?

Gue membasahi bibir dan melirik Jamal yang menunduk. Hidung mancungnya jatuh ke bawah, hidungnya berkarakter, lengkap dengan bulu hidung yang mengintip malu-malu. Hidung gue juga mancung, tapi bentuknya kecil dan mencuat di ujung. Mami bilang hidung gue kayak hidung Olive pacarnya Popeye. Ngawur aja, Olive itu kan lagi-lagi cewek, mereka ngerti nggak sih kalau sekali-sekali gue juga ingin dibandingin dengan sesama karakter cowok?

"Lo deket sama Kenya?" Gue bertanya pelan. Nggak enak gue udah giving him a hard time seharian ini. Gue bentak-bentak dia juga, habis, dia sama aja kayak orang lain yang suka memperlakukan gue seperti cewek.

Apalagi kejadian di bioskop tadi, gue bingung banget dia sebenernya mau ngapain. Pipi gue yang dipegang sama tangannya masih menyisakan hangat suhu badannya. Oh God, gue pikir gue mau dicium! Gue udah gemeteran pengen nonjok dia, tapi nggak gue lakuin. Gimana kalo kami diusir? Sayang kan tiketnya mahal. Gue itu belum kerja, nonton dibayarin itu hal mewah banget buat gue. Entah ya tadi dia ngomong apaan di dalem bioskop, gue nggak denger. Suaranya pelan banget, sementara kuping gue kebisingan sound dari film yang lagi diputer.

Apa gue udah melukai perasaannya?

Sekeluar kami dari theatre, dia jadi jauh lebih pendiam dari sebelumnya.

"Jamal!" Gue mengulangi panggilan.

Jamal mendongak, bibir tebal yang lebar menghiasi wajah tampannya membuka sedikit buat menjawab pertanyaan gue. Dada gue berdebar.

Yah ... gue pikir debaran ini wajarlah ya. Gue di sini bersama dia karena Kenya maksain kami bisa jadi sepasang homo bermartabat. Perasaan dan debaran dalam dada itu 'kan nggak harus antara cowok dengan cewek. Coba aja lo ditaksir sesama jenis lo dan dia happen to be secharming Hamish Daud Wyllie? Lo pasti juga ....

Enggak? Masa nggak berdebar juga sih kayak gue?

"Lumayan deket." Jamal menjawab dengan suara serak yang dalam dan dewasa. Dia pasti merokok deh kayak Kenya, makanya suaranya bisa punya efek serak-serak basah gitu. Berkali-kali juga gue mendengar dia berdeham membersihkan tenggorokan. Tck gue nggak suka perokok, gue juga nggak merokok.

"Sedeket apa?" Gue menyendok froyo, menyuapkannya ke mulut dan meratakan dingin sensasinya ke seputar bibir dengan lidah gue. Jamal melotot.

Gue juga melotot. Ngapain kami saling melotot coba? Gue melotot karena dia melotot. Gue ngerasa dia bereaksi pada cara gue menjilat froyo, makanya gue melotot.

Astaga! Ada apa sih dengan pembahasan tentang melotot ini?

Sekarang gue yang berdeham karena awkward. Buru-buru gue membersihkan sekitar mulut dengan jari. Gue nggak mau sampai Jamal kegatelan ingin menghapus noda froyo di sudut bibir gue, seperti yang selalu gue ingin lakukan ke cewek-cewek. Gue nggak pernah bisa melakukan itu, sebab gue-lah yang selalu belepotan saat menyantap es krim. Cewek gue waktu SMA, namanya Thalia, selalu suka membersihkan mulut gue kalo kami lagi makan es krim. Dia mutusin gue karena dia ngerasa lebih laki daripada gue.

Kurang ajar, gue yang pake seragam celana, ya! Gue pakai sempak dan gue punya pênis. Quite big too, you know? Gimana maksudnya lebih laki daripada gue?

"Kayak sahabat aja gimana." Jamal menjawab pertanyaan gue sebelumnya tentang Kenya.

"Yah Kenya emang dari dulu sahabatannya sama cowok." Gue mengaduk froyo lagi, memilah buah kiwi dan memakannya. Jamal mengaduk cappucino avocado frapper-nya dengan straw sambil tersenyum kecil, nggak punya bantahan tentang Kenya.

"Gue sama Kenya mirip nggak?" tanya gue lagi. Iseng aja sebenernya.

Jamal jadi punya alasan buat menatap wajah gue lekat-lekat, membikin gue memalingkan wajah ke jendela di samping kami karena tatapannya. Ya Tuhan, gue nggak tahu kalo jalan sama cowok bisa semendebarkan ini. Gue memang jarang jalan sama cowok, jarang punya temen cowok. Cowok-cowok selalu menganggap gue annoying karena cewek-cewek suka lebih melirik gue daripada mereka, dan karena kegemulaian gue, mereka menganggap gue banci.

"Mirip!" Perkataan Jamal bikin gue berhenti berpaling dari dia. Gue melongo, baru pertama kali setelah Papi ada orang yang ngatain kami mirip.

"Really? Bagian mananya?" Gue masih nggak percaya. Gue kembali mengaduk-aduk isi sling bag gue buat mengeluarkan sekeping kaca bekas kemasan two way cake Mami. Gue memagut wajah di cermin itu.

Jamal ketawa melihat tingkah gue. Gue cemberut, barulah dia kembali memasang mode serius di wajahnya yang berkarakter.

"Tell me," pinta gue. "Gue mau tau dimana miripnya gue sama Kenya."

"Well... Mata kalian sama. Gue sama-sama melihat ketulusan di sana," ujar Jamal, seolah menghantam jantung gue dengan sangat keras. Gue menjatuhkan lengan ke atas lutut, meletakkan cermin di tangan gue ke atas meja.

So, lo model cowok yang pinter bermain kata-kata begitu, Jamal Hamish Daud? Batin gue.

Ya ampun. Kenapa gue beneran jadi kayak cewek sekarang, paralized by his kind words.

"Are you trying to impress me?" tanya gue lemah gemulai.

Jamal ketawa, tawanya menawan hati. I don't know, gue nggak tau apakah cowok lain bisa moved by sweet words yang dilontarkan cowok lain kalau dia bukan gay. Tapi, to begin with, gue memang nggak perlu diingetin Kenya kalau gue itu terlalu sensitif dan sentimentil sebagai cowok. Gue nangis like all the time, ekspresi sedih gue itu hanya satu: nangis. Sementara Kenya bisa macam-macam, seperti ngebanting pintu, seribu juta kata makian, teriak-teriak, balas dendam dan lain-lain yang variatif, yang suka susah gue bedain dengan keadaannya kalau sedang marah. Dia susah nangis, sedangkan gue mudah nangis—semudah gue membalikkan telapak tangan halus gue yang ternutrisi ini.

"Apa lagi yang mirip?"—Like I said, gue itu sensitif. Gue suka hal-hal sentimentil seperti menemukan hal-hal yang membuat gue dan saudara gue mirip satu sama lain. It's such a touching thing buat gue. Kalau gue bilang ke Kenya, dia bakal suruh gue tenggelam di bath tub. Supaya gue nggak kesurupan kuntilanak lagi datang bulan saking sentimentilnya.

"I don't know...." Jamal ngedesah, menyandarkan punggung lebarnya ke sandaran sofa, lantas mulai examining wajah gue lagi.

Oh muka gue panas, apa pipi gue merona sekarang?

By the way, Jamal memang berpunggung lebar. Waktu gue ada di boncengan dia tadi, gue merasakan kemaskulinannya. Gue lebih tinggi satu sampai tiga senti dibanding Jamal, tapi bahunya jelas lebih kokoh. Lebih lebar. Kalau gue meringkuk di dadanya, gue yakin bahunya sanggup melingkupi seluruh tubuh gue.

Tuhan Yesus, apa yang gue pikirkan?

Gue memikirkan tubuh gue dalam pelukan seorang cowok dan gue malah menggigit bibir bawah gue sampai mengernyit sakit sendiri???

Oh. Gue dengan cepat menutup dan menyilangkan kaki. Gue nggak ereksi, tapi gue takut kalau gue ereksi. It means, gue khawatir akan ereksi karena seorang cowok?

"Gue tau!" seru Jamal mengejutkan gue. "Bibir lo dan Kenya mirip! Cara lo gigit bibir barusan, sering gue lihat kalo Kenya lagi sibuk di depan PC kantor. Bentuknya juga mirip, bagian atasnya sedikit lebih tebal. Which is... cute. Sweet too. Gue ingin..."

Cute? Sweet? Ingin apa?

"I am not cute and sweet!" Kuping gue merah sekarang pasti. "Dan gue ingin apa maksud lo, hm?" dengus gue.

Harga diri gue sebagai cowok serasa tercabik dalam satu kata yang bahkan mungkin nggak bermaksud dia gunakan buat melukai perasaan gue, bagaimana mungkin gue berdebar karena cowok?

Itu menjijikkan.

Ini konyol. Kenya konyol.

Jamal tampak panik di seberang gue. Cowok itu memajukan tubuhnya yang semula bersandar di sofa untuk memperpendek jarak antara kami, yang hanya terpisah oleh sebuah meja kayu mungil.

"Sorry! Gue nggak bermaksud gitu sama sekali, gue nggak bermaksud nyinggung perasaan lo!" ucapnya terbata-bata.

"Hssttt!!!!" Gue mendesis supaya dia memelankan suara. Gila ya, gue 'kan malu kalau sampai ada yang dengar! Gue dan dia itu udah so gay gay banget jalan berduaan, lihat-lihatan, sekarang malah dia so so homo gitu ke gue, pake kenceng lagi ngomongnya.

Tapi Jamal ternyata cukup bandel. Bukannya berhenti, sekarang dia justru melompati meja mungil buat duduk di sisi gue. Tubuh gue mengkerut menjauh darinya.

"Gue nggak pinter ngomong, maafin gue kalo gue nyinggung perasaan lo..." bisiknya. "Gue tau dari Kenya kalo lo sensitif banget. Bukan. Bukan maksud gue ngatain lo, jangan marah dulu. Gue... menurut gue itu nggak salah sama sekali. Buat gue lo itu so natural, gue... gue..."

So natural? Cowok yang being so sensitif itu so natural buat dia? Gue baru denger sekarang ini. Ya Tuhan... orang ini...!

"Lo... apa?" tanya gue, berharap dia mampu melanjutkan kalimatnya.

"Gue... serius pengen ngenal lo lebih jauh!"

Doeng! Gue kayak mendadak terserang demam Singapura—atau flu Singapura—entahlah—saat mendengar Jamal mengatakan itu. Panas sebadan-badan. Kulit gue terasa gatal dan kuping gue panas luar biasa. Kayak ada yang naro balsem di daun telinga gue. Anehnya ... gue nggak masalah dengan perasaan ini. Gue nggak mengibas jijik Jamal yang kepalanya mencondong ke arah gue, gue nggak protes meski setengah pengunjung lain menatap kami berdua dengan pandangan ganjil.

Ya Tuhan. Apa ini? Apa ini?

"Jam... Jamal. Lo yakin lo bukan gay?"

Jamal menggeleng. "Gue nggak tau..." katanya lemah, matanya yang sayu semakin tampak sedih.

Oh kenapa gue ingin meletakkan tangan gue ke rumpun rambut tebal di puncak kepalanya? Kenapa gue tersentuh sehebat ini? Sedahsyat ini? Seolah ada badai dalam relung dada gue? Dan kenapa gue nggak mampu mengalihkan tatapan gue dari tatapannya?

"Gue nggak tau ya, Jamal...." Gue menunduk. "Gue nggak tahu gue bersedia atau nggak lo mengenali gue lebih jauh..."

Jamal memejamkan mata, memperlihatkan kekecewaan saat gue menamparnya dengan kalimat barusan. Kalimat yang gue sendiri belum yakin apakah hal itu berasal dari lubuk hati gue yang paling dalam, atau hanya karena gue merasa malu.

Gue tersentuh, hati gue berdesir, tapi setelah gue pikir lagi, bukankah gue bahkan tersentuh tiap mendapati hal-hal yang mengharukan? Jadi gue nggak bisa menentukan apakah desiran dan ketersentuhan gue itu karena Jamal, atau karena emang gue yang terlalu sentimentil.

Yang jelas ... gue nggak suka melihat sedih di raut wajahnya.

Oh Tuhan. Hukumlah Kenya karena dia yang menyeret gue dalam situasi seperti ini. Masukkan dia ke neraka bersama Lucifer dan kroni-kroninya. Jangan hukum gue. Gue cuma korban.

"Ta... tapi... gue suka jalan sama lo, Jamal..." Gue mencoba mengembalikan keceriaan dan rona kehidupan di wajahnya. Apa gue jahat kalo gue ngasih harapan seperti ini?

"Sungguh?"—Tuh kan? Gue suka matanya yang sayu itu berbinar kembali. Gue mengangguk, tersipu.

Senyum Jamal terbit semakin lebar sewaktu gue menggigit bibir bawah gue. Gue tahu gue nggak boleh memperlihatkan ekspresi yang akan bikin jiwa homonya bangkit. Bikin Jamal semakin berani berharap. Gue yakin Jamal memiliki sisi homo dalam dirinya, meski dia belum mau mengakui bahwa dia gay. Apa namanya kalau seorang cowok mau mendekati sesama cowok yang jelas-jelas sensitif kayak gue? Gemulai kayak gue?

Gue sadar kok gue gemulai, gue sadar gue lebih pantas jadi cewek dibandingkan Kenya. Kami itu kebalikan. Bedanya, Kenya sama sekali nggak punya pikiran bahwa dia kecowok-cowokan, dia dan segala pandangan hidupnya yang kelewat easy going, sementara gue dengan berbagai macam liku-liku yang meliuk-liuk dalam kepala gue. Rumit.

Dulu, gue pernah mengenal seorang dosen muda, cowok, sewaktu gue kuliah. Orang Wales, berada di Indonesia karena program kerja sama antar pemerintah. Dia mengungkapkan cinta ke gue, dan bikin gue mati-matian menghindari dia. Suatu hari gue terjebak sama dia di suatu acara kampus, dan gue nggak bisa menghindar lagi dari permintaannya buat bicara empat mata. Gue hanya diam mendengarkan gimana dia bisa cinta gue. Cinta baginya nggak mengenal batasan. Mungkin aja suatu ketika dia jatuh cinta kepada sesama jenis—kayak ke gue gitu, tanpa dia menjadi seorang yang sepenuhnya gay. Bisa aja suatu saat yang lain dia mencintai jenis makhluk yang lain, tanpa bisa dia kendaliin. Because, katanya, love is love. Cinta itu nggak kenal batasan, yang membuat batasan adalah norma-norma di sekitar kita, agama, cara pandang kita dan bagaimana kita dibesarkan—pengalaman yang membentuk kita juga berpengaruh.

Gue nggak pernah cerita hal ini ke Kenya. Kalau gue cerita, gue yakin dia udah homoin gue dari dulu, gue nggak mau ngasih ide itu ke dia. Dia itu literally sinting!

Tapi ... mungkinkah itu berarti gue juga nggak aneh kalau merasakan debaran dada untuk Jamal?

Sebab sekarang ini, sewaktu akhirnya kami memutuskan pulang, dan Jamal berjalan di depan gue, ada bagian dari dalam diri gue yang menginginkannya berhenti untuk menanti langkah gue. Mengajak gue berjalan beriringan dengan dia, menggandeng tangan gue lagi, dan melindungi gue.

Gue terkesiap ketika di ujung keresahan gue, Jamal membalik tubuhnya. Cowok itu tersenyum menanti gue di ujung eskalator yang akan membawa kami turun. Gue menyambut senyumnya dengan senyum samar, kemudian mempercepat langkah, meski nggak gue perlihatkan dengan jelas bahwa gue mempercepatnya.

"Kak Afrika!"

Gue melonjak kaget. Sejengkal lagi gue sampai ke tempat Jamal berdiri, tapi seseorang memanggil gue. Suaranya centil, meskipun gue yakin bukan milik seorang cewek. Gue memutar tubuh, mendapati seorang pemuda melambaikan tangan ke arah gue. Di belakangnya, dua orang cowok sebaya sedang adu mulut. Yang seorang berwajah identik dengan pemanggil nama gue, sementara yang seorang lagi nggak kalah keren dengan si kembar.

"Vairy!" sebut gue senang. Gue biarin mereka bertiga menghampiri gue.

"Senengnya ketemu kakak di sini!" seru Variant, nyaris melompat riang ke arah gue. Gue membalas pelukan sayangnya, dan somehow, Variant mengerling. Dia tersenyum ke arah Jamal. Seolah memberi isyarat tahu sama tahu ke gue.

Jangan-jangan dia pikir gue gay?

Variant ini sekali lihat aja udah kelihatan gay, bukannya dia totally ngondek—meski menurut Kenya, Variant itu ngondek kelas berat, bukan kelas bulu lagi—tapi aura yang memancar darinya itu aura perempuan. Apa gue juga begitu? Gue sering ketemu Variant di Natasha Skin Care, kami sama-sama facial sebulan sekali di sana. Jadwal kami apparently sama. Dia maunya dipanggil Vairy. Kalau kami ngobrol, selalu sambil dia ngutak-atik Facebook atau minum Ultramilk. Gue temenan sama dia di Facebook. Herannya, gue nggak pernah lihat dia update status atau online di FB Messanger dengan ID Variant Altama, padahal gue tahu dominasi warna biru di layar smartphone-nya itu aplikasi Facebook. Mungkin dia pake alternate account, some might say, gay discreet suka pake akun samaran.

Variant dan Edd itu anak tante Ellen, sahabat Mami gue. Yang agak bikin gue kaget, saudara kembar Vairy yang bandelnya minta ampun itu ternyata gay juga. Anak itu agak... beringas. Ya gitu-lah, pantas setiap kami ketemu di arisan besar kompleks perumahan kami, gue sering mergokin dia ngejilat bibir ngelihatin pantat gue. Kenya yang tahu duluan, dia juga yang bilang kalo Edd berarti gay yang posisinya top. Gue bot, katanya. Apa Variant top juga? Gimana ya caranya nanya?

"Kakak ke Natasha nggak sabtu besok? Aku mau lanjut peeling Kak, lalu mau cobain masker mereka yang baru. Kata Tiara, temen aku, lagi diskon 40%."

Gue nyengir. Gue emang facial kok di Natasha, tapi nggak segitunya kayak Vairy. Gue masih punya sisi cowok, satu hal yang bikin gue feminin adalah tingkat sensitifitas gue yang berlebihan. Bukan keinginan dalam diri gue untuk memperlakukan diri gue seperti perempuan. I dare say, gue lebih kayak cowok yang peduli penampilan.

"Ant! Kak Afrika itu cowok, bukan bencong kayak lo!" sentak Edd, bikin hati gue miris. Kasihan kan Variant dikatain gitu, gue khawatir hatinya rontok sampai ke mata kaki.

Tapi ternyata Variant cukup tangguh. "Shut you, sparta!! Liam pukul dia dong buat aku!" sungutnya lalu melengos kembali ke gue dan tersenyum manis. Sementara di belakangnya, dua cowok gahar itu nyaris bergulat. Gue tahu mereka becanda, tapi gue ngeri aja mereka gebuk-gebukan begitu.

"Kak Afrika mau kemanaaa?" tanya Variant tanpa memedulikan Edd dan temennya yang dia panggil Liam.

"Mau pulang, Vairy. Kakak habis... em...." Gue ngelirik ke Jamal, "Eng. Nonton."

Variant membuat huruf O dengan bibirnya yang merah segar. "Udah selesai nontonnya ya, Kak?"

Gue mengangguk dan mundur selangkah, sebab dua orang cowok di belakang Variant itu mulai merangsek tubuh Variant sampai hampir menabrak tubuh gue. Gue terhuyung, tapi Jamal menahan gue dengan tubuhnya. Sewaktu gue menoleh untuk berterima kasih, wajah Jamal ternyata berada tepat di ujung hidung gue.

Gue lagi-lagi sontak melotot dan membuang wajah gue ke arah lain, kembali kepada Variant yang tersenyum penuh arti. Gue malu, tapi nggak tau mau meluruskan dengan cara apa. Kenapa gue merasa intim sama Jamal saat ini? Kenapa gue seolah nggak mampu menolak ketika tatapan Variant menghakimi gue?

"Edd! Liam! Ayo pulang!" jeritnya. "Kak Afrika-nya mau pacaran!"

Ugh! Dasar bencong!

Jamal malah ketawa, ngetawain tingkah Variant yang berjalan di depan sambil periksa kuku. Diikuti dua orang cowok yang akhirnya berjalan berangkulan dan saling mengacak rambut satu sama lain. Gue baru menggaruk kening karena salah tingkah, mengajak Jamal buat nerusin perjalanan kami ke bawah, tapi Jamal malah menyentuh lengan gue. Mengisyaratkan supaya gue menoleh ke belakang.

Variant terengah-engah sambil menyodorkan sebuah kupon. Gue menerimanya, tanpa pikir panjang.

"Buat kakak!" katanya dengan sebelah mata mengedip nakal ke gue. Gue belum sempat membaca kupon itu, Variant udah melompat kecil menarik bahu gue, supaya gue menunduk setinggi bibirnya. "Cowo kakak ganteng! Cocok!" bisiknya.

Sayangnya, gue yakin banget Jamal bisa denger itu. Sebab sepergi Variant, cowok itu nggak berhenti ketawa geli.

Gue mengintip kupon yang diberikan Variant ke gue. Buru-buru gue masukkan ke dalam sling bag, ke bagian yang paling dalam. Wajah gue merah saking malunya. Jamal sempat bertanya, apa yang dikasihin Variant ke gue, tapi gue nggak menjawab.

Gimana gue bisa jawab, kalau kupon itu adalah kupon alat kesehatan. Diskon 20% untuk pembelian Doūche Väginal!

Dasar homo!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top