ᴋᴇɴᴅᴀᴛɪ ʜᴜᴊᴀɴ ᴍᴇɴyᴀᴩᴀ
▆▆▆▆▆▆▆▆▆▆
╭┈───────
╰┈➤ ❝ SWEET RAIN ❞
: Prompt manis kita hari ini.
╭┈───────
╰┈➤ ❝ NARUTO UZUMAKI ❞
: Ia sosok hiperbola pada sang pujaan hati.
╭┈───────
╰┈➤ ❝ HINATA HYUGA ❞
: Jatuh cinta pada si periang yang baik hati.
▆▆▆▆▆▆▆▆▆▆
Berbaur antara aroma air yang meriak disapa tanah. Hujan membiarkan diri jatuh tiada berbalik ke langit. Gadis bertema musim hujan itu kian beraroma bagai cokelat diseduh memabukkan dikiranya. Kendati pun indra penglihatan berusaha tetap menyangkal, nyatanya kehendak hati ingin selalu memandangnya. Hinata Hyuga sanggup membuatnya merekahkan ribuan ladang bunga dalam dada, meski dirasa mustahil, tapi baginya nyata. Serasa diangkat dari bumi dan dimanjakan awan-awan melankolis yang lembut andai dapat digapai.
Naruto Uzumaki bisa saja nyaris meledak karena sangat mengagumi pahatan Tuhan berupa gadis manis bermahkota untaian kelam yang satu itu. Tak dapat dijelaskan melalui kalimat maupun rangkaian kata apik, tapi sanggup menitik beratkan euforia. Memangnya, siapa yang sangka kalau pemuda dengan kadar kepekaan yang sanggup dihitung tak lain sebanyak biji salak dapat merealisasikan sebuah kata suka? Naruto sendiri tak paham secara betul.
Hanya saja, dengan kehadirannya pun, cokelat pahit akan hilang rasanya tergantikan jutaan glukosa. Ya, ia sesuka itu padanya. Lambat laun musim hujan akan bertransformasi menjadi musim kesukaannya, tapi bolehkah ia membandingkan di antara keduanya?
.
╭──────────₊˚.❛ัू─╮
ᴋᴇɴᴅᴀᴛɪ ʜᴜᴊᴀɴ ᴍᴇɴyᴀᴩᴀ
ɴᴀʀᴜʜɪɴᴀ ꜰʟᴜꜰꜰy ᴅᴀy 2021
ɴᴀʀᴜᴛᴏ © ᴍᴀꜱᴀꜱʜɪ ᴋɪꜱʜɪᴍᴏᴛᴏ ╰──────────₊˚.❛ัू─╯︎
.
Kata siapa rasa cokelat itu selalu manis?
Pemuda dua puluh tahun itu hampir saja menuntaskan kegiatannya dalam menata rambut pirang yang seakan siap menghadapi ganas terik penguasa siang hari. Beberapa detik sebelumnya disempatkan untuk melihat kaca jendela bahwa langit tak terlalu menantang mahkluk bumi. Menyala redup sayup dibumbui semilir angin. Berlama-lama di balik atap membuat Naruto tiada menyadari kehadiran awan gelap yang enggan diundang kehadirannya. Kegiatan ramalan cuaca itu didasari oleh ilmu, jadi kalau dibilang percaya, ya sebagian besar begitu. Lantas, penguasa semesta alam itu lebih berkuasa. Meskipun ramalan dapat dipercaya, setidaknya jangan gantungkan harapan seratus persen. Kalau sudah kecewa, yang tanggung jawab siapa?
Napas diembus membuang karbondioksida. Naruto sama sekali tidak terpikirkan kalau hujan akan menyambutnya tiba-tiba. Hari ini janji itu harus ditepati. Enggan kalau harus diundur hari nanti. Begitu kepalanya menyambut jendela dan cuaca, kilat menyala mengagetkan seakan menusuk fungsi indra penglihatan. Selepasnya, petir diikuti dentuman meledak dirasa hampir membelah bumi. Sebelum masuk kembali melindungi diri, sialnya kepala Naruto berbenturan dengan bingkai jendela.
Umpatan karena terkejut dan rasa sakit berkedut di kepala dilontarkan seringan kapas, "Sialan. Aku kaget." Mungkin Tuhan membalasnya dengan petir susulan yang beberapa detik terjadi setelahnya. Naruto khilaf mengumpat, makanya ia dengan terburu-buru memilih menutup jendela bertirai gorden warna kesukaannya.
Detik semakin memutar waktu. Seluk aspal Jakarta mulai dibasahi rintik awan menangis. Sama halnya dengan harapan Naruto yang kian terombang-ambing. Memangnya, siapa yang mau melewatkan kencan pertama bersama gadis ayu pujaan hati?
Gadis yang dianugerahi senyum cantik lebih dari keindahan laut dan lembutnya awan berarakan. Pencinta hujan dan tiada mengeluh akan halnya. Kata orang, musim hujan adalah definisi dari kelabu dan kesenduan. Hanya saja, bagi Naruto sendiri, musim hujan adalah potret fenomena cantik yang menumpahkan syukur bahwa rintik hujan bukan hal yang patut menjadi alasan untuk mengeluh.
"Lihat, semenyenangkan inilah fenomena hujan itu." Gadis bermahkota helai gelap itu membiarkan diri luluh diterpa rintik membasahi diri. Memilih untuk bebas dengan opsi yang dimiliki. Kala itu pun, kendati suaranya tersayup tetesan hujan, tapi senyumnya kian merekah seolah kurva pelangi ada dalam genggaman dirinya.
Berhenti berhalusinasi, Naruto. Pesan di ponselmu menunjukkan bahwa Hinata sudah tiba di tempat tujuannya dua belas menit berlalu.
.
Kalimat panjang yang akan Hinata Hyuga jabarkan bisa saja dianggap sesuatu yang retorika.
Haruskah dirinya membenci hujan atas pujaan hati yang tak kunjung sampai?
Bibir senada buah persik menyatukan diri bersama kepulan uap memanjakan indra penciuman sekaligus indra perasa. Hangatnya olahan biji cokelat mengapa bisa menjadi candu di beberapa waktu yang tepat? Gadis berparas estetika Asia itu tetap menyukai seluk beluk musim hujan dan cokelat hangat sebagai pelengkapnya. Kafe bukan menjadi sekadar tempat memanjakan lidah, beberapa di antara mereka mau tidak mau berkunjung lantaran menghindari kebasahan. Tempat ini akan semakin bertambah muatannya.
Menunggu selama itu bukan menjadi sebuah problematik. Kata sempurna seolah Hinata realisasikan terhadap tempat untuk bokongnya bertumpu di kursi ukiran cantik tepi kaca jendela berembun. Sepiring kue gulung dominasi kayu manis separuhnya dalam proses pencernaan si pelahapnya. Ia jatuh cinta pada kue itu. Merah muda merajai pipi. Soalnya, entah bagaimana pujaan hatinya tetap menduduki posisi terbaik.
Suara mejikuhibiniu pernah menggores memori bagaimana bisa gadis sepertinya menaruh hati pada seseorang yang nampak bodoh itu. Tentu saja Uzumaki Naruto yang dimaksudkan. Haruskah cinta dibutuhkan alasan? Padahal, bagaimana cara memikirkan organ pemompa darah berdetak lebih kuat saat ada kehadirannya saja sukar dijabarkan. Jangan mempersulit sesuatu yang sebenarnya terbilang sederhana.
"Cinta itu ... sederhana, kan?" Mata secantik lampu kota membaca kalimat terbingkai di kafe. Alih-alih berniat menghilangkan kebosanan, nyatanya kerincing bel kafe menjadi sosok pusat perhatian pertama kini.
Napas diembuskan kuat. Topi di kepala dilepas. Tangan menyisir tataan rambut pirang ke belakang. Entah peluh maupun tetesan hujan tiada dihiraukan perbedaannya. Saat mata serupa langit juga samudera bersiborok oleh sosok gadis musim hujan, senyum sumringah matahari seolah mematahkan awan kelabu.
"Oh, Hinata!"
Serupa bunga matahari pelik tumbuh di antara rintik.
.
Cokelat memang tidak selalu manis memanjakan indra perasanya. Sama halnya dengan kriteria sosok sempurna yang akan saling melengkapi garis takdir pendamping hidup. Kalau Hinata dituduh telah memuntahkan sesuatu yang retorika, ia bisa saja tiada menghiraukan atas hal itu. Toh, ini hanyalah kisah sederhana miliknya. Bahkan, untuk sekadar membenci fenomena hujan atas pujaan hati yang kehilangan waktunya beberapa menit saja? Tidak, Hinata Hyuga ingin menerima segala sesuatu yang sepertinya akan menjadi fotografi terindah dalam bayang kepala. Sedikit juga, mengenai ingatan tentang cokelat hangat di musim hujan kala itu. Jangan biarkan ia melupakannya.
Masa sekolah dulu tidak disayat luka juga tidak ditumbuhi ladang bunga. Semua ada sisi tertentu. Paras ayu rupawan gula Jawa Hinata memang membawanya kepada julukan Primadona. Namun, sisi pemalu yang merajai diri setidaknya menjadi salah satu kesukaran mendekati sang gadis jelita. Terkadang yang sedihnya ... itu menjadi pagar tak kasat mata bagi diri sendiri.
Pemerintah mulai menerapkan sistem dengan tajuk Full Day dalam dunia pendidikan setempat. Berangkat saat terbit dan kian terbenam baru kembali. Musim hujan tiada melewatkan waktu. Gumpalan awan sore mulai merajai. Bukan tanda jingga indie, melainkan tanda estetika gerimis membasahi bumi. Hinata tahu, sekarang adalah masanya berjaga diri.
Rusaknya payung bukan salahnya. Hanya saja saat itu sang adik masih belia. Setelah tanpa dosa mengembalikan payungnya dalam kondisi mengenaskan, ia memberi penjelasan kalau benda tersebut telah disalah gunakan demi menghajar anak-anak nakal di perumahan sebelah. Selepasnya, sang gadis naas belum sempat membeli payung maupun jas hujan baru.
"Ojek payungnya, Kak?"
Lamunan Hinata dileburkan oleh adik kelas yang satu tahun lebih muda. Ya, ia Naruto Uzumaki yang kabarnya punya hobi mencari uang di mana saja dan kapan saja. Yang patut disyukuri dari kegiatan sang pemuda ambis itu adalah rajin berusaha. Selalu kokoh bagai benteng ratusan tahun silam.
"Kamu ... benar nawarin jasa ojek payung, kan?" Hinata memastikan.
Tawa disuarakan dengan geli. Nada yang terdengar riang kapan saja sanggup menjadi candu, hanya saja Hinata belum menyadari perihal itu sebelumnya. Hingga tanpa disadari, gemericik air berjatuhan mulai bersahabat. Tiada lagi ganas bertiup-tiup.
"Oh, sudah reda, sih." Lantas raut kecewa mendominasi si periang itu. "Tapi bukan masalah, toh masih gerimis sedikit." Bisik kabar Naruto itu suka mencari uang, faktanya kini salah satu kesempatan dibulatkan untuk dilewatkan.
Payung sewarna jeruk menunggu jawaban untuk beralih tangan. Gadis bermahkota untaian kelam sempat merasakan kebingungan dalam benak.
Naruto mengerti. Ia bertutur, "Ambil saja, Kak. Kapan-kapan jangan lupa dipulangin, ya?"
Sosok matahari di antara awan kelabu menekatkan diri menerobos rintik membasahi diri. Hinata terpaku. Belum sempat berujar rasa terima kasih sebab tiada diberikan jeda demi memproses apa yang terjadi.
Iris sebening telaga menatap payung asing. "Terimakasih. Aku pasti akan mengembalikannya lain kali," janjinya kian tersayup hujan yang kembali menderaskan diri.
.
"Masih ingat, kan?"
Pada akhirnya juga hujan seolah memaku kedua insan dengan mahkota rambut yang tak seiras itu. Rintik semarak awan nampak sekali labilnya. Deras sewaktu-waktu, namun tiada pastinya. Aroma daun teh, seduhan kafein dan cokelat kian menyeruak membumbung atap memanjakan indra pembau mahkluk Tuhan.
Lidah tak bertulang sibuk rasakan cokelat menguasai penuh. Di antara cangkir itu, salah satu masih mengepulkan asap nampak baru terseduh. Berkencan di dalam kafe sama sekali bukan tajuk rencana tanggal itu. Niat diri menjelajahi kota kelahiran, disangkal fakta bahwa kini hujan. Air seolah tengah memadamkan bara api di antara terik Ibu Kota, hujan beraksi.
Bibir meloloskan gelitik tawa. Pemuda berhelai pirang jauh lebih nampak dewasa dibanding waktu yang lalu. Riangnya bagai narkotika. Sanggup saja membawa matahari pada gumpalan awan kelabu. Hanya saja, saat ini musim hujan bukan seolah problematik di antara keduanya. Sebab Hinata sendiri adalah puja musim hujan untuk disyukuri adanya.
"Jadi nostalgia waktu dulu aku panggil kamu dengan sebutan Kakak. Sekarang masih boleh begitu?" Terbesit dalam hati niat menjahili, tapi kalau dipikirkan kembali ... Naruto Uzumaki bisa saja menjadi pribadi yang akan merindukan kisah silam tersebut.
"Padahal aslinya kita cuma terpaut beberapa bulan. Aku yang saat itu usianya masih muda lebih cepat menapaki dunia pendidikan. Jadinya terkesan aku lebih tua." Helaian rambut cantik diposisikan di sela daun telinga. Bagaimana Naruto tak merealisasikan kata cantik saat itu juga? Lebih menarik dibandingkan dengan kepulan uap cokelat memanjakan indra perasanya.
Sayup telinga menangkap suara hujan kembali menantang. Kedua insan utama nyaris terkekeh meski tak dilakukan. Kaca dibasahi gemericik air yang berbenturan dengan seluk jalan tepi. Keluhan dari beberapa pribadi tak dikenali seolah tiada dihiraukan. Mereka tetap menari dalam bersiboroknya netra malu-malu, merasakan seolah hujan bekerja sama agar keduanya tetap menetap meluangkan waktu bersama.
Cokelat kali ini seolah mengandung jutaan glukosa tanpa ditaburi gula.
Kendati hujan menyapa, ribuan ladang bunga kian tumbuh merekah dalam jiwa bahagia atas peluh rasa syukur merajai hati. Bagaimana cara membuat musim hujan seolah candu manis dengan caramu sendiri?
T A M A T
Note:
Saya ucapkan terimakasih banyak kepada panitia penyelenggara juga kepada juri atas kerja kerasnya. Tentu juga kepada pembaca yang telah meluangkan waktunya mampir ke cerita singkat ini.
Selasa, 13 April 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top