5. Diran
"Kenapa jadi curiga ke aku? Harusnya kamu curiga sama apa yang bikin Desa Rengi mendadak jadi lahan bunuh diri masal," sembur Diran jengkel.
"Eits, nggak bisa! Kamu belum cerita kejadian semalam kenapa tiba-tiba kayak orang kena serangan jantung!" Wira menggoyangkan jari telunjuknya ke arah Diran. "Kamu dapat penglihatan lagi, ya? Udah lima tahun lebih nggak kamu gunain, kenapa nggak gunain kemampuanmu itu aja untuk pecahin kasus ini?"
Diran menghela napas panjang dengan sangat berat. Menghadapi Wira memang kadang bisa sangat sulit dan menguji kesabaran. "Hoo ..., terus maksud kamu aku tinggal pegangin tangan seluruh penduduk Desa Rengi untuk cari pelakunya gitu?"
"Lah, kamu yakin katanya bunuh diri. Kenapa sekarang kamu ngerasa ada pelaku?"
Ia sudah berteman sejak SMA dengan Wira, bersahabat hingga masuk ke akademi polisi pun bersama. Dulu Wira selalu memanfaatkan penglihatan Diran untuk mendapatkan pacar. Namun, pada akhirnya pacar pertama Diran memutuskan hubungan karena merasa tidak nyaman dengan penglihatannya. Lagi-lagi Diran dihadapkan pada kenyataan bahwa kemampuan istimewanya adalah juga kutukan yang harus ditanggungnya.
"Bukan pelaku, tapi penggerak," koreksi Diran. "Jelas, lima orang bunuh diri di tempat yang sama dengan cara yang sama, pasti ada tokoh penggeraknya."
"Yang jadi penggerak orang banyak pasti bukan orang biasa. Mempengaruhi orang banyak juga butuh waktu lama. Aku bakal cari tahu orang-orang yang dijadikan panutan penduduk sana."
"Bisa juga orang yang disegani," sahut Diran sambil beranjak untuk mengguyur badan. Dia tidak punya banyak waktu untuk segera pergi ke kantor dan memulai proses penyidikannya. "Tolong, selidiki apa usaha yang dipunyai Gugun, sekalian awasi siapa saja orang-orang yang punya pengaruh besar di dusun itu," lanjutnya lalu menutup pintu kamar mandi.
Satu jam kemudian, mereka sudah sampai di kantor. Pelataran Polres Karanglor lebih ramai dari pagi biasanya. Sekitar sepuluh orang pria yang Diran kenali sebagai wartawan sedang duduk-duduk santai di bangku panjang area ruang tunggu. Mereka langsung berdiri lalu menghampiri begitu melihat kedatangan Diran dan Wira yang baru sepuluh langkah keluar dari mobil.
"Gimana, Pak? Sudah ada titik terang tentang gantung diri masal waktu itu?" tanya satu pria sementara yang lain dengan cekatan menyalakan recorder dari gawai masing-masing.
"Nanti saja, ya. Kita tunggu perkembangan. Saat ini masih dalam proses penyidikan motif," jawab Diran tanpa menghentikan langkah.
"Ayo, dong, Pak. Ini sudah hari ketiga, masak belum ada titik temunya," protes yang lain.
"Maaf ya, Mas, ini bukan wewenang saya untuk buka suara. Atasan saya nanti yang menjelaskan setelah penyidikan menemukan titik terang." Kemudian Diran mendorong pintu kaca dan disapa oleh hembusan udara sejuk dari AC di ruangan Satreskrim.
Beberapa petugas menyapa mereka ketika melintasinya, sementara para wartawan itu pun akhirnya berhenti mengekorinya. Terdengar dengkusan Wira yang pendek. "Ampun, ini baru beberapa hari tapi wartawan itu udah kayak peneror aja."
Mereka kemudian berpisah karena Wira akan mencari informasi seputar korban. Sementara Diran melepaskan jaket bombernya ke gantungan di balik pintu ruang kerjanya, ia ingat pesan WA dari Pak Satrio---atasannya---untuk menemuinya di ruang kantornya hari ini.
"Ah, hampir aja lupa," gumamnya pada angin kemudian kembali keluar ruangan menuju ruang kerja AKP Satrio yang ada di sudut lorong.
Tidak lama setelah Diran mengetuk pintu, terdengar suara perintah dari dalam. Pak Satrio yang bertubuh kurus tampak duduk tenang di balik meja kerjanya yang selalu rapi. Diran menghormat sebentar lalu dipersilahkan untuk duduk.
Tidak biasanya pria ini memintanya untuk datang dan bicara empat mata di ruangannya. Diran bisa merasakan perasaan sedikit gelisah terpancar dari kedua mata Satrio. Sudut tulang rahangnya tampak kencang menahan sesuatu.
"Ada apa ya, Pak?" tanya Diran.
"Saya baru saja mendapat surat pemberitahuan lewat email, bahwa kasus di Rengi akan dibantu oleh seorang utusan terhitung mulai besok."
Diran termangu. Berita itu membuatnya bingung hingga ia tidak tahu harus berkata mulai dari mana. "Tu—tunggu dulu, kenapa harus ada orang lain yang bantu kasus ini, Pak? Ini kan, cuma kasus kriminal biasa yang nggak ada sangkut pautnya sama teroris."
"Ya, ya, saya tahu, kamu pasti nggak nyaman dengan---"
"Jelas nggak nyaman," potong Diran dengan tatapan jengkel. "Ini kan, kasus saya. Bukan pertama kalinya saya selesaikan kasus dengan teman-teman yang lain. Kalau sekarang tiba-tiba ada orang luar masuk untuk ngawasin kinerja saya, buat apa?!"
Satrio diam dan menatapnya tegas. Sebuah teguran tanpa kalimat.
Diran baru menyadari ia sudah memotong kalimat atasannya. Mendadak suasana menjadi kaku. "Maaf, silakan dilanjutkan dulu, Pak," ucapnya kemudian sembari menyandarkan punggungnya ke kursi, berusaha untuk rileks.
"Saya paham perasaan kamu. Tapi ini sudah di luar wewenang kita untuk menolak karena surat tugasnya turun langsung dari pusat. Jadi yang bisa kita lakukan untuk saat ini adalah lakukan sebaik mungkin dan sesuai prosedur. Saya nggak mengharapkan lebih, hanya profesionalitas. Paham?"
Diran mendongak sejenak sembari menutup mata sejenak, berharap apa yang diminta atasannya sama ringannya dengan yang diharapkan. "Apa yang Bapak maksud ini adalah utusan dari inspektorat? Karena setahu saya kantor ini tidak pernah bermain kotor sampai harus ada pengawas segala."
Satrio menggeleng singkat seraya menyerahkan selembar surat print out. "Coba kamu baca sendiri."
Hanya dalam beberapa detik Diran bisa paham apa isinya, hingga kemudian ia menemukan kata Aksaya Patra. Sepasang alisnya terangkat sinis. "Aksaya Patra? Jujur, ya Pak, saya belom pernah dengar nama organisasi ini."
"Memang, Aksaya Patra sendiri adalah organisasi rahasia yang dibentuk langsung oleh BIN dan beroperasi di bawah permukaan. Konon, organisasi ini khusus menangani kasus-kasus dunia paranormal. Wajar kalo kamu nggak tahu karena memang nggak banyak orang tahu, bahkan perangkat pemerintah sendiri."
Mendadak Diran tak dapat menahan kekehan, "Sebentar, sebentar ..., ini apa hubungannya sama kasus daerah kecil yang bahkan namanya aja ditulis tipis di buku peta?"
Satrio mengangkat bahu singkat, "Yang jelas, mereka lebih paham dari kita dan saya yakin itu."
"Ah, masa iya? Saya kok merasa mereka terlalu berlebihan menyikapi kasus di Rengi. Kasus ini nggak ada kaitannya dengan hal-hal yang berbau mistis. Pulung gantung cuma mitos yang dipercaya sama penduduk yang masih tertinggal, padahal logikanya mereka bunuh diri karena tekanan keadaan."
AKP Satrio tersenyum tipis. "Coba jelasin sendiri ke utusan yang mau datang besok."
"Besok? Rajin amat mereka," timpal Diran sinis.
"Ini keterangan agen yang akan mengawal kasusmu." Satrio tidak menanggapi dan langsung memberikan berkas foto dan identitas utusan Aksaya Patra. "Namanya Jesslyn Luan."
Diran menerima berkas itu dengan acuh tak acuh. Semangatnya untuk segera menyelesaikan kasus Rengi jadi melempem gara-gara pemberitahuan pagi ini. Sekilas ia membaca nama dan jadwal kedatangan keretanya besok. Kemudian mengamati print out foto profil sang agen.
Dalam bayangannya sesaat tadi, seorang agen Aksaya Patra yang katanya hanya menangani kasus berbau mistis, pastilah wanita berwajah dingin misterius dengan setelan hitam-hitam, bukan wanita cantik berwajah oriental dengan rambut coklat caramel lebat.
"Bapak yakin, organisasi ini bukan organisasi abal-abal? Ngapain mereka kirim artis ke sini?" celoteh Diran enteng.
Kali ini atasannya tampak menahan geram dengan mengetatkan rahang. "Dir, tolong jangan maen-maen kali ini! Ingat, jaga sikap! Yang jadi pertaruhan itu nama kepolisian Karanglor di hadapan markas besar."
"Nggak usah kuatir sama saya, Pak. Saya nggak harus macem-macem, paling dia cuma bertahan dua harian di tempat ini."
"Ya sudah kalo begitu, saya percaya sama kamu." Satrio menghela napas pendek. "Besok silakan jemput dia di stasiun."
"Lho ..., nggak, nggak bisa, Pak!" Diran langsung bangkit dari kursinya dengan nada protes. "Masa saya yang jemput? Bukannya itu bisa dilimpahkan ke Wira atau yang lain?"
"Memang bisa, tapi saya limpahkan segala hal tentang utusan Aksaya Patra ke kamu. Kalian akan jadi satu tim, jadi lebih praktis kalo kalian segera susun langkah penyidikan berikutnya. Sekalian kamu diskusikan temuan terbaru tentang kasus ini besok."
Diran berkacak pinggang dengan menahan kekesalan. Hanya dalam sekejab, dunianya seolah runtuh. Seorang Diran Argani yang merupakan penyidik andalan Polres Karanglor, mendadak beralih tugas menjadi sopir sekaligus pengasuh untuk wanita bernama Jesslyn Luan ini. Egonya serasa diinjak-injak oleh hanya sebuah surat. Apa daya, ia harus menelan pil pahit itu demi loyalitasnya.
"Oke kalau gitu, saya akan jemput dia besok," ucapnya dingin setelah keheningan dua detik. Ia mengambili kertas yang diberikan AKP Satrio lalu beranjak meninggalkan ruang dengan langkah cepat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top