Act 9. Never Fall into The Jealous Game

Gue sesak napas.

Mata gue melotot, nggak mau berkedip, padahal berkali-kali gue kasih perintah dalam hati buat at least mengerjap. Gue menelan ludah sebab yang ada di kepala gue, entah mengapa—oh gue malu nyebutinnya—adalah bentuk alat pipis Data yang gue lihat pada malam tahun baru. Well... memang sih malam itu remang-remang, tapi gue ingat bentuknya sebelum rubber menyelimutinya rapat-rapat seperti daging babi yang divakum, buat disimpan di freezer. Yes. Gue ingat kepalanya yang disunat demikian rapi dan mengundang siapa pun untuk mengelusnya.

Ya ampun, Kenya! Lo barusan nganu-nganu gitu tadi malam! Harusnya lo masih bisa bertahan beberapa bulan ke depan kayak gimana lo bertahan selama sembilan bulan yang lalu itu. Dulu gue nggak buru-buru hōrny sewaktu melihat Hafri—mantan keparat yang hanya bertahan sebulan lebih beberapa jam itu! Gue baru hōrny setelah beberapa jam kemudian kok, itu juga karena dia sengaja telanjang dada di depan gue. Hafri kan satu kos sama Jamal. Gue lagi main ke tempat Jamal, kebetulan dia minta air panas nggak pakai baju. Maksud gue, Hafri yang nggak pakai baju, bukan air panasnya.

Ya gue hōrny lah ya, bītch. Bukan semata-mata karena tubuh Hafri—yang kencang, berotot, dan mulus—seolah memanggil-manggil, tapi karena gue dengar ah ah uh uh dari bokep yang ditonton Jamal. Gue nggak suka bokep. Serius. Terutama kalau gue lagi berduaan aja sama Jamal. Risih aja gue. Gue biasanya nonton bokep bareng Afrika, itu juga kami iseng kalau download-an film yang bener udah habis. Gue merokok sambil mengerutkan alis, sementara Afrika bertopang dagu. Paling kami cuma mendesah dan ngasih poin seudah bokepnya kelar. That plain, buat gue nonton bokep itu. Nggak sampai kebayang-bayang, apalagi bikin kepengin.

Nah masalahnya sekarang, kenapa manusia di depan gue ini bikin jantung gue berdansa? My mind told my heart to stop. It said stop, and shut up! tapi seakan ada suara lain membantah, dan justru mengajak, Shut up and dance with me. Kayak di lagu itu, Biyatch!

No. Tekad gue. Gue nggak mau! Shut up! Shut up! Perintah gue dalam hati.

Kenapa kekesalan gue semalem lenyap begitu saja? Kemana ego gue yang semalam berapi-api ingin menyingkirkan segala sikapnya yang sentimentil itu? Mana kekhawatiran gue barusan ketika gue kebingungan mikirin bagaimana kalau Delta menangkap basah perbuatan kami pada malam tahun baru itu? Kenapa sekarang gue nggak peduli hal-hal itu saat melihat Data mendekat dengan tubuh seksi dan wajah segarnya itu? Apa bedanya gue sama dia kalau begini?

"Have fun semalem?" Data nanya.

Gue baru bisa bernapas setelahnya. Gue balik ke mode siap tempur, ada dua musuh gue saat ini. Dia dan suara hati gue. Suara hati gue ingin memelorotkan celananya, tapi gue tetap nggak mau ada story sama dia. Gue benci dia, dia bikin gue menyakiti seorang cewek. Gue benci caranya memperlakukan gue saat ada Delta. Gue nggak suka caranya menatap gue saat ada Bang Andre. Tapi berduaan gini membuat gue memikirkan banyak hal nakal yang bisa gue kerjain bersamanya. Misalnya aja, mengosongkan meja ruang tunggu dan membuat tubuhnya menindih tubuh gue. Atau sebaliknya.

"Ngapain lo kesini?" tanya gue gagap.

"Gue mau lihat sampel daging babi," jawabnya. Senyumnya menggoda. "Bang Andre tadi nelepon gue lagi. Nanyain nomer telepon kasir restoran gue."

Bangsat Bang Andre. Sialan. Terang aja gue tahu maksud senyum tersamar dari bibir Data setelah gue mengumpat pelan. Dasar om-om kurang ajar. Gobloknya gue nggak bilang kalo gue mau dia pura-pura jadi pacar gue. Dasar usil. Dia pasti ngerjain gue, dia pikir gue beneran ada sesuatu ke Data. Ini maksud dari 'I hope you leave no sorry in the future'-nya itu. Gue akan hukum dia kalo kami ketemu lagi nanti!

"Sama ini. Dari Delta."

Gue menyambut sesuatu yang ada di tangan Data. Sebuah undangan launching buku Delta, gue memeriksanya sekilas.

"Mau datang bareng gue?" Data mengerling. Shīt. Shīt. Kerlingan itu bikin wajahnya makin kelihatan memesona.

Gue nggak menjawab, masih berusaha menenangkan pikiran liar gue terhadap keseksiannya siang ini.

"As a friend?" Dia berusaha lagi.

"We're not friends." Gue mengelak tajam. Data mendengus.

"Gue sungguh-sungguh soal Alana," katanya tanpa gue minta. "Kami memang pernah deket. Dia memang suka sama gue, tapi beberapa hari sebelum gue ketemu lo, gue udah tegasin kalo gue nggak bisa jalan sama dia."

Bola mata gue berputar dengan sendirinya. Itu refleks kalau gue nggak percaya sama omongan orang.

"Lo bisa tanya Delta kalau lo nggak percaya." Data menambahkan.

"Delta? Apa yang kalian bicarain tentang gue?" Gue balas tanya.

"About that night? Nothing." Bibirnya mencebik. "Literally nothing. Tapi Delta memang banyak membicarakan lo. I got nothing to say from my side. Kan gue udah bilang, gue taurus. Taurus itu best secret keeper."

Senyum gue terbit bermaksud melecehkan ucapannya. "Thanks," kata gue walaupun begitu. Lebih karena gue lega, bukan karena gue tulus bilang makasih.

Sebelum tangan gue keram, gue mengulurkan botol air mineral yang sedari tadi gue pegang. Data menyambut botol di tangan gue.

"Gue ingin kenal lo lebih jauh, Kenya." Dia bilang pelan saat mata gue dan matanya bertemu.

Tentu aja gue seperti tersambar petir mendengar omong kosongnya. Botol air mineral di tangan gue terlepas sebelum sempat menyentuh tangan Data. Botol itu jatuh, menggelinding ke kakinya, dan cowok itu membungkuk untuk memungutnya.

Gue sempat berpikir buat berbalik, melarikan diri untuk mengambil feses babi, lalu mengancam Dwi untuk menghadapi Data. Kalau dia nggak mau, gue masukin dia ke kandang babi lalu gue kunci dia di sana semaleman. Gue yakin mamang-mamang yang pelihara babi di belakang akan dengan senang hati membantu gue, tapi nggak gue lakuin.

Gue justru berubah jadi patung sekarang.

"Well...." Dia melanjutkan. "Meskipun gue sebenernya sudah cukup mengenal lo dari Delta, dari kenangan masa kecil kita. Karena lo lupa, gue mau minta izin supaya gue bisa ngajak lo lebih dekat juga sama gue." Data berkata lancar, tanpa jeda. Tanpa keraguan.

Gue takjub, tentu saja. Gue hampir nggak bisa memercayai telinga gue yang jelas banget menangkap kata demi kata dalam kalimat Data.

Puji Tuhan, tubuh gue kemudian kembali dalam kendali gue. Mulut gue kembali bergerak dan kalimat pertama yang bisa gue ungkap adalah, "Gue masih cinta sama Delta."

Gue jujur kok. Gue memang nafsu sama tubuh di depan gue ini, tapi gue masih yakin hati dan nafsu nggak berjalan beriringan. Gue masih berharap Delta putus sama Bella, sebab gue punya satu fakta yang akan memecahkan mereka berdua. Menciptakan celah buat gue masuk.

Data menatap gue.

Gue menatapnya.

"Oke..." desah Data akhirnya. Bikin gue secara refleks mengembuskan napas yang sekian lama gue tahan. "Bisa kita lihat babinya sekarang?" tanyanya, seolah barusan kami nggak sedang ngebahas apa pun.

Gue nggak sanggup ngomong dan hanya membalik tubuh, not even sanggup kasih tau Data supaya dia ngikutin. Data berjalan di belakang gue, mengekor menuju laundry room. Gue minta dua buah jas lab dan plastic gloves ke Santi, kami memakainya dan mulai berjalan beriringan ke arah ruang pendingin.

"Lo butuh daging apaan aja? Kira-kira demand lo berapa banyak? Nanti gue catet kasih ke Mba Widya yang ngurusin ginian," kata gue tenang, bertolak belakang dengan kondisi dalam dada gue yang masih bergemuruh nggak karuan.

"Gue butuh paha belakang, san cam sama ribs aja. Mungkin tiga puluh kilo dulu empat hari sekali," jawab Data biasa aja. "Lo suka steik babi?"

"Suka," angguk gue.

"Kapan-kapan gue masakin," tukas Data. Gue yakin tanpa maksud apa-apa, jadi gue hanya mengangguk sesampainya di depan ruangan pendingin. "Datang aja ke restoran, kalau lo nggak mau ke tempat gue," tambahnya.

"Gue akan datang ke restoran." Gue memilih, padahal mah kapan gue nggak tahu. Sebab makanan yang dijual di restoran Data harganya sangat mahal, nyaris nggak masuk akal. Semalem aja makan berdua termasuk sebotol angur, Bang Andre bayar nyaris segaji gue dua minggu.

"Oke. Gue tunggu, compliment dari gue," katanya, seolah bisa ngerti jeritan bokek dompet gue bulan ini.

Oke. Kalo compliment, gue akan datang secepatnya, tapi gue nggak ngomong gitu. Gue senyum aja. Biar nggak kentara banget gue pengen ribs babi.

Gue mengetuk pintu sebuah ruangan dan langsung membukanya. "Gue bawa konsumen, mau lihat daging babi," beri tahu gue ke Sandi. Sandi melongok dari atas layar komputer, senyum, dan mengangguk. Gue menggerakkan kepala supaya Data nggak perlu sungkan-sungkan memasuki ruangan Sandi.

Gue terima kunci dari Sandi buat membuka pintu besi lemari pendingin yang luasnya setengah lapangan futsal. Gue biarin Data masuk lebih dulu, baru setelah kami berdua di dalam, gue kembali memimpin.

"Di sini rak pork ham atau paha belakang." Gue menunjuk salah sebuah rak, kemudian memasang masker yang gue ambil dari kantung jas lab. "Pake masker lo. Ada di sebelah kanan jas lab. Nanti lo sesak napas kalo kita jalan makin ke dalam."

Data merogoh kantung jas sesuai petunjuk gue, tapi nggak menemukan apa pun di dalam sana. Dia mencoba mencari di sisi yang lain, tapi tetap nggak ada.

"Gue ambilin dulu bentar," kata gue panik.

Ini nggak prosedural, harusnya ada masker di sisi kanan setiap kantung jas yang dipinjam dari laundry room. Gue baru mau ninggalin Data, tapi tangannya keburu mencengkeram lengan gue. Gue melonjak kaget karena sentuhan itu, ini ruangan dingin, tapi bagian yang disentuh Data mendadak menjalarkan hawa panas ke sekujur tubuh gue. Buru-buru gue kebas lengan gue, agar tangan Data terlepas.

"Nggak usah, gue nggak apa-apa kok," katanya sambil tersenyum manis.

Gue sebel, kok dia jadi nggak nyebelin lagi, sih? Misterius banget ya ini anak? Gue merasa konyol, sementara gue selalu memikirkan kata-kata sadis apa yang akan gue lontarkan setiap kali dia ngomong, sekarang malah dia jadi nggak menyisakan sedikit pun kesan nyebelin yang gue tangkap pertama kali dari dirinya dulu.

Gue bingung.

"Gue biasa begini. Di dapur gue waktu gue kerja di Myanmar dulu, tiap hari gue pick up sendiri daging babi dan sapi dari ruang pendingin segede gini. Tanpa masker."

Gue menurunkan masker dari muka gue. "Tapi itu kan bahaya!" rutuk gue. "Lo bisa kena paru-paru bas--"

Cup!

Gue melotot semelotot-melototnya. Bibir Data tau-tau udah nemplok di bibir gue, bersarang dengan tepat sekali gara-gara gue lagi membuka mulut buat menyelesaikan kata 'basah.' Sayangnya, ciuman itu cuma sebentar aja mampir di bibir gue. Data melepas bibirnya sedetik kemudian, dan gue melenguh kecewa.

"Sori," bisiknya.

Gue menunduk sambil membasahi bibir bekas kecupannya. Shīt. Kenapa gue nggak keberatan, sih? Apa karena nggak ada orang di sini? Apa kayak gini hubungan yang gue ingini dari Data? Hubungan yang hanya kami berdua yang tau? Apa ini namanya?

"I said I am sorry," ulangnya.

"It's okay," balas gue, masih cemberut.

Kenapa gue cemberut? Padahal gue suka, padahal gue ingin Data lebih kurang ajar lagi? Oh gue tahu. Gue masih inget plan gue kembali ngedeketin Delta. Gimana kalo sekalian aja gue bikin perjanjian sama Data? Kalo memang dia masih ingin sentuh gue sementara dia tahu perasaan gue buat Delta, bukannya itu berarti dia siap dengan segala risikonya?

Data menerima 'it's okay' gue dengan senyuman kecil. Dia mengembuskan napas, lantas membalik badan membelakangi gue. Berjalan menyusuri rak pork ham sambil meneliti beberapa bongkah daging yang sudah divakum dan dilabel.

"Gue suka tempat lo kerja, bersih dan higienis. Jarak antara kantor lo ke restoran gue juga nggak terlalu jauh, jadi sewaktu-waktu gue butuh tambahan bahan akan jauh lebih murah daripada gue ngambil ke daerah. Gue harap marketing lo bisa ngasih gue harga lebih miring," pujinya. Baru seudah itu dia berbalik dan menghadap ke gue yang berhenti sedari dia jalan tadi.

"Lo suka sama gue?" tanya gue to the point.

Data mengangguk tanpa mikir-mikir dulu, melupakan dengan cepat pembahasannya mengenai babi.

Alis gue berkerut, nggak mengharapkan jawaban secepat itu. "Karena kejadian sembilan bulan lalu itu?"

Dia kembali membenarkan kalimat gue dengan anggukan kepala.

"It was trivia thing." Gue gerakin bahu. "Itu hanya sêx, kan?"

"Memang. It was one of the best, though...," katanya jujur.

Buat gue juga kok, gue nggak banyak mengalami seks sehebat itu. Itu tergolong cepat dan bahkan tanpa adegan telanjang, tapi gue memang merasa kesannya susah hilang. Gue nggak akan mengelak bahwa kebencian gue ke Data adalah adegan yang menutup seks hebat itu, adegan seorang cewek bernama Alana yang menginterupsi dan mengguncang perasaan gue. Dua goncangan dalam semalam, yang pertama tentu tentang Delta dan Bella. Bagaimana gue nggak memiliki kesan buruk ke dia?

Ditambah lagi cara dia memperlakukan gue di depan Delta.

"Lo kayak taik kemaren, waktu kita ketemu bertiga di pesta Edo," giliran gue yang jujur sekarang.

"Gue tau." Data nggak ngebantah. Dia melangkah perlahan, mempersempit jarak antara gue dan dia. "Gue nggak bermaksud apa-apa. Gue cuma tau-tau aja pengen godain lo. Gue nggak nyangka lo sampe sekesel itu sama gue. Dan lo juga kayak taik kemaren waktu sama Bang Andre."

Napas gue tertahan sewaktu Data berhenti dua langkah di depan gue.

"Gue nggak suka ngebayangin lo ada di pelukan Andreas," tukasnya. Bikin darah gue menggelegak, dia cemburu?

Dia cemburu!

Gue bingung mesti bertanya-tanya atau kaget dengan sikapnya itu.

Tapi, tunggu. "Itu kan bukan urusan lo!" tukas gue. Gue bermaksud tegas, tapi malah terdengar lembek. Gue berdeham untuk menghapus kesan tersebut.

Gue lihat Data terkesiap dengan pernyataan gue. Apa dia berpikir gue melunak? No. Bukan itu maksud gue. Gue cuma mau bilang kalau memang dia nggak keberatan dengan hubungan 'Hanya Kami Berdua Yang Tahu', gue akan mempertimbangkannya. Akan tetapi, gue tetap masih akan memperjuangkan Delta, dan menolak memiliki kisah cinta bunga-bunga dengan adik kandung taksiran gue.

"Gue nggak suka sama lo, Dat." Gue ikutin cara Bang Andre manggil dia. Mungkin Data akan marah mendengar kalimat gue, tapi ini yang paling baik. Kalau memang dia keberatan, dia boleh nggak gangguin gue lagi. "Gue sepakat kalo it was one of the best sêx gue juga, gue nggak keberatan ngulangin itu lagi asal ada garis yang jelas antara kita berdua."

"Kenapa memangnya? Lo beneran masih ngarepin Delta?"

Iya. Gue pegang fakta penting yang mungkin akan misahin Delta dengan Bella, tapi gue nggak akan share itu dengan Data.

"Gue nggak tau kalau soal itu, toh dia udah sama Bella," bual gue. "Tapi gue masih sayang sama dia. Gue harap lo nggak pernah share ke Delta apa yang terjadi sama kita berdua."

Jakun Data bergerak, dia menelan ludah. Matanya yang hitam kelam mendadak mengerjap, seperti baru saja menyadari sesuatu.

"Jadi itu maksud lo?" tanyanya.

Gue menunggu kalimat selanjutnya.

"Lo mau kita jadi fūck buddy, maksud lo?"

Itu maksud gue sih sebenernya. We're not friends. We're not lovers. Yet, we enjoyed each other.

"Oke." Data membusungkan dada, mengatur napasnya.

Matanya menajam ke gue, bikin gue mengerut dalam berdiri gue. Ngeri juga kalau tiba-tiba dia kesel dan ngelempar salah satu pork ham ke muka gue.

"Gue bisa jadi fūck buddy. We're not friends, not yet lovers dan gue nggak siap buat jadi nothing buat lo. Gue terima kalau itu mau lo. Tapi gue punya syarat dan lo mesti ikutin syarat gue. Gue akan ikutin syarat lo juga kalo semisal ada."

Gue lagi-lagi hanya bisa menelan ludah yang lama-kelamaan semakin pahit.

"Gue nggak mau lo tidur sama orang lain selain gue, kecuali kita putus hubungan fūck buddy. Nggak dengan Andreas, nggak dengan siapa pun. Gue dan lo harus jujur semisal kita memang ada niat berhubungan dengan orang lain, no sêx during pendekatan dengan pasangan lo yang lain sampai lo mutusin hubungan kita."

Gue berpikir. Adakah jebakan dalam peraturan itu?

Meh! Gue nggak peduli. Gue bukan orang yang akan jatuh cinta karena sêx yang hebat. I did hell a lot of sêxes, none of them get me on my knees.

Gue jatuh cinta pada orang yang nggak pernah berkata nggak buat gue, orang yang selalu menerima gue apa adanya, orang yang memanjakan gue dengan perhatiannya, yang menganggap gue that same little girl he used to know, bukan pada seks yang luar biasa.

Sejauh ini, hanya Papi dan Delta yang bisa bikin gue jatuh cinta. Sejauh ini, hanya Delta yang gue cintai in romantic way. Gue yakin Data nggak punya semua itu.

"Deal!" Gue menjulurkan tangan sebagai tanda jadi. "Peraturan gue cuma dua. Satu: I can say no. I can say no kalo gue lagi nggak kepengen, I can say no kalo lo mau posisi atau sêx style yang aneh-aneh, I can say no kalau tempatnya nggak cocok, I can say no and you can't fight my refusal."

Data menggeram. "Oke. Dua?"

"Dua," sebut gue. "No jealous game."

"Fine. Datang sama gue ke launching bukunya Delta."

"No. That's not what a fūckbuddy are for." Gue menolak dengan suara dingin, gue pengin dia tau gue sungguh-sungguh soal peraturan gue. "Gue pergi sama Bang Andre. Gue nggak mau Delta tahu kita saling kenal lebih jauh dari apa yang dia tahu selama ini."

"Gue udah bilang lo nggak boleh sama Andreas." Data mengecam.

"Lo nggak kasih gue tidur sama Andreas atau siapa pun. Lo nggak bilang gue nggak boleh bergaul atau pergi sama Andreas atau siapa pun. Kalaupun itu ada di peraturan yang lo bikin, gue nggak akan setuju."

Gue menunggu reaksinya.

"Deal?" Gue mastiin lagi.

Data nggak mau menjawab gue, dia malah merangsek maju. Dia nggak bilang setuju atau menyambut uluran tangan gue. Reaksinya yang terlalu tiba-tiba itu bikin gue secara sigap melangkah mundur. Namun, kecepatan langkah gue ternyata nggak sebanding dengan kelincahan Data meraih pinggang gue. Gue nggak mencoba melawan saat tangan Data mengentakkan pinggang, dan menabrakkan tubuh gue ke tubuhnya.

Gue terengah di muka Data, muka kami demikian dekat sampai gue bisa merasakan napas gue memantul di wajahnya yang mengeras. Gue tahu dia jengkel. Gue tahu egonya terluka karena gue menawarkan hubungan semacam ini. Matanya penuh dengan kilat yang mengisyaratkan dendam, entah apa yang Data rencanakan dalam balas dendamnya nanti.

Yang jelas saat ini, dada gue berdegup kencang sampai-sampai gue khawatir Data bisa merasakan debar dada gue dalam dadanya. Kami saling menukar tatapan dengan jarak yang sangat dekat. Sedikit lagi saja bibir Data maju, wajah kami akan menyatu dalam ciuman. Gue tahu pasti dia akan maju, makanya gue buru-buru membungkam mulutnya dengan tangan.

"Kenapa? Nggak ada orang, kan?" tanyanya di dalam tangan gue yang menutup mulutnya.

Mata gue melirik ke atas, ke balik tubuh Data. Hal itu membuat Data mengikuti arah lirikan mata gue. Seudah dia tahu kenapa gue menolak ciumannya, dia melepas pinggang gue dan mengumpat.

Gue melambai ke arah CCTV yang dipasang di sudut ruangan, sebab gue tahu saat ini Jamal pasti lagi senyum-senyum di depan monitor. Mungkin dia menikmati adegan tadi sendirian, mungkin juga seluruh penghuni kantor sudah pindah tempat ke ruang HRD.

Data terpaksa menahan diri selama gue masih ada di kantor. Akhirnya sampai dia pulang, kami harus puas hanya dengan berdiskusi mengenai metode terbaik pengangkutan pesanan daging babinya empat hari sekali.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top