Act 2. Good Bye Change
Malam tahun baru
Gue udah selesai nulis resolusi tahun baru setengah jam lalu di kantor. Setelah nyimpen semua data ke folder Babi-Desember, gue shut down komputer dan mulai melakukan ritual rutin sebelum cabut: naro jaket lab ke laundry room; ngecek persediaan vaksin sapi dan babi di ruang pendingin; approve laporan kesehatan Miko—anjing penjaga yang kena hernia; baru ke ruang absen.
"Lembur, Mal?" sapa gue ke satu-satunya cowok HRD. Jamal cuma mengangkat tangan kirinya ke udara, tangan kanannya sibuk mainin mouse. Pasti dia lagi download bokep gay lagi. Dia itu fudan, menurutnya. Tapi nggak gay, menurutnya juga, sih. Lihat tuh, bantalan mouse pad-nya aja bokong bottom lagi nungging.
"Nggak. Bentar lagi gue balik. Ini nungguin lo balik," katanya setelah terdengar bunyi ceklek dari cetakan absen gue.
"Buset, tinggal gue doang nih yang stay?" tanya gue, celingukan. Memang udah sepi, udah nyaris jam sepuluh malam dan ini malam tahun baru. Gue ada acara-lah, janjian sama Bella di new years eve party-nya Edo. Kata Edo, Nicholas Saputra bakalan mampir. Gue sih nggak peduli, gue punya misi yang jauh lebih penting dari sekadar ngelihat aktor idealis itu.
"Iya. Lo, Santi sama satpam. Santi juga nungguin jaket lab lo doang." Jamal ngedengus pelan. Cowok itu meregangkan tangannya ke atas buat stretching. Kerjaannya seharian emang duduk doang di depan PC, ngutak-atik program absen. "Lo mau lihat nggak apa yang gue dapet barusan di situs gay porn?"
"Nggak. Makasih," tolak gue cepat, secepat gue nyamber Beng-Beng punya Jamal.
"Bagus tau, mau gue liat tar malem." Jamal nyengir sambil ngebunyiin buku-buku jarinya yang pegel kebanyakan ngetik. "Uke-nya manis kayak adek lo yang kapan tau jemput lo itu."
"Uke?" Gue bingung sambil ngerobek bungkus Beng-Beng.
Jamal ngangguk sambil nyahut mousepad bokongnya. Dia nekan-nekan bagian tengah bantalan yang buat naro pergelangan tangan, tepat di tengah dua bongkah miniatur bokong, mraktekkin apa itu uke. "Uke itu yang giniannya dipake."
"Shīt," umpat gue. Dia ngomongin lubang pantat right after gue ngunyah Beng-Beng yang lengket.
"Lo nggak suka orang homo?"
"Ya enggak gitu juga, tapi gue ngebayangin Afrika dipake pantatnya. Gue jijik, Bītch! Lo yakin lo nggak homo?" tanya gue ngebales.
Jamal gerakkin bahu. "Nggak. Gue suka cewek kok, tapi gue pengen ngerasain anäl-sêx. Looks good, cuma cewek gue nggak mau," katanya enteng.
Gue putar bola mata. Sebelum pembicaraan merambat ke topik yang tidak bisa ditentukan arah mata angin, gue tinggalin Jamal. Tepat di depan pintu kantor, gue pake helm dan ngeluarin kotak Marlboro. Menimangnya sebentar karena teringat resolusi pertama: kurangin rokok. Jadi gue masukin lagi kotak itu ke kantong celana.
Di atas motor matic, gue melirik sekali lagi jam digital iPhone. Gue cuma punya beberapa menit sebelum pesta di apartemen Edo mulai ramai. Nggak ada waktu buat pulang ke rumah buat ganti baju. Kalau gue telat, Delta pasti cemas. Dikiranya gue nyasar atau kenapa-napa di jalan. Nah kan. Baru diomongin. Ringtone khusus dia udah jerit-jerit di tangan gue.
"Anya, kamu dimana?" tanyanya begitu gue jawab panggilan teleponnya. Backsound suara Delta adalah ingar-bingar suara musik dan obrolan saling sahut. Biarpun gitu, yang tertangkap kuping gue hanya suara serak-serak basah—yang pastinya lolos dari bibir tipis-seksi Delta. Gue pengin nyentuh bibir itu dengan bibir gue. Sejak menyadari perasaan gue, cuma bibir Delta yang gue bayangin tiap kissing sama cowok lain, atau tiap makan eskrim Magnum. Bibir Delta pasti manis, gurih, dan dingin kayak Magnum white almond. Umh. I wanna eat dat lips.
"Gue masih depan kantor, Ta," jawab gue sok asyik. Selama ini gue selalu bersikap kayak gini ke Delta, kayak nggak butuh-butuh amat gitu. Gimana, ya? Dari kami kecil, emang porsi karakternya begini. Dia yang penuh perhatian ke gue, gue yang nerima perhatian terus-menerus. Gue pengin kok nanyain dia udah makan belum, mastiin dia selimutan nggak pas tidur, ingetin dia periksa gigi enam bulan sekali, kayak apa yang dia lakuin ke gue, tapi awkward aja.
Kalau dia yang penuh perhatian, rasanya merdu di telinga, sementara giliran gue—jangankan merdu—malahan mirip ibu tiri Cinderella sebelum Bapaknya mati. Sounds fake.
Gue pernah nyoba nanya ke dia udah makan belum waktu dia ada seminar tulis-menulis di luar kota, eh ... dia malah nuduh gue lagi nyimeng. Tersinggung dong gue. Katanya kalau gue nggak lagi nge-fly, harusnya gue nggak nanyain makan siang pukul empat sore. Sial. Gue nggak lagi nge-fly waktu itu, gue cuma mau perhatian aja—sayang gue lupa ngelirik jam tangan.
Pokoknya gue nggak cocok bermanis-manis. Itulah yang bikin susah nunjukkin ke Delta kalau gue sayang dia, tanpa gue harus ngungkapin perasaan itu. Bahkan ibaratnya, gue ngomong aja, boleh jadi dia nggak akan langsung percaya bahwa yang gue maksud itu cinta.
Gue cinta, bukan sayang doang. Gue pengen nyentuh dia passionately with affection, bukan sekadar sentuhan persahabatan. Gue nafsu sama Delta Irgi Maulana ituuu ...! Gue udah bosan jadi sahabatnya. Gue maunya make love sama dia, hamil, lalu punya banyak anak. Gue rela kok punya anak buat dia, dapat belasan jahitan di lubang pipis gue, asalkan dia yang jadi bapaknya anak-anak. Kalau sama yang lain belum tentu gue mau.
"Kamu hati-hati ya di jalan. Udah macet di mana-mana, oke? Aku udah di sini sama Bella. Aku ngajak Data. Kamu nggak suruh Afrika kesini juga? Biar seru," celotehnya merdu. Suaranya kalau lagi ngomong mirip Afgan aja lagi nyanyi. Nah kalau dia nyanyi, baru persis John Mayer. Bikin horny.
By the way ... gue inget-inget enggak sama Data. Seingat gue, sampai aku SMP, sebelum Papa Mamanya Delta pisahan, memang dia punya adik cowok. Namanya Data. Data ikut Papanya ke Myanmar. Seudah itu gue nggak pernah ketemu dia lagi.
"Afrika nggak dateng. Dia males katanya rame-rame. Dia ada barbecue sama temen-temen kuliahnya," bual gue.
Gue nggak ngajak Afrika kok, ribet urusannya. Dia itu kalau gue ajak, seolah dia lagi ngasih bantuan gitu, yang suatu hari dia mintain balas jasa. Kan gue males, padahal gue mau ngajak dia seneng-seneng, tapi lagaknya kayak gue lagi minta tolong ditemenin.
"Ya udah. Aku tunggu, ya? Ati-ati di jalan, ya? Jangan pake earphone kalau lagi setir motor, bahaya. Nanti kamu nggak denger diklakson dari belakang. Pakai kacamata kamu, jangan ngelindes kaki orang yang lagi nyeberang jalan. Meski ramai, tetap ikutin lampu lalu lintas. Yah? Jangan misuh-misuh di jalan, nanti kamu digamparin orang. Kamu tuh cewek!"
"Oke. Oke," kata gue pura-pura sebel, padahal gue seneng banget dia ceriwis gitu buat keselamatan gue. Rasanya sel telur gue udah mau meledak saking gue mikir yang enggak-enggak. "Ya udah ya gue jalan dulu. Bilang ke Bella, gue mau ngomong sesuatu sama dia nanti. Tanyain dong, dia udah bawain apa yang gue minta belum?"
Delta nggak langsung jawab, mungkin dia lagi nanya ke Bella. Beberapa detik kemudian dia kembali bicara. "Katanya udah beres, Nya .... Ada apa, sih?"
"Nothing," potong gue. "Oke, dadah. See you later!"
"After a while!" jawabnya. "Take care. Safe ride. Safe—"
"Shut up!" kata gue manyun beneran.
Delta tertawa kecil sebelum memutus sambungan telepon.
Gue menekan starter, nyalain mesin motor. Gue diemin sebentar biar mesinnya panas.
Ah ... gue udah bertekad kali ini. Tekad gue udah bulat, hati gue bernyanyi riang. Ini ada di daftar resolusi gue yang ke dua: try to be honest. Gue mau jujur tentang perasaan gue ke Delta and I am going to do it tonight. Sebelum menjalankan motor, gue mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Gue tahu. Gue harusnya ngurangin kadar nikotin dalam darah, tapi fūck-lah. Gue lagi nervous, daripada gue trembling saking excited-nya, mending gue ngerokok buat ngalihin perhatian.
Seudah mesin panas, gue selipin earphone ke kuping. Menjepitnya dengan helm. Gue tahu ini bahaya, gue pernah diludahin sopir bus gara-gara nggak mau minggir diklaksonin. Gue nggak denger ya, setan! Jangan salahin gue dong. Gue nge-set playlist yang track pertamanya Shadow Days.
Well it sucks to be honest, and it hurts to be real. But it's nice to make some love, that i can finally feel. My shadow days are over now.
Perjalanan dari kantor ke apartemen Edo sebenernya cuma butuh lima belas menit aja, tapi gara-gara ini malam tahun baru, di mana-mana macet. Semua orang tumpah ke jalan. Alhasil, sepanjang jalan gue sibuk ngata-ngatain orang yang seenaknya ngelanggar marka atau nggak disiplin sama rambu-rambu lalu lintas. Mereka bikin jalanan makin nggak keruan. Juga bikin tenggorokan gue kering dan sakit.
Akhirnya setelah perjuangan panjang, gue nyampe juga di apartemen Edo. Bentuk gue udah kayak babi yang tiap hari gue cek kesehatannya.
Oh iya Gue sarjana peternakan yang kerja di peternakan. Jadi itu tadi nggak becanda. Ini pekerjaan gue yang paling lama bertahan, sebab gue nggak harus banyak interaksi sama manusia. I find it quite easier to deal with pigs and cows. Gue nggak perlu khawatir bakal nempeleng muka partner kerja yang reseh, atau bos yang nyinyir kayak di tempat kerja sebelumnya. Nama kantor gue, Bacon and Beef Love County Ranch, peternakan dan pemotongan hewan modern di tengah kota.
"Bītch!"
Gue nengok. Baru juga gue naro helm di atas spion motor, Bella udah lari tergopoh-gopoh ke arah gue. Cewek itu malam ini pakai gaun koktail yang mengekspos bahu dan punggungnya, rambut ash brown-nya yang lurus dibiarkan berkibar-kibar ngikutin dia jalan.
"Hai, bītch!" Gue lambai-lambai ke dia dengan senyuman puas. Di tangan Bella ada sebuah kantung kertas yang udah bisa gue duga isinya apaan. Bella emang pelacur yang bisa diandalkan.
Tenang. Gue bukan menghina Bella. Bītch itu artinya bestfriend. Nggak semua orang bisa lo panggil bītch, some of them are simply slūt. Gue sama Bella saling manggil bītch karena kami berdua saling sayang.
"Gila lo lama banget deh," gerutunya jengkel. Jengkel gitu aja dia tetap cantik. Dia emang udah cantik dari dimuntahin ke dunia ini sama Maminya Chinese-nya. Nggak kayak gue yang nggak bisa sekali lihat langsung keliatan cantik, gue nggak cantik kok emang, tapi kata orang gue manis. Kata Delta juga. Apalagi kalo lagi ambekan, kata Delta, gue tambah manis. Dia cinta sama gue deh. Sama kayak gue cinta ke dia.
"Kena macet tau gue," alasan gue. Eh. Emang iya.
"Ya elo udah tau ini tahun baru, kerja sampe jam segitu. Ya iya macet-lah. Nih!" Bella mindahin kantung kertas di tangannya ke tangan gue.
Gue mengintip ke dalam kantung kertas itu. Buru-buru gue kasih Bella kecupan sayang di pipi. "Thank you, queen bītch. I love you so much. Lo pantes dapat nobel karena bantuan lo ini. Jasa lo ini nggak akan gue lupain seumur hidup. Emmm... tapi gue masih ada satu permintaan lagi... Could you please...."
Alis Bella mengerut jijik. "Kenapa muka lo nyeremin gitu?" rutuknya.
Gue cubit ujung pentil di dadanya yang segede timun suri. "Setan lo, gue lagi making cute puppy eyes tauk."
Bella tertawa sambil ngusap-ngusap bekas cubitan gue. "Gila kalo puppy eyes kayak gitu, anjing nggak akan disebut human bestfriend lagi tau nggak."
Gue mendecapkan lidah.
"Emangnya bantuan apa lagi siiih yang lo butuhin, cayangkuuu?"
Bola mata gue bergerak ke atas, bikin Bella makin gemes dan meluk bahu gue dengan sayang. Sejauh ini sih, apa aja yang gue mintain ke dia nggak pernah dia tolak, selama bantuan itu nggak menyangkut membantu kelahiran induk sapi atau mecahin cangkang anak ayam yang mau netas.
"Gue mau pake mek ap!" bisik gue malu-malu.
Bella bengong sebentar ngelihatin muka gue, lantas bahunya yang telanjang menyenggol bahu gue kasar. "Ada apa sih sebenernya, hm?" tanyanya reaktif. "Gue nggak akan bantu lo kalo lo main rahasia-rahasiaan gini."
Gue nyengir karena ancamannya. Well... Gue emang tertutup soal perasaan gue, even ke the one and only bītch yang tahan ama gue selama ini. Gue malu. Gimana kalau Delta nggak nganggep gue seperti gue nganggep dia? Gini-gini, selama ini gue ditembak cowok, nggak ada ceritanya gue suka duluan. Never-lah. Tapi kayaknya malam ini mau nggak mau harus share ke Bella kalau gue mau confess ke Delta, daripada gue nggak dibantuin dandan.
"Ada orang yang gue suka." Gue gigit bibir bawah gue habis bilang gitu. Seperti dugaan gue, Bella memelotot. Bulu mata palsunya kibas-kibas, kontak lensnya juga mau lepas. "Gue mau confess ke dia malam ini," terusan gue.
Bella menutup mulut dengan jari-jarinya yang habis di french menicure, "No way!" pekiknya tertahan. "Oh no. Stop." Cewek itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
Gue memberengutkan bibir dengan kecewa, padahal gue lagi semangat mau ngaku.
"Gue juga ada kejutan buat lo malam ini. Gimana kalau kita bikin impas?" Mata Bella berbinar sewaktu mencetuskan ide. "Gue yakin kita nggak akan saling bohong soal siapa yang lebih kaget sama kejutan masing-masing. I can tell it in your eyes and so as you, right?"
"Gue nggak ngerti! Apa itu artinya lo tetep akan bantuin gue dandan?"
"Tentulah, sayang! Gue yakin, malam ini bakalan seru banget. Ah gue seneng banget deh. Awalnya, gue khawatir kejutan ini akan bikin lo bete. But... karena lo juga akan jadian sama seseorang, gue yakin banget kita bakalan sama-sama happy! So jangan kasih tau gue, gue mau kita share kejutan ini right after the new year!"
Gue setuju.
Whatev-lah ya, pokoknya gue butuh muka gue didempul malam ini. Gue mau tampil cantik di depan Delta, kayak di film-film itu. Gue mau Delta nyadar kalo gue juga bisa tampil menawan, kayak cewek-cewek yang selama ini ngejar-ngejar dia. Gue mau dia lihat kalau jodoh yang selama ini dia cari-cari itu ada di sekitarnya. Gue jodoh dia dan dia jodoh gue. Oh so romantic. Gue blushing.
Dan gue memang cantik ternyata.
Gaun yang dibawain Bella melekat ketat di tubuh gue. Gue memang agak gedean dikit dibanding Bel, tapi gaun ini masih cakep kok di badan gue. Palingan gue cuma perlu tahan napas, dan nyari tempat agak sepi kalau mau lepasin otot perut sejenak. Gue masih bisa deal with it lah. Selain gaun, muka gue entah diapain tadi sama Bella Bītch. Ditotol-totol, ditepuk-tepuk, dikuasin, diwarnain sana-sini sampe gue capek sendiri. Untung hasilnya cucok, Bītch. Gue nggak jadi bete karena capek.
Yang paling aneh sih bagian bulu mata, tebel panjang gitu sampai gue susah melek. Gue agak keberatan soal bulu mata ini, tapi Bella bilang, dandan nggak pakai bulu mata palsu sama kayak cowok pakai celana nggak pakai sempak. Gue nggak ngerti maksudnya, tapi gue nggak ngebantah. Takut muka gue diacak-acak. Belum bibir gue yang berasa benyek. Gue jadi nggak berani mingkem, ngomong aja gue aneh. Bella bilang, rileks aja natural. Mana gue bisa? Bibir gue rasanya aneh, tapi gue cantik, jadi gue tahan protes gue. Ini demi Delta.
As I thought, Delta speechless ngelihat gue. Bibirnya menguak dikit saat menatap gue. Kuakannya kecil, tapi sepertinya pas sama ukuran lidah gue. Gue bisa masukin lidah dengan mudah kalau bibir dia gitu terus. Gue yakin sekarang ini malaikat cinta lagi nepuk pundaknya, 'Itu jodoh lo, Ta!' kata malaikat itu.
"Anya?" sebutnya mastiin. "Itu kamu?"
Gue tersipu. "Nggak usah lebay deh ah...!" Bulu mata gue berat, gue jadi kedip-kedip sendiri. Gue sambut tangan Delta yang ngebimbing gue mendekatinya.
"Cantik lho kamu, Nya, pake gaun gitu," pujinya lagi. Dengan konyolnya, dia muter-muterin badan gue. Bikin gue deg-degan waktu sentuhan tangannya memilin perut hingga punggung gue dengan lembut. "Siapa yang bikin kamu dandan kayak gini? Hey. Aku nggak pernah ya lihat kamu dandan buat seseorang. Kok aku nggak tau sih?"
Ih. Cuma satu orang yang bikin gue gini, Ta. Orang itu elo-lah pasti.
"Oh. It's almost count down!" Delta mendesis, mendadak mukanya jadi kelihatan panik. "Eh tunggu, ya? Ntar kita ngobrol lagi. Aku ada ... em ... aku harus ke panggung setelah count down. Tunggu. Tunggu, ya?"
"Oh, it's okay.... It's okay...," kata gue sabar. Gue bisa nunggu kok kalau cuma sampai count down. Apa bedanya sekarang atau beberapa menit lagi, kan? Yang penting akhirnya gue bisa milkin dia.
Gue melambai anggun mengantar kepergian Delta ke panggung. Gue gunain kesempatan itu buat ngelepas otot perut. Persetan deh kandungan air di perut membobol kerampingan gaun. Gue melirik ke bawah sedikit. Ya ampun. Gue bener-bener kudu sit up kalau masih suka minum bir sebelum tidur, atau gue akan mati gara-gara kebanyakan tahan napas tiap kali pakai gaun.
Gue emang nggak pernah pake gaun selama ini, tapi Delta penulis yang cukup terkenal. Kalau gue jadian ama dia, gue bakalan sering dibawa-bawa ke pertemuan resmi yang ngeharusin gue pakai gaun seksi.
Ngomong-ngomong gue nyariin Bella. Di mana dia?
Oh itu dia. Cewek itu lagi ada di bawah panggung barengan sama Delta, bisik-bisik serius dan kelihatan nervous gitu. Bella megangin dadanya dan ... eh ... Delta ngelingkarin lengannya di pinggang Bella. Dahi gue nggak urung mengerut juga. Gue tahu mereka akhir-akhir ini lagi sibuk garap proyek berdua, tapi gue nggak pernah nanyain gimana kelanjutan proyek itu. Apa mereka jadi akrab karena kerja bareng?
"Sampanye?"
Gue terkesiap. Gue atur napas sebelum ngasih senyum ke seseorang yang nawarin segelas sampanye. Kebetulan gue haus, langsung gue sambar dan gue tenggak setengahnya. Baru seudah tenggorokan gue lega, gue bilang makasih dan mulai tahan otot perut lagi.
"Kenya, ya?" tanya orang yang bawain sampanye tadi. Gue menoleh dan terkejut. Gue pikir tadinya pelayan or something gitu. Setelah gue sadar ini private party dan everyone ngambil minuman sendiri-sendiri, gue jadi ngerasa bersalah sama sikap gue.
"Gue Data!" sebutnya ceria.
Data?
Ngomong-ngomong, memang tampangnya nggak asing buat gue. Kayak ada Delta dalam mukanya, tapi entah di bagian mana. Yang jelas dia nggak kalah ganteng sih sama Delta, cuma kalah karisma aja. Delta itu kesannya dewasa, cowok di depan gue ini kesannya cute. Mendadak gue ingat semua tentang Data begitu cowok itu nyebutin nama.
Data beda banget dari Data yang gue ingat dulu. Jujur aja, gue masih tetap belum ingat banget Data kecil kayak gimana, tapi gue udah punya bayangan meski buram. Mungkin karena gue jarang lihat, dia jadi kelihatan kayak sosok yang sepenuhnya lain. Nggak kayak gue sendiri atau Delta yang gue ikutin perkembangannya tiap hari.
"Hai. Long time no see!" sambut gue kasual. Gue nggak tahu harus bersikap kayak gimana sama Data, gue nggak ngerasa akrab aja sama dia. Gue ulurin tangan dan Data menyambutnya dengan jabat dan senyum ramah. Matanya menyipit kalo dia senyum, persis Delta.
"Rambut lo masih keriting, ya?" nilainya sejurus kemudian.
Gue nyentuh rambut gue secara spontan. "I can't help it," kata gue. Nyengir.
Data ketawa. "Itu 'kan yang bikin gue inget sama lo. Kenya yang kakaknya Afrika, yang lahir di Afrika, disusuin sama gorila. Yang rambutnya keribo. Oh Kenya yang itu!"
Gue ikutan ketawa. "Sialan. Gue nggak beneran disusuin gorila, ya! Itu cuma becandaan konyol aja." Lantas gue habisin sampanye di gelas. Muka gue menghangat.
"Oke... Oke... But I remember all about you, you know?"
"Really?"—Gue enggak, masalahnya.
"Lo kayaknya lupa sama gue, ya?"
Gue mengulum senyum supaya Data maklumin gue.
"It's Okay!" Dia gerakkin tangan ke depan muka gue. "Ngomong-ngomong, ngapain lo pake baju kayak gitu di pesta ganja begini?"
Ya ampun. Emang gaun gue berlebihan banget, ya? I mean ... semua cewek di sini all out, gitu. Gue bahkan ngelihat ada yang pakai gaun seksi banget. Seaneh itukah gue di mata Data? Padahal kami udah nggak ketemu bertahun-tahun. Gue baru mau alasan apaan gitu biar dia dapet gambaran kalau gue udah berubah, tapi Data duluan nebak tanpa basa-basi.
"Mau nembak abang gue, ya?"
Bikin gue ketawa garing. Garing banget kayak pangsit goreng belum kecelup kuah bakso.
"Well ... seinget gue sih Delta nggak pernah nyebut-nyebut nama lo kalau dia ngomongin cewek. Lo yakin mau nembak dia? Lagian dengan baju kayak gitu—jangan-jangan lo ngarep hidup lo kayak di komedi-komedi romantis itu ya? Lo ngarepin seorang cowok akan fall for you dalam semalam karena lo dandan cantik, gitu?"
What? Jantung gue protes berat di dalam dada. Fūck banget ini bocah, ya? Sebentar lalu dia kayaknya oke-oke aja, tapi dengan beberapa kalimat, dia langsung berubah reseh. Oh oke. Mungkin gue melewatkan satu fakta bahwa mulut Data nyinyir kayak banci. Persis kayak Afrika aja gimana. Gue secara instan nggak suka sama dia, nggak pake nunggu tiga menit kayak bikin Pop Mie.
"Emang kenapa baju gue?" alih gue. Nggak mau aja dia beneran bahas soal gue mau nembak Delta.
Data senyum-senyum, muterin gue secara nggak sopan. Kenapa kalau Delta bisa bikin gerakan yang anggun, sementara adiknya kayak orang cabul gini?
"Baju lo terlalu merangsang buat dibawa ke tempat beginian, Non..." bisiknya tepat di tengkuk gue.
Muka gue seketika panas. Gue pengin banget nampol mukanya, kalo gue nggak inget misi gue malam ini. Anak ingusan ini bakal jadi Om-nya anak-anak gue. Gue harus tahan sama dia. Akhirnya, gue milih senyum aja. Meskipun kecut.
"Masa sih?" tanggap gue. Bukan yang beneran nanya, tapi yang seolah bilang, 'mata lo kali yang buta' gitu.
Data malah menjulurkan lidah ke gue. "Nggak deng, nggak. Gue malah seneng liat lo sekarang so hot gini. Lo yang dulu kan—"
"Jangan mikir yang enggak-enggak, ya!" potong gue agak sengit.
Entah kenapa gue malu ngebayangin pendapat Data tentang gue di masa lalu. Gue nggak biasanya malu-malu gini. Mungkin karena gue lagi insecure aja berpenampilan nggak biasa, jadi gue bawaannya nyolot.
"Gue nggak tertarik sama cowok yang lebih muda."
"Gue juga nggak tertarik sama cewek gendut!" defense-nya.
"Gendut?!" Kuping gue seolah tegak mendengarnya. Rahang gue mengeras, udah siap mau nempeleng pakai tas tangan yang sedari tadi gue jepit di ketiak.
Gendut itu kata yang forbidden buat diungkapin ke cewek. Apalagi di pertemuan pertama. Gue mungkin bukan cewek yang lemah lembut, gue tahu sikap gue kadang kasar dan cuek, orang lain menganggap gue nggak masalah kalo fisik dibawa-bawa. Mereka lupa kalau cewek itu di mana-mana sama, nggak mau difisikin.
Lagian gue nggak gendut. Badan gue masih proporsional, meski nggak selangsing supermodel. Gue punya masalah dikit di perut gara-gara gizi tinggi Heineken dan Bir Bintang. Terus, kala dia nggak suka cewek gendut, masalah gue gitu?
"Seinget gue dulu lo nggak gendut, kok. Lo kebanyakan minum, ya?" timpal Data lagi, sementara gue masih belum ngomong apa-apaan saking syoknya.
Setan. Mata gue sontak melotot. Cari mati kayaknya ini orang. Pengen banget gue masukin kepalanya ke microwave biar meledak.
Oh please. Gue lagi nggak boleh berantem sekarang. Nggak mau mood rusak gara-gara ngeladenin cowok yang sengaja bikin kesel. Selalu akan ada kerikil-kerikil gini kalo kita lagi mau ngejalanin misi besar. Hal-hal nggak terduga yang bikin Mission Impossible jadi lebih seru. Akhirnya gue cuma gelengin kepala kecil sambil melangkah ngejauh.
"Lo masih tinggal di rumah lama?" Dia ngikutin gue.
Gue nggak jawab, dan itu bikin Data jengkel. But who cares? Gue jalan lebih cepat lagi. Tapi karena gue pake high heels, Data nyamain langkah gue dengan mudah.
"Lo marah gue ngatain lo gendut?"
"Fūck you," desis gue.
"I heard that," katanya sambil ngeblok langkah gue.
Muka gue menabrak dadanya yang bidang, berbalut kemeja dan jaket yang dibiarin terbuka. Shīt. Lipstik di bibir gue menempel di bahan kemejanya.
"Ups!" cicitnya nyebelin. Senyumannya juga terbit miring sama nyebelinnya. "Bad girl!" katanya.
Gue lagi mikirin kata-kata nyelekit apa yang mau gue pakai buat membalas hinaannya. Ini udah nggak bisa ditolerir lagi.
Bad girl, katanya? Dia yang tau-tau ngeblok jalan gue, ya! Gue udah buka mulut, dalam mode siap serang. Tapi serangan gue tertunda saat terdengar gelas sampanye berdenting melalui microphone. Gue dan Data secara bersamaan mengalihkan perhatian ke panggung di bawah.
Betapa terkejutnya gue, sampai-sampai gue harus berpegangan lengan Data karena limbung. Gue merasakan tatapan Data yang mengasihani, tapi nggak punya daya buat melawan.
Di bawah, di atas panggung, gue melihat Bella dalam dekapan Delta. Gelas sampanye yang berdenting tadi masih berada di tangan Delta yang mengacung ke udara. Gue nggak pernah lihat Delta sebahagia itu, sampai pipinya merona.
Katanya, "I am so happy, I proposed to her once and she said yes without any second thought. Kami ingin membagi kebahagiaan kami malam ini. Selamat tahun baru."
Kemudian kerumunan pengunjung mulai bersorak, membikin kuping gue berdengung, seolah ribuan lebah bersarang di rongga telinga. Waktu gue sadar, gue sama sekali nggak berdiri di atas kedua kaki gue. Gue bersandar sepenuhnya ke tubuh Data. Cowok itu meraih sigap gelas sampanye sebelum gue menjatuhkannya.
Bisiknya, "Gue pikir lo butuh yang jauh lebih keras dibanding sampanye."
Gue cuma ingin pergi dari sana, menghindar sejauh mungkin dari Delta dan Bella. Gue nggak tahu harus pasang tampang kayak gimana di depan mereka. Rasanya gue pengen nangis meraung-raung. Kenyataannya, gue cuma meraung, sebab nggak ada air mata tumpah dari mata gue. Gue nggak menangis.
Air mata gue nggak mau netes, meski hati gue sakit bukan kepalang.
Gue menyerahkan nasib di lengan Data, nggak melakukan perlawanan saat dia membawa gue ke tempat yang jauh dari keramaian.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top