1. Diran


"Kejadian lagi."

Diran sontak berhenti mengetik ketika Bripda Raka datang dengan wajah serius. "Apanya yang kejadian lagi? Istrimu hamil lagi?"

Raka terkekeh, "Itu masih mending, Pak. Tapi ini tentang Pulung Gantung lagi di Rengi. Barusan ada laporan tiga orang gantung diri di dusun itu."

Diran mematung untuk sesaat dan tanpa sadar mengeluarkan umpatan lirih. Ia sangat membenci kasus gantung diri, dan kelihatannya kasus di Dusun Rengi akan menguji ketahanan mentalnya. Entah ada angin apa, tiba-tiba saja dusun terpencil itu membuat banyak kasus gantung diri hanya dalam satu bulan setengah. Hal itu mulai mengusik ketenangannya.

Selama dua tahun ia menjadi penyidik di Polres Karanglor, tidak ada kasus yang menguji mentalnya seperti ini. Dua kali peristiwa gantung diri di Rengi kapan lalu masih ia simpulkan sebagai gangguan depresi dari para penduduknya yang kebanyakan berada di bawah garis kemiskinan. Namun sepertinya, ia tidak bisa mengambil hipotesis yang sama untuk kali ini.

"Kenapa, Dir? Mulai kelimpungan, ya?" bisik Raka dengan nada mengejek.

Diran membalasnya dengan tatapan tajam. Junior sekaligus sahabatnya ini memang terbiasa menanggalkan formalitasnya ketika hanya ada mereka berdua di ruang kerja. Begitu juga dengan perilakunya yang lancang.

"Selamat, Pak Diran! Pak Satrio langsung memberi perintah pada kita untuk segera ke TKP." Raka mengambil jaket bomber cokelat yang tergantung di sudut ruang dan melemparkannya pada Diran.

"Ya jelas kita yang bakal ke sana, mau siapa lagi? Kota ini nggak punya banyak penyidik karena angka kriminalitasnya nggak setinggi kota lain."

Raka tersenyum lebar sembari berjalan keluar ruangan menuju parkiran mobil. "Akhirnya, Iptu Diran Argani yang cerdas dan bernalar tajam akan dibuat pusing oleh kasus ini," lanjutnya dengan nada puas.

"Jangan berkhayal yang enggak-enggak, Ka."

"Memangnya kamu tahu apa fantasiku?" Raka berbalik padanya sembari tersenyum mengejek.

Diran menatap datar sembari membuka pintu kaca dan merasakan angin sore yang hangat menerpa sisi wajahnya. "Cukup tahu kalo kamu ingin jadi penggantiku."

Laki-laki bertubuh kecil itu tergelak sembari berjalan melewatinya seolah Diran adalah penjaga pintu. "Memangnya aku salah? Dari tampang oke, cerdas, baik hati dan tidak sombong, seenggaknya kamu mau tukar kerjaan sama aku, kek."

Diran tersenyum lebar. "Coba aja kalo bisa." Periode saling ejek di antara mereka akhirnya terhenti ketika memasuki area parkiran. "Kita pake mobil yang mana?"

Raka memencet kunci alarm yang dibawanya dan salah satu mobil dinas yang berjajar berbunyi nyaring. "Firasatku kita bakal butuh waktu berbulan-bulan untuk pecahin kasusnya." Ia menghentikan kalimatnya ketika mereka berdua masuk ke dalam mobil dinas menuju ke TKP. Setelah mobil itu keluar dari gerbang Polres Karanglor, Raka melanjutkan celotehannya, "Ada apa sama orang-orang di Rengi? Dua orang gantung diri selang seminggu di lokasi yang sama mungkin bisa dikatakan kebetulan."

"Tapi emang perilaku bunuh diri bisa memicu orang lain yang sedang putus asa untuk melakukan aksi yang serupa," sahut Diran. Ia membiarkan Raka menjabarkan asumsinya agar bisa melihat hal-hal janggal pada kasus di Rengi sebulan ini yang mungkin terlewat olehnya.

"Setuju," gumam Raka. "Tapi kali ini satu keluarga bunuh diri bersama dan di lokasi yang sama dengan kasus sebelumnya. Gila! Aku berani bertaruh besok kantor kita bakal diserbu wartawan."

Diran mengusap-usap keningnya sembari memikirkan berbagai teori kemungkinan. "Bisa jadi ini pola pembunuhan berantai. Mati dengan cara yang sama, selisih waktu yang hampir sama dan lokasi yang sama."

"Aku tahu. Tapi dari dua korban kapan lalu nggak ada jejak perlawanan atau bekas pembunuhan. Seolah memang dilakukan tanpa paksaan. Apa mungkin ada unsur pemakaian psikotropika? Mungkin ganja, sabu, kokain, kek."

"Bisa jadi. Aku sendiri juga nggak yakin. Masalahnya, keluarga korban nggak bersedia memberi ijin untuk melakukan otopsi."

Setelah terjadi keheningan sesaat akhirnya Raka kembali bersuara. "Dir ..., kira-kira apa nggak ini saatnya kamu pakai kemampuanmu yang itu?" tanyanya pelan.

"Nggak," jawab Diran singkat dan cepat.

"Kenapa?"

"Masih nanya?" Diran balik bertanya dengan tatapan penuh ancaman.

"Oh, enggak, Pak." jawab Raka cepat dengan senyum rikuh. "Lupain aja. Oke?"

Dua puluh menit kemudian mereka sudah sampai di TKP, yaitu sebuah bukit kecil yang ditanami hasil-hasil kebun seperti pepaya, singkong, dan kacang tanah. Kebun singkong kecil di pinggir hutan itu kini ramai bak pasar dadakan. Banyak warga bergerombol menonton. Tua muda, laki perempuan semuanya tumpah ruah mengelilingi pembatas polisi yang di pasang melingkar. Langit malam bahkan tidak sanggup mengalahkan beberapa lampu LED besar yang dipasang secara sukarela oleh warga.

"Wah, wah, padahal kapan lalu nggak seramai ini." Raka agak kesulitan memarkirkan mobil kalau saja tidak ada petugas polisi yang membantu menyingkirkan penonton malam itu.

Diran diam tak menanggapi. Pikirannya mulai berkecamuk kacau. Begitu mobil terparkir, dengan sigap ia memasang sarung tangan latex hitam dan segera menuju tempat kejadian kejadian perkara.

Beberapa orang petugas mengangguk hormat, yang lainnya sibuk memberi jalan pada mereka. Kemudian datanglah pria bertubuh tambun menyambut mereka dengan menghormat singkat. Rupanya dialah petugas polisi pertama yang datang ke lokasi.

"Apa korbannya sudah berhasil diturunkan?" tanya Diran padanya.

"Sudah, Pak. Sebentar lagi mobil jenazah akan datang dan akan dibawa ke bagian forensik."

"Mana saksi matanya?" tanya Diran setelah mendekati pohon tua yang sudah menjadi saksi bisu selama sebulan ini.

"Ada di sana, Pak. Namanya Wawan, dia nemuin korban-korban yang gantung diri sore ini waktu sedang mencari kambingnya."

Diran memutari pohon sambil mengarahkan senternya ke atas, mencari petunjuk apapun yang bisa menjawab semua peristiwa ini. "Gimana menurutmu, Ka?"

Raka tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia menanyakan dahan mana yang dipakai untuk gantung diri pada petugas disampingnya. "Posisi matinya terlalu tinggi untuk bisa langsung disadari saksi mata. Kecuali dia mendongak lebih dulu. Menurutmu apa anak itu punya andil dalam kejadian ini?"

"Dia bilang, baru tahu ada tiga orang gantung diri di atas sana waktu dia melihat ke atas karena ada kotoran burung jatuh di kepalanya," sahut petugas itu.

"Ayo, kita lihat dulu jenazahnya." Diran melangkah menuju tiga kantong kuning yang diletakkan berjajar di tanah. "Pak, bisa jelasin identitas korban-korban ini?" lanjutnya pada petugas pertama tadi yang tengah membuka kantong jenazah satu persatu.

"Kata para penduduk mereka adalah satu keluarga. Ayah, ibu dan satu orang anak. Gugun, Endah, dan Tejo, anaknya."

Diran berjongkok di samping mayat dalam kantong kuning itu. Disibaknya kantong kuning itu lebih lebar. Jasad yang diyakini sebagai Gugun itu ia perkirakan sebagai orang yang terakhir kali melakukan aksi bunuh diri. Di bagian selangkangan celananya tampak basah.

"Pasti air kotoran burung yang dikira Wawan tadi adalah air seni yang keluar dari jasad Gugun," gumam Diran.

Raut keraguan terbersit di wajah si petugas tambun. "Tapi posisinya sudah mati, Pak. Gimana bisa?"

"Biasa terjadi pada kejadian korban yang gantung diri. Dan untuk korban yang ini, meninggalnya mungkin hanya selang beberapa menit waktu Wawan melihat korban," terang Diran.

"Lihat ini!" Raka menunjuk pada garis pada leher korban yang lain. Jasad Tejo. "Sama dengan korban seminggu yang lalu, seolah sama sekali tidak ada perlawanan. Sepertinya si anak diberi obat penenang dulu, lalu mereka memanjat ke atas pohon ..."

Mendadak suara Raka terdengar makin jauh dan digantikan bisikan-bisikan samar dari jasad Gugun. Detak jantung Diran mulai berdebar cepat tanpa bisa dicegah. Batinnya mengatakan hal yang paling dihindarinya akan sedang menghampirinya sedangkan otaknya mulai berteriak-teriak menolak bisikan yang makin riuh itu.

Mata mayat Gugun mendadak terbuka, gelap dan kosong menghisap kesadaran Diran sebelum ia sempat mundur menjauh. Jari pucat dengan kuku-kukunya yang hitam kebiruan mencengkeram kuat leher Diran, memaksanya untuk mendekat.

Seulas senyum tipis tersungging di bibirnya yang menghitam lalu makhluk itu berbisik, "Tatap aku, kau akan tahu bagaimana cara menuju alam yang indah."

Sontak Diran bisa melihat seorang wanita berjalan di depannya. Ia bisa merasakan mereka sedang menuju pohon tua itu. Saat itu juga Diran mengenali wanita di depannya adalah Endah, istri Gugun yang sedang mengenakan gaun pendek berwarna gading. Ia tampak membawa tali tampar plastik di pundaknya.

Diran melihat sendirinya sedang berada dalam sudut pandang Gugun. Jelas terlihat baju yang sedang ia pakai sama dengan yang dipakai jasad Gugun ditambah dengan wajah Tejo yang tampak tertidur di pundaknya.

"Nggak berat, Pak?" tanya Endah dengan raut lelah dan senyum bangga.

"Rapopo, kok. Yang penting abis ini kita semua bisa kumpul, adem ayem saklawase."

Jawaban Gugun yang bernada yakin dan tenang membuat Diran terhenyak. Bahkan ketika ia melihat sendiri Gugun naik ke atas pohon dan menarik Tejo dengan tali tampar tadi. Pria ini melakukan eksekusi pada anaknya sendiri dengan begitu saja. Tanpa penyesalan. Lebih tepatnya tanpa emosi berlebihan.

Ia bisa melihat Endah mengatupkan kedua tangannya di dada, terpesona pada kepala Tejo yang sudah tergantung di atasnya. Diran tak mampu berkata. Ia hanya bisa membiarkan dirinya hanyut dalam penglihatan penuh kengerian itu. Seulas senyum kebahagiaan aneh terhias di wajah Endah, tepat sebelum wanita itu terjun. Selang sedetik kemudian ia pun melihat tubuhnya meluncur ke bawah dan merasakan bagaimana sentakan tali tampar di lehernya meremukkan tulang kerongkongannya.

"Ran?!" Suara Raka mencabut kesadarannya kembali pada realitas. "Pak Diran?! Bapak baik-baik aja?"

Diran menunduk dengan napas memburu dan berusaha mengendalikan tangannya yang gemetar. Dalam kepanikan akibat disorientasi dan ketakutan, ia berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.

"Enggak mungkin. Sial!" desisnya sebal. Seharusnya ia tidak bisa melakukan penerawangan terkutuk ini, tidak di saat ia sudah melindungi indera perabanya dengan sarung tangan latex.


Nggak apa

Hidup tenang selamanya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top