6. Jesslyn
Meninggalkan Kala Dwipa, Jess harus menempuh delapan jam perjalanan melalui laut, udara hingga darat. Meski seluruh akomodasi selama pernalanan sudah diurus oleh Langit, tetap saja Jess merasa lelah setelah perjalanan panjang. Moda transportasi terakhir yang dia tumpangi adalah kereta.
Dusun Rengi tempatnya bertugas kali ini ada di Jawa Timur. Karena itu, selepas turun dari pesawat di bandara Juanda, Jess langsung bertolak menggunakan kereta menuju Karanglor, kabupaten tempat Dusun Rengi berada.
"Si Langit ini sengaja banget kasih kompartemen yang non-smoking," keluh Jess sambil membuka penutup mata kucingnya. Dia menyemparkan untuk tidur sejenak di kompartemen eksekutif selama perjalanan dalam kereta. Tanpa ada penumpang lain yang duduk di sana, Jess bisa tidur dengan tenang. Kecuali, tentu saja, sedikit gangguan kecil dari makhluk halus penunggu. Jess sudah terbiasa mengurus mereka sehingga tidak terlalu metasa risih.
Hari sudah sore ketika akhirnya kereta yang dia tunggangi berhenti di Stasiun Karanglor. Itu adalah tempat pemberhentian Jess. Dengan tubuh yang masih terasa kaku, gadis itu membereskan barang bawaannya yang hanya berupa satu koper kecil dan satu tas jinjing hitam. Untungnya, dia tidak harus berjejalan dengan penumpang lain saat keluar dari kereta. Selain karena tidak banyak orang yang turun di stasiun tersebut, juga karena gerbong eksekutifnya membatasi jumlah penumpang agar tidak terlalu sesak.
Sambil menyeret kopernya melewati peron, Jess membuka ponselnya untuk melihat ulang foto orang yang menjemputnya. Langit sudah mengirimkan detail informasi tentang orang yang ditugaskan mengurus akomodasi Jess selama di lokasi misi.
Iptu Diran Argani, Jess membaca larik nama di sebelah gambar foto diri seorang pria muda berpenampilan klimis. Berdasarkan data diri yang dia miliki, pria itu berusia tiga puluh tahun, dua tahun lebih tua dari Jess. Wajahnya tampak tegas, tipikal petugas kepolisian.
Mulanya, Jess membayangkan akan dijemput oleh sosok pemuda itu dengan seragam dinas. Namun, setelah berjalan beberapa langkah, seorang pria yang wajahnya persis seperti dalam foto di ponsel Jess mendekat, hanya mengenakan jaket cokelat dan celana jeans yang santai.
"Jesslyn Luan?" sapa pria itu tanpa basa basi.
Jess mengangguk singkat. "Iptu Diran Argani, betul?" balas gadis itu semata-mata bentuk kesopanan.
"Silakan panggil Diran saja. Mari, saya antar ke penginapan," jawab pria itu singkat dan padat, tanpa berniat membuka perbincangan ramah dengan tamu dari jauh.
Jess mengernyitkan dahinya. Ada dua hal yang membuat alisnya bertaut. Pertama sikap Diran yang ketus dan tidak menyenangkan. Jess merasa seperti sedang dikawal sebagai tahanan daripada tamu. Dan yang kedua -ini yang lebih menarik-, Jess samar-samar bisa merasakan energi batin pemuda itu lebih kuat dari orang biasa. Auranya juga berwarna biru indigo, meski tidak terlalu pekat. Jess cukup yakin pria ini punya bakat mata ketiga.
Meski begitu, Jess memilih untuk tidak berkomentar atau bertanya perihal tersebut. Fokusnya saat ini adalah untuk menyelidiki kasus paranormal.
"Kalau boleh, saya mau ke lokasi TKP-nya dulu," kata Jess sembari mengikuti Diran yang sudah berjalan lebih dulu.
Diran, yang bahkan tidak berinisiatif membawakan koper Jess setidaknya untuk berbasa-basi, menjawab tanpa menoleh. "TKP-nya sudah dibereskan setelah selesai penyidikan kemarin. Mbak bisa baca laporannya nanti di penginapan. Saya kirimkan via email."
Jess menghela napas keras-keras. Gadis itu menghentikan langkahnya, lantas mengeluarkan rokok dan pemantiknya dari tas jinjing.
Mendengar suara pemantik api, Diran akhirnya ikut berhenti dan menoleh. "Ini area bebas rokok. Tolong matikan," ujar pria itu segera menghampiri Jess.
Jess menunjukkan batang rokoknya yang ternyata belum disulut. "Kalau nggak gini kan, omongan saya nggak dengerin," ucap gadis itu menatap langsung ke mata Diran. Pria tersebut sejengkal lebih tinggi dari Jesslyn, badannya cukup tegap, mungkin karena rutin dilatih.
Diran, di sisi lain, turut menghela napas, tampak lelah. "Maaf kalau saya kurang sopan. Mbak kalau mau ke TKP besok masih bisa. Tugas saya hari ini cuma jemput dan antar Mbaknya ke penginapan. Saya bukan sopir yang bisa disuruh-suruh," kecamnya tegas meski dengan nada bicara yang tenang.
"Jess. Bukan Mbak," sahut Jess mengoreksi. "Gini ya, Pak Diran, saya ke sini bukan buat liburan. Jadi saya juga nggak butuh sopir pribadi buat antar jemput ke penginapan. Justru saya ke TKP sama Bapak itu karena saya mau mulai kerja dengan cara saya. Bapak udah baca, kan, surat tugas saya ke sini? Seingat saya, di sana tercantum kalau kita harus bekerja sama," lanjut gadis itu tak kalah tajam.
Diran terdiam sejenak. Kedua matanya berkilat-kilat menyembunyikan kekesalan. Arogansi yang menurut Jess tidak pada tempatnya.
"Saya nggak tahu bidang Mbak ini bekerja dengan cara seperti apa. Tapi nggak ada gunanya dateng ke TKP sekarang. Semua bukti dan rekam jejak kejadian sudah tertulis secara rinci di laporan," jawab Diran keras kepala.
"Soal itu, biar saya yang memutuskan. Sekarang Bapak antar saya aja ke sana," balas Jess lantas kembali menyeret kopernya berjalan melewati Diran. "Dan sekali lagi saya bilang, panggil Jess aja. Bapak, kan lebih tua dari saya," imbuhnya tanpa menoleh.
Diran berdecak pelan, tetapi kemudian mengikuti Jess berjalan keluar peron. "Kalau gitu jangan panggil saya Pak juga. Saya belum bapak-bapak," jawabnya mengalah.
Jess tersenyum simpul. "Deal."
Sepanjang perjalanan meninggalkan Stasiun Karanglor, Jess dan Diran tidak banyak bicara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri hingga rasa canggung pun tidak mereka pedulikan. Mengikuti permintaan Jess, Diran mengemudikan mobilnya langsung menuju TKP. Tanpa banyak berbincan, bahkan ketiadaan suara musik dari radio, perjalanan itu terasa lama sekali.
Sejak pertemuan pertama tadi, Jess sudah merasakan sikap penolakan Diran. Pemuda itu sepertinya tidak menginginkan kehadiran Jess di sana, bahkan tampak sangsi dengan kemampuan organisasi tempatnya bekerja. Jess maklum. Bukan sekali dua kali dia mengalami hal serupa.
Meski begitu, Jess juga tidak ingin berusaha beramah tamah dengan Diran. Tubuhnya sudah cukup lelah sehabis perjalanan panjang. Gadis itu memilih untuk menyibukkan dirinya memandang ke luar jendela mobil. Kota kecil Karanglor sudah lama dilewati. Kini mereka berdua menyusuri jalan raya antar kabuaten yang kanan kirinya hutan lebat.
Sekali waktu, gadis itu bisa melihat kelebat makhluk gaib yang ramai menghuni area sekitar. Kebanyaka. hanya berdiri diam di pinggir jalan atau bergantungan di pohon hutan. Namu, ada beberapa yang melintas di depan mobil, bahkan menempel di kaca depan.
Jess melirik ke arah Diran, mencoba memastikan apakah pria itu melihat hal yang sama. Namun Diran tampak fokus mengemudi tanpa terganggu sama sekali. Bahkan Jess yang sudah terbiasa pun terkadang masih kaget kalau makhluk itu muncul tiba-tiba. Akan tetapi, Diran tidak menunjukkan gejala itu sedikit pun. Tahulah Jess kalau mata batin Diran belum terbuka sepenuhnya. Mungkin pemuda itu hanya melihat hantu saat dia sedang sial saja.
Setelah dua puluh menit berkendara, Jess akhirnya tiba di sebuah jalan kecil rusak yang di depannya terdapat gapura biru yang catnya sudah terkelupas dimakan usia. Tulisan Dusun Rengi tersemat di atas gapura, membentuk lengkuk khas ala pedesaan di pelosok.
"Ini tempatnya?" tanya Jess sambil terduduk tegak dari sandaran kursinya. Ekspresi wajahnya sulit ditebak, campuran antara kaget, bingung dan waspada. Dan memang itu tepatnya yang tengah dirasakan Jess.
Diran menoleh ke arah Jess. "Iya. Ini dusun tempat kejadiannya. Kenapa?" tanya Diran mau tak mau penasaran dengan perubahan raut muka gadis itu.
Jess tak langsung menjawab. Pikirannya sibuk dengan visual yang baru dilihatnya. Tadi, tepat sebelum melewati gapura dusun, Jess sudah melihat dari kejauhan aura hitam pekat yang segelap malam. Jess bahkan tidak bisa melihat gapura itu sebelumnya karena dia pikir area itu memang gelap akibat rimbunnya hutan dan kurangnya cahaya.
Akan tetapi, seperti menembus dinding tak kasar mata, mobil Diran justru memasuki area gelap itu tanpa masalah, dan tiba-tiba gapura usang Desa Rengi muncul begitu saja di depan mata Jess. Jelas gadis itu langsung waspada.
"Ada yang nggak beres di desa ini," gumamnya setengah meracau. Belakangan dia juga menyadari kalau di tempat itu, Jess sama sekali tidak melihat kehadiran makhluk halus. Tidak ada hantu satu pun yang terpantau radar mata ketiganya. Jelas itu tidak lazim karena sebersih apa pun tempatnya, pasti ada entitas astral yang menjaga walau hanya satu atau dua.
Diran mendengkus. "Ya emang, kan. Ada kasus bunuh diri. Makanya kita ke sini sekarang," balasnya sarkastik.
Jess mengabaikan olokan Diran yang tersamar. Gadis itu memilih langsung melompat keluar begitu Diran memarkirkan mobilnya di balai dusun setempat. Dia harus memastikan keadaan desa ini dengan mata kepalanya sendiri.
"Jangan jalan-jalan sembarangan. Udah sore, nanti tersesat," ujar Diran memperingatkan. Namun, belum sempat Diran mencegah, Jess sudah menghilang dari pandangannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top