Act 8. Here's his number, so call him maybe?
Jamal mendorong bahu gue pelan. Gue kaget karena lagi enak-enak melamun, tapi nggak marah. Cowok itu duduk di samping gue, menyandarkan punggung ke dinding, membentangkan kedua kaki lebar-lebar. Gue menoleh buat mengecek keseluruhan mukanya. He's catching his breath, tatapannya penuh pertanyaan ke gue yang barusan menyadari sesuatu. Gue menggeser duduk sejengkal.
"Lo habis coli, ya?" terka gue.
"Kok lo tahu?" Muka Jamal mengernyit, tangannya malah sengaja mencoba menyentuh pipi gue. Gue menjerit.
"Anjing jangan sentuh gue!" Gue ancam dia pakai ujung Marlboro yang nyala.
"Bagi rokok," perintah Jamal. "Gue udah sebulan jomblo. Si Johnny Depp nggak ada kegiatan udah sebulan lebih, gue nggak tahan waktu lihat bokep barusan," jelasnya. Kayak gue butuh aja informasi gituan. Johnny Depp itu nama itunya dia.
Jamal itu hidupnya cuma kerja dan bokep, kerja dan bokep, kerja dan bokep lagi, tapi gue sayang sama dia. Dia satu-satunya manusia yang bisa gue ajak ngobrol di kantor ini. Kami cuma bersebelas di sini, pengawas kayak gue ada dua orang lain. Yang satunya udah ibu-ibu baru melahirkan, kalo break kerjaannya ke ruang steril buat perah ASI. Yang satunya lagi cowok fresh graduate, gue curiga dia bisu atau gagap. Yang lain pegawai laundry, seorang HRD lagi kayak Jamal dan beberapa akuntan dan payroll. Si bos ngga diitung, sebab dia jarang ngantor. Ada sih puluhan buruh lagi yang kerjanya ngasih makan ternak sama merah susu sapi Australi di lahan peternakan belakang sono, tapi gue nggak pernah ngobrol sama mereka.
"Kasian banget hidup lo," cemooh gue sambil menerima kembali pemantik api. Sengaja langsung gue minta, kalau nggak, bisa masuk kantong Jamal. Korek sama tutup pulpen 'kan dua buah benda yang paling sering ilang, menurut survey yang sangat bisa dipercaya. "Gue habis ngentot semalem sama Bang Andre lho. Di hotel!" pamer gue bangga.
"Hati-hati kena AIDS!"
"Enak aja gue pake kondom, ya!"
Jamal ketawa, asap rokok menyebar dari bibirnya yang tebal kecoklatan. Gue mengagumi kegantengan cowok ini. Dia kelihatan jantan dan bukan tipe yang suka main perempuan, tapi bukan nerd. Otaknya gesrek, tapi bukan penjahat kelamin. Dia cocok buat Afrika, seiyanya dia homo. Siapa tau mereka akhirnya menyadari orientasi seks mereka yang sebenarnya satu sama lain. Nanti deh gue bilang ke Jamal, siapa tahu dia mau duluan deketin Afrika. Kalau sama Jamal sih gue percaya.
Sebenernya sasaran gue ngasih tau Jamal tentang Bang Andre adalah karena gue punya informasi mengejutkan tentang apa yang gue lihat semalem. Jamal ini sama gue sekondom tiga crot, karena setali tiga uang udah terlalu mainstream. Intinya gue sohib banget deh sama Jamal, seiyanya gue cepirit di celana juga dia bakal gue kasih tau, saking gue deket dan nggak ada malunya sama dia. Nah informasi ini penting, sebab Jamal tahu semua mengenai perasaan gue ke Delta, dan itu ada hubungannya dengan ini. Ribet, ya, ini itu melulu gue dari tadi!
"Mal, gue mau curhat," kata gue.
"Bayarin gue makan mie ayam, ya?" Jamal ngasih syarat. Sama aja nih kayak Afrika! Huh!
Gue nyerah deh. Timbang mie ayam ini di depan kantor harganya murah, udah pake es teh sama kerupuk cuma tujuh belas ribu. Gue buang cigarette butts gue sembarangan, lantas beranjak. Jamal mengikuti gue berdiri, menepuk-nepuk pantat buat ngebersihin tanah yang menempel di bahan celananya, lalu gantian bantuin ngebersihin pantat gue. Gue biasa kok diginiin sama Jamal, sama Delta juga, sebab gue suka nggak peduli baju gue cemongan.
"Gue semalem ketemu Bella di hotel habis gue ngentot sama Bang Andre." Gue mulai cerita sambil kami jalan ke depan.
"Bisa nggak sih lo ngomongnya nggak ngentot?" Jamal mengembuskan asap rokoknya.
"Terus apaan dong? Ngewe?"
Gue menggosok puncak kepala gue yang kena jitak Jamal.
"Yaudah ML," koreksi gue. Meh! Kan nggak penting ya, Bītch? Artinya sama aja gitu-gitu. Cerita gue ketahan sebentar karena kami kudu nyeberang jalan. Jamal masuk duluan ke warung tenda dan memesan dua mangkuk mie ayam, serta dua es teh. Jamal pesan mie ayam bakso, gue bilang tambahan tiga ribunya mesti dia bayar sendiri, dan dia setuju.
"Bella itu yang jadian sama Delta temen yang lo taksir itu, bukan?" tebak Jamal sambil membantu gue muntahin saos dari botol ke mangkuk mie. Gue minta tambahin saosnya dikit, kata Jamal nggak boleh kebanyakan. Dia sok perhatian, waktu gue ngancem nggak jadi bayarin, langsung setengah botol mau dia tuangin ke mangkuk gue.
Gue membenarkan tebakan Jamal nyambi mengaduk mie ayam dengan sumpit.
"Iya. Yang kuliah peternakan sama gue itu, yang lo bilang cantik waktu lo lihat dia jemput gue pake mini cooper bokapnya," kata gue. "Kemarennya gue ketemu Delta di pestanya Edo. Mereka nggak barengan. Semalem gue lihat Bella sama cowok lain, keluar dari kamar hotel."
"Lo tanya dia ngapain?" tanya Jamal, belum kelar meramu mie ayam baksonya.
"Nggaklah, gue males ngobrol sama dia. Dia udah ngerebut Delta dari gue!" kata gue sengit. "Gue ngumpet. Menurut lo aja deh, emangnya dia ngapain keluar dari kamar hotel sama cowok kalo nggak buat esek-esek? Meskipun setau gue Bella itu bukan tipe yang suka selingkuh, tapi masa iya dia cuma ngobrol doang booking kamar? Kenapa nggak di tempat makan, gitu?"
"Ya siapa tahu." Jamal menggerakkan bahu, seudah itu dia jalin mie pake sumpit sampai membentuk gulungan gede yang kemudian dia telan bulat-bulat dalam mulutnya. Jamal kepanasan bentar lantas nyeruput es teh dengan sedotan. "Kan banyak kemungkinan selain esek-esek. Siapa tau itu cowok nginep di sana buat bisnis, lalu Bella jemput dia buat makan di luar?"
"Itu jam sebelas malem, tau!" Gue ngotot.
"Oke, seiyanya bener. Terus lo mau ngapain? Bilang gitu sama Delta?"
Gue mendengus kasar, mendadak nggak selera sama mangkuk mie di depan gue. Gue benci ini. Gue benci perselingkuhan, gue sebal, dan gue pengen marah. Lagian kalo mereka putus, 'kan gue juga yang happy. Gue jadi ada kesempatan buat mendekati Delta lagi. Tapi gimana kalau gue salah? Gue udah nyerita ke Afrika semalem, dan jawaban banci itu juga sama kayak calon pacarnya di depan gue ini.
Gue sih yakin banget ada sesuatu yang disembunyiin sama Bella. Semalem gue lihat mereka mesra banget. Cara cowok itu melingkarkan lengan di bahu Bella, bukan cara rekan bisnis memperlakukan rekan bisnis. Gue yakin rambut Bella masih setengah basah. Gue yakin ekspresi bahagia mereka sewaktu ngobrol dan saling tatap itu bukan ekspresi yang akan lo kasih ke rekan bisnis lo, kecuali bisnis lo bisnis pelacuran. Bang Andre juga bilang kok, kalau mereka pasti ada apa-apa. Gue jelas jauh lebih percaya sama mata dan penilaian Bang Andre-lah. Kalo kayak gini, percuma gue bayarin Jamal makan mie ayam!
"Kalau lo bilang ke Delta dan itu nggak bener, lo siap sama semua risikonya?" Jamal menyenggol bahu gue, dia udah selesai makan mie, tinggal nusuk butir bakso terakhir dengan garpu dan menyantapnya.
"Menurut lo kalo gue bilang gitu aja, Delta bakalan percaya?" Gue bales pertanyaannya.
"Mungkin aja, kan?"
Gue menggeser mangkuk mie ayam ke depan jamal. "Buat lo," kata gue. Senyum Jamal mengembang ceria. "Menurut lo mendingan gue bilang nggak ke Delta kalau gue ngelihat Bella di hotel sama cowok? Kalau misalnya dia memang nggak bohong ke Delta, paling nggak Delta tahu jam segitu ceweknya kelayapan ke mana. Iya nggak?"
Jamal mengangguk-angguk. "Tapi lo mesti pastiin dulu suasana hati Delta."
"Caranya?"
"Yah... lo pancing-pancing dulu kek reaksi dia. Lo tanyain gimana hubungan mereka, udah sejauh mana rencana pernikahannya. Kalo reaksi dia bagus-bagus aja nggak ada masalah, ya lo jangan buru-buru bilang. Nanti dia kesel sama lo, dikira lo nggak suka sama hubungan mereka. Kan lo yang ngejauh setelah mereka ketauan pacaran, gue yakin mereka bisa ngerasain kalo lo nggak setuju. Misalnya pun Delta nggak kepikiran kalo lo suka dia, seharusnya dia peka kalo lo ngehindar pasti ada alasannya."
Gue nggak jadi percuma nraktir Jamal makan mie ayam sekarang. Teori dia masuk akal banget.
"Menurut lo kapan gue baiknya bilang ke Delta? Kan besok dia launching buku, mending gue bilang sebelum atau seudahnya? Sebab kalau pas ketemu di launching itu gue bilang, pasti di sana ada Bella, kan?"
"Seudahnya aja."
"Kenapa?"
"Sebab dengan begitu lo bisa lebih dulu observasi hubungan mereka pas di launching buku. Lo mau bawa siapa ke launching bukunya Delta nanti? Jangan-jangan lo berniat pergi sendirian?"
"Gue mau ngajak Bang Andre."
"Bang Andre kenal sama Delta?"
"Nggak."
"Bagus tuh. Bagus lagi kalau lo kelihatan mesra sama Bang Andre di acara itu, biar dia mikir kalau lo udah sama seseorang, dan lo nggak punya ulterior motives ngekuak rahasia Bella."
Dahi gue mengernyit karena baru ingat ada satu hal lagi yang mengganjal. Seseorang yang pastinya bakal bikin gue awkward kalau kami ketemu. Bagus nggak terjadi pembunuhan.
"Kenapa lo?"
Gue geleng kepala. Gue kelupaan cerita sama Jamal soal Data. Gue juga nggak pernah cerita kalo gue diobok-obok sama Data pas malem tahun baru itu, jadi gue nggak bisa nanya pendapat Jamal tentang cara gue menghadapi Data nanti. Gimana seandainya gue berhasil misahin Delta dan Bella, lalu Delta jadi cinta sama gue? Gimana kalo Delta akhirnya tahu kalau gue udah gituan sama adek kandungnya sendiri?
"Kenapa sih lo? Kesambet?" Jamal nanya lagi karena gue masih bengong aja.
Oh fuck-lah. Kenapa gue jadi kayak Afrika begini kebanyakan mikir? Emangnya kenapa kalau gue udah ngentot sama Data duluan? Itu bisa dipikirin ntar-ntar, lagian belum tentu juga ini berhasil. Belum tentu juga Delta bakalan tau, masa iya Data tega ngasih tahu abangnya sendiri soal malem itu? Itu kan rahasia kami berdua dan Tuhan. Oh. Sama cewek bernama Alana itu. Dia juga tau. Ah ribet!
Yang penting, gue pisahin Bella sama Delta dulu, seudah itu gampang. Kalau misalnya Bella beneran selingkuh, berarti dia emang slūt! Whōre. Pelacur. Bukan bītch gue lagi, gue harus jauhin Delta dari whōre kayak dia.
Tiba-tiba, asyik-asyiknya gue ngelamun, Jamal teriak. "Monyet!"
Gue lompat dari kursi.
"Bayar! Gue udah kelar. Nih tiga ribu gue!" bentak Jamal.
Gue buru-buru mengeluarkan dompet dan membayar ke Pak Kamdun yang jualan mie ayam. Oh iya gue lupa belum bilang ke Jamal soal Afrika.
"Mal, Satu lagi gue mau nanyak! Emang ciri-ciri gay itu kayak gimana?" tanya gue sambil menggandeng tangan Jamal buat barengan nyeberang jalan.
"Ya yang laki ngentot sama laki," katanya asal.
"Babi lu. Kalo itu gue ngerti. Maksud gue kalo kayak Afrika gitu dia gay bukan sih?"
"Tanyain aja!" Kening Jamal mengernyit. "Kenapa lu nanya ke gue? Tanya dia suka ngelihat kenti punya laki-laki nggak?"
"Yeee! Yang namanya kenti ya punya lakik. Emang ada kenti perempuan?" Gue gebuk tangan Jamal. "Kalau lo? Lo suka?"
Jamal nggak langsung menjawab, malah menyalakan sebatang rokok hasil rampasan dari gue. Kami kembali duduk-duduk di tempat sebelum makan mie ayam tadi.
"Kalo di bokep gay 'kan banyak kentinya, Mal. Lo suka?"
"Di bokep straight juga banyak kalo nyari kenti, monyet!" Jamal memelotot, tangannya menoyor kepala gue nggak seberapa keras. Gue ikhlas, nggak bales.
Nah ... Beberapa detik kemudian, setelah mata melototnya kembali normal, Jamal melotot lagi. Kayak dapet duit aja gitu dia suka banget bolak-balik melotot. Bikin gue yang gantian mengernyit.
"Lo nuduh gue gay?" katanya menuduh gue.
Gue nggak langsung mengiyakan praduga Jamal. "Gue suka kesian sama Afrika. Dia itu harusnya jadi cewek kayak gue. Dia itu sensitif banget kayak cabe-cabean. Dikit-dikit nangis. Kalau pacaran sama cewek aja selalu diputusin karena dia terlalu ngurusin hal-hal private ceweknya, itu kan eyuh, Mal. Itu nggak cowok. Gue aja yang cewek nggak gitu!"
"Maksud lo apaan sih?"
"Lo mau nggak nyobain Afrika?"
"Maksud lo nyobain?"
"Ya kali aja lo suka sama dia. Kan lo selalu bilang dia itu kayak uke yang suka ada di bokep gay, sementara lo selalu pengen nyobain anäl sêx. Siapa tau kalian berdua gay," kata gue santai. Pikir gue, sama Jamal ini. Ngapain gue mesti milih-milih kata yang halus dan bijaksana kayak ngomong sama cowok beradab? Dia kan nggak beradab.
"Lo pikirin dulu deh, nih nomer Afrika!" Gue tarik tangan Jamal dan gue tulis nomor HP Afrika di punggung tangannya. Gue nggak lagi bawa ponsel soalnya, selama kerja, gadget kudu disimpen di dalam locker. Yah gue sering bandel sih ngumpet-ngumpet bawa ke ruangan, cuma kali ini lagi nggak aja.
Jamal nggak ngomong apa-apa. Bengong ngelihatin deretan angka yang barusan gue tulis. Kayaknya dia kena stroke ringan karena tiba-tiba gue ngomongin Afrika.
"Just take care of him well, oke? Awas ya. Gue akan tonjok lo kalo bikin Afrika nangis. Itu berarti gue pasti akan nonjok lo, soalnya belum ada yang nggak bikin dia nangis sepanjang history pacarannya. But nggak apa-apa, lo kan belum pernah gue tonjok."
Gue berniat meninggalkan Jamal karena waktu break tinggal lima menit. Gue harus mengambil sampel feses babi dari Pak Utomo buat ditaruh di lab tepat jam satu siang ini, hasilnya akan dikirim ke dinas peternakan besok pagi. Setelah menggilas rokok, Jamal mencengkeram pergelangan tangan gue. Mencegah gue beranjak.
"Gue serius!" desis Jamal. Mukanya memang kelihatan serius. "Maksud lo gimana?"
Gue mendengus sabar kayak Lady Diana almarhumah. "Persis kayak gue bilang tadi. Afrika itu lagi-lagi putus sama pacarnya yang berjenis kelamin cewek. Gue prihatin aja sama adek gue. Meskipun gue sering lebih pengen dorong dia ke jurang, tapi gue sebenernya sayang sama Afrika. You know, dia itu lebih cocok di take care dari pada men-take care. Gue yakin lo orang yang tepat!"
Jamal masih belum puas juga dengan keterangan gue. "Lo sakit jiwa apa gimana? Lo mau adek lo jadi homo?"
"Gue nggak gila, ya! Gue realistis aja. Buat apa dia maksain kalau kenyataannya itu nggak bikin dia kunjung bahagia?"
"Paling nggak 'kan lo bisa ngomongnya seriusan dikit, Kenya..." tuntut Jamal sambil pasang tampang putus harapan ngehadapin gue. "Lo ngomong beginian nyantai banget kayak lagi nyodorin gue kartu diskon karaoke buat gue pakai, gitu—"
"Enak aja!" sambar gue sewot. "Gue nggak akan bagi lo kartu diskonan karaoke-lah! Dapetnya kan susah! Mesti buka room lima jam dulu baru dapet diskon satu jam!"
Gue kena toyor lagi.
Kemudian Jamal hening, menatap punggung tangannya yang gue coretin nomor Afrika.
Baru seudah keheningan itu berlalu, Jamal mengerjapkan mata. Masih kelihatan nggak percaya saat menatap gue. "Afrika mau sama gue?"
Gue baru nyadar mata Jamal bagus, dinaungi bulu mata yang pendek dan berjajar rapi. Meski kantung matanya nggak bisa tersamarkan, tapi kekurangan itu nggak mampu menutupi kegantengan wajah maskulinnya. Gue geli ngelihat ekspresinya, tapi gue tahan. Cuping hidung mancungnya itu selalu kembang-kempis kalau panik, gue sering merhatiin itu tiap mesin absen lagi eror.
"Dia nggak bilang mau, sih. Tapi dia mau ketemu dulu sama lo. Kan dia juga baru putus sama pacar LDR nggak pentingnya yang barusan gue mention itu, dan dia mulai putus asa jalan sama cewek. Gue juga capek ngelihat dia nangis, saran gue sih kalo kalian sampe jalan, turutin aja segala maunya. Nggak susah kok sebenernya, palingan dia minta di-update setiap kali lo bergerak." Gue lalu ketawa, ngetawain nasib Jamal. Gue bisa lihat kok kilat berminat di mata cowok itu.
"Gue nggak keberatan di-posesif-in ...." Jamal menggumam.
"I know," kata gue puas. "Makanya gue bilang just give it a shot, siapa tahu kalian jodoh."
Akhirnya Jamal melepaskan tangan gue, membiarkan gue kembali ke pekerjaan. Gue nggak muluk-muluk sih berharap mereka akan berhasil, at least Afrika udah nyoba, dan ini semua karena gue percaya sama Jamal. Ya Tuhan, gue hanya berharap Afrika nggak memble lagi. Apakah itu termasuk permintaan yang muluk-muluk?
Santi melambai ke arah gue sewaktu gue mendatangi ruangannya buat mengambil jaket lab dan gloves bersih, untuk kepentingan ngambil sampel.
"Sampel udah diambil sama Dwi," beri tahu Santi.
Alis gue mengerut. Dwi itu yang gue bilang fresh graduate gagap tadi. Ngambil sampel feses babi kan bukan tugasnya, bagian dia itu sapi.
"Ada tamu buat lo di ruang tunggu," kata Santi lagi, menjelaskan kebingungan gue. "Dwi nggak mau ketemu tamu, jadi dia mau tukeran aja sama lo."
Gue mengangguk paham. "Siapa?"
"Nggak tahu, orang yang mau lihat babi. Kayaknya marketing udah kirim penawaran ke dia, tapi dia maunya ketemu sama lo dulu. Gimana?"
Gue sih nggak masalah. Gue mengembalikan jaket lab ke Santi dan berjalan ke ruang tunggu. Marketing di kantor ini cuma ada satu, namanya Mbak Widya. Dia sering banget mondar-mandir buat ngurusin pesanan, jadi siapa aja di kantor punya kewajiban melayani tamu yang mau lihat-lihat kalau Mbak Wid lagi nggak di tempat. Team marketing yang sebenernya punya kantor terpisah, Mbak Widya cuman stand by aja di sini.
Sebelum ke ruang tunggu, gue lebih dulu masuk pantry. Mengambil dua botol air mineral dingin dan sedotan. Sekalian gue benerin rambut dulu di sana.
Gue mengetuk pintu buat formalitas, dan langsung buka tanpa menunggu sahutan dari dalam.
"Selamat siang, maaf ya, lama nunggunya?" sapa gue ramah. Hawa dingin dari dalam ruang tunggu seketika menyambut muka gue yang masih menyisakan sengatan panas matahari dari luar. Gue melenguh nyaman dan mendekat ke tempat di mana tamu gue duduk.
"Nggak apa-apa kok, gue juga baru nyampe."
Gue hanya bisa bengong saat tamu itu meletakkan majalah yang dibolak-baliknya selama dia nunggu ke meja. Gue berniat menggosok mata gue karena nggak percaya dengan apa yang gue lihat, tapi karena kedua tangan gue sibuk memegang botol air mineral, gue hanya bisa mengedip beberapa kali. Berharap di kedipan kesekian, tamu yang ternyata adalah Data itu berubah wujud jadi Kamen Rider atau Detektif Kindaichi.
Tapi nggak. Tamu tersebut memang Data.
Cowok itu kelihatan jauh lebih santai dalam balutan T-shirt putih dan celana jeans. Dia berjalan ke arah gue. Rambutnya ditata rapi, senyumannya miring, tapi nggak tengil—malah kelihatan macho. Matanya hitam kelamnya menatap gue bulat-bulat. Gue merasa tubuh gue panas dan telanjang oleh tatapannya.
Gue buru-buru pasang ekspresi garang, tapi kayaknya epic fail. Sebab dalam hati gue justru teriak 'Oh God, he's so cute! And what is that on his chest beneath his bright white t-shirt?'
Pentil Data menyembul di balik bahan kausnya. Oh ya ampun. Kayaknya keras kalau dipelintir! He is so hot!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top