Act 1. I got a crush on you
Di-repost karena mau terbit. Jadi nggak lengkap udahan ceritanya, udah tamat dan dipost di sini juga. Saya tegaskan, ini cerita buat pembaca dewasa. Ada adegan dengan konten seksual yang dipaparkan eksplisit sebagai pelengkap cerita, dan nggak cocok dibaca anak di bawah umur. Selain itu, pilihan kata, alur, dan lain-lain mungkin akan menimbulkan konflik dengan pembaca yang nggak siap dengan kegilaan Kenya. Kalau di tengah ternyata the content of the story conflicted your belief, please, you are free to leave.
Kincirmainan
***
Gue mengisap sebatang Marlboro menthol dengan saksama, menghirupnya lewat lubang hidung, menahannya sebentar di rongga mulut, sebelum mengembuskannya perlahan-lahan. Pada embusan terakhir, gue berhasil membuat bentuk donat yang sempurna. Binggo, bītch!
Angin malam yang bertiup di ketinggian lantai empat belas apartemen Edo mengusap pipi gue dengan kasar, menerbangkan rambut keriting gue ke arah berlawanan. Sayangnya, muka gue udah mati rasa. Gue nggak ngerasin dingin. Lihat. Pipi gue kaku, gue hampir nggak bisa ngerasain cubitan tangan sendiri.
Gue mengocakkan sloki vodka polos di tangan, tanpa mencecapnya lagi. Ini-lah penyebab muka gue mati rasa. Dahi gue udah menebal aja rasanya. Kalau gue nekad minum lagi, gue pasti teler. Gue nggak mau teler malam ini, sebab gue udah bertekad nggak akan mempermalukan diri sepanjang tahun 2015. Gue sudah berjanji pada Bunda Maria bahwa gue akan behave. Gue nggak akan terekam video sedang bertingkah konyol karena nge-fly atau mabuk di pesta yang diadakan Edo, kemudian muncul dalam tautan Facebook atau Path-nya.
Untuk yang kesembilan kalinya sepanjang tahun ini, Edo bikin pesta yang nggak jelas buat apaan, dan gue selalu datang kayak orang kurang kerjaan. Memang gue kurang kerjaan sih. Di atas jam sembilan, daripada adu mulut busuk sama Afrika, gue menerima ajakan siapa pun buat bersenang-senang.
Pesta Edo selalu melulu soal banjir minuman keras, diadakan di lantai empat belas apartemen mewahnya, di tepi kolam renang. Pesta kesembilan ini agak berbeda, sebab Joan datang dari Italia. Joan itu anak koruptor. Please don't mind my language, he is so proud about it. Dia nggak malu-malu pake duit haram bapaknya buat ngerusak moral generasi muda. Rumour has it, dia punya ladang ganja di Kamboja. Itulah kenapa setiap dia datang, ganja kering gratis tersebar di mana-mana. Semua orang meramu dan melinting secara swalayan. Puluhan thai-bong dikeluarkan dari gudang, gadis-gadis nyaris telanjang, pemuda-pemuda teler, dan pesta akan berubah jadi orgī party persis seperti pesta tahun baru awal tahun dulu.
Bedanya, kali ini tidak ada Delta dan Bella yang merusak pemandangan.
Speak of those devils, ini sudah tanggal 1 september. Seratus dua puluh dua hari lagi tahun baru. Sembilan bulan lamanya sejak gue terakhir melihat Delta. Ya ampun, betapa cepat satu tahun berlalu. Terutama kalo lo bikin resolusi tiap tahun baru. Shoot! It flies even faster than an arrow.
Lo bikin resolusi tahun baru nggak, Bītch? Kalau bikin, sudah berapa banyak resolusi tahun baru lo yang jebol, dan berapa banyak yang masih ada harapan buat terwujud?
Gue selalu bikin resolusi tiap tahun baru. Biasanya sih isinya the dos and the don'ts, harapan setahun ke depan, rambu-rambu buat ngejalanin hari-hari sepanjang tahun. Iya. Cuma ya ... biasanya udah jebol semua di bulan kedua atau ketiga. Semua cewek kayaknya bikin, ya? Kita janji akan jadi cewek lebih baik tahun depan di setiap akhir tahun. Janji nggak akan godain cowok orang, nggak flirting sama om-om, nggak jatuh ke pelukan bad boy dan tai-tai lainnya, tapi end up the same fūcking bītch di akhir tahun berikutnya.
Dari puluhan resolusi tahun baru gue, 85% nya gagal, 10% nya pasti segera gagal, baru yang 5% belum pasti gimana nasibnya.
Yang gagal
Resolusi utama berhenti merokok dilanggar begitu pesta tahun baru sembilan bulan yang lalu. Tiga puluh menit setelah resolusi selesai ditulis.
Janji menjauhi alkohōl: *keluh*
Terapi anger management: Gagal total. Hasilnya malah lebih buruk dari tahun lalu. Selama sembilan bulan ini gue udah ngerusak keyboard kantor keenam selama satu tahun bekerja, menempeleng selingkuhan mantan pacar sampai kena wajib lapor, menendang meja resepsionis hotel karena nggak bisa nemuin nama gue di list peserta pelatihan wajib perusahaan sampai dibawa ke pos satpam; masuk penjara 1X24 jam karena menyetir dalam keadaan setengah teler, lalu nabrak pagar kantor polisi. Oke. Bukan setengah, tapi teler.
Rata-rata berkencan dalam satu tahun: Eng ... em ... lupa. Bukan karena keseringan, tapi karena nggak yakin pernah atau nggak. Pokoknya parah, deh. Pacaran cuma sekali, lamanya cuma sebulan, dan selama tiga minggu dalam sebulan itu diselingkuhin. Afrika bilang itu karena gue dominan. Cewek dominan itu nggak menarik. Mana gue short-tempered, suka main pukul, dan ngomong kasar pun.
Awalnya gue pikir itu bisa-bisaan Afrika aja, tapi tujuh dari delapan mantan pacar gue bilang they can't stand my rudeness, my swearing habbits, and how I slap their face when I was having an orgäsm. Shīt.
That's not true. Gue nggak selalu nampar muka mereka.
Lebih banyak baca buku: Well ... beli buku sih tapi 94% nya bahkan belum buka segel. Lebih sering main sama Jasper dan Akiko. Jasper itu pomeranian. Akiko British short hair. It's a dog and a cat. Do I have to explain? Huh!
Mencoba olah raga ekstrem: Tidak pernah punya waktu buat liburan
Menabung: Habis buat bayar utang dan foya-foya
Olah raga: Udah punya koleksi DVD dasar-dasar yoga dan pilates, tapi selalu bangun kesiangan pada akhir pekan.
Bersikap baik pada Afrika: Seperti berusaha menciptakan jenis hewan baru dengan mengawinkan anjing pom dan kucing persia. Mustahil.
Kelebihan: Lemak di perut karena kebanyakan Heineken, hormon testoteron (yang tertukar sama Afrika sejak sebelum lahir), dan perbendaharaan kata makian.
Kehilangan: sahabat.
Target yang dicapai: Nggak ada. Karena memang nggak ada target sama sekali.
Sepuluh persen yang segera gagal
Berharap Bella dan Delta putus, kalo perlu saling bunuh.
Lima persen yang belum tentu gagal atau berhasil
Jatuh cinta lagi
Yang Berhasil
Eng... Hm... Tidak membunuh Afrika?
Afrika itu adik gue semata wayang. Cantik, manis, lucu, imut, pandai, jenius, lembut. Laki-laki.
Kenya itu gue. Kebalikan deskripsi Afrika di atas. Perempuan.
Almarhum Papi kami adalah dokter hewan yang mengikuti program pemerintah dan WWF sebagai tenaga sukarela dalam Kampanye Anti Perburuan Gajah Liar Afrika. Mami kami ngikutin almarhum, makanya gue lahir di Kenya. Dinamain Kenya juga. Konon—gue nggak percaya—gue sempat minum air susu gorila gara-gara air susu Mami nggak keluar sampai hari ke tiga. Afrika percaya banget dengan omong kosong itu. Dia bilang itulah kenapa kelakuan gue nggak kayak gadis biasa. Gue anak gorila, kata Afrika tiap kali kami adu mulut.
Afrika dua tahun lebih muda dari gue. Adik yang bikin gue sering kesel sama Tuhan, karena meskipun cowok, muka Afrika jauh lebih cantik dibanding gue. Jangan kata gue, Chelsea Islan aja lewat dua blok. Apa coba maksud Dia itu? Becandanya nggak lucu sama sekali. Sampai tetek gue muncul dan Afrika disunat, banyak yang nggak memercayai jenis kelamin kami.
To make matter even worse, Afrika sensitif dan benyai kayak tai ayam, sedangkan gue strong. Gue menganggap segala hal yang berkaitan dengan perasaan adalah sesuatu yang mudah diabaikan. Gue nggak bisa nangis, sementara Afrika hampir selalu nangis. Sebaliknya, gue kesel banget sama diri gue, sementara Afrika kayak nggak pernah punya masalah dengan dirinya. Dia oke oke aja gitu meski kayak perempuan.
Soal cinta, kami sama-sama kurang beruntung. Gue selalu putus dan Afrika selalu gagal ngedeketin cewek. Ya iyalah. Cewek mana tahan sama cowok yang mewek lihat matahari terbenam, daun berguguran, atau kepompong berubah jadi kupu-kupu saking sensitifnya? Gue juga ogah pacaran sama cowok yang lebih cantik dari gue.
Gue udah saranin dia homo aja, jadi bottom kalo Edo bilang. Bagian nungging. Dia nolak, katanya dia nggak bisa ngebayangin lubang pantat dimasukin penis, ntar kalo keluar tainya gimana? Pokoknya gitu deh, ribet dia mah.
Gue menggilas cigarette butt ke pinggiran tembok, menyentilnya hingga terlempar jauh sekali sebelum terjun bebas dari lantai empat belas. Es batu dalam sloki vodka gue udah setengah mencair. Gue mengidu aroma alkohol yang udah nggak seberapa keras, mempertimbangkan untuk menenggaknya sampai habis sekaligus.
Nggak jadi gue lakukan.
Terlalu berisiko.
Pestanya beneran sudah berubah mirip orgī party sekarang. Some of them get a room, some just did that in the pool. Gila ya orang-orang ini? Mereka nge-fly biar bisa have sêx tanpa malu-malu. Kayaknya sudah saatnya gue pulang. Nah tuh, sebelum Joan mendekat kemari.
Gue meletakkan gelas vodka tadi ke meja terdekat sebelum mengemasi barang-barang, berjalan cepat ke arah Edo yang masih sober. Seperti biasa, Edo berdiri dan berbincang-bincang dengan segelas wine yang nggak habis-habis di tangan. Dia minum buat bersosialisasi aja, bukan buat mabuk kayak tamu-tamu yang dia undang.
Edo adalah seorang model, simpanan seorang gay pemilik production house terkenal. Tentu saja dia biseksual, nggak bener-bener homo. Lebih tepatnya, dia straight yang nggak keberatan melakukan apa saja demi uang, termasuk di-anäl dan meng-anäl. Pardon my language again, deh, tapi dia memang jual pantat buat ketenaran. Bokongnya itulah yang membiayai semua pesta seks setiap bulannya. Everyone he likes are invited.
Sahabat gue itu agak mirip dengan Gatsby, cowok baik yang sengaja menggelar pesta demi menarik perhatian Daisy. Bedanya, Edo nggak mencoba menarik perhatian siapa pun. Dia cuma menggunakan pesta ini supaya orang-orang menyukainya, mengabaikan fakta bahwa dia nungging buat semua botol vodka dan JD itu. You know-lah orang-orang dunia entertainment. Mereka baik pada siapa pun yang menghambur-hamburkan uang. Lihat aja kalo dia jatuh miskin nanti, atau terlalu tua buat jadi model, tergusur oleh simpanan baru paman kaki panjangnya, lantas nggak bisa bikin pesta mewah-mewahan, gue yakin nggak ada sepersepuluh orang yang hadir disini bahkan sudi mengingat namanya.
"Do ..." panggil gue. Gue berdiri di sisinya yang tengah menghadapi seorang pria setengah baya. "Gue balik, yah?" pamit gue dengan tatapan memohon.
Muka Edo sontak berubah nggak enak, mukanya selalu nggak enak kalau gue pamit dari pesta tanpa dipapah saking telernya.
"Kok balik, sih? The night still young, baby!" decapnya ke gue. Tanpa peduli sama teman ngobrolnya, Edo mencengkeram lengan gue menjauh. "Kok buru-buru? Lo nggak nyaman di pesta gue?"
"You know gue selalu nyaman di pesta lo, sebelum jadi pesta seks gini. Sinting tau lo lama-lama. Ini pesta narkoba, Do. Tuh, weeds are everywhere! Kalo ada yang lapor, gimana?" gerutu gue panjang lebar. Gue biasa gini sama Edo, kami udah sahabatan dari SMA. That's why, pegawai kantoran tanpa relasi kayak gue gini bisa main di pesta selebriti.
"Don't be such a slūt, bītch!" cebiknya. "Bagi gue rokok!"
Gue mengaduk ransel dan menyerahkan kotak hijau Marlboro menthol padanya.
"Jangan menthol dong. Gue bisa impoten!" protes Edo. Waktu gue mendengus bermaksud menyimpan kembali kotak itu, dia malah merebutnya. Tetap merengut dengan alis mengerut. Gue memetik pemantik api buat membantunya membakar ujung rokok.
"Lo kan tau ada Joan di sini. Dia udah bayarlah buat pesta-pesta gini ke relasi bokapnya. Makanya gue setuju dia dateng." Edo mengembuskan asap rokok pertamanya. "Dia pengin kenal deket ama lo."
"Gue nggak sudi!"
"Kenapa? Lo lagi ada cowok?"
"It's not sesimpel gue ada cowok apa nggak, ya, bītch! Emang kalo gue single terus gue mau aja gitu em-el sama tukang teler kayak dia?"
"Gue kan nggak ngomong lo mesti em-el ama diaaaa ...!"
"Ya ampun. Emang Joan bisa apa selain itu?"
Edo ketawa. "Ya udah lah terserah lo. Balik sendiri nggak apa-apa? Lo bawa mobil, nggak?"
Gue menggeleng. Sejak nabrak pagar polisi, Mami nggak ada kasih gue pakai mobil lagi.
"Gue telepon taksi aja ntar kalo kepepet. Tuh gembong tengkorak udah mau nyampe kemari, gue cabut, ya?"
Gembong tengkorak itu maksud gue Joan.
Gue buru-buru kasih cium pipi ke Edo yang nyodorin muka sebelum gue kabur. Sambil jalan keluar apartemen, gue mencoba menelepon Afrika buat minta dijemput, tapi handphone-nya nggak aktif. Dasar adik nggak berguna, padahal dia lagi ada di sekitar apartemen Edo, dan kami udah janjian buat pulang bareng.
"Heh, babik. Lu di mana sik nggak bisa gue hubungin, setan? Janjinya kan lo jemput gue, makanya gue mau patungan beli bensin. Awas ya gue minta balik duit gue di rumah. Nggak usah pura-pura HP mati karena lo lagi sibuk ngentot, deh! Gue nggak akan percaya!"—gue pencet end call setelah ninggalin voice mail ke Afrika.
Gue tahu dia suka cek voice mail. Pacar Facebook-nya yang bule itu suka banget ninggalin voice mail tiap dia nggak angkat telepon. Meh! Kapan juga Afrika nggak angkat telepon, sih? Selain kalau nggak lagi maskeran atau pup?
Bule yang gue maksud itu pacar online Afrika, tentu aja. Si bule tinggal di Australia. Mereka ketemu via online dating, lalu chatting via inbox messanger, dan jadian. Gue pernah sih ngeledekin kekonyolan Afrika yang satu itu. Si Alice—cewek bule itu—'kan belum pernah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kesensitifan Afrika. Kalau dia tahu Afrika bahkan mau-maunya ngumpulin cacing tanah di halaman rumah yang mau direnovasi karena nggak mau cacing-cacing itu mati kehabisan napas saat tanah disiram semen, atau gimana Afrika ngomong sama cacing, gue yakin dia bakalan ilfil.
Gue masih kesel aja karena akhirnya harus naik taksi, padahal seharusnya gue bisa hemat ongkos perjalanan kalau dia jemput sesuai janji. Gilak, ya? Ini baru tanggal satu. Baru lima hari seudah gajian, duit gue udah habis. Gue udah harus mikir-mikir kalau mau naik taksi atau makan di luar. Gara-gara bumper mobil penyok dan bayar duit jaminan damai sama polisi, I am officially broke. Selamat tinggal deh jalan-jalan ke negeri tetangga akhir tahun kalau begini.
"Anya!"
Gue terhenyak, dan buru-buru menoleh sewaktu suara itu manggil gue di depan lift. Cuma dua manusia yang manggil gue dengan nick name itu. Yang pertama almarhum Papi, yang kedua dia. Temen masa kecil gue, Delta.
Kalau ini terjadi setahun lalu, gue pasti udah peluk dia dan merengek mengenai arogansi Afrika yang mensabotase duit patungan bensin. Lantas dengan senyuman manis dari bibir tipis yang selalu gue impikan itu, dia akan mengelus kepala gue, dan mengantar gue pulang. Safe and sound sampai depan pintu rumah. Of course nggak ada kecupan di kening kayak di teenlit-teenlit gitu, tapi selalu ada "good night" dan "kurangin ngerokok kamu"-nya yang khas.
Air mata di pelupuk mata gue rasanya udah mau tumpah, tapi rasanya doang, gue nggak pernah bisa nangis over trivia thing like this. What makes me look heartless di mata budak-budak sentimentil kayak Afrika, tapi sebenernya hati gue bisa kok ngerasain sakit. Terutama kalau menyangkut Delta.
Delta bukan cinta pertama gue. Cinta pertama gue adalah guru les matematika Afrika waktu dia kelas enam SD, tapi Delta adalah satu-satunya orang yang pada suatu hari bikin gue ngerasa 'oh my god gue cinta dia' sementara kami udah terjebak jurang friendzone yang teramat dalam. Seseorang yang gara-gara My Best Friend's Wedding, gue beraniin untuk ajak nikah suatu hari nanti. Jika kami udah sama-sama lelah nyari pendamping hidup, dan nggak berhasil. He said yes yang bikin harapan gue melambung tinggi karena berpikir dia juga punya perasaan buat gue.
Ternyata enggak. Buat Delta, itu isapan jempol belaka.
Rasanya gue masih nggak percaya. Tiga bulan setelah gue mengenalkan Delta pada Bella, yang waktu itu nyari ghost writer buat nulis biografi Om-nya yang nyalon walikota, mereka justru saling jatuh cinta. Pesta tahun baru sembilan bulan lalu di sini, mereka naik ke panggung, menjentikkan stirrer ke gelas anggur, mengumumkan pertunangan.
Sejak itu gue menghindari mereka berdua, di samping mereka juga tengah sibuk ngerjain proyek penulisan biografi di luar kota.
There goes Delta, tersenyum lebar, menatap gue penuh isyarat kangen, tapi gue urung menyambutnya. Dia sudah punya Bella, satu-satunya cewek yang bertahan temenan sama gue sejak tahun pertama kami kuliah di jurusan peternakan. Gue kesel sama Bella, tapi gue bukan anak-anak yang ngambek karena kalah dalam urusan cinta.
Sebenarnya gue pengin ngingetin Bella, siapa dulu yang bantuin dia narik bayi sapi dari memek induknya waktu dia mendadak mual-mual ngelihat darah? Siapa yang ngajarin dia perah susu kambing waktu kami praktik semester tiga? Siapa yang bikin sampel makanan ternak waktu kami dapat tugas tentang industri pakan, sementara dia shopping ke sana kemari?—kalau bukan gue? Kenapa dia tega merebut Delta dari gue? Tapi nggak gue lakuin. Gue teler aja malam itu.
Teler dan... oh ... nggak!
Jangan bilang itu dia.
"Eh ada si keriting!" Seorang cowok menggelayut di bahu Delta. Tangannya melambai ke arah gue. Mereka berdua tersenyum sama lebarnya, sama-sama mengisyaratkan rindu. Cowok yang lain itu Data. Adek laki-laki Delta.
Dan ... gue tidur dengan Data pada malam gue kecewa berat sama Delta. Ya ampun. Gue nggak mau lihat muka dia! Gue malu. Dia tahu semuanya. Dia tahu gue naksir abangnya dari kecil, dia tahu gue patah hati. Dia lihat sisi lemah gue. Dia lihat gue nangis, tapi nggak bisa keluar air mata. Dia lihat gue nyaris bugil! Dia! Si tengil yang gue sebel banget karena tega memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan!
Gue harap dia masih ingat pukulan gue yang matahin batang hidungnya pagi itu!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top