4. Diran

Diran remaja termangu kebingungan, ia baru saja membelokkan sepeda gunungnya memasuki teras rumah sepulang sekolah siang itu dan mendapati ibunya bercucuran air mata di sudut teras sembari menjemur cucian.

Tidak ada suara tangis, hanya derasnya tetesan air mata. Sesekali ibunya menggigit bibir bawahnya dan mengusap matanya yang sudah bengkak. Dengan perlahan Diran mendekati ibunya hingga wanita itu tidak menyadari kedatangannya. Jelas terlihat ibunya sedang asal-asalan menyampirkan baju-baju basah itu di tali jemuran dan membiarkan pikirannya mengembara kemana-mana.

"Ada apa tho, Bu?" tanyanya ragu. Perasaan resah menggelayuti hatinya saat itu juga. Ia mulai menebak ulah apa lagi yang dilakukan ayahnya kali ini. Bukan sekali dua kali ibunya menangis menyesali nasib akibat hobi ayahnya yang merugikan, judi sabung ayam.

"Lho, Di---Diran?" Ibunya cepat-cepat mengusap pipinya yang basah dengan punggung tangan. "Eh, Ibuk nggak dengar suara sepedamu tadi," lanjutnya pelan kemudian menyusut hidungnya yang basah dengan ujung lengan dasternya.

"Ibuk nangis?" tanya Diran tegas. Ia memang masih di tahun pertama SMP, tapi perlakuan ayahnya yang kekanakan dan brengsek memaksanya untuk menjadi kuat agar menjadi pelindung bagi ibunya. Hal itu seolah merubahnya secara alamiah. "Apa Bapak minta uang lagi buat sabung ayam?"

"Iya, ta—tapi nggak banyak, kok." Jawaban ibunya membuat Diran makin ragu untuk percaya. Tanpa permisi ia memegang pergelangan tangan ibunya dan langsung denyut tarikan halus yang di dadanya ketika ia melihat kilasan adegan di kepalanya.

Ia bisa melihat bagaimana ayahnya mengiba menyesali kekalahannya lalu meminta uang pada ibunya agar bisa mendapatkan uang mereka kembali. Sudah belasan kali pria itu menangisi kekalahan dan belasan kali pula ibunya tidak berdaya menghadapi air mata buaya suaminya. Dalam kejadian yang diterawangnya, sang ayah memaksa ibunya untuk mencarikan uang tabungan Diran. Dengan polosnya pula, Ibu bersedia mencarikannya di kamar Diran. Pada akhirnya, mereka menemukan celengan berbentuk ayam itu dan menyisakan rasa kecewa dan amarah pada Diran.

Ibu menyentak tangan Diran yang memegang pergelangan tangannya. "Sudah Ibuk bilang berapa kali?! Jangan pakai kemampuanmu itu. Nggak semua orang suka diintip. Apa kamu paham?" semburnya kesal.

Diran menatap sedih dengan sudut-sudut mulut menurun. "Kok, Ibuk kasihkan celenganku ke Bapak?!" bentak Diran tak percaya. "Padahal uangnya mau aku belikan PS!"

"Iya, Ibuk tahu, Dir, tapi---"

"Aku belain nggak beli jajan di sekolah lho, Buk! Uangnya bentar lagi bisa aku belikan PS!" potong Diran dengan teriakan marah. Ia benar-benar tidak percaya kedua orang tuanya sanggup merampas miliknya yang berharga.

"Ibuk cuma pinjam tabunganmu sebentar, Dir! Masalahnya surat rumah ini terlanjur dijadikan jaminan. Ibuk sudah nggak punya uang lagi buat nebus surat itu di Kang Ratno. Kita sudah nggak punya apa-apa buat nebus. Nanti kalo bapakmu menang, dia bisa nebus rumah ini sekalian bisa belikan kamu PS yang terbaru, ya."

"Kapan Bapak menang, hah? Menangnya kapan?!"

"Ya nanti, nanti pasti menang. Bapakmu sudah janji sama Ibuk," jawab Ibunya dengan senyum ragu dan linangan air mata. "Dia pasti menang, lagian bapakmu abis beli ayam jago yang lebih muda."

Diran hanya membisu dengan tubuh gemetar menahan air mata. Ia selalu merasa ibunya adalah satu-satunya orang yang ada di pihaknya, saling menguatkan di saat sang ayah menimpakan penderitaan pada mereka. Namun, hari ini ia begitu membenci ibunya karena kenyataan orang yang paling disayang dan dipercaya pun sanggup berkhianat.

"Nanti Ibuk kembalikan uangmu! Kamu nggak usah marah-marah gitu! Toh, uang tabunganmu itu juga asalnya dari hasil sabung ayam ayahmu, kan?!"

Diran berbalik masuk ke kamarnya yang sudah acak-acakan tanpa memedulikan omelan protes ibunya. Kepercayaannya pada sang ibu yang selama ini ia anggap paling kuat terhempas begitu saja.

Sore itu Diran mengurung di dalam kamarnya. Ia bisa mendengar ayahnya pulang dan suara lirih ibunya yang bernada resah. Ia sudah menduga ayahnya tidak membawa uang sama sekali. Sama seperti hari-hari yang telah terlewat, ayahnya hanya membawa kekalahan.

Suara ketukan di pintu dan panggilan suara bass milik ayahnya tidak membuat Diran semangat untuk membukakan pintu. Ia hanya diam dan melanjutkan tidurnya.

"Ran ..., ini Bapak. Maaf ya, tadi Bapak pinjam uang simpananmu tanpa ijin dulu. Tadi soalnya butuh cepat," ucap ayahnya dari balik pintu. "Eh, tapi tadi Bapak sempat belikan kamu PS. Cuma ..., ya itu masih diservis soalnya sempat jatoh di jalan ...."

Diran menatap pintu dengan raut dingin. Ia bahkan bisa membayangkan ekspresi ayahnya saat ini yang jauh dari kata menyesal. Ayahnya hanya sedang sibuk membujuknya untuk lebih tenang dengan kata-kata manis. "Nggak percaya! Bapak cuma pintar omong, cuma janji-janji terus!"

Sejak hari itu, semua berubah makin suram. Kondisi rumah makin melompong. Ibunya tidak lagi banyak menangis, mungkin karena sumber air matanya telah kering dan menyisakan wajah pucat dan mata cekung dan hitam. Hutang mereka makin menumpuk, anak buah Kang Ratno pun gencar meneror mereka.

Di suatu pagi, Diran bangun kesiangan karena Ibu tidak membangunkannya seperti biasa. Suasana rumah senyap, bahkan tirai dan jendela ruang tamu belum dibuka. Tidak terhidu aroma teh melati dan asap penggorengan seperti biasanya. Diran mengira ibunya pergi ke pasar dan lupa waktu. Namun, ternyata anggapannya salah. Ia menemukan sang Ibu sudah tidak bernyawa, menggantungkan lehernya dengan tali jemuran di salah satu kayu rangka atap dapur.

Yang terjadi berikutnya seolah berjalan cepat dan buram dalam memori Diran. Kehebohan tetangga, ayah Diran yang tidak kunjung pulang. Ia nyaris tidak dapat mengingat rentetan kejadian setelahnya dengan jelas. Yang Diran ingat hanya dorongan tanpa alasan untuk memegang tangan sang ibu untuk terakhir kalinya, melihat rekaman akhir yang tersimpan sebelum meninggal.

Diran sudah mendapatkan jawabannya. PS yang dijanjikan memang tidak pernah terbeli, tapi rasa bersalah dan ketidakberdayaan ibunya membuat Diran menyesali kemampuannya. Ia mulai berandai seandainya ia bisa melihat kejadian yang akan datang, mungkin saat ini ibunya masih hidup, mungkin ayahnya tidak akan terjebak perjudian milik Kang Ratno dan hidupnya tidak sesuram ini.

Suara ketukan pintu yang berulang-ulang menyeret Diran keluar dari alam mimpi. Ia mengerjap beberapa saat untuk mengusir pandangannya yang masih buram sembari berpikir pukul berapa saat ini.

"Pak Diran!" Suara Wira yang dikeras-keraskan membuat Diran segera bangkit dari sofa dengan menggeram protes. Jika ia tidak segera membukakan pintu, suara Wira pasti akan menarik perhatian para tetangga. "Pak?!"

"Iyaaa ...," sahutnya setengah menggerutu ketika kunci pintunya sempat macet. Akhirnya ia pun berhasil membuka pintu dan berhadapan dengan Wira yang sedang membawa gelas karton berisi kopi panas. Namun, yang membuat fokus Diran teralihkan adalah beberapa ibu-ibu muda komplek yang tengah antri membeli sayur, menatapnya dengan senyum kekaguman.

"Ehem ...! Pagi-pagi sarapan roti sobek enak kayaknya, ya," celetuk Bu Rete dengan senyum tertahan.

"Selamat pagi Mas Diran!" sapa beberapa dari mereka, sementara yang lain menatapnya dari atas ke bawah dengan tatapan yang membuat Diran jengah. Ia baru sadar ternyata ia belum memakai kaos. Alhasil Diran segera menghilang kembali ke dalam rumah dan menyambar kaos hitam yang teronggok di sandaran sofa.

Wira melangkah masuk dengan senyum menyeringai, tampak menertawakan tingkah konyol atasannya. "Penggemarnya banyak ya, Pak. Nggak heran kerasan ngontrak di sini. Kopi, Pak." Wira meletakkan segelas kopi hitam yang masih mengepul.

Diran akan menggapai gelas itu dan menyadari hampir seluruh badannya pegal-pegal. "Suwun," balasnya lirih. Ia memang sangat membutuhkan kopi yang banyak selama tiga hari ini. Tekanan media massa dari kasus gantung diri masal itu mulai membuatnya stress hingga sering memimpikan kejadian traumatisnya.

Diran melirik jam di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Sejak kunjungan TKP tiga hari yang lalu, ia dan Wira balik ke kantor dan mulai menyusun rencana penyelidikan. Hingga saat ini ia belum menceritakan pada Wira hal-hal apa saja yang dilihatnya saat penglihatan mata ketiganya mendadak bangkit. Rasanya belum waktunya untuk diceritakan, ia hanya harus mencari sesuatu yang bisa mendukung apa yang dilihatnya pada memori Gugun sebelum kematiannya. Terutama tentang apa yang membuat mereka terdorong untuk bunuh diri masal.

"Terus gimana sama hasil autopsi? Apa sudah ada hasil?"

"Kata mereka, secara fisik memang semua cirinya menunjukkan bahwa itu murni bunuh diri. Bukan karena dipaksa oleh unsur luar. Mulai dari kuku dan bibir yang membiru, adanya Tardieu Spot, bola mata menonjol---"

"Ya, ya, ya, aku sudah paham," potong Diran sambil mengambil gelas kopinya. "Gimana sama jasad anaknya? Aku minta mereka untuk memeriksa sisa urin ato mungkin sampel darah tentang adanya kandungan obat tertentu."

"Dari sampel darah Tedjo, katanya memang ada kandungan obat penenang," terang Wira dengan setengah menggumam.

Diran diam tidak menanggapi. Ia sudah menduga dari sebelumnya. Jadi ia hanya menyesap kopinya, menikmati aroma kopi dari Wira dan menatap dinding rumah kontrakannya dengan tatapan jauh. Suasana menjadi hening sementara terdengar sayup obrolan ringan para ibu-ibu muda yang masih nyaman mengitari penjual sayur.

"Oh ya, aku sempat tanya sama anak yang nemuin korban-korban itu. Siapa ya, namanya?" Alis Wira bertaut mencoba berpikir keras untuk mengingat nama sang saksi.

"Wawan."

"Nah, iya. Si Wawan ini ternyata kenal sama salah satu korban. Anaknya Gugun. Mereka teman satu SD dulu, kadang juga masih nongkrong bareng." Wira mengambil tempat di sofa yang terletak di sudut ruangan sambil mel "Dari cerita Wawan, hal yang aneh menurut aku adalah mereka ini ternyata keluarga yang berada. Gugun dan istrinya ini orang kaya."

"Usahanya apa?"

"Belum tahu, aku butuh waktu untuk selidiki lagi."

"Biasanya faktor-faktor yang membuat orang bunuh diri adalah karena uang dan asmara. Coba cari tahu lebih rinci tentang apa usaha Gugun."

Kali ini ganti Wira yang tidak menjawab. Pemuda itu hanya menatapnya dengan sorot skeptis.

"Kenapa ngeliatin aku terus?" Diran balas menatapnya penuh tantangan.

"Kenapa aku ngerasa kamu lagi berusaha bikin aku sibuk?" tanyanya dengan nada menuduh.

Diran mengangkat sepasang alis tegas itu tinggi-tinggi, "Memang itu tugasmu, kan, Wir?"

Wira mendengkus kesal, "Iya, emang. Tapi aku jadi curiga sama kamu, Dir. Kayaknya ada sesuatu yang kamu sembunyiin. Iya, kan?"


Makasih.

bintik-bintik perdarahan akibat pelebaran kapiler darah setempat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top