Act 6. No filter in my head, my stupid mouth!
Gue menyempatkan diri buat berdoa. Ya Tuhan ... semoga di dunia ini ada lebih dari satu cowok dengan nama aneh seperti itu, tapi Tuhan tidak bekerja sesederhana memenuhi semua harapan orang. Apalagi yang berdoanya cuma kalau lagi kepepet kayak gue.
Sebelum kami memilih tempat duduk, Bang Andre berbisik di kuping gue, nanyain gue mau ngerokok atau nggak. Seudah gue ngangguk, dia minta supaya kami dibawa ke ruangan yang dibolehin ngerokok. Kami mengambil tempat di teras belakang restoran yang semi-out door. Masih ada atapnya, tapi jauuuh di atas kepala, kayak nggak ada atap gitu, makanya gue sebut semi-outdoor. Kami duduk di atas kolam ikan koi berlapis kaca tebal. Gue agak ngeri kalau pecah atau gimana, sebab gue 'kan suka agak pecicilan, tapi karena Bang Andre kayaknya tenang-tenang aja, gue juga pura-pura nyantai.
"Suka nggak tempatnya?" Bang Andre menggeser duduknya lebih dekat ke gue. Mencondongkan kepalanya lebih dekat, sampai bibirnya nyaris nyentuh pipi gue. Buset ya, Bītch. Om ini bener-bener nggak pakai nunggu anget mesin dulu gitu, maunya langsung tancep gas.
Gue mengangguk, ngasih dia senyuman anak manis. "Suka, Bang. Abang suka kesini?"
"It's the second time. Yang pertama sama Kikan," katanya.
Oh iya. Seingat gue, menurut gosip yang beredar, Bang Andre pernah dekat sama Mbak Kikan, tapi Mbak Kikannya jadian sama adek tiri Bang Andre, Prasetyo. Namanya nggak kekinian banget, kesian. Mukanya juga jauh kalau dibandingin sama Bang Andre. Tuh lihat hidung sama rahang Bang Andre, duh. Gue ingin jilatin semuka-mukanya. Rasanya pasti yummy.
"Berduaan doang sama Mbak Kikan?" goda gue.
Bang Andre memencet hidung gue sepintas, "Nggak dong. Sama Bunda dan Pras juga. By the way, aku seneng deh kalo kamu panggil abang. Rasanya aku lagi main sama anak kecil aja. Jangan gue-lo dong. Aku-kamu gitu biar hangat dan mesra...."
Emang beda ya kalau jalan sama Om-om tuh, gue langsung ngerasain aroma ranjang di meja makan. Padahal makan aja belum.
"Kamu tipe-ku banget lho, Kenya." Bang Andre mengambil jari-jari tangan gue. Gue biarin aja dia berbuat sesukanya.
Gue bukan cewek yang gampang blushing, apalagi, kalo gue tau reputasi manusia yang gue hadapi. Gue taulah playernya Om-om ini, dia tuh udah jadi buah bibir cewek-cewek di sekitar gue. Tipe yang nggak akan bikin gue jatuh cinta sebenernya. Kalaupun gue jatuh di kasurnya, paling-paling kita jadi fūck buddy. Jadi fūck buddy 'kan enak, kita bisa keberatan kapan pun diajak ML. Nggak kayak pacar yang harus selalu siap sedia.
Orientasi gue sekarang nyari pacar, tapi kalo sebelum jadi pacar ada yang bisa diajak have fun ya udah nggak apa-apa. Gue orangnya nggak serakah, seadanya dikasih aja gue terima. Of course hati gue ada sama Delta. Hati sama body kan urusannya lain-lain. Beda ceritanya kalau saat ini gue deket secara fisik sama Delta, pastinya hati sama body jadi relate satu sama lain. Kalo hati udah tersentuh, body juga pengennya disentuh. Tapi kalo gue, semisal body udah tersentuh, belum tentu juga hati gue mau disentuh. Gue nggak mudah jatuh cinta.
"Emang tipe Bang Andre kayak gimana?" bales gue.
"Yang frontal kayak kamu, bersemangat, nggak munafik."
Masudnya gampangan gitu?
"Wah kayaknya udah pernah ketemu sama yang kayak gitu, nih? Sampai fasih banget nyebutinnya, Bang?"
Hidung Bang Andre mengerut lucu, lantas dia merangkai jemari buat menopang dagunya. Matanya yang indah menerawang jauh ke depan, mata orang yang cintanya nggak kesampaian. Hmmm ... dia ternyata juga sedang cari pelarian rupanya. Sama aja kayak gue.
"Ih!" Gue cubit lengannya manja. "Lagi sama Kenya kok mikirin cewe lain, sih?"
Bang Andre ketawa nyantai, nggak kelihatan kaget sama sekali. Emang player handal nih. Gue bukan player sih, tapi gue tahu mana player mana enggak. Santai, ngadepin kayak beginian mah, kecil.
Kalau kata Afrika, gue itu nggak punya woman sense sama sekali. Insting gue buat ngejauhin player itu nggak ada, bukan karena gue attracted sama bad boy, tapi karena gue nggak masalah sama mereka. Gue bisa tahu kapan gue pake hati, kapan enggak. It doesn't matter kalau cowok cuma mau main-main aja, gue juga bisa. Gue nggak akan menye kayak cewek-cewek yang dendam karena udah disakiti, sebab gue juga bisa dari awal nge-set hati on atau off.
Hati gue on kalau sama Delta doang. Ribet.
"Selamat malam, udah enak duduknya?" Seorang pelayan sampai ke meja kami dan membentangkan dua buah buku menu. "Malam ini kami ada diskon 30% buat menu rib eye dan tenderloin dengan penggunaan kartu kredit Bank Mandala. Silakan lihat-lihat dulu menunya. Panggil saya kalau sudah siap order."
Bang Andre nggak ngelihat buku menu sama sekali. Dia malah nanya. "Chef Data ada? Bisa tolong panggilin? Saya Andreas dari Public City Advertising. Saya ada informasi penting buat beliau."
Jantung gue langsung mengkeret. Buru-buru gue teguk air putih di depan gue.
Begitu pelayan meninggalkan kami, Bang Andre pasang tampang serius. "Kebetulan aku lagi sama kamu. Chef Data ini sekolah masak dua tahun di Perancis, pengalamannya udah banyak di Myanmar, sekarang pindah ke Indonesia buat ngembangin usaha. Di sini ada Mama dan kakak laki-lakinya. Baru buka satu restoran di sini, restorannya di Myanmar cuma dia pantau sebulan sekali."
"Ngapain Bang Andre panggil-panggil dia?" rutuk gue.
"Oh. Kapan kami ketemu lalu, dia bilang lagi nyari supplier daging babi. Kakaknya dia itu penulis terkenal, lho!" bisik Bang Andre ngejawab rutukan gue.
Gue mah udah mau bunuh diri aja rasanya, berarti beneran Data yang itu.
Nah kan bener. Belatung nangka itu tampak sedang menunduk di depan seorang pelayan yang membisikkan sesuatu ke kupingnya. Data tinggi semampai, mungkin setinggi Afrika, makanya dia harus nunduk supaya bibir pelayan itu mencapai telinganya.
Kalau dia belatung nangka, gue harus akuin dia belatung nangka paling ganteng yang pernah gue lihat. Apalagi dalam kostum koki serba putih dan celemek hitam, dia kelihatan jauh lebih seksi daripada pakai baju sehari-hari.
Gue jadi ingat mukanya waktu ōrgasme dulu. Oh shīt. No. Gue nggak boleh mikir jorok, nanti muka gue merah. Kalo muka gue merah, gue akan kelihatan makin tolol di depan cowok itu.
Data dan gue nyaris seumuran, tapi kami nggak pernah satu sekolah. Gue lebih tua sih beberapa bulan aja dari dia, cuma di sekolah gue selisih satu kelas lebih tinggi. Delta dua tahun lebih tua dari kami. Gue lebih dekat sama Delta karena kami sekelas di sekolah musik dulu. Bukan sekolah formal, cuma sekolah pengarahan bakat aja. Gue sama dia sama-sama ngambil olah vokal, dia emang suaranya bagus, sementara gue ikut choir gereja.
Gue tahan napas sepanjang langkahnya mendekat ke meja kami. Sempat menangkap ekspresi terkejut sewaktu dia ngenalin muka gue, tapi habis itu, gue seolah bisa memahami telepatinya supaya kami pura-pura saling nggak kenal di depan Bang Andre. Data berjabat tangan sopan dengan Bang Andre, dan gue dikenalin seudah mereka basa-basi sebentar.
"Kamu udah dapet supplier daging babi belum, Dat?" Bang Andre to the point. Suaranya itu loh ya, merdu agak genit gitu. Nggak ke cewek, nggak ke cowok sama aja ini orang. Auranya ngajak gituan.
Kenapa nggak kepikiran manggil dia 'Dat'? Biar beda dari panggilan gue ke Delta? Eh tapi ... kenapa gue jadi ruwet mikirin panggilan gue ke Data?
"Belum, Om." Data ngelirik ke arah gue. Gue buang muka.
Entah gimana, gue merasakan ada kilat berbeda di mata Bang Andre sewaktu ngelihat gue buang muka. Shīt-lah ya. Om-om ini udah jauh lebih banyak makan asam garam soal beginian. Gue langsung tahu Bang Andre bisa mencium apa kira-kira yang udah terjadi antara gue dan Data.
Karena itu-lah, Bang Andre justru meremas jari gue di atas meja. Gue yakin dia sengaja supaya Data ngelihat. "Kenya ini kerjanya di Bacon and Beef Love County Ranch, siapa tahu dia bisa bantu kamu jadi supplier daging babi buat restoran kamu. Aku suka daging babi," katanya, lalu ketawa renyah.
"Oh saya tahu kok Bacon and Beef Love County Ranch sudah ada penawaran masuk minggu lalu. Saya lagi survey harga juga di pemotongan lain." Data melempar senyum ke Bang Andre aja, ke gue nggak. Makin kelihatan kalau kami ada apa-apa, buat apa dia nggak natap, atau senyum ke gue juga?
"Oh, ya bagus deh. Coba di tempat Kenya aja, bagus lho kualitasnya. Ya kan, sayang?"
Kimbek nih orang, dasar busuk dua-duanya. Gue senyum terkulum aja buat menyetujui pujian Bang Andre.
"Boleh deh. Saya minta nomor handphone-nya ya, Mbak Kenya?" Bibir Data mengukir senyum sopan.
Bang Andre menyahut sebelum gue bilang sesuatu. "Lho kan ada nomor kantor di email penawaran, Dat. Kamu telepon langsung aja ke sana, nanti biar Kenya proses sesuai prosedur. Lebih enak gitu kan, Say?"
Gue sama Data lihat-lihatan. Kena banget kami dikerjain sama Bang Andre, ditarik ulur kayak layangan bego.
"Oke deh, besok saya telepon langsung ke pemasaran aja. Semoga bisa dapet diskon, ya, kalo kenal sama orang dalem," Data membungkuk sesopan senyuman yang masih terpasang di mukanya. "Sudah cek menu? Biar saya catat sekalian pesanannya."
"Aku mau nyobain sirloin steik sapi Australi-nya, ya, Dat? Make it half cooked, ya? Jangan terlalu matang, tapi jangan terlalu merah. French sauce aja. Banyakin basilnya. Pilihin kami wine yang bagus, oke? Kenya lagi pengen minum." Bang Andre menambahkan kikik nakal di akhir pesanannya.
Setaaan, batin gue.
Data menahan senyum sambil melirik gue, sementara tangannya sibuk nulis order Bang Andre. Gue pura-pura nggak merasa, sibuk membaca deskripsi menu satu per satu, meski gue paham makna senyuman Data.
"Aku pipis dulu, ya, Kenya. Kamu pesan apa aja yang kamu suka. Pesen juga dessert kalau kamu mau, aku skip," pamit Bang Andre, ninggalin gue sama Data berduaan. "Serve her well, ya, Chef," bisiknya. Sebelum pergi, ditepuknya bahu Data kayak temen lama.
Gue tetep diam, nggak ngebahas apa pun seperginya Bang Andre, memusatkan konsentrasi pada buku menu.
"What's your suggestion?" tanya gue akhirnya.
"Never have sex after steak, you'll be too lame in bed." Data mendengus kurang ajar.
Gue cuekin. Makin gue ingin ngentot aja sama Bang Andre buat bikin dia kesel. Kalau perlu di depan dia sekalian. Gue nggak tahu kenapa, gue keki berat sama Data. I mean c'mon. Itu 'kan hanya seks, mana udah sembilan bulan lalu, memang it felt good and it was my last best sex after nine months. But still, harusnya gue udah over it se-over-overnya.
"Gue mau mix grill." Gue memutuskan. "And who said we're gonna make it in bed?"
Data nggak menanggapi. "Brown sauce?" tanyanya.
Gue mengangguk. Data nge-cek kapten ordernya.
"Yah soalnya mau di mana lagi?" tanyanya out of the blue. Gue mengernyit sejenak dan baru nyadar kalo barusan dia menjawab kalimat gue sebelumnya, "Dia kan udah 40 tahun, ya? Masa dia masih kuat ngentot lo sambil gendong?"
Sial. Gue sengaja nggak bereaksi. "Dia baru 34 meski kelihatan kayak 28. Dia masih bisa ngentot sambil kayang, you know?" balas gue kalem.
"Semoga aja dia nggak patah tulang belakang," timpal Data hampir bersamaan dengan tangannya yang bergerak membalik kapten order. "Mau minum apa? Tea mint, mungkin? Supaya mulut lo ngga bau."
Gue mencengkeram pinggiran meja, udah siap balik meja aja nih saking gue gemes pengen garuk muka dia. Namun, nggak gue lakuin. Gue menyalakan sebatang rokok dengan gaya sesantai mungkin dan mengembuskan asap ke arahnya.
"Yah seiyanya mulut gue bau, masih ada kok orang yang nyosor gue duluan," kata gue.
Suasana memanas, rahang Data mengeras saat melancarkan serangan terakhirnya. "Usahain aja supaya anggurnya bereaksi sama dia, biar dia nggak terlalu keganggu sama kenyataan yang bakalan dia hadapi nanti."
"Oh, oke. Gue akan catat itu." Gue menjentikkan abu rokok sembarangan. "Bang Andre sih setau gue orangnya fair, kalau dia mau ya dia bilang mau. Nggak perlu pura-pura mabuk supaya bebas ngelakuin apa aja ke partner ngentotnya."
Data pasti tahu banget maksud gue apaan, tapi terlalu angkuh buat mengakuinya. Bukannya membalas sindiran gue, dia menyodorkan asbak. Alih-alih melanjutkan perang nuklir, dia kembali nanya. "Minum apa?"
"Lime juice," kata gue tandas. Ngerasa menang.
"Pilihan bagus tuh. Biar kalau lo telanjang nanti, badan lo ngga melar-melar banget."
Gue mencibir. Huh. Fisik. Itu tandanya dia udah kehabisan bahan buat saling beradu kecerdasan dalam menyakiti hati lawan bicara. This is my area, you playing crocodile dundee! Gue bukan cewek koboi! Eat mulut gue yang pedes! Afrika yang nyinyir aja sering nangis kalau adu mulut sama gue.
Harapan gue sih, cowok ini buruan minggat aja dan mengakui kekalahan telaknya. Gue sama sekali nggak berharap melihat wajah Data yang bukannya menyiratkan permusuhan, justru memperliharkan kilat cemburu yang sempat gue yakini sebagai halusinasi semata. Apalagi, saat matanya menajam ke gue sambil bertanya, "Bang Andre pacar lo?"
Gue kaget sampai speechless. Pertanyaan macam apa itu? Buru-buru gue menunduk buat memilih dessert. "Choco flava with vanila ice cream," sebut gue buat ngilangin awkward. "Bukan urusan lo."—ini buat pertanyaannya tentang Bang Andre.
Nah! Senyuman miring dan penuh pelecehan kembali terukir di wajahnya. "Anything else?"
"That will do," hempas gue. Gue tutup buku menu dengan kasar.
This is wrong. This is very wrong.
Kenapa tiba-tiba gue peduli sama sikap dan pikiran Data tentang gue setelah ekspresi disturbed yang sekilas petir tadi itu? Kenapa gue merasa dia juga peduli dengan apa yang gue lakukan, setelah sembilan bulan kami nggak ketemu? Memangnya hubungan apa yang bikin kami seolah saling benci gini? Itu cuma lust, but I don't regret it at all. Itu enak dan gue nggak menyesal, meski tahu gue udah nyakitin seorang cewek malam itu karena menyaksikan kekonyolan kami.
Gue udah salah langkah.
Harusnya gue nggak menguarkan aura permusuhan ke dia sewaktu kami bertemu lagi tempo hari. Stupid. Stupid Kenya. Padahal gue tahu benar bahwa kebencian itu erat kaitannya dengan perasaan saling tertarik. Semakin gue benci dia, semakin gue akan memikirkannya. Semakin gue memikirkannya, semakin gue—oh no. Never.
"Look," kata gue pendek. Gue harus meluruskan kesalahan ini, supaya segalanya nggak terseret makin membingungkan. "Gue minta maaf soal kelakuan gue kemaren. Gue harap no hard feeling between us, okay?"
"Okay." Tidak ada kernyit heran di wajah Data. Jadi dia juga sama kayak gue, dia juga enggan hubungan ini justru menjadi hubungan saling benci yang tarik menarik, lalu ujungnya fatal: jatuh cinta.
Gue menata napas. "Apa yang terjadi sembilan bulan lalu juga...juga..."—juga... Shit. I lost words.
"It was nothing." Data melengkapi.
"It was nothing." Gue setuju.
Kami saling mengangguk kayak orang idiot. Gue menatap langsung ke mata Data yang menatap gue, gue berharap banget sesuatu keluar dari bibirnya yang tebal di bagian bawah dan berwarna merah tua itu. Sesuatu yang nyakitin, sesuatu yang mengembalikan keadaan sewajar sebelumnya. Anything juga boleh. Katain gue gendut, katain gue jelek, katain gue pelacur yang jalan sama Om-om. Anything yang bikin gue ngelempar gelas air putih di samping tangan gue ini. Gue nggak mau hubungan ini berkembang makin rumit, gue nggak sudi punya hubungan marah-marah yang berujung saling membutuhkan. Itu najis.
Please God, once in my life, listen to me. Gue udah bisa menerima kenyataan kalo cowok yang selalu gue impikan bukan milik gue, tapi tolong jangan biarin gue dan orang ini punya story. It's stupid. Dia adeknya Delta gitu, please! Please! Pretty please! Gue nggak kuat sama drama-drama cinta. Yes or no aja and I choose no. Big no.
"I've been thinking about you," katanya.
Nah kan. Yang gue takutkan terjadi, menghancurkan harapan gue.
Gue pejamin mata, embusin napas berat dari mulut. "Gue enggak." Gue bilang. "Please don't make it complicated."
Data menggerakkan bahu. "I mean about malam itu. Gue nggak pernah punya waktu buat ngejelasin ke lo, Ken. Tentang Alana, tentang—"
"Nggak perlu!" bentak gue tertahan. Shīt. Gue malu, tauk. Gue nggak biasa gini, gue bukan Afrika. Gue nggak perlu pernyataan nggak penting dari orang yang nggak gue mau. Gue nggak mau denger sama sekali, gue nggak bisa bikin muka terharu. Gue akan jelek sekali kalo baper. Gue nggak mau dia melihat sisi lembek gue kayak malam tahun baru itu.
"Please. Apa pun itu yang mau lo bilang, jangan bilang. Gue pacaran sama Bang Andre, yes. Gue udah punya pacar. Gue mohon. Stay like the way we were!"
Mata Data mengerjap nggak memercayai kalimat gue, mulutnya menganga seolah dia udah siap bilang sesuatu.
Masa sih dia masih mikirin malam itu? Bukannya gue nggak mikirin sama sekali, tapi hati gue udah habis sama Delta. Gue mikirin malam itu beberapa kali, but not in romantic way.
Gue nggak pernah membayangkan bakal jatuh cinta kayak gitu lagi. Kayak ke Delta maksud gue. Sakit. Terlebih ke orang yang mengingatkan gue ke Delta. Ke senyumnya, ke tatapan matanya, ke semuanya. I am not stupid, gue tahu sakitnya mengalihkan rasa cinta ke orang yang ngingetin kita ke cinta yang sebenernya. Gue sering kok nonton film gituan. Banyak. Dan nggak satu pun gue suka.
Gue harap Data bisa melihat kesungguhan di mata gue sekarang. Stop. Don't trespass. Stop it right there.
"Gue nggak ngerti stay the way we were yang lo maksud kayak apa," ujarData. "Kita nggak pernah punya history apa-apa. Lo nggak inget apa-apa soal gue, kan? Gue hanya nggak mau lo berpikir kalo lo udah bikin Alana sakit hati. Maksud gue, lo mukul gue malem itu. Gue kepikiran jangan-jangan lo ngebenci gue karena lo ngerasa bersalah, let me tell you bahwa Alana dan gue nggak pernah ada apa-apa."
"She was crying." Gue menggelengkan kepala karena menolak memercayai penjelasannya. Gue mainin jari-jari di dasar tatakan gelas air putih.
"Dia bukan apa-apa gue."
Gue tahu dia membual. "It doesn't matter," tegas gue jengah, tapi suara gue kecil kayak nggak bener-bener gue ungkapin.
Data masih berdiri di tempat selama tiga detik, seudah itu dia menyimpan kapten order ke saku dalam celemeknya, dan pergi dari hadapan gue, tanpa kata-kata. Gue nggak bisa melepaskan tatapan dari punggungnya begitu aja, sampai dia menghilang di balik tembok, gue masih mengutuki diri gue. Kenapa jadi begini? Kenapa jadi aneh gini? Gue udah ketularan Afrika. Gue harus mandi tujuh kali supaya sentimentilnya cowok itu nggak nempel di gue, ini pasti karena gue pelukan sama bencong sentimentil itu sebelum gue pergi tadi.
"Hayoooh! Ada apa kamu sama Data, hm?"
Gue menjengit kaget, nggak nyadar Bang Andre sudah kembali dari toilet. Bibirnya senyum-senyum jail, sesuai dugaan gue, dia langsung tahu ada apa-apa antara gue dan Data.
"Somebody from the past?" tebaknya setelah duduk di kursi dengan kaki menyilang anggun. "Somebody from the past is a pain in the fūcking äss, don't they?"
Percuma juga gue menghindar dari male-bītch ini.
"Wanna do somethin fun?" tanyanya sambil memajukan wajahnya ke wajah gue.
Gue mengangguk kecil, menyambut bibir Bang Andre dengan kecupan lembut. Gue tahu Data bisa melihat ini, Bang Andre juga meyakini hal yang sama.
Gue butuh ini untuk meyakinkan Data supaya menjauh, sementara Bang Andre simply love to have fun.
"I need to be paid for this..." bisik Bang Andre di mulut gue.
"I'll pay," kata gue.
Bayaran buat Bang Andre tentu saja itu-itu, apalagi? Gue jelasin besok deh di update-an selanjutnya, yah?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top