Act 15. That kinda lovin' turns a man to a slave
Gue salah kostum dan gue sebel sama Delta for making me look stupid.
"Nggak apa-apa. Kamu tetep cantik kok!" katanya menenangkan gue.
Cantik apaan? Make up gue udah luntur karena kami cipokkan ribuan kali di dalam mobil tadi. Baju gue kusut karena Delta mengangkat tubuh gue naik ke pangkuannya dan mengangkat bagian depan blus gue selama mulut kami saling cumbu. Tangannya meremas-remas dada gue tanpa membuka penutupnya. Itu hot dan gue udah berharap kami bakal gituan saat itu juga di depan kemudi. Of course kami nggak melakukannya, sebab kami sedang ada di parkiran sebuah restoran tepi laut yang ekslusif.
Sewaktu cumbuannya berhenti dan Delta bilang dia akan ngajak gue pacaran di tempat yang romantis, gue nggak membayangkan kalau tempatnya bakalan seindah ini. Sebuah beach restaurant yang gue tahu nggak sembarang orang bisa masuk karena keeksklusifannya. Kabarnya, untuk bisa makan di sana, seseorang harus punya exclusive member card. Cara mendapatkannya pun nggak mudah, seseorang harus mengirimkan proposal dilampiri copy kartu kredit tanpa limit dan release-nya juga butuh waktu.
Semua orang yang masuk kebanyakan mengenakan pakaian resmi, sementara lihat aja pakaian gue. Gue ngegembel. Oke gue look cute dari rumah tadi, sebab gue pikir Delta hanya akan mengajak gue minum cokelat panas di kafe favorit kami, atau nonton bioskop. Di sini, gue bener-bener kayak hooker yang dimasukkin Delta ke mobil karena dia butuh temen makan malam. Gue menolak, tapi Delta memohon. To get the reservation table, katanya, dia harus melobi melalui Data. Kalau dia nggak jadi datang, Data akan sangat malu.
Saat gue akhirnya dengan berat hati menyanggupi, Delta mengambil blazer dari back seat dan merangkap kemejanya dengan benda itu. Dia tampak semakin tampan dan gue tampak semakin kere. Kalau bukan karena cinta, gue nggak akan mau mempermalukan diri gue lebih jauh lagi dengan masuk ke restoran mewah.
"You look natural, Sayang...!" Lagi-lagi Delta mencoba membuat gue percaya diri, yang justru bikin gue merasa sebaliknya. Dia merapikan rambut gue dan mengecup pipi gue buat ngeyakinin kalau dia nggak akan membuat gue malu. "Kalau ada orang yang berkomentar soal pakaian kamu sekali aja, kita langsung pergi. Gimana?"
"Mereka nggak akan komen, tapi bakal ngeliatin gue kayak alien!" rutuk gue.
"Oke. Kalau ada satu orang aja yang ngeliatin kamu kayak alien, kita langsung pergi. Aku janji!" katanya. Mengecup sekilas bibir gue yang sudah kembali ke warna aslinya, "Lagi pula di restoran mahal, yang perlu berpakaian resmi itu laki-laki. Perempuan itu bebas. Siapa yang berani mengkritik busana wanita kalo laki-lakinya bisa bayar apa yang mereka makan?"
Gue tertawa setuju kali ini.
Delta mendekap tangan kanan gue dalam lengan kirinya yang terlipat di depan dada. Kami berjalan perlahan ke arah restoran di mana beberapa door boy menawan menyapa sopan. Setelah Delta check in sesuai reservasi, kami diantar masuk lebih ke dalam. Gue berdecak kagum, ini restoran termewah terklasik yang pernah gue datangi. Gue terpesona pada dekorasi ruangan yang nyaman, tanpa meninggalkan kesan elegan, juga pada alunan musik klasik yang berasal dari piano dan biola yang dimainkan secara live di panggung di sudut ruangan. Delta benar, nggak seorangpun menatap gue seperti alien dan nggak semua orang yang makan di sana berpakaian resmi, meski nggak ada yang kelihatan semiskin gue. Meh!
Gue dan Delta nggak berhenti di satu meja pun di dalam ruangan. Kami diantar keluar, di bagian belakang restoran di mana di atas pasir putih terhampar berjejer meja makan dengan table set yang rumit.
Matih gue.
Gue nggak pernah paham table manner sama sekali. Yang gue tahu hanya menggunakan peralatan makan dari urutan paling luar ke dalam. Duh, kenapa dia nggak ngajak gue makan mie ayam di pinggir jalan, sih? Kan sama-sama outdoor. Gue terampil pake sumpit. Gue bahkan bisa menangkap lalat pakai ujung sumpit kayak Jackie Chan. Sayang jarang gue lakuin, sebab biasanya gue langsung kena gampar Afrika karena dia bilang itu jorok.
Delta sekali lagi benar. Nggak seorang pun memperlakukan gue seolah gue nggak berhak berada di sana. Semua orang tersenyum ramah, bahkan sepasang suami istri tengah baya yang duduk di seberang meja kami memuji rambut gue. Gue tersenyum manis dan mengucapkan terima kasih. Gue tahu benar itu for manner's sake, gue yakin sebenernya mereka kagum karena belum pernah lihat rambut sekusut milik gue.
Cewek yang menanyakan pesanan kami juga begitu, dia lebih perhatian ke gue daripada Delta. Dia selalu menanyai gue terlebih dulu sebelum beralih ke Delta. Dengan sopan namun luwes, pelayan itu menunjukkan beberapa menu unggulan dan menanyakan selera gue sebelum gue membuat pilihan. Semua itu menghilangkan rasa canggung gue.
Gue happy. Lima belas menit pertama, gue udah merasa seperti nyonya besar yang bisa menyamai level seorang Delta Irgi Maulana.
Kami makan malam dengan tenang, meski sewaktu piring appetizer terhidang, gue yakin perut gue sama sekali nggak akan kenyang. Mahalnya harga makanan di restoran ini aja udah bikin gue berulang kali melotot keheranan, ternyata, ada yang bikin gue lebih melotot lagi. Makanan mahal itu porsinya kecil-kecil! Gue sempat berpikir ini baru miniaturnya aja, nggak mungkin betulan. Tapi sayangnya memang itu beneran makanan yang kami dapat.
Gila!
Yang punya restoran mau cepet kaya kayak Bill Gates apa gimana?! Sepiring scalop with onion glaze harganya setara dengan uang makan gue seminggu dan seporsinya bisa gue makan dalam sekali suap. Tentu gue nggak menghabiskannya dalam sekali suap di hadapan Delta, hanya akan gue lakukan kalau gue bersantap bareng Afrika—dimana table manner buat kami berdua adalah mitos semata.
Surprisingly, setelah dessert selesai gue santap, gue cukup kenyang. Mungkin karena western style dish disajikan tahap demi tahap, dan setiap tahapnya diselingi jeda sekitar sepuluh menit setelah piring kosong diangkat oleh pelayan. Sepuluh menit jeda itu tidak terasa lama sebab restoran menyediakan hiburan musik yang indah. Makanan tercerna dalam waktu yang cukup oleh lambung terlebih dulu sebelum datang menu selanjutnya, sehingga pada tahap akhir, lambung bekerja dengan baik tanpa pekerjaan berlebihan. Selain itu, ada anggur lezat yang mahal sekali, harganya mungkin setara dengan gaji Jamal satu bulan. Rasa manis anggur membuat perut lebih cepat penuh.
Puji Tuhan gue nggak bersendawa.
"Gimana? Kamu suka?" bisik Delta ke gue.
Gue mengangguk dan menyambut remasan tangannya di jemari gue. Sekarang gue siap kalau dia mau nembak gue. Tembak gue, bunuh gue dengan cinta lo. Gue udah siap berenang telanjang di hadapan puluhan pengunjung restoran ini kalau Delta menyatakan perasaannya secara resmi malam ini.
"Aku selalu pengin ngajak kamu kemari, Anya ...," desisnya lembut, matanya menatap gue dengan tatapan teduh. Dia selalu menatap gue dengan tatapan seperti itu, tapi kali ini entah kenapa terasa lain. Gue nggak bisa berhenti merasa malu setiap kali gue membalas tatapannya,
"Seharusnya aku tahu ... kamulah yang selalu aku butuhkan. Kamu yang ngerti aku luar dan dalam. Kamu yang selalu dengerin semua keluh kesahku dan aku butuh itu selalu, Nya. Aku kangen kamu sewaktu kita nggak saling ketemu. Aku sadar, kamu selalu ada di sampingku. Saat kamu nggak ada, aku nggak pernah bisa dapetin ganti sosok kamu dari siapa pun."
Gue seneng. Tapi gue mikir. Kapan gitu Delta berkeluh kesah ke gue? Kayaknya nggak pernah, yang ada juga gue yang selalu bersandar di bahunya. Sejak kecil hingga sembilan bulan yang lalu, gue merasa dialah yang selalu ada buat gue. Sementara, sebaliknya, gue selalu merasa dia nggak butuh-butuh amat sama kehadiran gue. Lucu, ya? Ternyata kami berdua membuang lima belas tahun lebih memikirkan hal yang sama.
Tapi gue nggak terlalu peduli dengan proses lalala lilili, gue lebih nungguin eksekusinya. Langsung aja udah. Kenya, gue cinta elo. Gue mau lo jadi cewek gue, bini gue kalau perlu. Gitu. Meski Delta nggak akan pake kata-kata brutal kayak gitu. Jadi gue sabar aja. Pokoknya begitu anak panah melesat dari busur, gue akan pasang dada dan bilang: yes yes yes. Ya ya ya, kayak di iklan KB. Gue mau. Seribu kali mau. Sejuta kali mau kalo perlu.
"Aku selalu mencoba menggantikan sosok kamu dengan sosok gadis lain, termasuk Bella. Aku pikir, kamu bisa digantikan dengan sembarang perempuan dan aku bisa mengalihkan perhatianku dari kamu dengan menghadirkan cinta lain di hati aku. Nyatanya ... aku selalu gagal. Hubunganku selalu nggak berhasil dan aku pikir mungkin aku nggak punya pilihan lain selain kamu. Aku nggak nyangka kamu punya perasaan yang sama kaya aku, Nya..."
Gue menggigit bibir bawah. Apa habis ini dia bakalan bilang itu? Gue jantungan, maksud gue, hampir jantungan.
"Tiap ngeliat kamu aku bingung. Aku sayang kamu, cinta kamu, tapi kamu terlalu kuat seolah kamu nggak butuh siapa pun. Setiap kamu putus hubungan dengan pacar-pacar kamu, kamu melenggang nggak peduli. Aku selalu ngerasa ketakutan sama hubungan kita juga. Aku pikir kamu benar-benar nggak akan butuh aku kecuali sebagai sahabat. Aku takut aku udah salah mengartikan kebaikanmu ke aku, perbedaan sikapmu ke aku, gimana kalau semua itu justru hilang saat kamu tau aku cinta kamu? Aku takut kehilangan kamu..."
Bisa nggak sih dia tutup mulutnya dan berhenti ngomong? Bibir Delta itu lebih enak diajak cipokan dari pada dipake banyak ngomong. Gue nggak butuh-butuh banget kalimat pengantar yang manis. Asalkan dia bilang langsung dia mau gue, semau gue sama dia, itu udah cukup. Selanjutnya kayak di iklan body spray itu: selanjutnya terserah anda.
Ribet banget mesti begini. Jangan bilang habis ini ada pemain biola nyamperin kemari memainkan lagu endless love seperti yang terjadi sama meja di seberang gue! Kalau gue punya sepersepuluh aja jiwa sensitif Afrika, paling nggak gue bisa bikin mata gue berkaca-kaca. Karena ini gue, gue akan kasih pemain biola itu recehan supaya dia minggat.
Tapi gue tau gue nggak akan bisa melakukan itu. Tidak di hadapan Delta.
Oh. What the ngentot seperti dikutip dari ucapan binal Rendri Febrian! Mereka beneran ke sini. Mata gue melirik ngeri ke arah Delta, sementara Delta mengedipkan salah satu matanya ke gue. Ya ampun, dia beneran berpikir gue akan tersentuh, nih? For esek-esek's sake! Gue nggak bisa akting terharu! Ya Tuhan Yesus yang maha bijaksana, turunkanlah mukjizatmu. Kasihlah dikit air mata Afrika buat gue, Tuhan. Gue komat-kamit baca doa.
"It's Tell him!" bisik Delta.
Gue tersenyum kecut.
Buka aja Wikipedia. Itu lagu tahun 70-an kayaknya. Well gue becanda. Mungkin tahun 90-an saat Celine Dion masih berjaya dan Barbra Streisand masih sehat walafiat. Lagu Mami setiap ingat almarhum Papi, lagu Mami tiap makan malam Natal setelah come back home for christmas. Lagu yang bikin gue dan Afrika putar bola mata 'oh here we go again' karena Mami dan Papi akan berdansa sepanjang lagu itu diputar.
Gue mencoba tersenyum sepanjang permainan biola yang sebenarnya cantik itu, mencoba tampak sedang mengembuskan napas berat seolah gue teramat sangat bersusah payah menahan air mata gue jatuh di pipi setiap kali Delta melihat ke arah gue. Dan demi kekuatan cinta gue yang dahsyat ke Delta, gue mengakhiri lima menit yang melelahkan itu dengan aman sentosa.
Gue tepuk tangan anggun dan melambai manis saat pemain biola melangkah menjauhi meja kami. Saat gue beralih kembali ke cowok di samping gue—mati-matian berharap dia nggak buang-buang waktu lagi atau gue yang akan nanya mau nggak dia jadi cowok gue—tatapan Delta menangkap tatapan gue. Tangannya mengambil kedua tangan gue. Darah gue udah bergejolak, dada gue berdesir-desir. Inilah saatnya. Momen yang gue nantikan, semoga Delta nggak kebanyakan cingcong dan langsung nembak gue.
Tapi ya ampun!
Gue mati.
Gue mati bukan karena seneng, gue mati karena malu. Seudah Delta menggenggam tangan gue, cowok itu bersimpuh di hadapan gue!
Kelakuannya terang saja mengundang puluhan mata menatap kami berdua. Like kemon... Serius, ya? Gue sebel dipermalukan seperti ini. Gue nggak suka mempertontonkan kemesraan di depan umum apalagi sengaja di-setting begini. Gue bukan cewek yang suka dicium dan diberi tepuk tangan seolah itu layak dikonsumsi publik. Itu menjijikkan.
Gue mengernyit dan nggak bisa pura-pura tersenyum lagi. Kalau Bella lebih suka mengumumkan sebuah hubungan di atas panggung, gue lebih suka di belakang panggung. Menikmati segala romantisme berdua, kalo perlu di kasur berdua aja!
"I love you, Kenya."
Tapi gue nggak bisa marah karena wajah ganteng Delta berada tepat didepan selangkangan gue yang terbuka. Kalo ini di kamar, gue bisa langsung lepas celana. Inilah kenapa gue kurang suka adegan outdoor.
Akhirnya gue bisa tersenyum. Awkward, tapi tetap judulnya tersenyum. Gue melirik ke kanan dan ke kiri, mendapati hampir seluruh pengunjung dan karyawan restoran menyatukan tangan mereka di depan dada dengan wajah trenyuh kayak ngelihat korban tabrak lari. Gue korban tabrak larinya.
"I love you too..." balas gue.
"Would you be my woman? The one and only—"
Gue memotongnya. "Gue mau."
"Let me finish!" Mata Delta mendelik. "The one and only person I turn to, the one and only face i see when I wake up—"
Gue potong lagi. "Lo mau ngajak gue kawin apa pacaran sih?"
"Anyaaaaa..." desahnya. "Aku hanya mau momen jadian kita tuh romantis..."
Meh! Gue putar bola mata setengah putaran, kalo putar bola mata total nanti dia ngambek. Emang penting gitu jadian romantis? Yang penting habis jadiannya, ngentotnya, langgeng atau nggaknya. Ya nggak sih?!
"Oke sorry..." kata gue akhirnya. "Keep going..."
"Would you be my star, my moon, my only sun..."
Ya ampun. Emang gue tata surya! Tapi gue nggak bilang gitu, gue cuma kulum-kulum senyum.
"Would you be sunshine after the rain? My clear sky after the storm? My rainbow and my color over happiness and sadness? Would you be the most important person in my life?"
Gue masih senyum-senyum.
"Anya!" panggilnya. "Kok diem aja?"
"Meh! Kan gue udah bilang gue mau tadi!" Nah gue nyolot deh.
"Just say it one more time ...," desaknya sambil melirik ke sekitar, mengisyaratkan kalau kami berdua lagi jadi tontonan. Ya ampun, exibisionis banget sih Delta ternyata, yah!
Akhirnya demi ngentot—maksud gue—demi jadi pacarnya Delta, gue mengangguk. Bibir gue mengulas senyum kering dan mengucap, "Gue mau," yang menurut gue oh so garing and crispy kayak ayam KFC.
Delta memeluk gue erat dan bersamaan dengan pelukannya, tepuk tangan terdengar riuh rendah. Beberapa orang yang makan di sekitar meja kami bahkan menyempatkan diri buat mampir dan mengucapkan selamat. Delta tampak menikmati penampilannya malam itu, gue mah kebelet pipis. Angin lautnya dingin dan gue gugup gara-gara terpaksa jadi tontonan. Gue izin pipis ke Delta dan dia cuma mengangguk melepaskan kepergian gue, sibuk menikmati pujian dan elu-elu atas tindakan romantiknya.
Gue udah kebelet pipis banget, jadi gue cabut dan nyelonong aja ke toilet. Seudah gue melepaskan pipis, gue meneliti wajah gue sebentar di cermin. Oh gue nggak jelek-jelek amat kok. Rambut gue agak berantakan karena angin pantai dan bibir gue emang nggak semerah bibir Afrika, tapi sisa-sisa make up masih ada di wajah gue. Gue udah mau balik ke tempat Delta sebelum gue ingat kalau gue belum ngerokok sehabis makan, pantesan mulut gue asem aja rasanya, jadi gue menyalakan sebatang rokok setelah nyari-nyari tanda dilarang merokok dan nggak ada.
Di atas wastafel di depan cermin, gue duduk mengembuskan asap rokok perlahan. Aneh. Kok gue nggak merasakan lagi perasaan berbunga-bunga yang gue pikir bakalan makin gila setelah Delta nembak gue? Sekali waktu dulu Afrika pernah bilang ke gue begini 'Delta itu buat lo kelihatan glamorous banget karena lo nggak bisa dapetin, Key, bukan karena lo teramat sangat mencintai dia.'
Ngawur itu.
Gue emang cinta sama Delta kok, lahir batin kayak lebaran gue cinta sama dia. Ngapain gue dengerin Afrika? Mungkin euforia gue udah lewat, tapi bukan berarti gue nggak cinta Delta sebesar yang gue pikirin.
Karena ngerasa gue udah terlalu lama di toilet, gue mengguyur bara api rokok dan membuangnya ke tempat sampah. Gue rapiin baju gue sedikit sebelum melangkah keluar dari sana. Baru gue menabrak pintu ayun toilet, gue melotot karena gue melihat hantu.
Bukan.
Gue melihat Data. Berdiri tepat di depan pintu ayun dengan sebatang rokok terjepit di bibirnya. Seolah dia sengaja berdiri di sana menunggu gue keluar. Gue balik masuk lagi ke toilet, nggak mau ketemu Data.
"Ngapain lo lama banget? Buang air besar?" tanyanya agak kenceng.
Sialan! Bisa nggak sih dia nggak mempermalukan gue?
"Buk—ehm. Bukan urusan lo!" kata gue galak, tapi suara gue terdengar lemah. "Ngapain lo di sini?"—iya! Ngapain dia di sini? Ngapain dia nggak di restorannya sendiri? Ngapain dia ganteng banget dalam pakaian chef dan celemek dengan sulaman nama beach restaurant ini? Apa restorannya bangkrut dan dia kerja di sini?
"Yang punya restoran ini temen gue sekolah di Perancis. Gue ngasih masuk Delta dengan bayaran jadi sous chef selama seminggu di sini! Sous chef-nya lagi cuti seminggu liburan ke Bali. Puas lo?" jawabnya sengit.
"Oh, thanks! Gue berutang budi sama lo kalo gitu!" Gue membalas sama sengitnya. "Gue udah jadian sama Delta, kalo lo butuh informasi."
"Gue lihat kok kekonyolannya barusan ...." Ada kekeh menyebalkan dalam suara Data yang bikin gue pengen nampar mukanya. "Delta kan selalu gitu. Pacar-pacar SMA-nya, pacar kuliah-nya, semua ditembak dengan metode KATAKAN CINTA. Waktu sama Bella juga gitu. Apa bagusnya memperlakukan wanita dengan pola yang sama terus-menerus? Nggak kreatif. Gue nggak nyangka lo juga cewek yang suka dipuja-puja dengan tepuk tangan dan settingan super konyol."
Emangnya siapa yang suka digituin? Gue juga nggak suka!
"Oh bukan itunya kok yang gue suka!" timpal gue sama sinisnya. "Gue juga nggak suka, kalo lo butuh informasi kedua. Masalahnya ini Delta, cowok yang gue CINTA. Apa aja yang dia lakuin buat gue akan bikin gue bahagia. Beda kalo gue nggak cinta, mau dia secinta apa pun sama gue, sehebat apa pun tekniknya di kasur, ya gue nggak akan bahagia!"
Nggak ada sahutan lagi dari balik pintu toilet, meski gue tahu Data masih berada di sana. Gue masih bisa mendengar napasnya mendengus kesal seusai gue menyelesaikan kalimat yang jelas gue tujukan kepadanya tadi.
"Yah semoga aja lo tahan sama abang gue ...." Dia mulai bicara lagi, gue denger dia mengembuskan napas lewat mulut. Mungkin asap rokok. "Bella aja suka nggak tahan!"
"Gue bukan Bella!" sahut gue ketus.
"Gue tahu lo bukan Bella," tuturnya. "Makanya gue ragu lo bakal bertahan lama sama abang gue."
Sumpah. Di sana gue yakin dia berhenti bicara buat menahan tawa.
Gue mengepalkan tangan erat-erat, siap nonjok. Gue tau kok dia lagi kecewa sama gue, siapa suruh dia cinta sama gue? Gue nggak nyuruh, ya? Hufft ... shīt. Oke. Gue menyebalkan, cinta itu memang datang tanpa suruhan. Gue nggak boleh kurang ajar sama cinta, nanti gue kualat dan malah berbalik cinta ke orang yang nggak gue inginkan. Nggak ada juga kok yang mau kejatuhan cinta ke orang yang nggak cinta sama kita. Contoh nyatanya gue. Meski sekarang akhirnya gue mendapatkan happy ending gue, gue nggak semata-mata lupa betapa menderitanya gue memendam cinta.
Data bicara lagi, kali ini gue mencoba mendengarkan dengan pikiran yang terbuka.
"Gue kasihan aja sama cewek kasar dan urakan, yang nggak suka diatur kayak lo jalan sama abang gue yang penuh aturan, rapi, penuntut, perfeksionis," katanya. "Gue selalu pengen ketawa membayangkan gimana hidup lo nantinya. Lo akan males bangun pagi karena sepanjang hari hidup lo akan diatur sama dia!"
Oke. Gue nggak jadi mendengarkan dengan pikiran terbuka, gue geram. Mau bunuh orang.
"Bilang aja lo cemburu," tukas gue tajam yang akhirnya gue sesali. Mulut gue seperti bergerak sendiri. Mulut gue suka gitu, makanya gue sering menyakiti orang lain.
Mulut dan tindakan gue kadang bekerja jauh lebih cekatan dibanding otak dan akal sehat gue, yang membuat gue sering mengakhiri sebuah hubungan baik dengan permusuhan. Seperti sewaktu gue menendang meja resepsionis dan diseret ke pos satpam, padahal gue memegang nama baik instansi. Seperti ketika gue menampar bos gue yang menyebalkan. Seperti saat gue memutuskan menjauh dari Delta dan Bella karena gue sakit hati. Kadang otak gue menyesali perbuatan gue, tapi penyesalan selalu gagal menekuk lutut gue untuk meminta maaf.
"Apa lo bilang?" Data mendesis seperti Nagini.
"Gue nggak bilang apa-apa." Gue berkelit.
"Pengecut! Terserah kalo lo cuma berani ngomong dari balik pintu. Terserah lo mau bilang gue cemburu. Gue memang cemburu. Lo mau apa? Mungkin seumur hidup lo akan jadi pengecut yang menyembunyikan hubungan kita dari Delta. Sebab lo pengecut. Sekarang gue tahu kalo seseorang yang lebih sering bersikap kasar dan nggak peduli pada perasaan orang lain adalah orang-orang pengecut yang sebenarnya hanya berusaha lari dari kenyataan. Menutup kebohongan dengan mengancam orang lain agar tutup mulut, bukannya mengakui perbuatan mereka. Coba kita lihat apa lo bisa terus-menerus melanjutkan hidup dengan fakta bahwa lo dan gue punya rahasia yang lo sembunyiin dari Delta, apa lo akan bersikap nggak tahu apa-apa di depan Bella dan sembunyi dibalik ketidakberhasilan hubungannya dengan Delta, padahal lo memang udah suka sama Delta jauh sebelum mereka jalan bareng?"
Gue menendang pintu ayun toilet dan menghadapinya secara langsung. Tangan gue sudah gemetar karena sikap Data yang intimidatif.
"Gue nggak mengancam lo!" elak gue sebagai pembukaan. "Lo yang setuju buat merahasiakannya dari Delta! Kalo gue tahu lo akan jatuh cinta sama gue, gue nggak akan mau punya hubungan apa pun sama lo! Gue nggak akan sudi! Gue juga nggak pernah minta lo comforting gue saat gue patah hati sembilan bulan yang lalu, lo yang memulai semuanya. Kenapa sekarang lo bersikap sentimentil kayak gini? Kalo sekiranya lo nggak bisa menahan diri mencintai orang yang lo ajak tidur bareng out of nothing, harusnya lo nggak melakukannya! Kenapa sekarang jadi salah gue??"
Data bergeming.
Tidak ada yang keluar dari mulut pedasnya meski gue sudah menggebu-gebu dan siap tempur. Napas gue terengah menahan ledakan amarah, sementara Data menatap gue tenang dengan sepasang bola mata hitam kelamnya. Gue menunggu dan gue nggak bisa mundur ketika tubuhnya bergerak cepat memutus jarak di antara kami.
Jantung gue seolah dicabut oleh malaikat pencabut nyawa. Data merengkuh wajah gue, bibirnya menyapu bibir gue dan memaksanya masuk dalam rongga mulutnya. Gue masih belum menyadari apa yang terjadi dan gue membiarkan saja lidah Data menabrak lidah gue yang kelu dan menjelajah seluruh permukaan langit-langit mulut gue tanpa perlawanan.
Segalanya terjadi begitu cepat. Gue bahkan nggak sempat mendorong tubuhnya menjauh, dia sudah melepaskan diri sepenuhnya dari diri gue.
"Ternyata memang dengan bersikap menyebalkan gue bisa dapat perhatian lo!" Data berkata penuh keyakinan. "Gue nggak jatuh cinta karena kita nge-fūck out of nothing kayak yang lo bilang. Gue udah cinta sama lo jauh sebelum itu! Then, and even right now, idiot! Gue nggak sama kayak lo yang bisa seenaknya menyanggupi ajakan fūck buddy seseorang, meski seseorang itu begitu dekat dengan orang yang lo cintai. Lo kejam. Lo nggak akan pernah tahu bagaimana rasanya membantu orang lain mendapatkan orang yang lo cintai, orang kayak lo nggak akan pernah tau apa itu berbahagia asal orang yang lo cintai bahagia. Itu juga yang membuat lo menghilang dari kehidupan Delta dan Bella dulu, karena lo nggak paham dan nggak akan paham mencintai itu apa!"
Gue menelan ludah.
"Selamat menikmati kehidupan lo yang baru. Semoga lo bahagia."
Data meninggalkan gue. Cowok itu berjalan tenang dengan langkah-langkah tanpa suara, membiarkan gue sendirian tanpa bisa melepaskan tatapan dari sosok belakangnya yang menjauh. Sampai punggungnya kemudian menghilang di sebuah tikungan, gue baru menyadari bahwa pipi gue basah oleh air mata.
What the fuck?
Kenapa gue menangis lagi?
Ini kedua kalinya gue menangis karena Data.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top