Act 3. I am screaming mercy mercy, please!
Masih malam tahun baru
"Lo nggak apa-apa?"
Akhirnya gue sadar juga. Bukan. Gue nggak pingsan. Reaksi gue nggak se-lebay itu. Gue masih punya harga diri, dan harga diri gue mahal.
Gue ngedengus pelan, meredam emosi yang meradang di dada. Susah payah gue mengangguk dan tersenyum. Rasanya fūcking hurts. Memang, nggak sesakit dan terluka sewaktu kehilangan Papi, tapi tetap aja sakit banget.
Gue nyesel udah ngenalin Bella ke Delta. Gue emang tolol. Dilihat dari sudut mana pun, mereka cocok. Kenapa gue bisa buta banget? Ngenalin mereka sama aja kayak gue nyerahin orang yang gue cinta ke sahabat yang gue sayang. Gue tahu, mereka pasti berterima kasih banget ke gue sekarang.
Sementara gue nelangsa, Bella mungkin bakal ngejadiin gue maid of honor. Pada saat resepsi, mereka bakal mengatur gimana caranya supaya gue yang menangkap buket bunga pengantin, kayak orang yang patut dikasihani. Ironisnya hidup gue.
"Lo pasti ngetawain gue sekarang, 'kan?" tuduh gue.
Data melepas jaket dan duduk melantai di sisi gue. Di depan kami, terdapat sebotol red wine yang masih penuh dan sepasang sloki buat minum whisky.
"Everybody butuh sekali-sekali jatuh, Non." Senyum Data terbit secara mengesankan, gue terkesima. "Makin keras jatuhnya, makin banyak lesson yang lo dapet. Nikmatin aja. Gue juga pernah kok di posisi lo."
"Di posisi gue?" Gue nggak paham. Gue hanya bisa menatap kedua jempol yang sekarang terbebas dari himpitan high heels. Siapa bilang semua cewek butuh gaun dan high heels? Ini high heel pertama gue, and it turns out to be a bad luck. Gue emang lebih cocok pake sneakers dan kaos oblong. Gaul ama babi.
"Oh. Cerita lama itu. Forget it." Data mengibas pertanyaan gue dengan kekeh tawa renyah. "Gue nyolong anggur, mau minum dikit?"
Gue mengangguk tanpa pikir panjang.
Kami ada di bagian belakang apartemen Edo, Data yang menuntun gue ke sini. Bagian ini sepi, seolah kami sedang berada di sisi dunia yang lain. Gue menerima sloki bagian gue sementara menunggu Data menuang bagiannya. Gue menggoyang-goyangkan sloki berisi anggur, dan nggak sengaja mengotori gaun karena cairan merah tersebut tumpah sedikit.
Data ketawa kecil. "Sorry. Gue tadi asal nyamber, jadi nggak kepikiran buat ngambil wine glass."
"Shīt. Bella bakalan marah nih..." umpat gue lirih.
Data mengernyit. "Jadi dugaan gue bener, 'kan? Lo sengaja pake gaun ini buat mengesankan seseorang? Bener abang gue orang yang beruntung itu?"
Gue mencebik sambil mendentingkan gelas ke gelas Data, menenggak anggur di sloki dalam sekali teguk. Data juga ngelakuin hal yang sama. Begitu gue meletakkan sloki ke lantai, Data berniat menuang takaran kedua. Gue menahan dan menyahut botol anggur dari tangannya, kemudian menenggak langsung dari bibir botol.
Data ketawa kenceng banget ngelihat kelakuan gue, dia bahkan bertepuk tangan.
"So, lo nggak mau cerita apa-apa?" tanyanya hati-hati. "Well ... gue nggak akan spit it out kok ke abang gue. Gue Taurus, you know."
"What's with Taurus?"
"Taurus itu best secret keeper. Lebih baik pecah di perut daripada pecah di mulut."
"Oh yeah? Kalo pisces?"
"Persis kayak lo gini: sensitif dan berpikir lo akan selalu bisa nyenengin pasangan lo. Look at you, lo dandan dan pake gaun yang jelas banget bukan gaya lo. What? You wanna fight that? Gue bisa ngelihat dari cara jalan lo. Lo lebih sering pakai celana dibanding rok, atau malah lo nggak pernah pake rok."
Gue tabok lengannya. "Gue bukan Pisces tau, bangke!"
Data menyembur gue dengan anggur merah dari mulutnya. Gue sontak maki-maki. Rusak beneran deh gaun Bella sekarang! Gue pukul-pukul, gue jambak-jambak rambut Data. Sekalian gue jadiin pelampiasan. Asyiknya, Data sama sekali nggak protes. Dia ketawa ngakak aja gitu. Bagian ini bikin gue ingat bagaimana Delta memperlakukan gue tiap kali gue butuh sansak buat berantem. Dia selalu terima dan ketawa, terima dan ketawa, terima dan ketawa.
Gue nggak salah dong kalau berpikir dia juga sayang sama gue?
Gue berhenti menyiksa Data setelah merasa puas. Sekarang gue memeluk lutut, mulai didera kelelahan fisik, yang bercampur dengan sesaknya hati. Data mengelus puncak kepala gue pelan, yang kalau gue nggak lagi ruwet, pasti udah gue gasrak—gue ajakin berantem. Enak aja ngusap-ngusap kepala orang yang lebih tua.
"Just tell me..." bujuknya, bikin gue menatap matanya yang gelap dan hitam kelam.
"Gue udah sayang sama dia sejak lama." Gue putusin buat cerita juga.
Ada keraguan saat gue memutuskan bercerita. Bagaimanapun juga, gue sedang berhadapan dengan adeknya Delta. Of course setelah kejadian ini, gue berniat untuk tetap memendam perasaan. Kalo sampai Data bocorin, sumpah bakal gue garuk jantungnya pakai sendok makan. Biar nambah lama dia matinya.
"Mungkin sejak kami sama-sama kecil, gue udah suka. One day, waktu Papi gue meninggal, gue nangis semaleman di kamar. Semua orang sibuk ngurusin kepulangan jasad Papi dari Afrika. Gue menolak semua orang yang bermaksud comforting gue, termasuk Delta. Lo tahu apa yang bikin semangat gue bangkit lagi? Dia ninggalin bunga lili di jendela kamar gue dan sebuah surat. Isinya simpel: You're strong. The strongest girl on earth."
Data menerima angsuran botol dari tangan gue.
Gue ngelanjutin lagi. "Dia memang nggak pernah ngebahas itu, tapi gue yakin itu dari dia. Cuma dia yang tahan main sama cewek begajulan kayak gue. Dia yang dari kecil penuh kelembutan, penuh perhatian ke gue. Tadinya gue pikir ini perasaan antar sahabat biasa, sampai gue sadar gue cinta sama dia."
Data baru gantian menenggak anggur setelah kalimat gue selesai. "Dan kayak jutaan kisah cinta bodoh lainnya, lo memilih saat yang paling nggak tepat buat ngungkapin perasaan lo ke dia?" tanyanya retoris.
Gue ketawa getir.
Data mengembalikan botol anggur ke gue. Kali ini gue bukan hanya menenggak sekali, tapi dua kali. Bahkan tiga kali. Waktu gue ngejauhin botol dari muka, kepala gue langsung pusing. Muka gue panas, perut bergolak. Gue menggosok muka yang mulai mati rasa, tanpa memedulikan make up yang menempel. Data tertawa sambil membantu gue me-remove bulu mata konyol yang setengahnya udah terlepas dari kelopak.
Saat itu, mukanya dekat banget sama muka gue. Gue dorong dia menjauh setelah bulu mata palsu terlepas, demi menghindari bertatapan langsung dengan manik matanya yang cerah dan bening.
Gue merasa ada yang aneh dari Data, juga koneksi yang terjadi antara gue dan dia malam ini. Mungkin karena dia darah daging Delta, ada sesuatu dalam dada gue yang berdesir. Mungkin karena gue lagi hancur, makanya gue ngerasa pertahanan gue bisa kapan aja runtuh.
"Nih!" kata gue salah tingkah.
Data bukannya menerima botol yang gue sodorkan, melainkan makin mendekatkan muka ke muka gue. Bibirnya yang bau anggur mengusap bibir gue dan membiarkannya tetap di sana selama beberapa saat. Gue ngerasa bibir gue kering, sehingga gue menarik muka, supaya Data melepas kecupannya. Masih dalam jarak yang sangat dekat, gue menjulurkan lidah perlahan dari dalam mulut, bermaksud ngebasahin bibir.
Gue sama sekali nggak bermaksud memainkan lidah, atau mengundang bibir Data buat mulai nyium gue lagi, tapi Data sepertinya salah sangka. Dia justru menguak bibirnya dan menarik lidah gue ke dalam mulutnya dengan lidah. Bibir dan lidah kami lantas menyatu. Awalnya pelan, berirama, saling pagut, saling membaca reaksi masing-masing.
Dalam detik yang sama sewaktu gue sadar bahwa kami sama-sama nggak keberatan, ciuman itu memanas, memacu jantung gue berdetak liar. Shīt. Gue panting dalam ciuman Data, dalam mulutnya yang bergerak lincah ngikutin gerakan mulut gue, dalam lidahnya yang brutal ngacak-ngacak mulut gue.
Entah gimana, ketika gue dan dia ngerasa butuh sejenak mengambil jeda buat bernapas, gue udah duduk di pangkuannya. Tangan gue ngelingkar erat di lehernya. Hidung gue dan hidungnya bersentuhan sementara napas kami sahut menyahut. Gaun gue yang sempit dari paha ke bawah udah naik ke pangkal paha. Kaki gue ngelakuin hal yang sama dengan lengan gue di pinggangnya, sementara kedua tangan Data tertangkap basah sedang meremas paha di balik gaun gue.
"Ini karena gue nenggak anggurnya kebanyakan..." gumam gue.
"Iya. Ini karena itu, kok..." desis Data menyepakati kalimat gue.
"Nanti kalau gue udah sober, kita akan saling lupa sama kejadian ini," oceh gue lagi.
Data mengangguk. "Yes. Gue setuju."
Gue diam, bernapas lewat mulut. Dada gue menyempit. Mulut gue dan mulut Data hanya berjarak beberapa sentimeter, kami bertukar hangat napas satu sama lain. Gue nggak sepenuhnya mabuk, gue masih bisa mikirin baik dan buruknya kalau gue melanjutkan tindakan impulsif ini. Yang pasti, akan lebih banyak buruknya. Gue pasti akan ketemu lagi dengan manusia di depan gue ini, nggak mungkin enggak. Gue akan salah tingkah, gue akan malu, gue akan ngerasa jadi cewek gampangan yang pura-pura mabuk atas nama hōrny.
Fūck.
Tapi gue memang hōrny. Tanduk udah tumbuh di kepala gue sekarang. Gue ingin gigit bibir bawah Data yang merah dan tebal, satu-satunya ornamen wajah yang membedakannya dari Delta. Gue ingin sesuatu yang keras menggesek belahan pantat gue ini ngebantu gue meredam panasnya patah hati. Gue ingin lidahnya yang hangat menjilat kulit leher gue, mengisap ujung dada gue yang keras karena gairah. Gue ingin kami saling berbagi kehangatan malam ini. Gue ingin... gue ingin Data malam ini.
"Oh Fūck!" dengus gue putus asa.
Gue rampas bibir Data yang tersenyum sedari tadi. Gue jajah bagian dalam mulutnya dengan lidah gue. Gue nggak peduli lagi gimana menghadapinya setelah ini. Gue cuma peduli dia punya kondom atau enggak, sebab gue nggak mau hamil. Gue habis selesai menstruasi beberapa hari lalu, dia harus punya kondom.
Gue menarik lepas semua kancing kemeja Data sampai dadanya yang bidang dan bersih dari bulu terpapar. Gue mengusap permukaan dada itu dengan kasar, gue mau dia menganggap bahwa semua ini hanya karena nafsu belaka.
Memang ini hanya nafsu. Gue lagi kesal dan gue tahu seks adalah hal terbaik yang bisa mengusir kegalauan hati. Gue yakin Data ngerti. Gue cium lagi bibirnya dengan rakus, sementara Data menyingkap bagian bawah gaun gue dan menabrakkan tubuhnya ke tubuh gue. Gue terdesak ke dinding, tanpa ngelepasin ciuman sama sekali.
Gaun gue udah naik sampai ke perut. Data membenamkan bibirnya ke dalam leher gue. Gue mengerang ganas saat giginya mengisap kulit leher gue. Oh God. Rasanya luar biasa banget. Sakit, tapi bikin gue makin liar. Gue naikin tubuh gue yang menempel di dinding saat wajah Data mulai merayap ke bawah dan tangannya menyingkap penutup dada. Ah. Saat giginya menggigiti halus ujung dada gue, gue sepenuhnya lupa diri. Tangan gue menarik lepas ikat pinggang Data, membuka kait celana, dan memelorotkannya dalam satu hitungan waktu. Gue meremas sesuatu di balik celana dalam berbahan halus, membuat Data mengerang.
"I am gonna fūck you hard..." tekadnya.
Oh please do that, please.
Gue menurunkan celana dalam Data dan menyentuh langsung benda keras yang mengacung penuh keyakinan itu. Data memaksa gue mengulum jarinya, sementara mulutnya terbenam dalam dada. Setelah jari itu basah karena liur, dia mengangkat wajah. Mukanya merah, mungkin semerah muka gue. Kami melanjutkan berciuman sementara tangannya mulai menyelinap ke dalam panties. Untung gue pake panties yang bagus, karena nyiapin diri buat Delta, tapi sekarang gue nggak lagi inget Delta. Gue nggak inget apa-apa.
Gue nggak tahu kapan, saat gue menyentuh kembali alat kelamin yang udah siap itu, seluruh permukaannya sudah berselimut karet tipis. Oh great. Jadi dia sudah bawa-bawa rubber. Dasar cabul.
When he said fūck hard, he meant what he said.
Gue terbaring kelelahan di pahanya seudah kami menyelesaikan satu kali permainan cinta pura-pura itu. Ya. Itu bukan cinta dan nggak akan jadi cinta sampai kapan pun.
"I think I hurt my back...," keluh gue.
Data mengembuskan asap rokok ke udara lepas, kemudian tertawa ringan. Tangannya yang lain bermain-main di tatanan rambut gue yang sudah berantakan. Gue mengisap rokok dan kecewa karena nggak berhasil membuat bulatan donat yang sempurna.
"Mau minum lagi?" tawarnya manis.
Gue menggeleng.
"Gue ambilin sesuatu di bawah kalo lo haus..."
"Gue nggak haus," tegas gue sambil mengangkat kepala dari pahanya. "Shīt. Gue berantakan banget ya?"
Data meneliti tampang gue. Gue nggak tau apa yang dia lakuin ke wajah gue, tapi gue diam aja sewaktu dia mengusap sekitar bibir dan mata gue. Menyisir rambut gue dengan jari-jarinya.
"Jujur. Much better than before." Dia tersenyum.
Gue menjulurkan lidah mengejek sebelum menyumpal bibir gue dengan bibir botol anggur. Data menghentikan niat gue di tegukan kedua, mengambil botol itu dan memindahkan bibir botol tadi ke bibirnya.
"Gue punya sesuatu yang lebih asyik. Gue dapet dari bawah tadi," katanya.
Tawa gue meledak melihat sesuatu di telapak tangan Data. Sebuah lintingan kurus yang mirip batangan rokok. Tanpa persetujuan gue, Data menjepit ujung kecil lintingan itu di bibir dan menyalakannya dengan pemantik api. Gue menikmati bagaimana Data mengisap dalam-dalam benda itu hingga memenuhi kepalanya, melepaskannya dari bibir, dan mengembuskan asap hasil isapannya perlahan.
"Good stuff," katanya sambil mengangsurkan lintingan ke gue.
Gue melakukan hal serupa. Gue dan dia bergantian mengisap lintingan yang sama sampai nyaris habis, dan mulai ngerasa semua hal begitu jenaka. Kami ngetawain pasangan ciuman di depan kami, lalu pura-pura muntah; Data bahkan ketawa nggak jelas ngeliat gue salah ngejentikin sisa rokok gue ke gaun, dan bikin sebagian gaun gue berlubang kecil; gue ikutan ketawa bareng dia.
Pada menit entah keberapa dari tawa terakhir kami, Data tiba-tiba merengkuh kepala gue dan membenamkan bibir di bibir gue. Gue tersentak dan terbatuk, sebab sebagian sisa asap rokok belum sepenuhnya gue embusin. Itu bikin dia ketawa lagi. Gue suruh dia diem, tapi dia nggak kelihatan bisa mengontrol dirinya sendiri. Gue melompat ke pangkuannya dan membungkam mulutnya dengan mulut gue. Kali ini gue berhasil bikin Data diam, dia mengusap punggung gue.
Gue gosok hidung gue ke hidungnya. "I want more..." kata gue.
"Gue juga..."
Data baru nyelipin jari-jarinya ke rumpun rambut gue, kami baru akan ciuman lagi ketika gue ngerasa ada sesuatu yang nggak beres. Data membeku, berhenti membalas ciuman. Gue ketawa kecil, padahal gue sama sekali nggak bermaksud ketawa sama sekali. Gue tahu seseorang berdiri di balik punggung gue. Data mengangkat kepalanya, tawa gue serta merta berhenti. Seseorang sedang menangkap basah gue dan dia.
Gue nggak peduli kalo itu Delta, tapi ternyata Data peduli.
"Alana... Ngapain kamu disini...?" tanyanya.
Alana? Gue refleks melompat dari pangkuan Data.
Seorang cewek yang udah hampir menangis, tengah berdiri nggak seberapa jauh dari kami. Cewek itu menutup mulutnya dan lari menjauh. Ninggalin Data yang nggak juga beranjak dari duduk. Gue nggak tahu mesti ngomong apa, yang gue lakuin justru ketawa.
Ganja sialan! Rutuk gue, tapi gue terus ketawa.
"What is that just now?" Gue marah nih sebenernya, tapi mulut gue ketawa.
Data akhirnya berdiri ngikutin gue.
"I am so sorry...," katanya. Dia masih mencoba ngerengkuh tubuh gue, bukannya ngejar cewek yang menangis tadi. Gue menghindari sentuhannya sambil ribet nurunin bagian bawah gaun gue. "Gue jelasin sebentar, please..." mohonnya.
Shīt. Kenapa gue baru sadar? Dia nggak teler sama sekali, dia nggak ketawa kayak gue. Brengsek, Jadi dia pura-pura teler buat nyesuaiin mood gue doang tadi?
Gue kesel banget, entah kenapa. Ini penipuan dan gue ngerasa konyol. Gue mengayun lengan ke arahnya setiap kali dia berusaha memupus jarak antara kami. Namun Data selalu menepis dengan mudah, sebab dia totally sober. Gue udah sempoyongan, sementara Data masih berdiri tegap tanpa efek teler sedikit pun. Gue mengerang saat dia mendekat dan gue tonjok dia sekenceng gue bisa.
Data menjerit.
"What the hell!" pekiknya, "What is this for?"
Gue nggak dengerin teriakan dia. Gue lari sejauh mungkin dari dia. Gue masih ketawa, cuma batin gue yang nangis pedih. Gue selalu ngerasa jijik kalau udah ngerusak hubungan orang lain. Gue mending sakit karena dikhianati, daripada jadi orang yang mengkhianati. Bikin gue ingat dua tahun sebelum Papi meninggal, waktu gue ngelihat Mami nangis menemukan rahasia Papi. Mami histeris dan hampir ninggalin Papi. Itu adalah sebuah trauma tersendiri buat gue. Gue nggak mau ngelihat orang lain menderita seperti Mami. Apalagi karena gue. Gue nggak mau .
Fūck. Gue terus berlari keluar dari apartemen Edo.
It was the first and last time I saw Data after so long.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top