Act 4. But then again i don't remember you!

Delta selalu tampan. Senyumnya masih teduh menawan. Gue terkesima dan seperti dugaan gue kalau ketemu dia lagi, gue akan jatuh cinta lagi dan lagi. Gimana caranya supaya gue nggak ingini tipis bibirnya yang belum pernah gue icipin itu? Oh vodkanya bereaksi. Gue selalu hōrny kalau setengah mabuk gini, rasanya gue panas sebadan-badan dan ingin telanjang.

"Apa kabar kamu, Anya?"

Tanpa persiapan, tanpa aba-aba, Delta berjalan cepat ke arah gue. Gue nggak bisa pasang kuda-kuda buat menghindar, Delta udah mendekap gue dalam pelukannya. Kepala dan rambutnya terbenam dalam bahu gue. Gue ingin menepis, tapi nggak gue lakuin. God. Ini semua gara-gara harum maskulin yang menyeruak menyerang lubang hidung gue, membuai gue sampai mabuk kepayang.

Rasanya gue ingin waktu membeku di saat gue tenggelam dalam pelukan Delta. Gue mulai menggerakkan tangan mengusap lembut punggungnya. Gue pejamin mata dan gue puas-puasin menghirup aroma keringat bercampur parfumnya. Sewaktu gue membuka mata—lurus dengan pandangan gue—tatapan gue bersirobok dengan sosok cowok yang lagi putar bola mata. Data.

Dengan sengaja, gue mengeratkan pelukan di tubuh Delta.

Gue nggak tahu kenapa gue sengaja melakukan itu. Memangnya akan ngasih efek apa gitu ke Data? Gue nggak pernah ketemu Data lagi sejak malam tahun baru sembilan bulan lalu. Sempat gue denger dari Bella kalau Data ke Indonesia cuma buat survey usahanya yang belum tentu beneran akan dibuka di sini. Beberapa hari seudah tahun baru, dia kembali ke Myanmar.

Apa kabar cewek yang nangis malam itu? Gue nggak pernah tahu.

Mata gue bertemu kembali dengan mata Data. Gue julurin lidah di balik bahu Delta yang masih erat memeluk gue. Gue pikir dia akan kesal dengan sikap gue, ternyata, dia justru lebih ngeselin. Gue langsung mual melihat jari telunjuk dan tengahnya yang membentuk huruf V dan dia letakkan di depan bibirnya. Lidahnya menjulur, mengeliat-geliat, membuat gerakan menjilat di celah antara kedua jarinya. Fūck. He mocked me. Ini pelecehan!

Of course, gue nggak bisa ngapa-ngapain. Gue cuma bisa melempar cengiran konyol sambil menjabat tangannya ketika Delta mengajak gue menyapa.

"Data is staying," beri tahu Delta. "Dia buka restoran di sini, Nya."

Gue bikin huruf O dengan bibir gue.

"Kamu inget nggak sih Data waktu kecil?" Delta memeluk bahu adiknya. Gue menggeleng, lantas kami bertiga pun ketawa.

Tawa Delta tulus, tawa gue dan Data mengandung permusuhan. Shīt-lah. Gue memang nggak inget dia waktu kecil, tapi gue masih inget besar alat kelaminnya. Gimana enggak? Seks dengan dia itu seks terakhir gue dalam sembilan bulan terakhir. Eh. Bukan deng. Well ... sêx terakhir yang gue ingat, yang lainnya terlalu biasa aja buat gue ingat-ingat. Kayak yang gue bilang, tahun ini gue jarang banget kencan.

One of best sêx gue, actually. Oh gue benci mengakui ini, tapi gue memang nggak sering-sering amat ML these last few months. Bukannya gue sibuk atau apa, gue memang bukan tipe one night stand. Gue gituan sama cowok gue, atau minimal sêx friend deh, sementara sepanjang tahun ini gue nggak pacaran lebih dari sebulan.

Data ini pengecualian. Itu kecelakaan, tepatnya. Gue nggak mau menganggap itu suatu kesengajaan. No matter how good his technique was, gue nggak mau ngulangin lagi. Amit-amit deh.

"Kamu mau pulang, Nya?" Delta nanya sewaktu pintu elevator terbuka. Kami bertiga melangkah ke dalam ruangan yang kosong. Gue berdiri di antara mereka bertiga.

"Iya," angguk gue.

"Bawa mobil?" Delta mulai over protektif-nya. Udah sembilan bulan kami nggak ketemu, dia masih hangat dan akrab aja ke gue. Nggak berniat menjelaskan, atau nanya gitu kenapa gue selalu menghindari dia. Mungkin dia terlalu sibuk ama Bella.

"Enggak." Gue gerakin bahu.

"Motor?"

"Enggak. Gue nunggu Afrika jemput gue," dusta gue, padahal gue nggak tahu cecunguk satu itu beneran akan jemput, atau enggak

Mana malam udah larut banget, entah masih ada taksi mangkal atau nggak di depan apartemen. Yang jelas, gue males diantar pulang mereka. Terutama sama kunyuk yang diem-diem—tanpa sepengetahuan Delta—meremas bokong gue dengan kurang ajarnya. Gue cubit tangannya, tapi dia terus aja grepe-grepe.

Sialan.

Delta melangkah keluar duluan dari lift, masih ngoceh soal launching bukunya minggu depan. Gue nggak terlalu memerhatikan omongannya. Gue berjalan di samping Data sementara Delta ngeloyor di depan.

"I miss you..." Data menggerakkan bibirnya tanpa suara. Dia berjalan mundur supaya gue bisa ngelihat langsung muka mesumnya.

"Fūck you...!" balas gue dengan gerakan bibir tanpa suara juga. Gue acungin jari tengah ke mukanya.

"And that too... Oh...!" Data malah kesenengan, sekarang dia memeragakan gerakan dīck-rubbing sialan di depan pinggangnya.

What the hell ya nih orang! Gue udah nyaris mengayun tas gue ke perutnya kalau Delta nggak keburu noleh. Data merunduk sigap pura-pura membersihkan lutut, sementara gue tersenyum lebar supaya Delta nggak curiga.

"So, kamu mau kan datang?" tanyanya mengejutkan.

Gue gelagapan terang aja, sebab selama dia ngomong, gue malah sibuk meladeni adek kurang ajarnya.

"Yeah. Sure!" kata gue yakin.

"Cool!" seru Delta girang. Dengan senang hati gue menerima pelukan sekilasnya sekali lagi.

"Nah. Sekarang, aku sama Data antar kamu pulang, yah? Sekalian kan kita sejalan..." bujuknya sambil merentangkan lengan untuk memeluk bahu gue dan Data, sehingga kami bertiga berjalan beriringan. Gue mau menolak, terutama karena gue merasakan tangan jail Data menjepret tali be-ha di punggung gue, tapi gue juga nggak punya pilihan lain. Gimana kalo Afrika nggak ngejemput, dan nggak ada taksi lagi di depan?

Gue duduk manis di jok belakang. Delta duduk di kursi penumpang depan, Data di belakang kemudi. Sengaja gue duduknya tepat di belakang Delta, sebab gue nggak sudi ketemu mata Data dari kaca spion tengah. We're about to hit the road sewaktu gue melihat Nissan Grand Livina Mami di depan gerbang, dan seorang cowok cantik merengut, bersandar di badan mobil.

"Fūck you, bītch!" jerit Afrika begitu gue melompat keluar dari mobil. "Gue nungguin lo dari setengah jam. Lo bilang mau keluar jam dua. Setan lo malah keluar sama orang lain, mau nelantarin gue lo?"

Gue malu. Bukan ke Delta. Malu sama satpam yang ngelihatin dari dalem pos. Pikir mereka, gue dimarahin pasangan lesbian gue gitu.

"Gue telepon lo nggak bisa ya!" desis gue tertahan, ngasih alesan, tapi yang gue dapet malah telapak tangan busuk Afrika mendarat tepat di depan muka gue. Like: talk to hand!

"Shut up! Get in! Gue udah ngantuk!" gerutunya galak.

"Hai, Rika!" sapa Delta ramah, sengaja keluar dari mobil buat say helo ke Afrika.

Afrika mengerutkan alis, menajamkan matanya yang minus buat mengenali Delta. Delta memang suka ngarang banget kalo ngasih nick name ke orang, dia manggil seenak udelnya, tanpa nanya apakah yang dipanggil keberatan atau nggak.

"Bang Delta?"

Meh! Suara Afrika langsung melembut persis bencong kalo ketemu cowok ganteng. Afrika melompat ke pelukan Delta dengan fasih. Astaga! Gue aja kalah genit.

"Kok nggak pernah keliatan, Baaang? Katanya nulis sampai ke luar kota, yaaa? Oleh-olehnya mana?" rajuknya, bikin gue secara spontan julurin lidah kayak orang mau muntah.

Ya kalau kata gue sih dia nggak ada pantes-pantesnya manja-manja gitu. Seiyanya dia cantik, tapi badan dia bongsor habis-habisan. Sama Delta aja dia lima sentimeter lebih tinggi gitu, belum gelungan rambutnya yang setinggi monas. Puih!

Gue harus rela nungguin Afrika peluk-pelukan sama Delta dan cathcing up dengan santainya. Adek gue emang gitu, dia ngelakuin hal-hal yang susah gue lakuin ke Delta segampang dia jentikkin jari lentiknya itu.

Gue masih manyun, sampai akhirnya gue nyadar ada sepasang mata yang merhatiin di balik kaca mobil. Ini lagi bikin tambah males aja kan, pengen banget gue tonjok mukanya yang lantas muncul dari balik kaca yang perlahan turun.

"Apa kabar lo?" cengirnya.

"Gue nggak hamil, lo nggak perlu sok-sok kenal sama gue!" tangkis gue sadis.

"Shīt! Tau gitu gue lobangin kepala kondomnya waktu itu, ya, kalau lo pengin banget hamil!" cicitnya.

Gue tendang pintu mobilnya dan dia ketawa kecil sambil ngacak rambutnya sendiri dengan satu tangan. Lo boleh cute, ya, tapi gue nggak tertarik sama cowok yang tega hitting cewek lain, sementara ceweknya nangis nggak mau ngejar.

"How was your nose by the way?" tanya gue, bermaksud mengejek.

"Oh God it felt so good," jawabnya kayak cowo tolol. "Lo mau mukul gue lagi?"

"I would love to!"

"Berarti gue harus fūck you harder lagi kalo gitu, yah? Tell me when and where."

"Fūck you!"

"Fūck you too, baby!"

Untungnya, Afrika beneran ngantuk. Gue lihat dia finally pamitan sama Delta setelah cipika-cipiki. Kalau nggak ngantuk, gue yakin gue harus ngeladenin cowok brengsek ini paling nggak sampai sejam kemudian. Afrika punya kemampuan menciptakan topik bahasan yang luas buat menahan seseorang ngobrol sama dia, sementara Delta cowok yang too sweet buat motong pembicaraan banci kaleng.

"Yuk balik, lo nyetir, ya!" Afrika ngasih kode ke gue buat cabut.

Yah ... pokoknya malam itu somehow jadi monumen pertama rasa syukur gue terhadap Afrika. Cowok yang tingginya 183cm dan tinggal serumah ama gue itu, yang biasanya musuh bebuyutan gue itu, malam ini bikin gue teriak 'haleluya' dalam hati karena ternyata udah nungguin gue selama setengah jam di gerbang apartemen. Dengan rambut ikal sebahu yang disanggul asal di puncak kepala, Afrika memaki-maki, kalap, persis waria lampu merah yang tersinggung dilemparin recehanan.

Ternyata, baterai iPhone-nya drained dan dia nggak bawa power bank, makanya nggak bisa dihubungi. Gue terima aja dia ngamuk sepanjang perjalanan. Itung-itung sebagai tanda terima kasih karena nyelametin gue dari awkward moment berada di mobil yang sama dengan Delta dan Data.

"Yang di dalem mobil tadi itu siapa sih, Key?"

Key itu nickname dari Afrika buat manggil gue. Gue setuju daripada dia manggil gue monyet. Monyet cuma buat kalau lagi marah aja. Sebagai gantinya, gue ngasih dia nickname Frey. Dia juga setuju daripada gue panggil dia bencong. Bencong cuma buat kalau kami lagi berantem.

Cowok ini kebalikan gue banget, deh. Lebih nyewek, lebih cantik, mitosnya lebih cerdas juga. Gue nggak percaya, of course. Meskipun, yes, secara akademis nilai-nilainya jauh di atas gue, tapi dia tetep aja younger brother yang kalo urusan cewek, gobloknya setengah mampus. Well ... urusan relationship sih gue juga bosok, tapi gue tau-lah kalo cewek-ceweknya dia itu males ngelihat dia kemana-mana bawa Nano Spray dan ribet urusan vitamin rambut.

"Itu Data. Delta's lil brother," jawab gue singkat. Gue lagi serius merhatiin jalan di depan. Sebenernya gue lagi dihukum Mami nggak dikasih bawa mobil, gue nggak mau tau-tau gue nabrak lagi kayak sebelumnya. Harusnya sih enggak, secara gue nggak teler. Gue cuma minum empat sloki vodka polos on the rocks tadi, nggak nyentuh weeds sama sekali.

"Cute juga. Gue lihat kalian akrab."

Nah ini dia keahlian Afrika yang lain. Dia tahu aja apa yang terjadi di belakang kepalanya. Gue suka curiga dia pasang kamera yang diselipin di dalem rambut ikal tebalnya yang hitam legam itu, tapi jelas itu nggak bener. Gue mendesah karena tahu sebentar lagi dia akan kepo tentang gue dan Data.

"What happen between you two?" selidiknya sok detektif.

Gue melirik Afrika yang sedang menyandarkan kepala di kaca jendela dengan sepasang mata menatap tajam ke arah gue.

"Nothing!" tegas gue yakin. "And stop do that look. You look stupid."

"Lo ngentot ya sama dia, Key?" tebaknya like snap tepat ke jantung gue.

"Fūūūck!" Gue lempar anything ke arah Afrika. Bencong itu kelojotan dan ngelemparin balik barang-barang yang gue lempar tadi. Baru berhenti setelah gue nyaris ngelanggar marka jalan. "How did you know?"—Nggak bisa gue pungkiri, gue takjub.

Afrika mencibir penuh kemenangan, gue nyesel udah ngaku begitu ngelihat dia dengan pongah mengedikkan bahu like it was too easy to read me.

"Gue itu punya indera keenam khusus buat lo! Lagian kalian secretly talking di belakang Delta, gue bisa lihat dari kaca belakang mobil. Dan muka lo itu, muka merona lo yang menjijikkan itu ngasih tau ke gue kalo lo udah kena ama dia, shīt. You should stop making that face!"

"Making what face?"

"Making like this face!" Afrika mijit-mijit mukanya sendiri, membikin warna pink di pipi. Lantas bikin muka jelek banget dengan muka dia yang cantik. Gue protes. Gue nggak bikin muka kayak gitu sama sekali. Enak aja. Gue nggak blushing, ya! Muka merah gue itu karena gue marah, bukan malu-malu!

"So how was it happened?" tanyanya serius.

Gue diam.

"Let me guess," katanya tanpa persetujuan gue. "Pasti waktu tahun baru, gue inget lo kacau banget waktu itu. Lo pake gaun kayak waria—" Gue tampar dia waktu dia ngomong waria, tapi dia berhasil menghindar. Gue cuma mengenai ujung hidung mancungnya sebelum dia melanjutkan. "Lo pasti mau nembak Delta, tapi malah dapet Data. Lo mewek karena Delta ternyata jadian sama pecun temen lo itu. Siapa dia?"

"Bella."

"Yes. Bella."

"Fūck you," maki gue pelan. "How did you know?"

"Don't underestimate random sensitive bītch boy like me, sister."

Kami ngakak. All his life, Afrika selalu ngamuk kalo gue ngatain dia 'random sensitive bītch-boy' like what he just called himself.

"Did it work well between Delta dan Bella?" tanyanya lagi waktu gue berhenti di lampu merah. "Just drive. Ini jam setengah tiga pagi, nanti ada begal!"

Gue menurut.

"Come to think of it, gue nggak lihat Bella tadi," gumam Afrika lagi.

Gue juga nggak tahu kabar hubungan mereka, jadi gue nggak menanggapi. Hati gue masih sakit kalo inget itu. Kayak bekas luka yang udah kering, tapi traumatic effect-nya nggak bisa gue ajakin move on.

"Gimana kalau ternyata Delta sama Bella nggak workout well, sementara lo udah diobok-obok sama Data?"

"Shīt!"—Diobok-obok? Sialan.

"Well whatever that means...!" Afrika mendesakkan punggungnya ke sandaran jok. "Maksud gue kalo memang lo ada kesempatan buat ngejar Delta lagi, lo bakalan ngomong apa ke dia soal hubungan lo sama Data? Ini kayaknya permasalahan kecil, tapi bakalan runyam suatu hari nanti kalau sampai ketauan. You know, boys. Mereka sih bisa seenaknya aja pegang perempuan, tapi kalau perempuannya dipegang orang, suka nggak terima. Lo tuh kebiasaan. Tindakan lo tuh nggak ada yang pake otak, semuanya impulsif. Berdasarkan dorongan emosional sesaat."

Itu bener.

"Sekali-sekali kek, lo tuh pake akal sehat. Hmmm... atau kalo nggak, lo sekalian aja jadiin sama Data. Dia cute kok."

Gue nahan ketawa.

Afrika ngelihatin gue.

"Lo serius?" Gue nggak percaya.

"To be frank yah, Key... Lo itu nggak cocok sama Delta. Nggak sebanding aja gitu. Wait. Gue serius. Jangan ngamuk dulu, anjing! Sakit tau dicubit di paha dalem. Nggak sebandingnya itu bukan berarti Delta lebih segala-galanya dibanding lo, bukan gitu, monyet. Lihat dong kalian berdua. Gue kalau ngelihat lo jalan ama Delta tuh, capek gitu. Banyak banget perasaan bagian diri lo yang harus lo redam, sepintas kayaknya bagus karena lo jadi lebih manusiawi. Tapi ... lo binatang buas mah buas aja, being with someone you love means to be free of being whoever you are. Bukan being whomever the person you love want."

That maybe right.

Lagian, gue sedikit banyak belajar dalam sembilan bulan ini, bahwa daripada gue mengharapkan orang yang gue sukai suka sama gue—sementara gue orangnya nggak mau usaha—apalagi, orang yang gue sukai udah jalan sama sahabat gue, mendingan gue belajar menerima orang lain.

Gue akan nyari orang lain.

Gue udah punya list-nya kok.

Yang jelas, bukan Data.

He's out of list.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top