7. Diran

Baru dua jam dan Diran sudah merasa kerepotan karena wanita satu itu. Ia sudah berjalan selama sepuluh menit tapi belum juga menemukan sosok ramping berambut cokelat. Dari tatapan pertama ia sudah menduga wanita itu bukan tipikal wanita yang mudah diatur meski pembawaannya santai. Ia cuma berharap mereka bisa segera menyelesaikan kasus ini secepat mungkin lalu melambaikan tangan dan mengucap selamat tinggal.

Dengan menghela napas panjang dirinya mencoba menebalkan kesabarannya. Kalau bukan karena pesan atasannya, ia sudah pasti akan meninggalkan Jesslyn begitu saja di tengah dusun kecil ini. Tanpa sadar Diran menggeleng pelan ketika terlintas pikiran untuk membiarkan Jess berkeliling desa. Hati kecilnya tahu ia tidak cukup tega membiarkan seorang wanita berjalan sendiri di tempat asing. Dengan dongkol ia menekan gawainya untuk menghubungi nomor WA Jesslyn. Nyatanya mencoba untuk menghubungi wanita itu tidak mampu memperbaiki suasana hatinya karena yang terdengar adalah nada sambung yang tidak juga berakhir.

Satu jam lagi, matahari akan tenggelam. Penerangan jalan di dusun Rengi akan terbatas dan ia sama sekali tidak punya gambaran arah mana yang diambil wanita itu. Ia berhenti ketika sampai di pertigaan jalan, berpapasan dengan beberapa petani yang mengendarai sepeda kayuh sepulang dari ladang. Diran menghentikan salah satu dari mereka dan menanyakan apakah melihat wanita berjaket kulit hitam.

"Wah, kayaknya saya nggak liat cewek di sepanjang jalan tadi."

"Ini jalan menuju ke kebun yang pinggir hutan itu, kan?"

"Iya, Mas. Masnya bukan orang sini, ya? Mending Mas nya cepet cari temannya daripada nanti kena tulah ritual orang-orang Rengi."

Diran mengerutkan alis dan langsung menahan setir sepeda si bapak petani. "Ritual apa ya, Pak?"

"Ritual orang-orang asli sini," jawab si bapak dengan tatapan gusar. Dia berusaha melepaskan tangan Diran yang menahan setir sepedanya.

"Sebentar, saya belum selesai bicara. Tolong, Bapak jelaskan lebih rinci."

"Waduh, saya nggak tahu lebih rinci. Cuma itu yang saya tahu."

Diran menatapnya tegas dan si Bapak mulai tampak ketakutan di balik senyum santainya. "Saya Iptu Diran Argani, tolong Bapak jelaskan tentang ritual yang Bapak ceritakan tadi."

"Saya nggak tahu apa-apa, Mas."

Diran bisa membaca kebohongan dari ekspresi wajah si Bapak, lalu ia berkata dengan lirih, "Menutupi sesuatu dari petugas juga bisa dianggap kejahatan lho, Pak."

Kini wajah si bapak memucat. Ia termangu sesaat, "Sa--saya cuma takut kena getahnya, soalnya mereka penguasa desa ini."

"Mereka siapa? Pak Lurah?" desak Diran.

"Orang-orang kuat di sini."

"Apa ini ada hubungannya sama lima orang yang gantung diri di hutan itu?" cecar Diran.

Si Bapak menggeleng kuat lalu segera mendorong sepedanya cepat-cepat meninggalkan Diran yang masih mematung. Ia membiarkan pria itu pergi karena akan membutuhkan waktu lama untuk membuatnya bercerita dengan gamblang. Ia tidak punya waktu untuk itu, karena ada Jesslyn yang harus ia temukan.

Makin dipikir, Diran makin resah bayangan Jesslyn tersesat dan kebingungan tidak membuatnya tersenyum puas sebagaimana seharusnya jika saja mereka di dalam kondisi yang berbeda. Di saat ini ia lebih ingin membanting sesuatu untuk melampiaskan kedongkolan dan kegusarannya.

Bunyi ringtone membuat Diran kaget. Ia mengira Jess akhirnya menelponnya tapi ternyata sebuah panggilan dari Wira.

"Ya, ada apa?" tanyanya langsung pada Wira di ujung sana.

"Dir, hari ini aku sudah menyelidiki soal usaha Gugun. Ternyata dia punya beberapa usaha di Rengi dan di desa luar. Dia buka usaha toko pakan ternak dan minimarket sekitar enam bulan yang lalu. Kata orang sekitar, dia kaya mendadak karena baru dapat warisan. Tapi yang lebih anehnya lagi tentang dua korban sebelumnya, Suprapto dan Narti."

"Maksudnya gimana?"

"Dua korban sebelumnya juga tidak kekurangan, berlebih malahan. Suprapto, katanya kaya karena usaha toko bajunya di pasar punya banyak pelanggan, sementara Narti punya usaha toko online palugada."

Diran mengernyitkan dahi, "Palugada?"

"Eh, itu singkatan dari Apa Lu Minta Gua Ada. Intinya ketiga orang ini punya uang banyak sekali dalam waktu singkat. Alasannya adalah karena penghasilan dari usaha mereka, tapi banyak saksi yang bilang usaha mereka nggak ramai-ramai amat. Hasil usaha mereka nggak sebanding dengan kekayaan yang mereka miliki dengan sangat cepat."

"Gimana dengan faktor yang lain? Mungkin hutang, masalah dengan orang lain atau mungkin masalah cinta?"

Wira menghela napas panjang, "Nggak ada, Dir. Nggak ada informasi masalah sengketa keluarga, cinta atau hutang. Tapi aku dapat satu informasi penting kali ini." Wira menghentikan kalimatnya seolah sengaja memancing sesuatu darinya.

"Terus?"

"Ketiga orang yang gantung diri ini ternyata tergabung dalam paguyupan yang sama."

"Dari mana kamu tahu mereka tergabung di paguyupan yang sama?"

"Pak Bayu yang bilang---"

"Bentar, Pak Bayu ini suami dari Narti korban kedua, kan?" potong Diran.

"Iya, bener. Dia cerita kalau dia juga kenal Gugun dari pertemuan paguyupan. Jadi di desa ini ada semacam paguyupan elit yang anggotanya sedikit dan semuanya punya kekayaan. Dari nama-nama yang aku dapat dari suami Narti semuanya memang pengusaha."

Diran langsung teringat dengan omongan si bapak petani tadi yang menyebutkan dengan 'orang-orang kuat desa Rengi'. Sebuah benang merah antara keterangan si bapak ternyata terhubung pada paguyupan elit yang diikuti oleh korban. "Siapa ketuanya?"

"Coba tebak," jawab Wira enteng dan membuat Diran mendengkus kecil.

"Ayolah, Wir. Aku lagi nggak selera main tebak-tebakan."

"Pernah dengar tentang praktek pengobatan alternatif di desa ini?"

"Pernah, tapi aku nggak ngikuti berita yang sempat heboh itu."

"Nah, pria ini ketuanya. Namanya Suwarno. Kelihatannya Bayu ini sangat sakit hati sama Suwarno sampai-sampai ia menceritakan tentang kebusukan Suwarno. Bayu cerita kalo sebelum istrinya mati, si Narti ini sering ikut ritual yang diadakan Suwarno. Ia sendiri tidak tahu seperti apa ritualnya soalnya Narti nggak pernah ijinkan dia ikut. Makanya Bayu yakin kematian istrinya ada hubungannya dengan Suwarno. Ia yakin Suwarno mengirimkan pulung gantung pada Narti untuk dijadikan tumbalnya."

Jantung Diran berdetak lebih cepat saking senangnya. Ia merasa inilah saatnya untuk datang menemui Suwarno. "Apa yang diceritain Bayu, selama belum ada bukti kita nggak bisa jadikan dia saksi yang kuat. Bisa aja itu cuma anggapan dia, menyebar gosip miring tentang pulung gantung yang dikirim Suwarno ke istrinya, biar nama baik Suwarno jatuh ...."

"Terus praktek pengobatan alternatifnya tutup," lanjut Wira.

"Tau sendiri kan, orang-orang sini mudah kemakan hoax. Kalo gitu tolong kirim alamat Suwarno, ya. Aku mau temui dia besok."

"Oh iya, bukannya sekarang kamu lagi jemput si dukun cantik itu?" Nada Wira langsung berubah santai.

"Iya, sudah, sekarang kita lagi di Rengi. Dia ngotot pengen ke lokasi, tapi sekarang malah ngilang duluan. Ditelpon juga nggak diangkat. Aku nggak paham maunya dia gimana." Diran terlalu emosi untuk menyadari kalimat terakhirnya bernada omelan hingga membuat Wira terkekeh panjang. "Padahal, maksudku mau aku ajak ketemu sama saksi. Lagian di TKP sudah dibersihin, apanya yang mau dilihat. Heh, ngapain kamu malah ketawa?" semburnya tajam.

"Enggak, enggak apa. Ya sudah, selamat bersenang-senang," ledek Wira lalu memutuskan saluran sebelum Diran sempat menyahuti.

Setelah memasukkan gawai ke saku dalam jaket, terpikir olehnya wanita itu pasti menuju TKP seperti yang dimintanya tadi. Jadi Diran segera berbalik ke mobilnya dan melaju ke sana. Jarak tempuhnya memang tidak jauh, tapi jika harus berjalan kaki untuk menyusul Jesslyn ia lebih memilih cara yang praktis.

Tidak sampai dua menit Diran menghentikan mobilnya karena jalan beraspal sudah berakhir dan digantikan oleh jalan setapak yang cukup untuk dua motor. Waktu itu ia tidak terlalu hafal jalur yang dilalui Wira ketika menuju TKP, tapi sepertinya memang bukan jalur yang ia pilih saat ini. Diran hanya hafal dengan pagar bambu kebun singkong yang di cat merah putih.

"Masnya lagi cari siapa?" tanya seorang gadis berponi yang sedang membonceng temannya yang bertubuh subur dengan motor matic terbaru.

"Kalian lihat cewek mata sipit rambut cokelat lewat sini, nggak?"

"Oh, tadi kita lihat dia jalan ke pinggir hutan." Temannya menunjuk ke arah timur. "Kayaknya dia mau lihat TKP tempat orang gantung diri waktu itu," lanjutnya dengan tatapan gusar.

"Mending cepet susul aja mas, pacarnya. Tempat itu angker," sahut gadis yang membonceng.

Diran terkekeh "Oh, dia bukan pacar saya, kok."

Kedua gadis itu pun ikut tersenyum lebar.

"Oh, gitu. Mas nya bukan orang sini, ya? Kok, saya belum pernah lihat Masnya di daerah sini."

Diran bisa membaca kedua gadis remaja ini sedang berusaha mengorek sesuatu tentang dirinya. Kilat mata keduanya menyiratkan tatapan menggoda. Dalam hati ia menyayangkan sikap genit mereka, tapi di sisi lain ia bisa memanfaatkan mereka untuk mendapat informasi lebih banyak tentang Suwarno.

"Panggil aja Diran. Saya dari kota, datang ke sini pengen berobat."

"Oh, kenalin Rima, ini teman saya Asri." Gadis yang membonceng tersenyum lebih sumringah sembari mengulurkan tangan. "Jadi ..., yang mau berobat Mas nya, ya?"

Diran menatap enggan pada ajakan jabat tangan itu. Ia sedang tidak ingin mendapatkan penglihatan mata ketiganya yang sering muncul saat ia menyentuh orang lain. Dengan singkat, ia menjabat tangan Rima sebelum sekelebat bayangan suram di otaknya menjadi jelas. Di balik senyum hangat Rima, ada kesuraman yang bisa Diran rasakan. Bukan hal baru baginya, karena tidak sedikit pula orang-orang yang bisa ia lihat mempunyai masa lalu yang suram. Diran hanya ingin menjaga jarak soal masa lalu orang lain dan membiarkan dirinya melihat dalam keburaman. "Bukan, tapi adek saya---"

"Oh, yang cewek tadi, ya?" potong Asri.

"Eh, iya." Diran asal mengiyakan dan membelokkan topik pembicaraan. "Apa kalian ada yang tahu rumah Pak Suwarno yang katanya buka praktik pengobatan alternatif?"

"Jelas, ngerti aku, Mas." Rima tertawa lirih. "Pak Suwarno itu bapak aku."

Diran mengangguk senang. Tidak menyangka umpannya bekerja secepat itu. "Wah, beneran kalo gitu."

"Tapi kalo sore sudah tutup. Mas Diran datang aja besok pagi. Rumah saya di belakang kantor kepala desa."

"Oke, boleh saya minta nomor WA nya Dek Rima?"

Setelah mereka bertukar nomor WA, Rima dan temannya meninggalkan tempat sementara Diran menuju TKP yang berjarak lima meter darinya. Dari kejauhan ia bisa melihat police line yang masih terpasang. Ia baru sadar ternyata ada jalan lebar yang bisa dilalui mobil jika saja ia mengambil jalur dari arah yang berbeda. Dengan menggerutu lirih ia melanjutkan langkah dan melihat punggung jaket hitam Jesslyn yang modis sedang mematung menghadap pohon besar itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top