Act 12. Give me a reason to believe it


Gue tetap dateng bersama Bang Andre.

Cowok gatal itu minta imbalan, tapi gue bilang nggak ada imbalan kali ini. Ini masuk perjanjian lama. Perjanjian sebelumnya maksud gue, yang pas kami nganu-nganu di hotel hari lalu. Gue bilang kalau Bang Andre berkelit dari janji, gue bakalan gigit kepala penīsnya. Justru itu dia datang jemput gue dengan wajah penuh harapan.

Meh! Dia pikir bakalan ada saat gue berubah pikiran? Never! Gue ada perjanjian sama Data, terlebih lagi, gue bakalan jadian sama Delta kali ini. Lalu gue akan batalin perjanjian fūckbuddy dengan Data. Gue akan bahagia happily ever after, punya dua orang anak dan gue titipin semua ke Jamal dan Afrika.

"Ih kamu cantik banget, Kenyaaa...." Bang Andre mengibas rambutnya yang malam ini dibikin jatuh, nggak pake hair gel. Sial. Dia ganteng dan kelihatan jauh lebih muda, jadi gue cipok bibirnya dikit.

Malam ini gue emang cantik. Afrika yang make-up gue. Classy bare nude, kata dia. Gue mah nggak ngerti, tapi gue suka karena nggak menor kayak Zaskia Gothik. Dia juga yang belanjain gue baju, baju inilah yang bikin gue ngerasa kayak Zaskia Gothic. Gue dipilihin Vintage dress yang menurut dia cocok buat rambut kribo gue. Warnanya hitam sampai ke pinggang, halter neck dan tanpa lengan. Dari pinggang sampai beberapa senti di atas lutut, model rok-nya lebar berwarna broken white dengan motif mozaik yang asyik banget. Di bagian dalam rok itu penuh dengan lapisan kain tile supaya bentuknya tetap mengembang saat gue pakai. Gue cute, cuma paha dalem gue rada panas dan gatel bergesekkan dengan bahan tile yang rada kasar. Karena gue ribut, akhirnya Afrika suruh gue pake stocking hitam. Problem solved. Gue pakai ankle boot. Buat pemanis, gue bawa clutch berhias mutiara.

"Kok pakai stocking segala sih?" protes Bang Andre saat gue duduk di kursi penumpang.

"Iya. Biar tangan Bang Andre nggak usil begini!" Gue cubit kecil tangannya yang gerayangan masuk ke dalam rok gue. Dia merengut.

"Kenapa sih kok nggak mau?" tanyanya.

"Kenya kecewa sama Bang Andre!" dusta gue, nyari alasan.

Bang Andre menjalankan mobilnya perlahan. "Lho? Kenapa?"

"Emang Kenya nggak tau Bang Andre minta nomer telepon kasir restoran Data, hm? Kenya kan malu, Bang! Kenya ngakunya pacaran sama Bang Andre!"

Eh. Si gadun malah ngakak. "Habis kamu nggak bilang-bilang sih! Tapi Data itu sialan deh. Dia nggak bilang kalo kasir restorannya itu udah nikah dan punya anak!"

Gue gantian yang ngakak.

"Terus terus... Gimana hubungan kamu sama dia? Kalo tahu aku nggak pacaran sama kamu, dugaan aku berarti dia make a move dong sama kamu?" Bang Andre menyilidik.

Gue nggak langsung menjawab, sebab gue tau ini laki mulutnya busuk. Gue tau dia nggak punya maksud jahat, emang nature call dia aja yang gitu. Jadi kalau dia asal nyebarin rahasia seseorang, gue yakin itu karena mulutnya kehabisan oli rem—masalahnya habis kehabisan nggak pernah diservisin, makanya sradak-sruduk nggak punya aturan. Gue putuskan untuk nggak membagi rahasia gue dan Data yang satu ini, seperti gue juga merahasiakannya dari Afrika. Gue menggeleng, tapi Bang Andre malah mencibir. Nyinyir banget kayak tante-tante.

"Hmmm... bohooong!"

Gue menjerit, paha gue dicubit!

***

Bang Andre lepas dari tangan gue begitu after party. Sepanjang press conference dan book review, dia mengantuk dan menyandari bahu gue. Pas book signing udah ngorok aja. Eh giliran party dia lincah banget kayak ikan pesut. Ditinggal noleh bentar udah ngobrol sama cewek. Ditinggal batuk, ceweknya nambah dua kali lipat. Gue tinggalin aja akhirnya. Gue mau nyari Delta. Tadi gue datengnya udah mepet, nggak sempet ke back stage buat menyapa.

Tau nggak berita bagusnya apaan? Bella is not around!

Gue udah berkali-kali memastikannya. Cewek itu nggak keliatan di mana-mana. Delta selalu sendirian tanpa pendamping. Dari kasak-kusuk yang gue dengar dari beberapa wartawan, Bella lagi di luar kota ngurus pencalonan walikota pamannya. Tapi nggak sedikit yang mencetuskan gosip bahwa mereka lagi nggak akur. Gue setuju sama pendapat yang kedua tentu saja.

Atas dasar alasan itu, gue membiarkan Bang Andre melebarkan sayap mencari mangsa, gue nggak butuh dia lagi sekarang. Palingan ntar gue butuh buat nganter balik, kalau gue nggak jadian ama Delta, ya? Kalau jadian ya gue ciao. Kasihan 'kan Bang Andre jauh-jauh cuma nganter lalu pulang lagi? Kasihan duitnya juga kalau nggak buat booking hotel malam ini. Gue tau dia harus selalu book hotel kalo mau ewita, sebab dia tinggal sama bunda dan saudara tirinya, yang mau nikah sama Mbak Kikan itu.

Gue berkeliling tapi nggak juga menemukan Delta, sementara ankle boot ini lama kelamaan nyakitin juga. Akhirnya gue berencana buat membebaskan kaki gue sebentar dan mencari udara segar. Gue berjalan melintasi ratusan tamu yang hampir semuanya berdiri sambil ngobrol-ngobrol cantik, melewati penerima tamu, menuju taman yang bikin gue merasa bebas bernapas lega. Gue duduk di sebuah bangku, melepas ankle boot dan menyalakan rokok.

"Sampanye?"

Tubuh gue bergidik.

Terakhir kali gue menyahut sampanye nggak lihat-lihat di pesta tahun baru Edo, gue ketemu Data. Bener. Kali ini sebelum gue sambar itu gelas di tangannya, gue pastikan dulu kalo memang cowok itu Data. Gue melempar senyum dan menerima uluran sampanye.

"Bang Andre mana?" tanya Data, duduk dan menyesap sampanye.

"Biasalah, ke sana kemari," jawab gue sambil lalu.

"Bagus deh. Malam ini lo cantik banget, mau godain gue, ya?"

Gue nyaris melotot, tersedak tajamnya alkohol saat menyerang kerongkongan gue dan the urge to answer his question. Gue terbatuk kecil, Data mengelus bahu gue pelan. Selanjutnya, gue biarkan saja bibirnya yang manis dan menyisakan rasa sampanye menyapu bibir gue. Sebelum melepas ciumannya, Data menjilat sekilas permukaan bibir gue. Membasahi sedikit dagu gue.

Gue harus bilang kalo gue mau deketin Delta dan gue mau perjanjian fūckbuddy kami dibatalkan.

"Pulang sama Bang Andre nanti?" tanyanya mesra. Dimainkannya anak-anak rambut yang jatuh di sekitar telinga gue.

"Em... ya," jawab gue. Gue berpaling.

"Pulang sama gue aja, ya?" tawarnya terang-terangan menggoda.

Gue kembali menatap wajahnya yang tampan diterangi cahaya sinar bulan. Kulit Data yang putih seolah bersinar keperakan dan gue mengagumi kegantengannya. Kenapa gue nggak merasakan keinginan untuk memiliki dia? Padahal dia nggak jauh berbeda dari Delta. Gue juga tahu kalau kepribadiannya sama sekali berbeda dengan kesan yang ditampilkannya pertama kali. Selain itu, dia menyukai gue. Seharusnya, kalau gue mau mengalahkan ego dan belajar membalas perasaannya, gue yakin Data akan berusaha bikin gue bahagia.

Masalahnya, kue yang lebih besar dan lebih lezat menanti gue. Kue yang gue mau sedari dulu. Ini semua salah Data juga. Kenapa dia mesti balik ke Myanmar tanpa menemui gue lagi sembilan bulan yang lalu? Mungkin, mungkin aja, kalau waktu itu dia menemui gue, ceritanya akan lain. Saat ini, gue melihat kesempatan untuk meraih kembali impian gue, cinta gue yang lama terpendam. Pada waktu yang sama, dia hadir. Kembali pada saat yang kurang tepat, bukan salah gue kalau gue memilih, bukan?

"Gue nggak bisa," kata gue.

"Kenapa? Gue yakin Bang Andre nggak keberatan. Dia tinggal pilih cewek mana yang mau dia angkut malam ini," ujarnya sambil tersenyum manis.

Gue mau nggak mau juga tersenyum geli. Dan mungkin saking manisnya senyum gue, Data mencubit pipi gue gemas. Gue nggak mengibasnya, gue malahan grogi. Nggak tau mengapa. Dugaan gue karena gue udah 'kena' lagi sama Data kemaren. Bahkan, sekarang yang gue pikirin yang enggak-enggak aja. Kayak misalnya, tanpa gue perintah, otak gue memikirkan gimana cara Data ngerapiin rambut di sekitar kemaluannya. Rambut-rambut itu tipis, lembut, nggak panjang dan nggak pendek. Terpotong dengan rapi dan menarik. Bikin gue ingin menyentuhnya lagi. Gue merinding, tapi Data justru mendekatkan tubuhnya ke gue. Cowok itu menggeser perlahan pantatnya dan merangkulkan lengannya ke bahu gue. Jemarinya mengelus permukaan kulit gue yang terbuka, bikin jantung gue berdegup jalang.

Aduh please dong! Jangan goda iman gue, ya! Udah tau iman gue tipis kayak selaput perawan, masih selalu ada aja kejadian kayak begini.

Gue melenguh kasar, bikin wajah Data yang semula merah terbakar nafsu mengerut.

"Kenapa?" tanyanya.

"Lo mau apa?" Gue balik nanya.

"Mau nyium lo," terus terangnya. "Kan gue udah bilang malam ini lo cantik. Gue ingin jatuhin lo ke kasur, lalu telanjangin lo bulet-bulet!"

Gue melotot lagi.

Dia itu punya kepribadian ganda apa gimana? Kemaren dia lemah lembut kayak bayi, kenapa sekarang dia jadi badak bercula? Main seruduk aja? Gue nggak mau protes, sebab gue sadar bener posisi gue dan dia saat ini. Waktu Data akhirnya mengelus paha bagian dalam gue dengan gerakan yang erotis, gue udah mau nyerah aja. Mau gue naikin pangkuannya, terus udah aja di situ kita gituan nggak usah pake ke kasur segala.

Tapi nggak gue lakuin.

Gimana kalo Delta lihat? Begitu otak gue mengirim sinyal mengenai Delta, gue sekonyong-konyong mendorong tubuh Data ngejauh.

"Nanti Delta lihat kita!" desis gue.

Bukannya menjauh, Data makin mendekat. Bikin posisi gue tersudut di bangku. Cowok itu mengendus leher gue, menjilat kulit leher gue dengan lidahnya yang basah-basah empuk, naik sedikit ke atas dan mengulum daun telinga bagian bawah gue dengan lembut. Gue mengerang, antara mau dan bingung. Napas Data bau mint, segar banget, bercampur bau alkohol samar-samar. Seudah itu dia mengangkat kembali wajahnya, menempelkan ujung hidungnya dengan ujung hidung gue. Mata gue dan matanya bertemu. Lekat. Dekat. Terlalu dekat sampai kami berdua susah bernapas, masing-masing dari kami menghirup sisa pembuangan napas satu sama lain. Data memutus jarak dan membuka mulutnya. Mulut itu memakan mulut gue dengan rakus, memaksa lidah di dalamnya menjelajah ke dalam rongga mulut gue, mengacak-acak pertahanan lidah gue. Gue terengah-engah, gue dorong dadanya buat minta time out.

"Delta lagi sibuk ngobrol sama koleganya, dia nggak akan lihat gue dan lo di sini!" Dia bilang, berpikir kalo gue mendorong tubuhnya karena itu.

Gue nggak menimpali apa-apa. Ada setengah dari hati gue yang belum mau benar-benar memberi tahu Data bahwa gue ingin mengakhiri semua ini, tapi setengahnya lagi terus meneriakkan akal sehat bahwa seharusnya gue mencari Delta sampai ketemu.

Now or nothing at all.

"Data gue mau ngomong...," kata gue lunglai.

Data terus menghujani bibir gue dengan ciuman-ciumannya. Tangannya mengusap dada gue tanpa meremasnya, membuat gerakan memutar yang lembut berulang kali sebelum akhirnya menjalar naik ke tengkuk gue yang telanjang dan mengentakkanya sehingga mulut gue secara tepat bersarang kembali dalam mulutnya.

Ya ampun kenapa dia kudu ahli cipok gini? Gue 'kan meleleh jadinya kayak es krim.

Gue meremas serumpun rambut Data. Gue menyerah dalam sentuhan tangan dan jilatan lidahnya, gue diam tanpa perlawanan ketika tangannya menelusup nakal ke dalam rok gue. Gue mendesah lupa diri, lupa ingatan, lupa daratan, lupa segalanya.

"Kenyaa...," bisiknya di telinga gue.

Gue menggigit bibir menikmati desahan penuh rangsangan itu, supaya suara gue yang keenakan nggak lolos, demi melindungi harga diri gue. Gue tau harusnya mengikuti permintaan Data supaya nggak menahan suara selama kami bercumbu, tapi gue masih ingat betul di mana kami berdua sekarang ini berada.

"We can't..." tahan gue.

"Sedikit lagi," kata Data. "Sebentar lagi, please..." mohonnya.

Gue mendorong dada Data sekuat tenaga, sampai dia tersentak dan seolah tersadar dari entah apa, matanya menatap gue kaget. Napasnya memburu, sememburu napas gue.

"Sorry...," ucapnya. Matanya yang indah mengerjap. Cowok itu menarik dirinya menjauh, mengacak rambut dan mengusap wajahnya dengan kasar. Gue menggunakan jeda tersebut untuk merapikan dress dan rambut gue yang berantakan, kemudian mengatur napas.

Gue harus mulai bicara sekarang. "Ada yang mau gue omongin..."

"Tentang?"

"Tentang kita, tentang Delta jug—"

Data mendengus, memotong kata-kata gue. "Lo memang masih ngarepin Delta, ya?" tuduhnya tajam.

Gue melenguh sebal. "Kan gue bilang kalo gue—"

Lagi-lagi kalimat gue di potong.

"Nggak tau masih ngarepin Delta atau nggak my äss!" sengitnya. Suaranya jauh dari lantang, lebih menyerupai desisan yang menancap tepat di jantung gue. Bikin gue berhenti bernapas sampai tiga detik. Kemudian, lanjutnya dalam nada meremehkan, "Cuma masih cinta sama dia my äss! Sejak awal lo memang masih usaha ngejar-ngejar Delta, kan? Padahal lo tahu dia udah punya orang lain, lo tahu hatinya nggak pernah buat lo. Gue tau, Key! Gue tahu dia nggak pernah ngeliat lo seperti lo ngeliat dia. Apa setumpul itu hati lo, ha? Bahkan kalaupun Bella dan Delta putus, apa lantas lo yang akan dia pilih buat gantiin posisinya?"

Gue nggak percaya dengan apa yang gue dengar, rahang gue jatuh dan mulut gue menganga lebar. Gue nggak tahu Data bisa bikin kalimat sepanjang dan sekejam itu, honestly. Terlebih setelah sikap manisnya beberapa hari terakhir ini. Maksud gue, sebelumnya dia memang nyebelin, tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu cibiran dan sepotong-sepotong. Jarang, atau malah nggak pernah kalimat panjang.

Oh shīt. Gue melantur. Seharusnya gue sakit hati.

Meh! Kenapa gue nggak sakit hati? Kenapa gue malah mempersoalkan kalimatnya?

Data memejamkan mata. Tubuhnya menekuk ke depan. Sikunya bertumpu pada lutut, tangannya merangkum seluruh wajah. Gue bisa menangkap aura perasaan bersalah mengambang di sekitar tubuhnya.

"I am sorry..." katanya saat wajahnya terangkat kembali. Menatap gue.

"It's okay," kata gue.

"Nggak. Gue nggak seharusnya ngomong seperti itu. Gue berlebihan. Harusnya gue inget kalo lo boleh menolak ajakan gue. Gue nggak perlu nyakitin lo dengan kata-kata kayak gitu," racaunya.

"Gue bilang nggak apa-apa!" bentak gue.

Bibir Data seketika terkunci. "Lo serius nggak marah?"

"Nggak!" kata gue lagi. "Karena memang itu yang mau gue bilang sama lo. Gue cinta Delta dan yes, gue bohong waktu bilang nggak tahu masih berharap sama dia atau nggak. Kenyataannya, gue masih sangat berharap bisa bareng sama Delta. Makanya gue mau ngomong kalo gue mau kita batalin perjanjian fūckbuddy kita kemaren."

"Apa?"

"Well, I know kita baru gituan beberapa kali. Mungkin lo belum puas dan gue nggak bisa bohong bahwa gue juga belum puas. Gue having such a great time, tapi lo benar. Gue memang masih mengharapkan Delta. Soal perasaan dia, gue lebih tau. Gue yakin lama kelamaan dia akan melihat ke gue, dia akan lihat kalo Bella itu pengkhianat dan dia akan sadar kalo dia butuh gue. Gue harap lo tepatin janji lo buat merahasiakan ini dari Delta. Oke? Good night!"

Gue buru-buru mengenakan kembali ankle boots sebelum Data berhenti kebingungan. Gue tahu dia pasti belum bisa menerima keputusan gue. It was too sudden, I know. Dia pasti masih punya sejuta fantasi seks buat dia praktekin bareng gue, tapi gue nggak bisa memenuhinya sekarang. Mungkin nanti kalo Delta nggak bisa menerima gue seperti yang dia bilang, gue akan coba sekali lagi dengan Data. Gue tahu Data suka gue, tapi a deal is a deal. Dia nggak boleh menghalangi kalau gue nggak mau ngelanjutin perjanjian di kulkas babi tempo hari.

"Kenya!" Data menahan lengan gue. "Lo bahkan nggak marah gue bilang gitu ke lo?"

"Kenapa gue harus marah?" Gue menatapnya dengan bingung. "Lo berkata jujur. Hanya saja gue punya pandangan gue sendiri. Gue habis ketemu Delta kemaren dan gue tahu banget gue bisa ngelihat perubahan dari caranya menatap gue."

Gue mengembuskan napas kuat-kuat, meluruskan rok, kemudian berdiri. Saat gue bermaksud melangkah, Data lagi-lagi mencegah gue. Kali ini tangannya mencengkeram pergelangan tangan gue, membuat gue mau nggak mau menoleh dan menatap matanya yang berkaca-kaca.

"Do you even have a heart?" tanyanya hampir tanpa suara.

Apa sih maksudnya?

Maksud gue, perasaan dia ke gue itu hanya suka. Bukan cinta. Kenapa dia mesti memperlihatkan ekspresi seperti itu? Gue yakin kaca-kaca yang melapisi matanya itu air mata, bukan sekadar pantulan cahaya bulan. Kenapa dia semudah itu memperlihatkan kelemahannya di depan orang yang hanya dia suka?

That's so lame. Terlalu sensitif. Terlalu sentimentil. Gue pikir hanya Afrika cowok satu-satunya di dunia ini yang akan memperlihatkan ekspresi seperti itu.

"Gue punya hati!" tegas gue. Gue kibaskan cengkeraman tangannya di pergelangan tangan gue. "Gue punya satu dan itu milik Delta. Do I make my self clear?"

"Tapi dia nggak cinta sama lo, Kenya!" Data mengerang.

"Bagaimana lo tahu kalau dia nggak cinta sama gue? Apa karena dia nggak pernah cerita apa pun tentang gue? Apa karena setiap cewek yang diceritakannya ke lo bukan gue? Apa lo tahu kalo hati bisa aja berubah? Kenapa Delta nggak bisa cinta sama gue? Apa buat lo gue seburuk itu sampai lo nggak percaya Delta nggak akan melihat gue bahkan di saat dia paling membutuhkan gue?"

"Bukan gitu maksud gue, Key...."

Gue menjauh dari jangkauan Data. "Jadi apa maksud lo?"

"Delta itu cinta banget sama Bella...," desisnya.

Hati gue sakit mendengarnya, sebab gue tahu itu benar. Delta nggak akan bersama seseorang yang nggak benar-benar dia cintai. Gue tau dia pasti sangat mencintai Bella dan kalaupun memang benar Bella mengkhianati cinta mereka, Delta akan membutuhkan waktu yang panjang untuk sembuh dari luka itu. Gue adalah saksi hidup perjalanan cinta sahabat gue, gue yang paling tahu gimana cara menyembuhkannya. Namun, kalau selama ini gue membiarkannya mengenal wanita lain setelah sembuh dari patah hati, kali ini gue yang akan jadi orang itu.

"Gue tahu, tapi mereka bakal putus atau malah udah putus," tukas gue.

"Kenya...," sebut Data, lirih dan putus harapan. "Kenapa lo nggak dengerin gue? Lo akan sakit kalau lo berharap ke Delta. Sejak mereka bareng, gue udah nggak bisa lagi menghitung berapa banyak mereka putus, atau sekedar selisih paham. Mereka akan balik lagi dan lagi. Mereka saling mencintai, hanya saja terlalu mudah saling menyakiti. Mereka—"

Gue potong ucapan Data. "Nggak. Gue tahu banget Delta. Dia nggak akan tahan dengan pengkhianatan cinta. Gue lihat kok Bella jalan sama cowok lain!"

Data melotot. "Apa? Jadi karena itu lo yakin kalo Delta akan ninggalin Bella?"

"Dia akan ninggalin Bella!" tegas gue penuh penekanan.

"Kenya... seandainya lo tahu berapa kali dalam setahun ini mereka ngulangin drama kayak gini over and over again, you'll get tired, baby! Please. Listen to me!"

Gue mundur makin jauh. Gue nggak menyangka Data sebegininya ke gue. Is sex with me that good sampai dia mempertahankan hubungan ini sebegitunya? Gue yang salah. Gue yang ngasih dia ide konyol ini. Seharusnya gue tinggalin aja dia waktu itu, kembali ke hubungan kami yang sebelumnya. Gue lebih nyaman membencinya ternyata!

"Kenya." Panggilannya menyadarkan gue kembali dari kemarahan dan keenggakpuasan terhadapnya yang ingkar janji.

"Gue udah bilang ya, Data." Gue tunjuk mukanya, kesal. Suara gue bergetar tanpa bisa gue kendalikan. "Gue ingetin sekali lagi. Waktu itu gue bilang I can say no dan lo yang bilang kalau salah seorang dari kita berniat untuk ngedeketin seseorang, dia harus terus terang. Nggak ada kebohongan. Sekarang ini, gue ingin semua ini berhenti. Gue nggak mau lanjut lagi, lo nggak seharusnya mengintimidasi gue secara licik kayak—"

"Gue nggak mengintimidasi lo, Kenya..." sahut Data.

Sebelum gue sanggup menghindar, Data sudah lebih dulu menyusul gue berdiri. Dalam satu atau dua kali hitungan yang cepat, bahu gue sudah tenggelam dalam dadanya yang bidang. Dadanya yang menguarkan aroma cidar woods dan musk, mendesak indera penciuman gue dengan kesan maskulin yang luar biasa kuat. Gue belum sempat tersadar dan baru saja berniat mendorong tubuhnya lepas dari tubuh gue, ketika gue rasakan wajahnya yang bergesekan dengan wajah gue bergerak.

"Gue cinta sama lo, Kenya. Gue cinta sama lo. Gue cinta. Cinta. Cinta..." katanya.

Gue meronta.

Data mengeratkan pelukannya di tubuh gue.

"Lepasin!" perintah gue. "Don't mock me!" desis gue.

Tangan gue mengepal menjadi sebuah tinju yang erat dan kencang. Gue ayunkan sekuat tenaga ke perut cowok yang mengurung gue dalam dekapannya. Data merintih, tapi masih belum melepaskan gue. Gue mengulang pukulan yang sama lebih kuat lagi, Data bergeming. Sampai entah dari mana, mata gue mulai basah oleh air mata.

What the heaven seperti kata Afrika. Gue menangis!

Gue hampir nggak pernah menangis. Bukan hampir, tapi gue memang nggak pernah menangis. Gue lupa sejak kapan gue kehilangan kemampuan untuk menitikkan air mata, mungkin sejak Papi meninggal.

Mungkin sejak gue mulai bisa mengatasi hidup tanpa kehadiran Papi.

Mungkin sejak Mami lebih memperlakukan gue sebagai lelaki di rumah ketimbang Afrika yang sebenarnya laki-laki.

Mungkin sejak gue yang harus selalu pasang gas ke kompor Mami dan cari lilin kalau lampu mati, bukannya Afrika yang laki-laki.

Tapi kenapa gue sekarang menangis?

Gue meraba pipi dengan jari gemetar. Gue merasakan permukaan pipi gue basah. I actually cry...! Selama ini gue selalu pura-pura setiap kali ada hal mengharukan yang biasanya membuat orang lain menangis. Semata-mata supaya gue tampak normal. A little sensitivity is needed, Key—kata Bella one day in our happy day. Tapi gue memang nggak bisa. Berita kematian, film-film sedih yang gue tonton bareng pacar gue—kalo lagi sama Afrika gue emang sengaja nggak nangis buat ngeledek betapa bencongnya dia—mariage speech, doa, dan sejenisnya, gue selalu skip air mata.

Kenapa gue ini?

Gue nggak merasakan sedih sekarang ini, sebaliknya, gue merasakan perasaan hangat yang aneh tengah menyusup perlahan ke dalam relung hati. Lalu apa yang dilakukan bulir-bulir air mata ini, coba? Is it... Nggak mungkin. Ini nggak mungkin so called air mata bahagia yang selalu diagung-agungkan Mami dan Afrika itu. Gue nggak punya alasan buat bahagia kalau Data cinta gue.

Iya, kan?

Data mungkin mulai menyadari bahwa tubuh gue nggak lagi melawannya. Cowok itu lantas mengurai pelukan dan menurunkan wajahnya hingga bertemu dengan wajah gue. Salah satu jarinya mengangkat dagu gue ke atas hingga tatapan gue nggak bisa menghindar. Gue seolah tersihir oleh tatapan itu, di samping gue juga masih sibuk mikirin kenapa gue menangis, sehingga gue menurut saja dengan apa pun yang dilakukannya. Gue terpaku, mata gue terpejam ketika wajah Data kembali mendekat dan mengecup kening gue lembut. Kecupan yang kemudian turun ke hidung, laun ke bibir.

Oh ya Tuhan.

Ciuman Data memang memabukkan. Apa mungkin karena dia habis minum sampanye tadi? Atau karena gue yang mulai goyah? Gue nggak tahu. Yang jelas, kaki gue lemas rasanya, hanya pelukan lengan Data di pinggang gue yang menahan gue tetap berdiri. Gue melenguh lemah, mengutuk pertahanan diri gue yang memalukan. Di dalam dalamnya ciuman Data, gue merasakan harapan gue putus hingga akhirnya gue menggerakkan bibir gue pelan dan menyambut ciumannya. Kali ini, ciuman kami nggak melibatkan lidah, nggak melibatkan keinginan untuk berbuat lebih. Ciuman seperti ini belum pernah gue dan dia alami. Gue merasakan emosi yang teredam dalam setiap gerakan bibirnya, gue merasakan perasaan yang meluap, yang—sayangnya—juga gue rasakan dalam diri gue.

Gue hampir benar-benar menyerah, hampir saja gue mengalungkan lengan ke lehernya supaya kami bisa berciuman dengan lebih nyaman. Gue terlena dalam ciuman Data yang emosional. Bayangan diri gue berakhir di kasur bersama Data lagi malam ini sudah terlintas di kepala kalau saja gue nggak mendengar sesuatu bergerak mendekat ke arah kami. Data juga mendengarnya dan kami sepakat menghentikan ciuman. Mata kami saling taut, makanya gue bisa melihat dahinya berkerut.

"Kenya? Kamu di situ?"

Gue dan Data saling mendorong ke arah berlawanan.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top