3. Jesslyn
Aksaya Patra, sebuah organisasi resmi yang berdiri di bawah naungan Badan Intelijen Negara, merupakan lembaga terselubung yang keberadaannya berada di tingkat kerahasiaan tertinggi di Nusantara. Dibentuk sejak tahun 2006 berdasarkan lontar kuno yang ditemukan oleh seorang arkeolog, organisasi ini bertugas untuk menangani kasus-kasus kriminal yang menyangkut fenomena paranormal.
Jesslyn sudah tiga tahun bergabung dalan organisasi ini, direkrut secara mendadak setelah sebelumnya dia bekerja sebagai karyawan hotel di Surabaya. Jess masih ingat saat tamu hotelnya, yang tak lain adalah atasannya langsung saat ini, menawari pekerjaan dengan gaji fantastis sebagai pegawai negeri. Tentu Jess curiga. Namun, kecurigaan itu tidak berlangsung lama karena pria itu tahu persis tentang kemampuan yang disembunyikan Jess selama ini. Jess adalah seorang indigo. Bukan sekadar bisa melihat makhluk tak kasat mata, tetapi dia juga bisa mengusir bahkan memusnahkan mereka dengan bakatnya tersebut. Maka di sinilah dia sekarang, bekerja tanpa jam yang tetap karena sebagian besar waktunya dihabiskan di lokasi kasus seantero nusantara.
"Selamat malam, Pak. Izin mengantarkan Jesslyn Luan yang baru datang," kata Saka sambil mengetuk pintu kayu besar berukirkan badak bercula satu. Sehabis dari lobby, dia dan Jess langsung naik lift ke lantai dua belas, tempat kantor Eksekutif Cabang Barat berada. Papan nama bertuliskan Ganda Jatmika tersemat mewah di atas pintu.
"Masuk." Suara berat menjawab ketukan tersebut. Sama membuka pintu. Sebuah ruangan luas yang didesain minimalis dengan satu meja kerja di ujung dan set sofa hitam di tengah menyambut mereka.
Seorang pria berkemeja abu-abu -seragam karyawan Aksaya Patra- berdiri menatap ke luar kisi-kisi batu yang menjadi dinding ruangan tersebut. Pria itu lantas menoleh saat Saka dan Jess datang. Bahkan setelah lama tidak bertemu, Jess bisa melihat kalau pria itu tidak banyak berubah. Tubuhnya masih tegap, dengan tatapan tajam dan ekspresi tegas. Dia kelihatannya berusia seperti awal tiga puluhan, meski Jess tidak benar-benar tahu usia atasannya itu. Orang-orang yang bekerja di sana cenderung tampak lebih muda dari umur aslinya.
"Selamat malam, Pak Ganda. Lama nggak ketemu. Bapak sehat?" sapa Jess dengan santai.
Raut ketegangan Ganda melunak. Pria itu pun tersenyum tipis. "Selamat datang, Jess. Gimana perjalananmu?" balasnya sembari berjalan duduk di sofa tengah ruangan.
Jess mengikuti sang atasan lalu ikut duduk di sofa juga. Sementara itu, Saka yang sudah menunaikan tugasnya hendak pamit undur diri.
"Saka, panggil Langit buat siapin berkas kasus yang baru kemarin. Habis ini dia perlu ketemu Jess," perintah Ganda sebelum Saka pergi.
"Baik, Pak," jawab Saka patuh.
Jess memutar matanya, menyadari kalau pekerjaan ini memang tidak ada habisnya. Dari ekor mata gadis itu, dia bisa melihat Saka menahan tawa, seolah sedang mengejek kesibukan rekannya yang bertubi-tubi.
"Kerjaan baru lagi, Pak? Saya baru sampai, loh, ini. Belum bikin laporan lagi," gadis itu akhirnya memprotes setelah Saka hilang dari pandangan.
"Maaf karena kamu jadi harus kerja ekstra. Untuk laporan kasus terakhir di Pontianak, kamu kan udah kirim secara berkala. Itu si Langit udah susun kok dari sejak kamu belum sampai. Jadi nggak usah kamu bikin lagi. Nanti biar dia langsung minta approval ke kami dulu sebelum diserahin ke saya," kata Ganda tanpa beban.
"Bukan itu masalahnya, Pak. Aduh ...," keluh Jess makin gemas.
Ganda tersenyum. "Saya tahu kamu pasti capek banget. Ini kasus baru masuk beberapa hari yang lalu. Dab kamu tahu sendiri, kita kekurangan orang, terutama di Divisimu, Pembasmi. Saya sengaja langsung panggil kamu malam ini soalnya kalau bisa, besok pagi kamu langsung berangkat lagi ke lokasi." Meski nada bicaranya lembut dan mempersuasi, tetapi kalimat Ganda berisi perintah yang Jess tahu tidak bisa dibantah. Dia sudab mengenal pria ini cukup baik, dan memang begitulah sifat sang atasan.
Gadis itu lantas menghela napas. "Se-urgent apa, Pak kondisinya? Kenapa sampai buru-buru begini?" tanyanya mengalah.
"Sudah ada lima kematian beruntun dalan rentang waktu yang singkat. Semuanya gantung diri di lokasi yang sama. Polisi setempat udah nanganin sesuai prosedur dan nggak ada tanda-tanda pembunuhan atau penganiayaan. Ada gosip beredar kalau ini ada kaitannya sama urband legend, pulung gantung," jelas Ganda tenang. "Langit bakal jelasin detailnya nanti," imbuh pria itu kemudian.
"Itu aja?" desak Jess yakin kalau masalahnya pasti lebih genting dari yang sudah dijelaskan barusan.
Akhirnya ganda menarik napas berat. Dia pun merebahkan punggungnya ke sandaran sofa, sambil menatap ke arah lain. Ekspresi tegasnya berubah lelah, seolah habis memikirkan persoalan yang rumit.
"Ada kemungkinan kasus ini punya keterkaitan sama iblis itu. Kita belum bisa pastikan, tapi dari gejalanya, mirip sama kejadian kematian masal di Dompu awal tahun kemarin. Waktu itu kita gagal nangkep ekornya, makanya sekarang mungkin kita bisa nelusur jejak makhluk itu," ujar Ganda tampak serius.
Jess terdiam sejenak. Dia tahu persis siapa yang dimaksud oleh Ganda. Iblis itu, Sumbogo. Sosok astral yang sangat kuat, yang merupakan satu-satunya alasan organisasi mereka terbentuk. Tujuan utama Aksaya Patra adalah menangkap iblis Sumbogo. Sepak terjangnya telah memangsa ribuan nyawa manusia tak bersalah, demi membentuk kerajaan iblis yang menguasai nusantara. Masa depan yang kelam bisa menyelimuti seantero wilayah jika Sumbogo dibiarkan begitu saja.
"Misi terakhir di Kalimantan kemarin juga kabarnya ada sangkut pautnya sama Sumbogo. Tapi sesuai laporan saya, itu rupanya cuma perang suku karena perebutan tanah adat." Jess sedikit sanksi.
"Kita cuma bisa tahu kalau udah diselidiki, Jess. Nggak ada cara lain. Dan dari semua agen yang ada, kamu yang paling aku percaya. Waktu kita sempit. Korban terus berjatuhan. Kita juga nggak bisa sembarangan ngabaiin petunjuk sekecil apa pun tentang Sumbogo," bujuk Ganda. "Jangan khawatir soal bonus. Ada insentif tambahan buat kasus kali ini. Dan bonusmu buat misi sebelumnya juga udah kuproses sejak kamu belum sampai tadi. Harusnya sekarang udah masuk," tambah pria itu kemudian.
Jess mendengkus. Atasannya itu pada akhirnya selalu tahu kelemahannya. Gaji dan bonus yang menjanjikan memang bisa membuat Jess bersemangat menjalankan misi. Bahkan kalau dia harus pergi ke kutub utara sekarang juga.
"Siap laksanakan, Pak Bos!" jawab Jess kini terlihat lebih cerah.
"Langit nanti yang urus keperluanmu sebelum berangkat. Juga berkas-berkas kasus termasuk brief lokasi misinya. Habis ini kamu bisa langsung temui dia."
Jess beranjak dari tempat duduknya. "Nantilah saya temuin dia. Sekarang saya izin istirahat dulu di mess, Pak. Capek kena angin laut."
Ganda turut mendengkus. "Ya sudah. Sana ke mess dulu. Si Langit juga udah siapin kunci kamarnya. Selamat istirahat."
***
Esok paginya, Jess dibangunkan oleh suara ketukan kamar tidur messnya yang beraroma cendana. Markas pusat memang punya fasilitas lengkap, termasuk mess karyawan yang ada di lantai delapan. Tempat tinggal karyawan (manusia) itu dibuat seperti apartemen studio seluas dua puluh meter persegi. Meski tidak ditinggali secara permanen, tetapi semua anggota Divisi Pembasmi memiliki satu kamar khusus yang disiapkan untuk mereka jika sedang kembali ke kantor pusat tersebut. Tak terkecuali Jess, yang juga punya ruangan pribadinya sendiri di salah satu sudut mess.
"Baru berapa jam aku tidur," gumam Jess yang kini sudah bersiap di depan meja riasnya. Langit, asisten dari Divisi Intelijen dan Informasi, mendampingi sambil memegang i-pad hitam metalik.
"Mbak Jess, tiket pesawat dan keretanya udah saya kirim ke email, ya. Terus alamatnya juga sudah saya WA." Pria muda itu sibuk berceloteh di samping Jess.
"Oke, oke, Langit. Makasih, ya," jawab Jess setengah mengantuk.
"Dengan senang hati, Mbak." Langit auto tersenyum karir.
"Coba jelasin sekali lagi yang semalam itu, Langit. Saya agak nggak fokus kemarin," pinta Jess sebelum.dia pergi lagi meninggalkan kamarnya yang nyaman dan menggoda.
"Oke, Mbak. Jadi lokasinya ada di Dusun Rengi, Jawa Timur. Akses ke sana dari stasiun nanti Mbak Jess dijemput sama utusan agen kita yang udah stand by. Penanggung jawab kasus di sana AKP Satrio. Kemarin saya juga sudah kirim surat tugas Mbak Jess ke beliau. Jadi sesuai prosedur, Mbak nanti bisa ikut kawal investigasinya bareng kepolisian setempat.
"Garis besar kasusnya dimulai dari sejak satu bulan yang lalu, tanggal 2 Juni, satu mayat warga pria bernama Suprapto, usia 32 tahun, ditemukan tewas tergantung di hutan belakang desa. Belum selesai penyelidikan, tujuh hari kemudian, mayat baru atas nama Narti Utami, 29 tahun, ditemukan lagi di lokasi yamg sama, dalam kondisi serupa.
"Terakhir, lagi-lagi tujuh hari kemudian, juga ada mayat gantung diri di lokasi sama. Tapi kali ini tiga orang sekaligus: Gugun, 41 tahun, Endah, 30 tahun, dan Tejo, 16 tahun. Mereka satu keluarga dan semuanya gantung diri bersama. Seluruh mayat ditemukan tanpa tanda-tanda penyiksaan atau pun bunuh diri," terang Langit panjamg lebar.
Jess tampak berpikir. Setelah mendengar runtutan ceritanya, gadis itu langsung kehilangan rasa kantuknya.
"Oke. Jadi setiap tujuh hari sekali ada yang gantung diri di desa itu? Kata Pak Bos ada kaitannya sama urband legend," tanggap gadis itu.
Langit mengangguk. Kini Jess sudah selesai berdandan dan berkemas. Mereka pun melanjutkan diskusi sambil berjalan keluar kamar, menyusuri lorong mess yang sepi dan remang-remang. Aroma kesturi kini mewarnai udara. Asap dupa samar-samar meliuk di kanan kiri lorong.
"Ada namanya pulung gantung, Mbak. Jadi katanya itu kayak semacam tulah atau santet yang dikirim ke target yang dipilih, terus rumah manapun yang kejatuhan pulung itu bakal ada yang mati gantung diri. Wujudnya kayak bola api warna merah. Nah, orang sana emang udah lama percaya sama mitos itu. Tapi kejadiannya nggak pernah seajeg ini. Kali ini bener-bener seminggu sekali ada korban," kata Langit.
Jess memejet tombol lift menuju ke lobi. "Apa ada dugaan siapa yang kirim santet? Ada info dukun yang tinggal di desa itu?" tanyanya lebih lanjut.
Langit menggeleng. "Sejauh ini belum ada informasi tentang itu, Mbak. Warga desa di sana nggak ada yang profesinya dukun. Tapi karena dusun mereka sangat tertutup dan ada di tengah hutan, agak susah mastiin info validnya."
Pintu lift berdenting. Mereka berdua sudah sampai di lobi. Meja resepsionis kini diisi oleh seorang karyawan wanita yang jelas adalah manusia, bukan makhluk gaib seperti saat malam. Seorang bell boy berjaga di dekat pintu keluar, dengan ramah menyapa Jess dan Langit.
Sebelum melangkah keluar, Jess berbalik ke arah juniornya yang sedari tadi mengikuti. "Oke tolong seluruh fail kasusnya kirim ke email sya, ya. Saya baca sisanya di perjalanan," ucap gadis itu.
"Oke, siap, Mbak. Hati-hati di jalan dan selamat bertugas," kata Langit melepas kepergian Jess.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top