Act 5. I am only good at being young

"Oke. See you!"

Gue senyum-senyum sambil mutusin sambungan telepon dari panggilan Bang Andreas.

Gue ada date malam ini. Bang Andreas ada di urutan pertama list kandidat pelarian gue dari Delta. 

Pertama karena dia ganteng dan cool, ramah banget. Gue ketemu dia di acara tahunan perusahaan, dia kabag divisi periklanan yang kerja sama buat pembuatan iklan radio produk sosis babi. Memang sih udah 34 tahun, sepuluh tahun lebih tua dari gue, dan udah pernah kawin. Nggak masalah. Biasanya Mbak Kikan yang datang ke acara tahunan, tapi kabarnya doi resign karena mau nikah. 

Kedua, karena dia kelihatannya gampangan. Itu yang gue butuhkan. Cowok gampangan. Gue nggak butuh cowok drama-drama yang akan menenggelamkan gue dalam sejuta kerumitan dan beban pikiran, mengganggu jam tidur dengan telepon dan pesan supaya gue tidur nyenyak dan mimpi indah.

Selain itu menurut gue, Bang Andre itu kelihatan sangat menikmati hidup. Bayangin aja, 34 tahun, tapi masih main-main aja kerjaannya. Ke klub, ketawa-ketawa, bobok sana, bobok sini kayak dia nggak bakalan mati anytime soon gitu. Gue sih ngeri ya kalo udah 34. Mungkin gue akan gabung LSM apa gitu supaya hidup gue manfaat atau kawin sama orang kaya dan suntik botox biar gue nggak keliatan tua sebelum waktunya. Yang jelas sih gue bakalan stay asyik kayak gini, ogah kayak orang tua. Tiga empat itu kan ngeri. Nggak tahu deh ... gue takut tua, I am scared of getting older, sebab menurut gue, I am only good at being young.

Entah kenapa, gue yakin Bang Andre nggak jauh beda sama gue.

"Jasper stop! Akiko no! No! Get off the couch!" Afrika lagi teriak-teriak di ruang nonton tv.

Gue mengunyah sepotong sosis yang barusan Mami tiriskan. Tangan gue sontak disambar, gue merengut ngatain Mami pelit. Mami bukannya pelit, tapi dari kecil begitulah disiplin di rumah ini. Makan hanya dilakukan di meja makan, dessert dan camilan hanya tersedia seudah makan—itu juga kalo sayur dihabisin, nggak ada comot-comotan seperti yang barusan gue lakuin.

Apalagi sejak Papi meninggal, aturan begituan makin kuat aja. Mami itu diktator dan tiran. Galak dan berisik kayak Pomeranian. Gampang marah dan ngasih hukuman. Gue sayang dia, tapi kadang kegalakan Mami bikin gue kangen Papi. Almarhum Papi itu kayak orang suci bagi gue, lembut dan baik hati. Hanya kalau ada Papi gue dan Afrika bisa makan cokelat di sela waktu makan, atau main sepedaan sampai menjelang maghrib, tanpa diselang ampe paha biru-biru.

Almarhum Papi meninggal waktu gue SMP kelas tiga, dan Afrika kelas satu. Padahal sebelum pergi, Mami udah nggak ikhlas Papi berangkat lagi ke Afrika. Sejak pulang ke Indonesia delapan tahun sebelum itu, keluarga kami udah tenang dengan ruang depan yang disulap jadi klinik hewan. Gue dan Afrika lahir dan tumbuh bareng binatang, karena itu kami selalu punya peliharaan.

Gue punya Akiko, si british short hair mix domestik betina berwarna torty blue yang gue adopsi dari grup Adopt Don't Buy di Facebook. Waktu gue adopsi, Akiko udah mau mati karena breeder-nya kurang ajar. Gara-gara nggak laku dijual, Akiko sama sekali nggak diurus. Dia kelaparan, kena scabies dan nggak dapet jatah vaksin. Salah satu pengurus ADB itu nyelametin dia, kemudian nyari keluarga adopter, kebetulan gue lolos.

Afrika punya Jasper, Pomeranian jantan yang dihibahin tetangga kami karena si pemilik udah meninggal. Jasper berisik banget kayak bencong, sementara seperti kebanyakan kucing, Akiko tenang dan males-malesan mulu kerjaannya. They get along pretty well. Palingan Akiko sering kesel kalau tidur siangnya digangguin Jasper, atau Jasper ngomel-ngomel kalo selimutnya diacak-acak Akiko. Besar mereka hampir sama dan juga seumuran.

Gue baru akan naik ke kamar buat mandi dan ganti baju, tapi Akiko yang lari-larian di lorong menerjang dada gue dan bertengger di bahu seperti scraft bulu. Mereka pasti habis berantem di sofa, makanya tadi Afrika bentak-bentak mereka. Bener deh, nggak nyampe tiga detik, Jasper menyusul. Muter-muterin kaki gue. Naik-naik ke lutut sambil gerak-gerakkin ekor dan julur-julurin lidah. Makin tinggi Jasper naik, Akiko makin nginjek-nginjek kepala gue.

"Stop it!" perintah gue. "Jasper sit down! Akiko get down!"

Mereka nggak mau denger.

Gue mengeram pelan, Jasper menguik. "I SAID JASPER SIT DOWN! AKIKO GET DOWN! NOW!"

Jasper duduk dengan pantatnya, meski lidahnya masih menjulur-julur excited menanti Akiko turun dari badan gue. Beda dari Jasper yang pinter dan penurut, kucing satu ini emang bandel. Mana dia mau gue suruh turun, kucing 'kan nggak kayak anjing yang mau dilatih. Akhirnya gue tarik paksa setengah badannya, dan gue simpan dalam gendongan. Akiko mengeong nggak rela, tapi nggak berani melawan.

"Frey! It's snack time!" tereak gue. "Dammit! Mam, kasih tahu dia dong supaya nggak telat ngasih snack malem ke Jas-Ko! Mereka over acting gini deh kalo snack-nya telat. Kalo mereka mecahin vas bunga Mami, 'kan Mami juga yang repot!"

"Mami udah ingetin tau, Kak!" Mami sama sekali nggak menoleh ke gue, sibuk sama krim sup-nya. Cih. Bohong. Mami kan pilih kasih ke Afrika.

Afrika itu anak Mami. Gue anak Papi. Berdasarkan ukuran kedekatan dan limpahan kasih sayang yang tercurah, ya. Pokoknya, apa aja deh kalo buat Frey Mami mah! Maunya Afrika selalu diturutin, kesalahannya selalu dimaafin. Sekarang sih gue udah gede, jadi nggak terlalu mikirin. Dulu seudah Papi meninggal, gue sempat takut bakal serba dikalahin dari Afrika. Nggak yang parah-parah amat, paling urusan jatah kue dan milih steik paling gede. Tetep aja rasanya gerah disuruh ngalah terus sama anak kecil.

Almarhum Papi meninggal di Afrika, keinjek induk gajah panik gara-gara anaknya masuk parit yang dibangun mengelilingi sebuah pemukiman penduduk pribumi. Gue bangga sama Papi. Gue selalu pengin bisa mengabdikan diri gue ke satwa liar kayak almarhum. Masalahnya, otak gue nggak nyampe buat ngedaftar sekolah kedokteran hewan, gue malah ngambil jurusan peternakan. Gue udah apply ke beberapa organisasi terkait, tapi nggak satu pun lolos. Emangnya penting gitu lolos ujian macem-macem buat membantu pelestarian satwa liar? Apa kabar dengan sincerity dan rasa cinta binatang yang menurut gue merupakan faktor paling penting? Karena itu, gue sekarang kerja jadi tim pengamat dan peneliti kesehatan babi dan sapi di sebuah perusahaan pemotongan dan peternakan daging konsumsi. Ironis kan?

Oh, gue udah mau meledak waktu Afrika akhirnya muncul di dapur.

"Ngapain aja sih? Malem kan bagian lo!" serang gue. Gue pindahin Akiko ke lengannya sambil terus ngomel. "Akiko itu ada masalah sama pencernaannya. Berapa kali gue mesti bilang ke lo kalau dia nggak boleh telat makan? Jasper juga. Ikan sama jelly itu biar pipisnya lancar. Kalau dia mesti pasang kateter lagi, mana lo bisa bayar? Pasti ujungnya gue-gue lagi."

"Gue kan cuman telat sepuluh menit, nggak usah bītchy ah! Pusing gue!"Afrika ngejawab.

"Meh! Kok lo lebih sewot?" cibir gue. Biasanya kalo diladenin gini, gue sama Afrika bisa berantem ampe pagi.

Afrika tetap membiarkan Akiko dalam gendongannya, sebab Jasper nggak akan berhenti ngajak kucing itu gulat sebelum snack-nya terhidang di mangkuk kudapan. Dengan sigap, cowok cantik itu memindahkan fish and jelly dari dalam kulkas ke microwave dan menuang setakar snack bantal tuna ke mangkuk Akiko.

"Lo putus sama Alice In The Wonderland itu, ya?" tebak gue.

Afrika nggak menanggapi. Itu berarti gue bener.

Yah ... akhirnya dia nyadar juga setelah beberapa minggu bahwa dia udah pacaran sama kanjeng ratu maha sentimentil. Selalu kayak gitu. Afrika nggak pernah bisa menahan diri dalam hal beginian. Palingan mereka berantem karena Afrika terlalu ikut campur urusan pribadi Alice, atau terlalu reseh minta di-update kabar kayak cabe-cabean pacaran. Sama kayak relationship real dan virtualnya yang lain, end up berantakan hanya karena dia ngambek nggak dikasih tahu saat si cewek lagi pipis, makanya lama bales BBM. Ya gila keleus.

"Lo marah kenapa lagi?"

"Kenapa lo selalu nebak kalo itu salah gue, sih?"

Nah kan. Berarti emang putus.

"Gue itu punya indera keenam khusus buat lo!" Gue balikin kata-kata dia tempo malem, sambil menyerahkan mangkuk Jasper ketika microwave yang di-set dua menit menjerit.

"Gue nggak suka dia mabok di pesta ultah temennya." Afrika manyunin mulutnya like oh my gawd disgusting, tapi gue diemin aja. Gue itu kakak perempuan yang baik, gue tau kapan adik gue harus diajak gulat, kapan harus pura-pura concern sama kebahagiaan dia, demi keseimbangan iklim bumi pertiwi. Tapi kemon deh, nggak suka pacarnya mabuk di pesta ultah temen itu kan eyuh manja banget. Gue aja nggak begitu sama cowok gue!

"Kenapa?" Dia memelotot. "Lo mau ngatain gue berlebihan?"

Gue putar bola mata diem-diem, "Nggak kok," bual gue.

Afrika mendengus, "Nggak wajar ya emang kalau gue ngasih aturan gitu ke cewek gue?"

"Ya kalau lo-nya ada deket dia sih nggak apa-apa ya. Masa lo mau ngebatasin pergaulan dia, sih? Itu nggak cool aja. Lo kan cowok. Gue ingetin biar lo nggak lupa. Have some pride, dong, jadi cowok."

"Emang lo bakalan ngebiarin aja gitu misal cowok lo mabok di party sementara lo nggak ada di samping dia?"

"Ya kalo dia maboknya bertanggung jawab kan nggak masalah."

"Mabok bertanggung jawab tuh kayak gimana, coba? Lo aja mabok dikit ngehe sama Data."

Gue getok kepalanya pakai centong nasi. "Mendingan lo jadian sama Jamal aja gih sono. Lo jadi uke-nya dia. Dia bilang uke itu selalu sensian dan mukanya macem lo gitu!"

Gue nggak mau bilang manis, nanti gue dibunuh banci.

Alisnya yang rapi, lebih rapi dari alis gue, mengerut tanda kebingungan. "Uke apaan?"

"Uke itu yang pantatnya dipake."

"Bangsat!"

Centong nasi yang gue pake buat mukul kepala dia tadi melayang ke arah gue, tapi gue sih udah lincah ngepot keluar dari dapur dan masuk kamar.

Meh! Emang Afrika cocok kok jadi bottom. Gue sih lebih setuju dia jadi homo, sebab kalau dia nikah dan punya anak, siapa yang mau ngurus anak gue nanti? Homo kan biasanya suka anak-anak. Lihat aja Ricky Martin atau Neil Patrick Harris mereka lebih cute gendong anak daripada Kim Kadarshian. Rencananya gue bakalan jadiin dia bapak babtis anak gue, gue titipin sementara gue seneng-seneng honeymoon kedua, ketiga, keempat sama Delta, atau sukur-sukur John Mayer.

Besok deh gue ngomong sama Jamal. Gue yakin Jamal berbakat jadi homo, dia Cuma belum nemu pantat yang cocok aja. Siapa tau batang kelaminnya compatible sama lubang pantatnya Afrika.

Gue mau siap-siap mandi. Gue masih punya satu jam sebelum Bang Andre jemput gue. Kayaknya gue nggak perlu tampil berlebihan di depan Bang Andre, jadi malam ini gue pake blus yang agak feminin dikit, dan skinny jeans. Bedakkan dan pake lipgloss. Shit! Lipgloss gue nggak ada. Gue melesat ke kamar Afrika.

"Lo pake lipgloss gue, ya?" bentak gue di pintu. Anak itu lagi guling-guling di kasur bareng Jasper dan Akiko, mandangin layar Macbook dengan mata berkaca-kaca.

"Dia nge-block Facebok dan semua socmed dari gue..." rengeknya, begitu ngelihat gue membeliak marah, matanya langsung ngocorin air mata.

Ya ampun. Gue udah mau telat nih!

"Emangnya bener gue terlalu sensitif ya jadi cowok? Well ... blame it on you sama Mami, karena kalian semua cewek! Papi nggak pernah ada di rumah, yang dia urusin cuma binatang selama dia hidup!"

Gue peluk dia. Tapi gue taruh selimut dulu di badan gue, kalau nggak, nanti blus gue kena ingusnya. Welcome deh di dunianya si Afrika. The most sensitive guy di planet bumi, semoga di Mars atau Pluto ada juga manusia macam dia, biar dia nggak sendirian di neraka nanti.

"Udahlah..." bujuk gue. "Lagian dia itu kan jauh di Australi sono. Lo kan tau hubungan diplomatis dan politis Indonesia sama Australi itu rada nggak baik habis ada hukuman mati buat pengedar narkoba itu. Gimana kalo nanti pas kalian mau kawin ternyata pernikahan antar warga Indonesia sama Australi diharamin sama undang-undang? Kan lo juga yang susah, mending lo sekarang putusnya."

Afrika makin terisak-isak di pelukan gue. Tuh kan. Gue suka aneh sama bocah ini, udah dihibur malah nangisnya makin parah, emang salah gue apa? Udah ah. Fix. Besok gue bilang sama Jamal supaya maen ke rumah gue. Persetan kalau Jamal punya cewek. Dia harus jadiin Afrika pacar, kalo nggak, ntar gue yang pusing tiap Afrika putus, gue harus nenangin banci tanrum.

Well... Afrika nggak banci sih. Dia tegap kok nggak ngondek, cuma cantiknya suka kelewatan aja. Terutama sensitifnya, kadang gue ngerasa dialah yang bikin gue jadi cewek sekuat baja. Gimana enggak kalo tiap gue buka mata, gue yang harus ngerjain semua pekerjaan laki di rumah ini? Mulai dari ngusir kecoa, buang bangke tikus, benerin genteng, sementara dia roll-roll-an rambut sama Mami? Kalo dia punya cowok, mungkin sensinya bisa dialihkan ke si cowok. Persis kayak nomer handphone kalau lagi nggak aktif.

Sebelum Bang Andre jemput, gue udah berhasil meyakinkan Afrika buat nyoba kenalan sama Jamal. Soal sexual role, biar mereka berunding sendiri nanti. Meskipun gue akan mental ke Timbuktu kalau sampai Afrika jadi top-nya. Gue bukan homofobik, gue seneng kalau adik kesayangan gue akhirnya nemuin someone. Siapa pun dia. Lebih prefer yang deket-deket aja, biar bisa gue tonjok kalo bikin dia nangis. Jangan salah, bukan karena gue brother complex, tapi karena kalau nangis dia ngabis-ngabisin tisu di rumah. Kalo dia happy, rasanya hidup gue akan much easier gitu.

"Sori ya, Kenya, agak telat dikit...." Bang Andre lempar senyum

Langsung gue tangkap, set! Gue senyumin balik. "Santai aja kali, Bang. Gue nggak lama kok nunggunya."

Begitu gue duduk, Bang Andre langsung nyalain car audio. Suara Jason Derulo yang mendecit-decit mengiringi senyuman terakhirnya sebelum mindah persneling dan melajukan mobil. Lagu ini 'kan mesum berat, tapi gue suka sih.

"Kamu mau makan apa, Ken?" tanyanya dengan suara flamboyan lembut mendayu-dayu itu. Di kuping gue kedengeran kayak 'kamu mau belok ke hotel mana, Ken?' gitu.

"Makan apa aja sih Kenya oke, bang..." –kalau bisa hotel yang ada kolam renangnya.

"Ih aku bingung deh kalo gitu, Say...," tanggapnya genit. "Mau yang western atau japanese? Atau kamu lebih suka indonesian food?"

Gue diem, kalau indonesian food dan gue makan santan-santan, ntar mulut gue bau pas kami cipokkan. Ya seandainya cipokkan gitu.

"Steak, mau?"

"Mau aja, bang."

"Good. Aku ajak kamu ke restoran yang bagus. Kamu minum, nggak?"

"Minum-lah, bang. Kalo nggak mah haus!"

Bang Andreas mencubit paha gue sambil ketawa kecil. Idih. Sekarang tangannya ngelus paha gue sekilas dari dengkul sampe nyaris ke pangkal, bikin gue nelen ludah. Kayaknya gue mesti nyoret nama orang ini dari list, deh. Bukannya gue nggak suka cowok yang jelas-jelas mengisyaratkan 'lo gue kasih makan, habis itu lo gue makan,' tapi berharap cowok kayak gini serius pacaran mah konyol. Bisa-bisa gue diketawain apoteker saking keseringan beli kondom selama kami pacaran.

But nevermind, gue masih ada sekitar lima orang cowok lagi yang nyisa di list. Anggap aja malam ini gue dapet lotre jalan sama cowok blasteran ganteng. Plus, Bang Andre orangnya asyik banget, ngomong apaan aja sama dia nyambung. Dia udah kayak Google aja gimana, tinggal gue klik search, lantas langsung dapet macem-macem jawaban.

"Umur kamu berapa sih, Ken?" tanya Bang Andre waktu kami berhenti di lampu merah. Satu tikungan lagi kami sampai di restoran steak yang dia bilang bagus. Itu restoran baru dan gue belum pernah makan di sana. Bang Andre bilang pilihan anggurnya juga bagus-bagus. Habis anggur, nanyain umur. Pastilah dia mau mastiin kalau gue nggak under age buat dia ajak one night stand.

Gue mau kok. Bukannya gue kegatelan, ya, tapi kalau sama orang kayak Bang Andre, hal terakhir paling nggak ingin lo lakuin sama dia adalah pacaran, atau punya hubungan cinta kasih like he's the one for you, you're the one for him gitu. Berharap dia akan setia sehidup semati sama lo. Because it's not gonna happen. Orang kayak dia paling bagus diajak ngobrol habis make out lalu lupain lo pernah ketemu dia besokannya. Simple. Easy. You won't get hurt.

"Dua empat. Kenapa, Bang?"

"Udah gede ya, kamu?" kerlingnya sambil ngegigit bibir bagian bawahnya yang berwarna merah tua, kayak ati ampela yang masih seger habis dipotong. Duh gue jadi ikutan ngegigit bibir bawah, tapi gigi gue malah kepeleset. Gue lupa tadi pakai lipglos.

"Ada yang marah nggak nih kamu jalan sama aku?" Bang Andre nyentuh dagu gue dengan gemas, habis itu lampu ijo, jadi gue nggak buru-buru jawab dan ngebiarin dia ngambil kanan buat belok ke sebuah jalan baru.

"Nggak ada, Bang. Apalagi gue nggak bawa mobil. Kalau bawa, palingan Mami suka nyuruh cepet pulang. Takut gue bunuh orang."

Senyum manis terkuak dari bibir Bang Andre. "Nggak ada cowok maksud aku?"

"Oh lagi jalan tol, bang," canda gue. Siapa aja boleh masuk gitu maksud gue, asal bayar tiket.

Bang Andre senyum doang sambil ngelihatin muka gue sebentar. Siku tangannya yang megang setir disenderin di tepi jendela, sesekali dia lepas setir buat gosok-gosok dagu. Tangan kirinya udah nggak di paha gue, melainkan di bagian bawah kemudi. Senyum Bang Andre nggak ilang-ilang dari muka gantengnya. Senyumannya menawan, kayak donat J-co yang rasa almond. Gurih manis gitu. Gue jadi ingin menggigitnya, pasti renyah dan lembut. Udah lama gue nggak gigit seseorang, dalam artian yang seksi, ya? Kalau dalam artian sebenernya, tiap duduk bareng Afrika lebih dari setengah jam sih kami hampir selalu gigit-gigitan. Entah pake gigi, entah pake kata-kata.

Mobil Bang Andre berhenti dan parkir di depan sebuah komplek pertokoan. Nggak jauh dari tempat gue berdiri, gue melihat sebuah restoran bernuansa mid-class modern western yang masih tampak baru. Nama restoran itu bikin kening gue berkerut, bikin perasaan sengit di dalam hati gue terbit. Gue baru mikirin gimana caranya supaya kami nggak jadi makan di sana, tapi Bang Andre keburu letakkin tangannya di tubuh gue. Menyentuh bagian belakang gue, di antara pinggul dan punggung, which means dia respect gue.

Gue nggak bisa mundur lagi saat seorang waitress menyapa ramah kami berdua. "Selamat malam. Selamat datang di Chef Data kitchen. Table for two?"

Gue mati.

 Afrika

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top