Act 14. I Wanna be Sêdatêd

"Afrika! Give me that!!!"

Gue melompat. Menjatuhkan tubuh Afrika hingga tengkurap di kasur. Sebelum dia meronta, gue menjambak dan memutar rambutnya kayak memeras cucian basah. Afrika menjerit persis banci Taman Lawang yang tititnya diremas Satpol PP gara-gara ketangkep mangkal. Itu yang dia dapatkan kalau main-main sama kehidupan personal gue! Udah lama dia diam-diam mau curi lihat apa yang gue obrolin sama Delta lewat Whatssap dan BBM. Dasar cowok kepo sinting! Kebanyakan nonton gosip! Homo baru meletek jahanam!

Jasper menggonggong heboh di bawah kasur, mau nolongin majikannya, tapi takut sama gue. Sementara Akiko ngegelesot malas di atas nakas, nggak peduli.

"Balikin nggak?" Gue mencoba meraih handphone, tapi Afrika justru memanjangkan tangannya. Gue nggak bisa menyahut benda itu, sebab tangan gue yang satu lagi harus menahan rambutnya yang kayak sapu ijuk. Nggak. Gue bohong soal itu. Rambut Afrika seribu kali lebih lembut dan wangi dibanding rambut gue.

"Balikin nggak atau gue potong testikel lo!" ancam gue. Nggak mempan juga.

Gue dudukin pinggangnya dan gue encot-encot sekuat yang gue bisa. Biar dia muntaber sekalian. Percuma. Sekarang Afrika malah udah berhasil membuka slide kuncian handphone. Dia memang banci yang teguh iman dan pendirian. Kata Mami juga gitu, itulah kenapa keinginannya selalu diturutin, sebab dia ngotot ngalahin Dijah Yelow. Biasanya kalo nggak diturutin, dia bakal mogok makan dan kunci pintu kamarnya dari dalem, bikin Mami ketakutan. Gue juga ketakutan, jadi manusia aja dia nyeremin gimana kalo mati lalu jadi kuntibencong?

"Oke!Fine!" Gue melepas rambutnya. "Gue akan bilang ke Jamal kalau lo baru disunat kelas 3 SMA karena lo takut lubang pipis lo kemasukan kuman kalau nggak ada kulupnya!"

"NO!" Afrika menjerit. Cowok itu membalik tubuh dan menghempaskan tubuh gue sampai menabrak kepala kasur.

Yes. I know gue udah mendekati tropi kemenangan. Gue belum juga melanjutkan ancaman, tapi muka Afrika udah ketakutan seperti muka Jasper kalau mau dimasukin obat sembelit lewat lubang anus.

"Gue juga bakalan bilang ke Jamal kalo Stephanie, your stupid girlfriend in highschool said Eyuuuuhhhh dan batal ngasih lo blōw job karena titit lo kayak kepala kura-kura!"

"Tutup mulutmu, perempuan hina!" umpat Afrika. Gue menangkap lemparan handphone ke arah gue, hup! Gue mendekap handphone sambil terkekeh. Mukanya yang merengut dijilatin sama Jasper.

"Good boy!"

Gue memasang password ke layar handphone gue sekarang, sambil membiarkan Akiko melompat ke pangkuan gue. Password-nya: 4frikah0m0. Seudah itu gue mengulas senyum licik di bibir gue, membuat Afrika nyaris ngompol karena ketakutan.

"Gue tetep akan bilang bahwa setelah itu lo dipanggil turtle karena Stephanie cerita tentang kepala pênis lo pas dia mandi bareng cewek sekelas IPS-5 habis berenang!!"

Sokor! Salah sendiri dia cerita begituan ke gue.

"Don't you dare!!!"

Cowok itu mencoba menyergap tubuh gue dengan jurus cakar kucing, tapi gue berkelit lebih cepat. Gue berguling dengan jurus buaya rolling yang jauh lebih sakti mandraguna karena gue cewek perkasa. Lebih perkasa daripada seribu orang menye kayak dia. Gue tendang pantatnya kuat-kuat. Afrika menjerit kesakitan. Jasper mengeluarkan suara 'Kainggg' kenceng kayak pantat dia aja yang gue tendang.

Gue sempat mengernyit mendengar jeritannya. "Holly mother fūcking son of a bītch..." desis gue dramatis. Lengkap dengan gelengan kepala penuh cela.

"Whaaaat?" Pipi Afrika bersemu merah.

Gue muntah.

"Lo udah nggak perawan, kan??" tuduh gue frontal.

"Gue emang udah nggak perjaka, ya?" Dia kibasin rambut keritingnya ke mana-mana. Beberapa helai nyolok mata gue. Meh! Bullshīt! Dia selalu putus sebelum gituan sama pacarnya.

"Kenapa lo nyebutnya perawan?" lanjut dia menyadari ada yang aneh dengan tuduhan gue.

"Bukan yang depan!" koreksi gue. "Yang belakang!"

Afrika pura-pura ngeludah, "Cuih! Kurang ajar lo! Gue nggak akan menyerahkan pantat gue ke Jamal kayak harapan busuk lo, ya! Seiyanya gue gituan sama dia, gue yang akan nyodok!"

Gue pura-pura kejang buat ngeledekin dia. "Terus... kok lo ngejerit waktu gue tendang pantat lo?"

"Lo tendangnya terlalu ke bawah, setan! Kena telor gue!"

Gue nggak mau kalah. "Kapan lalu lo bingung kalau sampe Jamal kaget lihat itu lo karena lo cantik, itu kan berarti lo yang bakalan disodok!"

"Only in your slūt dream, bītch! Gue nggak akan pernah biarin pantat gue disodomi!"

Gue mendengus nggak puas, "Tck! Nggak asik!"

"Lo tuh sinting, ya? Sebenernya yang sodara lo tuh gue apa Jamal sih?" dengusnya mulai drama. Gue tabok mukanya pakai bantal.

"Bukan dua-duanya!" kata gue sadis. Makin merengutlah mulutnya kayak pantat ayam. "Serius deh. Gimana hubungan lo sama Jamal? Udah mendekati pernyataan romantis-romantisan yang menjijikkan belum? Biar lo segera tanda tangan kavling di neraka."

Afrika menendang perut gue tanpa aba-aba, membuat tubuh gue terdorong dan punggung gue kembali menabrak kepala kasur.

"Rahim gue!" jerit gue kesakitan.

Bukannya kasihan, Afrika malah memutar telapak kakinya seperti Bruce lee, perut gue kayak dicubit gitu rasanya. Tapi pake ruyung.

"Kayak bakal kepake aja rahim lo!" katanya sengit. Huh! Dia pasti iri karena gue cewek tulen punya rahim. Gue meringis. "Minta maaf nggak lo!" ancamnya.

Ya gue salah apa coba? Tapi daripada rahim gue lengket dan gue nggak bisa kasih anak buat Delta, akhirnya gue minta maaf pada kanjeng ratu. Setelah keadaan kembali tenteram, gue mengalungkan lengan gue ke bahu Afrika yang mukanya udah kayak cucian kusut habis kering jemur belum disetrika.

"Gue serius. Hubungan lo ada perkembangan nggak sih sama Jamal?"

Malu-malu, Afrika mengangguk. Gue mau ngeledek lagi, tapi gue kasihan. Bagaimanapun juga, dia adek gue semata wayang, kalau dia stres gue ledekin mulu, ntar gue juga yang mesti anter dia hypno therapy biar nggak gila.

"Udah kencan lagi lo?" Gue menyelidik.

Afrika mengangguk.

Ya ampun! Kalau dia beneran jadi homo, gue bakalan dibunuh nggak ya sama Mami? Kan gue yang nyemplungin dia ke kuali dajjal.

"Udah cipokan?"

Perut gue kena sabetan telak dari lengan Afrika, gue mules seketika. "Ngapain aja kalian kalo gitu? Lihat-lihatan doang, gitu? Pegang-pegangan tangan, gitu? Ngomong-ngomong pegang-pegangan, lo udah pegang-pegang ulekan Jamal belum? Pedes nggak tangan lo? Kan emaknya Jamal jualan karedok di kampung."

Sabetan kedua bisa gue hindarin.

"Well ... Gue dicium di kening ..." lirih Afrika mirip perawan merintih.

Gue melotot. "Di kening? Emangnya lo Sandy Aulia—" nggak jadi gue lanjutin, sebab Afrika udah merah banget mukanya. Gue takut mukanya meledak dan gue kena kotoran kepalanya. Kalau cipratan otaknya nempel di kulit gue, ntar gue kena virus menye level 32.

"Dan gue nggak pegang ulekan dia jadi gue nggak tahu pedes apa nggak! Lo bisa nggak sih nggak dikit-dikit mikir jorok? Emang lo nggak punya bayangan romantis barang sedikit gitu jadi cewek, hm?"—Tuh kan!

Of course gue punya bayangan romantis, khusus buat Delta! Kalo sama Delta, gue mau kok jalan-jalan di pantai, usap-usapan rambut, ciuman di bawah sinar bulan dan tentunya tetap berakhir dengan ngentot di kasur atau di dapur. Ya ngapain gitu romantis-romantisan doang, nanggung kan?

Ngomong-ngomong soal Delta, gue kayaknya beneran bakalan jadian sama dia. Setelah kejadian seusai launching buku dia malam itu, setelah gue bilang gue nggak akan mau punya hubungan apa pun sama dia sebelum dia putus dari Bella, gue dan dia terus mesra-mesraan di chat dan telepon. Gue bilang, gue nggak akan mau ketemu sama dia sebelum dia memutuskan akan putus atau nggak sama Bella. Sebab, takutnya gue nggak bisa nahan diri kalau ketemu dia lagi.

Ini namanya selingkuh bukan, ya?

Bukan kan, ya?

Delta udah mau putusin Bella, kok. Bella yang masih terus menghindar. Dasar cewek serakah.

Nah, malam ini, Delta ngajak gue ketemuan. Gue tahu sih kemungkinannya masih mengambang, antara dia putus atau nggak. Tapi, seharian ini perasaan gue bagus banget kayak Spongebob. Segala hal gue pandang dengan pikiran positif, yah, kecuali soal Afrika dan Jamal ini. Gue udah gemas aja kalau bisa gue ingin ikut campur dalam kencan mereka, lantas gue kasih mereka kitab Kamasutra buat pasangan gáy gitu. Seiyanya ada. Kayaknya ada kok, gue pernah lihat tuh artikelnya di Gäy themes magazines.

"Gue janjian sama Jamal malam minggu besok..." beri tahu Afrika.

"Lo suka nggak sih sama dia? Kalo Jamal sih gue yakin dia doyan sama lo. Dia 'kan gitu orangnya, segala apa dia terima." Ups! Gue harusnya nggak ngomong gini, ya?

Tapi Afrika nggak nyadar kalo gue udah salah ngomong, "Gue suka..." malahan katanya. Gue jatuh aja gitu dari kasur dan bikin Akiko kesel lalu berjalan anggun keluar dari kamar gue.

"Kalo lo suka, ngapain kalian cuma liat-liatan?" tanya gue sambil duduk bersila di bawah kakinya. Afrika tersipu malu. Jangan bilang karena belum jadian!

"Ya karena gue dan dia belum jadian ...."

Gue ngejeblak ke belakang. "Ya Tuhan! Lo itu orang apa bintang film india, sih?" rutuk gue. "Terus dia udah nembak lo?"

Nggak ada jawaban, cuma muka dia aja yang dia tutupin pake dua tangan. Itu berarti udah dan sekarang ini dia lagi malu-malu mau ngaku. Shīt ya. Gue mengacak rambutnya dengan sayang, ya ampun. Adek laki gue akhirnya officially bakalan pacaran sama laki. Gue antara takut sama hepi. Takut dibunuh Mami sama hepi karena sekarang sentimentilnya dia bakalan beralih ke dada Jamal.

Mampus lo, Mal. Kalo tahan sebulan, gue kasih lo reward kondom rasa nanas. Dan lo, Jasper! Majikan lo gäy! Lo akan di-walk the dog sama pasangan homo, persis kayak Ricky Martin sama suaminya!

Jasper menggeram, seolah dia tahu gue lagi ngeledekin dia.

"Ya udah deh!" Gue berdiri, "Gue mau siap-siap ketemuan sama Delta. Lo minggat sono atau lo dandanin gue biar cantikan dikit! Rasa-rasanya, gue beneran bakal jadian sama Delta. Thanks to lo yang bikin gue cantik di launching bukunya kemaren!"

Gue pikir itu kabar gembira buat dia juga, tapi gue nggak ngelihat raut bersinar terang khas-nya tiap denger kabar bagus. Alisnya yang rapi justru berkumpul di tengah, kayak kalau dia mendapat sinyal bahwa hal buruk akan terjadi. Gue mengernyit. Apa maksudnya itu?

"Lo beneran jadian sama Delta?" tanyanya meragukan gue.

"Sama siapa lagi kalo bikin kepala gue penuh kupu-kupu gini?"

Afrika mengedikkan bahu. "Well... gue memang tau cuma dia yang bisa bikin hati lo happy, but I like I've said—"

Gue mengangkat tangan ke udara, mendorong kening Afrika sampai kepalanya terhuyung ke belakang. "I don't need your opinion. Remember? We just need each other to support, happy together and shed the tear when one of us is crying. Ini cinta gue sepanjang hidup, kalaupun ini gagal, gue nggak akan mau jadi orang yang nggak mencoba ketika ada kesempatan. Sebab—"

"—Sebab masa muda itu cuma sesaat. Kiss slowly, fūck hard, drink wine, and don't be a pūssy while you were young." Afrika melanjutkan kalimat gue.

"Exactly!" Gue mengecup pipinya. "Pilihin gue baju sekarang!"

Afrika memilih sebuah blus berwarna peach yang pernah gue beli jaman batu dulu, nggak pake karena menurut gue ribet. Lihat aja bagian belakangnya yang panjang melebihi pantat, sementara bagian depannya normal-normal aja. Ujung dari blus berkancing itu harus di ikat menyerupai pita kalau gue nggak mau dia melambai-lambai atau menyelip di selangkangan gue. Gue yang memilih skinny jeans berwarna terang untuk melengkapi penampilan. Afrika bilang gue brilian, padahal gue pilih itu buat sekalian kotor, karena udah ada di kapstok dari semingguan yang lalu. Rambut gue dibiarin terurai gitu aja, alami.

Afrika memoles BB cream berwarna fair tipis-tipis sebelum menguas wajah gue dengan bedak tabur milik Mami, menggambar alis gue dengan cekatan, memakaikan eyeliner dan mascara yang berkali-kali bikin gue jengkel karena mata gue terus-menerus berair. Nggak lupa, dia meronakan pipi gue dengan blush on dan memulas bibir gue dengan lipstik berwarna senada dengan blus—gue nggak tau darimana dia punya seperangkat peralatan make up itu. Setau gue, memang, Afrika suka alat make up. Dia nggak memakaikannya ke wajahnya sendiri kok, lebih sering dia pakai buat dandanin temen-temen ceweknya, gue atau Mami. Mungkin dia pake sekali-sekali kalo lagi semedi di kamar, tapi gue nggak pernah lihat dia pakai blush on. Palingan BB cream dan lipglos.

Tepat ketika Afrika selesai mengagumi hasil karyanya—gue—di cermin, gue dapat panggilan dari Mami dari bawah. Delta datang.

Saat gue memutar kenop pintu kamar gue, Mami gantian memanggil Afrika, katanya ada Variant di bawah.

"Mau ngapain lo sama bencong itu?" tanya gue penasaran.

"Just sharing." Afrika nyengir. "Would you please send her—I mean, him—upstairs?"

Gue mengangguk.

Gue mengenakan flat shoes di depan pintu kamar dan berjalan menuruni anak tangga. Di ujung tangga, gue udah melihat Variant berniat naik, sebelum gue kasih tau.

"Hai, Ant!" sapa gue heran. Anak itu pake polo shirt warna pink dan celana yang jauh lebih ketat daripada celana gue. Mukanya sih luar biasa ganteng, tapi gue nggak bisa menepis aura perempuan dari sosoknya. Lain sekali dari kembarannya yang macho, meski wajah mereka benar-benar mirip.

Variant tersenyum kecut menanggapi sapaan gue.

"Kakak ini nggak ngerti atau lupa sama nama aku, sih?" tanyanya, bikin kening gue berkerut dalam. "Kakak ini cewek tapi kayaknya susah ngerti juga kayak Edd kembaran aku. Dia juga suka lolot kayak Kakak, you know. Aku itu Variant namanya. Variant Altama. Aku nggak mau dipanggil Ant. Aku bukan semut! Panggil aku Vairy atau Ian. Kakak paham, hm?"

Dalam hati gue bersyukur Afrika nggak gitu-gitu amat. Gue cukup kenal kakak si kembar yang namanya Ella, pantaslah dia sering kelihatan stres kalau main kemari. Sedikit banyak gue ngerti beban hidupnya menghadapi adik-adik yang ajaib kayak Edd dan Variant. Mungkin karena itu juga dia lebih memilih sekolah dan kerja di Singapura. Kalau gue punya adek begituan, mungkin udah gue cemplungin ke sumur dari orok.

Gue cuma mengangguk dan memiringkan tubuh, memberi jalan pada Variant untuk melanjutkan menaiki anak-anak tangga menuju kamar Afrika. Bukannya apa-apa, gue takut tangganya nggak muat kalo kami papasan, sebab gue berani sumpah pantat Vairy—yang benci dipanggil Ant karena dia bukan semut itu—muter sekali putaran setiap naik satu anak tangga.

Gue nggak kuasa untuk nggak menggeleng-gelengkan kepala sambil menoleh sekali lagi ke arahnya, tapi gue buru-buru membuang tatapan ke arah lain karena Variant melengos gue perhatiin.

Hiyyy... bencong-bencong memang menyeramkan.

Sewaktu gue masuk ke ruang tamu, Delta sedang asyik membolak-balikkan majalah di tangannya. Kepalanya menunduk, sama sekali nggak menyadari bahwa gue sudah seruangan dengannya. Somehow, seseorang seolah ber-tap dance di dalam dada gue. Gue mengatur perasaan yang membuncah dengan sejuta harapan.

Ya Tuhan, dia tampan sekali dan gue akan memilikinya sebentar lagi. Gue udah semprot parfum. Gue yakin mulut dan gigi gue udah sangat bersih dari bau mau pun serat daging rendang yang gue santap siang tadi. Dan terakhir kali gue memagut diri gue di cermin bersama Afrika, gue kelihatan cantik, meski nggak secantik Afrika. Nggak apa-apa, itu berarti kecantikan gue udah naik tujuh belas tingkat dari kecantikan reguler gue.

Gue berdeham supaya Delta notis keberadaan gue.

Cowok itu mendongakkan kepala gantengnya dari majalah yang dia baca. Sewaktu matanya yang bening dan indah menemukan gue, senyuman lebar mengembang di bibir tipisnya, menambah kegantengannya 1533 (seribu lima ratus tiga puluh tiga, bacanya) kali lipat dari biasa. Ah. Gue meleleh seperti es krim yang diserang hangat sinar mentari. Gue memantapkan langkah mendekatinya.

"Kita mau kemana?" tanya gue, bersikap sok cool.

"Don't sit down!" Delta menghentikan langkah gue. Tangannya meraih kedua tangan gue.

Gue melihat kilat kekaguman dari pancaran sinar matanya. Shīt. Gue malu banget, tapi gue juga bahagia. Gue seperti dibius oleh tatapan matanya. Buat dia, gue ikhlas dimabuk asmara. Jadi sinting juga gue udah siap, Kangmas.

"Kamu manis banget, Kenya ...," decaknya kagum.

Tuh kan gue bilang juga apa. Gue emang cantik kok.

Delta melepaskan genggamannya, membuat napas gue terhenti saat dia memindahkan tangan ke pinggang gue, dan menyentakkan tubuh gue hingga mendekat kepadanya. Sekarang gue berdiri di antara paha Delta yang terbuka, cowok itu membenamkan kepalanya di perut gue.

Ya ampun. Ini artinya dia sudah putus 'kan sama Bella? Apa gue bawa aja dia ke kamar, ya? Tapi nanti Mami denger seandainya kasur gue berderik pas gue dan Delta gituan. Atau gue bawa ke loteng aja? Biasanya Mami akan berpikir segala suara yang berasal dari loteng itu suara tikus, jadi dia nggak akan nge-cek ke sana.

Oh jangan. Gue harus sabar.

Gue membelai rambut Delta.

"Apa ini berarti lo dan Bella udah putus?" tanya gue.

Delta mengangguk di perut gue.

"Harusnya aku tahu..." katanya pelan, menggelitik perut gue. "Kamu-lah yang paling ngertiin aku. Harusnya aku sadar, waktu kamu bilang we should marry each other one day ketika kita sudah sama-sama lelah dengan orang-orang yang salah kayak salah satu film Julia Roberts favorit Mami kamu itu artinya kamu cinta sama aku. Waktu itu aku justru berpikir bahwa kamu menempatkan aku di urutan paling akhir, setelah kamu capek mencoba dengan orang lain ...."

"Stupid!" kata gue.

"I know. I am," kekehnya sambil mengambil kepalanya kembali dari tubuh gue.

"Apa Bella beneran bareng dengan cowok lain di hotel itu dan bukan koleganya?" tanya gue mastiin.

Delta mengangguk, tapi kemudian menambahkan. "Well ... dia memang nggak mengakuinya, tapi sebenernya itu bukan kali pertama gue denger berita kayak gitu tentang dia beberapa minggu terakhir. Setiap gue tanya, dia bilang itu nggak benar. Kalau hanya satu orang yang bilang, gue mungkin bisa anggap itu kebetulan ... tapi ... even Data saw it once ...."

Jantung gue mencelos saat mendengar nama Data disebut.

"Disamping itu ..." Delta menyambung. "Kami lebih banyak berantem daripada baikan. Aku capek. Mungkin benar kami hanya cocok saat bekerja sama. Gue dan dia hanya terbawa suasana. Sedang sama-sama single, so we just go for it. Lagi pula, topik paling menarik yang selalu membuat kami merasa memiliki kesamaan satu sama lain hanya satu hal. Kamu tahu apa?" tanyanya ke gue untuk mengakhiri penjelasan.

Gue nggak ada gagasan buat menjawab, jadi gue kedikkan bahu.

"Kamu!" cetusnya.

Gue menjulurkan lidah, membikin Delta tergelak. Saat tawanya reda dan kami saling menatap penuh arti, gue memutus jarak di antara kami dengan menunduk dan mengecup bibirnya sekilas. Delta membalas kecupan gue, membuat hati gue mengembang bahagia. Gue menoleh ke balik tubuh, menegakkan telinga seperti Jasper—memperkirakan kemungkinan Mami akan mengintip kelakuan anak perempuannya atau nggak.

Mami sedang sibuk di dapur memanggang kue buat Variant, tamu kesayangannya. Mami nggak akan ke sini.

Gue mengangkat kaki dan duduk di pangkuan Delta, dia terkesiap menerima perlakuan gue. Gue pikir dia akan mengingatkan tentang Mami, tapi nggak. Sewaktu gue mengalungkan lengan ke leher dan mencium bibirnya, dia membalas dengan lembut. Tangan kanannya diletakkan erat di pinggang gue, sementara tangan yang lain mengusap lutut gue yang menyatu di atas kakinya. Gue tersenyum sebelum mengulum bibir atasnya yang tipis, dan bibir tipis itu memijat bibir bawah gue yang lebih tebal. Kami nggak menggunakan lidah dalam ciuman, hanya perasaan saling merindukan yang saling kait.

"Lo nggak mau nanya ke gue mau nggak gue jadi pacar lo, Ta?" tanya gue saat ciuman kami terlepas.

"I will," senyumnya geli. "But not here, not like this," katanya mesra.

Gue nggak menyangka sama sekali jalan cerita cinta gue bakal seindah ini. Gue mempererat pelukan di leher Delta, membenamkan wajah di bahunya yang lebar dan selalu gue rindukan. Gue mengenalnya lima belas tahun lebih, gue sudah pernah memeluknya seperti ini mungkin ratusan kali, tapi rasanya nggak pernah seindah ini. Pelukan ini jauh berbeda dari ratusan pelukan kami sebelumnya. Kali ini gue memeluknya dengan perasaan yang tersambut.

"Anya... Kamu nggak berencana seperti ini sampe aku pulang kan?" Padahal, dia juga nggak melonggarkan pelukannya dari gue sama sekali.

Aneh, tapi gue memang nggak keberatan kalau kami tetap seperti ini demi menebus bertahun-tahun menggantungnya cinta gue yang tak tersampaikan. Gue bahkan nggak membayangkan Delta telanjang dan berada di atas tubuh gue kayak biasanya. Padahal, hampir tiap kali gue ngelihat bibirnya sejak gue menyadari perasaan gue ke dia, gue selalu memikirkan bagaimana rasanya jika bibir itu menjelajahi tiap lekuk tubuh gue.

Saat ini gue nggak memikirkan itu.

Saat ini, ya? Sebab gue lagi menye kayak Afrika sekarang. Gue sedang tenggelam dalam hipnotis cinta yang memabukkan. Lebih memabukkan dari lintingan ganja paling bagus dari Kamboja atau vodka paling keras dari Rusia.

"Ta ...," panggil gue.

"Hm?" dehamnya.

"Please ... let me stay like this for a little while ...," pinta gue.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top