Act 10. Do What You Want

Gue seperti biasa, memang lebih suka seks yang dikerjakan dengan semestinya, nggak pake kartu kuning. Apalagi kartu merah. Seperti apa yang barusan gue lakuin aja sama Data. Di kamar yang bersih, kasur yang empuk, seprai baru dan sekotak pengaman. Sekotak isi tiga aja cukup, gue nggak suka berlebihan orangnya. Meski dilakukan dengan agak kasar karena Data masih gemes gue menjadikannya sêx friend—atau fūck buddy, it was much enjoyable daripada di lantai, dihantamkan ke dinding dalam pengaruh alkohol.

Gue mendekap dada yang tertutup selimut. Di samping gue, Data duduk dalam selimut yang sama dengan selimut gue, tangan kirinya terangkat ke balik tempurung kepala. Tangannya yang lain memegang ashtray. Kami udah kelar satu ronde yang nggak terlalu lama, tapi juga nggak terlalu cepat, dan gue tahu malam ini dia belum ingin selesai main-main.

Gue juga. Data itu gimana, ya? Pas aja gitu kata gue, dia nggak show off dengan menunjukkan ketrampilan macem-macem di atas kasur. Satu sesi cukup satu atau dua gaya, meski gue yakin dia masih punya banyak jurus simpanan yang lain. Dia nggak banyak ngomong, dan terutama nggak banyak suara. Ibarat aktor Hollywood, dia itu kayak Tom Hardy, bukan James Franco. Foreplay-nya juga cincay-lah. Sedang-sedang aja gitu kayak seblak kesukaan gue, level lima. Level tengah, gue nggak suka kelamaan di foreplay. Suka kaku dan jatuhnya hilang mood. Tapi gue suka kissing dan teasing yang agak lama, tatap-tatapan mata yang jangan lama-lama—bahaya. Bisa jatuh cinta.

Gue memang ingin jatuh cinta lagi, but not with this guy-lah.

"Any objection?" tanya gue, mengepulkan asap rokok ke udara. Gue nggak terlalu suka kesunyian setelah having sex, gue suka mengobrol dan membahas sesuatu. Karena kami in a mutual-based-on-pleasure relationship, gue pikir wajar kalo gue ingin tahu kekurangan gue. Gue 'kan nggak mau dia ngerasa rugi, seenggak mau gue rugi dengan hubungan ini.

Oh ... kami udah cuddling kok habis ML, gue yang minta. Gue letakkan kepala gue di atas dadanya dan kaki gue melingkar di pahanya. Data meletakkan tangan kanannya di lekukan pinggul dan pantat gue, serta mengusap-usapnya lembut. Kami nggak banyak bicara dalam acara cuddling itu, gue hanya diam merasakan napasnya berembus di ubun-ubun kepala. Gue merasa nyaman, as if we're in a real relationship. That's one good point. Sepertinya gue akan betah asal nggak ada aral melintang.

Gue juga minta dimasakin steik babi setelah kami berhubungan, karena gue belum makan malam. Gue minta Data all-out, nggak usah sungkan-sungkan. Gue minta macem-macem deh, dan nggak satu pun yang nggak Data lakuin, sementara dia nggak minta apa pun dari gue.

Data menelengkan kepala ke gue di sisinya, alisnya berkerut menandakan dia sedang memikirkan sesuatu. "Gue ngerasa lo terlalu sungkan, terlalu jaim. Gue mau lo nggak menahan suara lo waktu kita gituan. Gue mau dengar lo moaning kayak dulu waktu kita gituan pertama kali. Sebut nama gue kalo perlu."

Gue nggak keberatan dengan keberatannya itu. "Oke. Cek! Anything else?"

Data melukis senyum di bibirnya, bikin gue merangkak naik dari berbaring buat ngasih dia kuluman lembut di bibir bawahnya yang merah bata.

"Kalo gue? Any objection?" tanyanya sambil mengelus puncak kepala gue.

"Nggak ada." Gue duduk di pahanya, masih dengan salah satu tangan mendekap selimut yang menutup dada telanjang gue. Sambil menjentikkan abu rokok ke ashtray di tangan kanannya, gue bilang, "Gue suka cara lo cukur pubic hair lo. Nggak terlalu bersih, tapi nggak lo biarin terlalu lebat. Gue benci rawa-rawa."

Senyum Data semakin lebar. "Gue juga suka punya lo," katanya. "Oh. Bisa nggak lo pake bra hitam? Gue paling suka sama cewek ber-bra hitam, makes me excited."

"Really?" sahut gue. "I have to start shopping. Gue nggak terlalu suka bra hitam, I like sky blue and navy."

"Well ...." Bibir Data mengerucut. "Navy oke juga."

Nggak ada kata-kata yang mengikuti setelah itu, kami hanya saling memandang wajah satu sama lain. Gue nggak tahu apa yang ada dalam pikirannya saat ini, tapi setiap kali Data mencium gue, menatap gue dengan mata hitam kelamnya, gue merasa gue sedang menyiksa dia. Sebuah perasaan yang nggak bisa gue mengerti, mengingat semua ini terjadi terlampau cepat. Kami berhenti bertemu, bertemu kembali dengan kesan saling membenci, dan tiba-tiba kembali bersama dalam suasana seperti ini.

Gue enggan sebenernya. Kalau boleh, gue ingin menarik keputusan gue sebelum segalanya terlambat. Sayang, bayangan enaknya berada di atas Data seperti ini membuat gue ingin malam nggak segera berakhir. Gue menyentuh wajah Data dengan jemari gue, menelusuri jengkal demi jengkal pahatan dahi dan hidungnya, berhenti tepat di belahan bibirnya. Bibirnya mengulum ujung jari gue. Gue nggak bisa menahan untuk nggak menggigit bibir bawah gue saat ujung lidah Data dengan perlahan menjulur keluar dari bibir, dan menjilat jari yang gue tinggalkan di daging bibir bawahnya.

Data mencabut sisa rokok di jari gue dan menggilasnya di ashtray bersama sisa batang rokok miliknya. Kini, kedua tangannya bebas. Dia menurunkan penutup dada gue dan gue nggak menolaknya. Gue biarkan diri gue menantangnya, gue diamkan kedua tangannya yang mengelus dua sisi bahu gue hingga turun mengusap dada. Matanya masih belum mau melepaskan mata gue yang menatapnya, sementara tangannya membuat gerakan memutar di atas dada. Gue mendesah merasakan Data ereksi tepat di antara tulang selangkangan gue.

Saat tangannya semakin merayap turun ke bawah, meremas pinggul gue, gue memajukan tubuh gue ke tubuhnya. Bagian depan tubuh kami menyatu, tangan gue meremas lembut rambut lurus hitam tebalnya, bibir gue mengecup keningnya lembut. Turun ke ujung hidungnya dan tertambat di bibirnya. Kami berciuman lembut seolah-olah kami saling cinta, gue sambut lidahnya yang mencari lidah gue di dalam mulut. Gue dan dia saling menjalin lidah, berganti-gantian dari satu rongga mulut berpindah ke rongga mulut yang lain. Then the kissing is getting hotter. Tubuh gue terangkat naik mengikuti alunan ciumannya, menyingkirkan selimut yang menghalangi tubuh gue dan dia. Data meremas pantat gue, menekan genital gue dari belakang ke depan, berulang kali sampai gue bilang cukup.

Oh bukannya gue nggak suka fingering, tapi gue lebih suka pake lidah. Jadi gue bilang, "Can you use your tounge?"

Data tersenyum manis dan mengangguk. Gue memundurkan pantat gue dan meletakkan tubuh gue di atas kasur, gue buka kaki lebar-lebar memberikan cukup ruangan untuk tubuh Data rebah di atas tubuh gue. Wajah tampannya membayangi wajah gue, matanya menatap dengan tatapan penuh arti, dan gue nggak terlalu suka itu. Gue merengkuh tengkuknya, memaksa mulutnya mencium mulut gue.

Do it rough, do it as hard as you please, just don't look at me like that—kata ciuman gue.

Data melakukan exactly seperti yang gue minta. Mulutnya menghajar mulut gue sampai gue kelabakan, sampai tangan gue yang semula berada di tengkuknya gue gunakan untuk menekan kepalanya turun ke bawah. Saking gue takut bibir atau lidah gue luka-luka. Data mengibaskan tangan gue dengan menggerakkan kasar kepalanya. Matanya melotot galak seolah mengatakan dia nggak suka didikte. Oke tuan pemarah, gue ketawa kecil, coba kita lihat lo mau ngapain.

Seudahnya melotot, Data kembali membenamkan wajahnya ke samping kepala gue. Dia memutar lidahnya di dalam lubang telinga gue, menggigit lembut daun telinga gue, lantas menciumi leher gue, membuat gue nggak kuasa menahan lenguhan keenakan lepas dari mulut gue.

Dia terus turun ke bawah, memainkan hidungnya di permukaan bahu gue sebelum bibirnya kembali menemukan ujung dada gue yang tegang menyapanya. Ya ampun, gimana gue bisa pura-pura tenang kalo puting gue mengeras kayak tutup odol gitu? Bibir Data mulai mengulum dan memainkannya, gue kasih dia peringatan "Jangan gigit!" tapi dia nggak dengerin gue sama sekali. Gigi-giginya menggigiti bagian tubuh gue pelan, dan gue like oh wow! tubuh gue melengkung naik tanpa gue minta. Lengan Data menelusup masuk dalam celah antara punggung gue dan kasur, mengusap kulit gue, menidurkan kembali pori-pori di sekujur tubuh gue yang merinding.

Ya ampun. Sekarang gue mulai nggak yakin apa seks ini nggak akan bikin gue jatuh hati sama dia. Apa gue bisa menahan diri buat nggak jatuh dalam pesona wajahnya yang memerah dan ekspresinya yang erotis itu? Dalam halus dan nyaman sensasi sentuhannya? Darah gue menggelegak, mereka bilang kami mau lagi, kami mau lagi. Oh quit this nīpple thing and start crawling down already!

Tapi gue nggak bilang gitu, gue cukup menikmati segala gerakan dan tahapan foreplay ini. Like I said previously, dia kayaknya sama dengan gue, nggak suka berlama-lama bermain di spot yang sama, yang suka bikin males partner bercinta.

Nah sekarang dia bosan dengan sekadar tutup odol, kepalanya bergerak turun lebih ke bawah. Tangannya meninggalkan punggung gue dan kini meremas kedua sisi pangkal paha gue bagian dalam. Gue menahan napas sedetik sebelum Data menggunakan permukaan lidahnya menyapu paha gue bagian dalam, lidahnya melompat dari kiri ke kanan di lipatan paha gue, dan di seputar bagian genital gue, sementara kedua tangannya meremas-remas pantat gue.

Ya Tuhan! Gue menutup muka gue saking enaknya. Gue malu ya, sebab ini enak banget.

Sebelum gue menjepit kepalanya dengan paha gue dalam lompatan lidah ke tiga karena gue gemas, akhirnya ujung lidahnya menyapu permukaan itu gue dari bagian bawah ke atas. Gue teriak dan menyebut namanya, tapi gue nggak bilang ampun, sebab enak. Saat dia menyentuh makin ke dalam, menekan-nekan titik paling sensitif, membentuk berbagai macam bentuk abjad dengan ujung lidah yang sesekali diselingi isapan entah di bagian mana gue udah nggak bisa mikir lagi, gue bilang, "Cukup! Enough! Limit!"

Gue duduk kembali di atas pangkuannya.

Tangan gue meraba nakas di samping kami, mengambil sebuah kemasan kondom baru yang ujungnya gue sodorin ke mulutnya. Bungkus kondom itu robek oleh gigi Data dan gue kembali menciumnya. Eyuh! Padahal bibir itu habis main-main di tempat gue pipis, tapi ya udahlah ya. Udah terlanjur dan ini bukan saatnya merasa jorok gitu, ini saatnya getting even dirtier. Gue lepaskan kemasan yang sudah robek itu di atas kepalanya sebelum gue pasangkan ke ujung kepala kelaminnya. Data membantu gue melanjutkan membungkus hingga keseluruhan pangkal batang penisnya tertutup rapi.

"It's all wrapped," canda gue.

"Not yet," balasnya erotis di kuping gue. Membuat gue bergidik, mengangkat pinggul gue saat Data mengarahkan ujung kepala penis yang berselimut itu ke bagian tubuh gue yang sudah siap perang ronde dua. It slides in smoothly diiringi lenguhan gue yang panjang dan terdengar sangat menikmati proses masuk benda asing itu ke tubuh gue.

"Nah." Data mencium gue. "Now it's a wrapped."

I am going like ah ah ah saat gue mulai menggerakkan tubuh gue naik turun, menelan dan menjepit sesuatu yang kini menjadi bagian dari tubuh gue karena sepenuhnya berada di dalam. Gue bisa merasakan keperkasaan pria dalam pelukan gue ini, mengayun gairah yang membawa suhu tubuh gue terus meningkat seiring berjalannya waktu, bersama-sama dengan dia. Gue udah keenakan, gue merasakan sesuatu mendesak bagian bawah perut gue, berdesir kuat—menjalar ke seluruh tubuh. Mengirim sinyal-sinyal yang menegakkan bulu kuduk, mengembalikannya ke pusat pertemuan antara gue dan dia. Gerakan gue semakin cepat, kuku-kuku gue menancap di bahu Data, puncak gue sudah deket banget kayak jarak antara mulut gue dan mulutnya.

I slapped his face so hard saking nikmatnya, Data tersenyum lebar meski pipinya merona bekas gue tampar.

"My turn!" sengalnya penuh tuntutan, bersamaan dengan dorongannya ke tubuh gue yang sudah melemas, hingga punggung gue memantul di permukaan kasur. Data membawa paha kanan gue naik ke bahunya dan mencengkeram pangkal paha kiri gue supaya kaki gue tetap terbuka untuk gerakan pinggulnya yang maju mundur demikian hebat. Every slam I said ah, every harder slam I said AH AH even harder to please him.

Gue udah berpikir Data hampir selesai saat cowok itu mencabut koneksi antara gue dan dia. Gue sempat bertanya-tanya, tapi untungnya gue belum beneran nanya kenapa. Data melompat turun dari kasur sambil tetap mencengkeram pinggul gue. Gue digesernya ke tepian kasur. Data membalik tubuh gue hingga wajah gue terbenam di kasur yang empuk. Gue memekik tertahan sewaktu tangannya mengangkat kembali pinggul gue hingga setinggi pinggulnya. Tangan gue mencengkeram bahan seprai kuat-kuat. Oh my God! Penis Data bener-bener pintar, selain tegang dan besar. Benda itu seperti bergerak sendiri, gue maupun Data nggak perlu memberinya bantuan untuk kembali masuk dalam tubuh gue! Oh la la! Gue berkeringat lebih deras sekarang. I am panting. My blood is crazily pumping and my heart is pounding so hard I thought it will break me.

Setelah pergantian posisi ketiga itu, akhirnya gue merasakan sesuatu berkedut kencang di dalam tubuh gue. He is having his second orgasm tonight and I said yeah yeah yeah. Doggy style memang style penghabisan yang paling seru. Bikin orgasme lebih dramatis. Gue suka!

Gue terjatuh lemas sementara Data mengguling ke samping masih terengah-engah. Seudah itu, dia duduk dan melepas karet pembungkus penisnya yang udah kendur, nggak tegang lagi. Cowok itu berdiri sambil membersihkan kelaminnya dengan tisu basah, lantas berjalan ke arah keranjang sampah untuk membuang kondom bekas dan tissue basah. Gue menatap tubuh telanjangnya yang kembali berjalan menuju kasur, disahutnya beberapa lembar tissue basah untuk membersihkan gue.

"Thanks," kata gue. Menerima kembali tubuhnya menindih tubuh gue, memberi gue pelukan hangat. Gue meletakkan kepala gue di lengannya begitu Data berbaring lekat dengan tubuh gue yang kelelahan.

"Better?" bisik gue.

"Much better," timpalnya dengan suara rendah. Matanya memejam, sedangkan lengannya melingkari tubuh gue.

"Lo ngantuk?" Gue memainkan bulu-bulu matanya yang tidak terlalu tebal, tapi berjajar rapi dalam pejam matanya. "Gue laper..." keluh gue.

Susah payah, Data membuka mata. "Lima belas menit lagi, oke?"

"Gue balik aja kalau gitu!" sungut gue, tapi nggak ada reaksi dari Data. Gue tarik beberapa helai bulu keteknya yang tumbuh halus di antara lengannya, dia menjerit kesakitan.

"Mau dimasakin apa?" Gue berhasil bikin dia sepenuhnya melek sekarang, gue tahu dia nggak keberatan sewaktu gue meletakkan dagu gue di dadanya.

"Steik babi," sebut gue.

"Gue bikinin sapo tahu aja, ya? Gue nggak ada griller di apartemen, gue kan baru pindah," alasannya. Padahal sebelum ngentot tadi dia bilang mau bikinin gue steik babi. Dasar cowok! Kalo mau parkir aja janjinya muluk-muluk. Gue mau protes, tapi gue tahan. Gue laper beneran soalnya. Lagian, gue jadi punya alasan buat nuntut dia lain waktu. Oh ini karena seks dengan Data itu luar biasa, bukan berarti gue cari-cari alasan buat ketemu dia karena gue mulai suka atau apa. No.

Gue tarik ucapan gue sewaktu posisi gue di bawahnya tadi, namanya juga orang lagi keenakan. Pasti kebawa perasaan. Jangan bilang cinta deh saat ML kalo nggak yakin lo cinta dia, biasanya itu cuma karena keenakan aja.

Data menghela napas capai sambil mengenakan kembali celana dalam dan boxernya. Tanpa melengkapinya dengan kaus, dia beranjak keluar dari kamar menuju dapur. Gue juga beranjak, gue pake lagi bra dan celana dalam gue, tapi gue enggan memakai kembali jeans dan kaus gue yang sempit. Gue meraih kemeja yang tersampir di kapstok—masih harum saat gue menciumnya. Ada bau tubuh Data di sana. Gue mengenakan kemeja yang kebesaran di tubuh gue itu.

"Bantu kupas wortel dan potong tofu, ya?" Data menyodorkan pegangan pisau ke arah gue yang baru saja melangkah masuk dapur menyusulnya. Gue mengangguk dan menjejeri berdirinya, mulai mengupas tipis kulit dua batang wortel berukuran sedang.

"Lo sekolah masak di mana?" tanya gue, sewaktu gue lihat tangannya lincah mencincang bawang putih.

"Gue sekolah pariwisata di Myanmar, ikut kapal pesiar dan join bagian dapur selama dua tahun. Mulai dari helper, gue diangkat jadi asisten seorang chef. Dengan duit hasil kerja itu gue sekolah dua tahun di Perancis, nggak kelar karena gue kehabisan duit. Gue berlayar lagi enam bulan dan mulai buka restoran daging babi di Myanmar. Gue sempet bikin dua buku resep dan satu buku cara mengolah daging babi di sana, yang bikin gue dipanggil chef."

Gue mengangguk-anggukkan kepala sambil menyisihkan kulit wortel dan membuangnya di tempat sampah.

"Kalo lo?"

"Gue ingin kayak Papi jadi dokter hewan, tapi nilai gue nggak nyampe dan gue nggak enak sama Mami yang biayanya buat ngebesarin gue sama afrika pas-pasan banget. Akhirnya gue sekolah peternakan dan kerja di beberapa tempat sampai gue bertahan hampir setahun di tempat kerja gue sekarang. Gue udah beberapa kali ngikuitin seleksi relawan buat diberangkatin ke negera-negara yang punya issue dengan satwa, tapi belum satu pun tembus sampai sekarang," jelas gue nyambi potong wortel.

"Agak tebel dikit potongnya, biar renyah nanti waktu dikunyah." Data menunjuk potongan wortel, gue mengangguk paham dan melebarkan jarak potongan wortel.

"Emm ...." Gue menggumam. "About Alana."

"Gue udah bilang soal Alana," potong Data. "Nggak ada lagi yang bisa gue ceritain selain bahwa gue nggak ada apa-apa sama dia. Gue ketemu dia di Myanmar, dia bikin buku travelling dan kuliner. Gue bantu dia dengan referensi gue selama dia tinggal di sana buat nulis. She fell in love with me and I said no. Delta yang ngundang dia ke pesta Edo, you know-lah abang gue. Dia mungkin kasihan karena Alana terus-terusan curhat sama dia dan Bella."

Oh. Bella. Hati gue menjengit kesal.

"Lo sendiri?" balas Data.

"Gue kenapa?"

"Selain sama Delta, anyone you keep in mind?"

Gue diam berpikir, kemudian menggeleng. "Kalo lo?"

Hanya dengusan yang gue dapet dari Data.

"Well... gue pikir nggak apa-apa kan kalo kita sharing sedikit urusan pribadi?" tanya gue retoris. "Kata sêx friend dan fūck buddy itu kan terdiri dari dua kata. Sêx and fūck for you know what. Lalu friends and buddy yang berarti kita berteman. Teman harus saling mengenal satu sama lain, kan?" simpul gue asal-asalan.

Data tersenyum kecil tanpa mengalihkan perhatiannya dari membelah bakso menjadi dua bagian. "Nggak ada yang istimewa dalam kehidupan pribadi gue, kecuali bahwa gue berjuang keras secara fisik dan mental setelah Papa gue berpisah dari Mama. Nggak mudah hidup tanpa sosok Mama, gue kerja karena gue ingin lari dari penatnya hubungan ayah-anak yang pelik, penuh pertikaian, dan ketidakpuasan satu sama lain. Ada sih seseorang yang pernah gue sayang, tapi yah ... something happen. Kami nggak berakhir bersama. Jadi gue fokus aja ke impian terbesar gue, yaitu kembali ke Indonesia, di sisi Mami, juga ngelihat kembali cewek keriting yang kerjaannya dulu ngelendot di lengan abang gue."

Gue cubit lengannya.

Oh Jadi emang ada seseorang yang pernah dia sayang. Well. Bukan urusan gue juga.

Data tertawa kecil kemudian menyerahkan dua buah tofu dalam kemasan lonjong panjang ke gue untuk gue potongin. "Tell me about you too..."

Gue mulai membuka bungkusan tofu pertama. "Gue juga nothing special. Kematian Papi cukup mengguncang hidup gue, selain itu, hidup gue baik-baik aja. Gue sayang adik gue yang nyebelin, Mami gue yang nganggep gue cewek perkasa dan selalu bisa dimintain tolong benerin pipa pembuangan wastafel nyumbat, mencintai sahabat gue yang jatuh cinta sama sahabat gue yang lain, kecanduan rokok, suka nggak bisa nolak kalau diajak minum, kerjaan gue gajinya kecil, ya ampun. Itu bukan baik-baik aja ya, berarti?"

Data nggak bisa nahan ketawanya sekarang.

Selanjutnya, kami menghentikan pembicaraan dari hati ke hati itu dan berkonsentrasi pada proses pembuatan sapo tahu. Data mengumpulkan bahan-bahan berjajar rapi dalam sebuah piring plastik besar. Wortel, jamur kancing dan baby kailan dalam satu wadah, bersisian dengan potongan tahu dan bakso. Potongan daging ayam dan udang segar yang sudah bersih dalam wadah lain. Data kemudian meminta gue menunggu, sementara dia menyiapkan bumbu-bumbu dan memasak nasi dengan rice cooker.

Sambil mengambil sebuah piring cekung, menuang tepung sagu ke dalamnya dan menggulingkan potongan-potongan tahu, dia meminta gue menyiapkan piring dan air minum. Gue melakukannya dengan senang hati, sementara Data menyiapkan penggorengan untuk menggoreng tahu.

"Gue boleh nanya lagi?" Gue memerhatikan bagaimana Data dengan lincah menumis bawang bombay yang sudah diiris tipis bersama bawah putih cincang.

"Tanya aja," katanya seraya menghirup harum yang menguar dari tumisan bawang.

Gue membantunya menuang potongan ayam ke dalam tumisan. "Kenapa lo nyebelin banget waktu kita ketemu kemaren?"

"Itu juga gue udah bilang, kan? Gue cuma becanda," jawabnya singkat, kepalanya menoleh ke gue sebentar karena dia harus menuang beberapa cc air ke dalam tumisan ayam. "Itu gue lakuin tanpa pertimbangan, gue hanya ngerasa aneh kalo gue harus melankolis soal sesuatu yang terjadi sembilan bulan lalu. Gue nggak mau lo menganggap gue konyol, lalu gue tiba-tiba bersikap nyebelin. Bukannya lo juga berpikir itu hanya sex out of nothing?"

Gue mengulum senyum kecut, tapi Data nggak melihat senyuman gue itu. Dia sibuk membubuhkan kecap ikan ke dalam rebusannya, disusul dengan kecap asin dan saus tiram.

"Bisa tolong ambilin Jamur dan udang?" pintanya.

Dengan sigap gue mengambil apa yang dia butuhin. Jamur dan udang dari tangan gue segera berpindah ke dalam air yang mulai bergolak mendidih, Data mengaduknya perlahan.

"Sori ya kalo gue bikin lo bingung soal sikap gue," tambahnya. Kali ini, giliran sawi, wortel dan daun bawang.

Masih ada banyak hal yang mau gue tanyain sebenernya, menyangkut dengan perasaannya ke gue. Kenapa lo tiba-tiba suka sama gue? Seperti itu, tapi gue ngeri dan gatel-gatel mau nanyainnya. Gue yang menyarankan hubungan tanpa status ini, kenapa jadi gue bawa-bawa perasaan? Akhirnya gue justru nanya, "Apa Delta dan Bella bakal nikah dalam waktu dekat?"

Adukan Data dalam rebusannya terhenti selama sedetik, bikin gue merasa bersalah sudah memilih pertanyaan tersebut. Cowok itu nggak menjawab, dan malah mengangkat sendok sayur yang dipakainya mengaduk ke depan lubang hidungnya.

"Baunya sih udah harum," gumamnya, lantas menuang sedikit cairan kecoklatan dari sendok sayur ke telapak tangannya sendiri sebelum mencecapnya. "Kamu suka asin atau manis?"

"Manis."

"Sip!"

Gue nggak mengulangi pertanyaan gue, tentu saja, Data juga pura-pura nggak dengar. Setelah step terakhir memasukkan potongan tahu berakhir, Data mencampur sedikit tepung sagu dengan air rebusan di dalam cawan kecil, dan mencampurnya supaya kuah sapo tahu agak kental.

Gue beringsut mundur untuk duduk di bangku meja makan, menunggu Data memindahkan rebusan sapo tahunya ke dalam mangkuk saji. Bau harum masakan memang sudah mulai menggodai lidah gue dari beberapa menit yang lalu, dan sekarang rasa lapar gue makin tak terkendali ketika mangkuk besar sapo tahu itu tersaji di meja makan.

"Semoga nggak mengecewakan, ya?" Data mengambilkan sepiring nasi putih dan menuangkan semangkuk sup berisi isian sapo tahu dan kuahnya yang kental untuk gue. Baru kemudian buat dirinya sendiri.

Tanpa malu-malu, gue menghirup aroma lezat dari bibir mangkuk. Gue sambar sebuah sendok untuk mencicipi kuah sapo tahu buatan Data. Seketika itu juga, gue nggak henti-hentinya bilang kalau baru kali ini gue makan sapo tahu seenak ini di hampir tiap suapan. Gue nggak peduli meski Data menyebut gue berlebihan, this sapo tahu is worth the sêx for!

"Lain kali gue penuhin janji gue masakin lo steik babi," janji Data, bikin gue senyum kegirangan. Gue melanjutkan makan, sementara Data hanya mengaduk-aduk isian sapo tahu dalam mangkuknya. Dia bahkan bertopang dagu dengan tampang lesu. Gue berniat menanyakannya, tapi keduluan Data. "Gue nggak tau soal Delta sama Bella."

Jadi karena itu dia kelihatan bete barusan?

Meh! Anak-anak banget sih! Gue sebenernya pengin protes, tapi gue urungkan niat gue, dan gue ganti dengan anggukan maklum. Sebenernya dia tahu nggak sih kalo jealousy itu musuh besar hubungan tanpa status? Rawan jadian atau rawan putus. Jadian nggak mungkin untuk saat ini, tapi putus pun gue belum rela. Bukan karena apa-apa lho ya, tapi karena gue nikmatin banget dua kali orgasme gue hari ini.

"Let's nggak usah ngomongin Delta," kibas gue akhirnya untuk kembali menjernikan suasana canggung di antara kami berdua.

"Oke, meski sebenernya kalau lo mau, gue nggak masalah kok. Hanya saja gue memang nggak banyak tau kabar mereka berdua. Tapi gue bisa tanyain kalo lo mau. Apa tadi? Kapan mereka nikah?"

Gue menggeleng sekaligus mendengus, "I said forget it!"

Data nggak membantah lagi dan kami sama-sama menjauhi topik mengenai Delta.

Malam itu gue sleep over di apartemen Data—sesuai permintaannya. Meski butuh perdebatan panjang sewaktu gue minta izin Mami, tapi gue tetap nekad. Kami tidur sampai pagi, nggak pakai acara ngentot lagi, dan hanya cuddling doang—sesuai permintaan gue.

Paginya, gue terbangun karena aroma harum toast dengan isian srikaya dan senyuman Data yang menawan.

Oh. Oh. Tanda bahaya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top