3. Timpang
Buat yang baru baca, cerita ini sudah ada buku cetak dan e book nya ya. Kalian bisa beli di shoope dan tokopedia LovRinz Store. E book juga masih tersedia di playstore.
Terima kasih sudah mampir. Selamat membaca dan semoga suka.
Empat tahun kemudian
"Tahun ini kalian mudik?" tanya Ibu di seberang telepon.
Tenggorokan Kencana tercekat. Sudah lima kali lebaran ini ia selalu pulang sendiri bersama kedua anaknya. Sementara Pramudya sama sekali tak pernah pulang bersamanya. Sudah empat tahun berlalu Kencana menjalani pernikahan poligaminya bersama Pramudya secara timpang.
"Piye, Nduk?"
"Eh, nggih, Bu nanti Kencana tanya Mas Pram dulu." Kencana menjawab pertanyaan ibunya gugup.
"Ken, bondho kuwi iso digoleki, tapi wektu ora iso bali," wejang Ibu.
Mata Kencana meremang. Selama ini dirinya beralasan bahwa Pramudya tidak bisa ikut mudik dengannya karena tidak mendapatkan cuti. Lima kali Idul Fitri dan lima kali pula terpaksa berbohong demi menutupi kondisi pernikahannya dengan Pramudya.
"Ken pamit nggih, Bu," ujarnya berpamitan seraya menutup sambungan telepon.
Dihelanya napas panjang. Kedua tangannya ia tangkupkan pada wajah. Rasa bersalahnya semakin besar karena terus menerus membohongi ibunya, menyembunyikan kondisi pernikahan yang sebenarnya. Namun, ia tak punya pilihan lain.
🍀🍀🍀
Kencana mengusap peluh yang membasahi dahinya. Beberapa menu makanan sudah tersaji di meja makan untuk berbuka puasa lengkap dengan es kelapa muda kuah kinca.
"Bunda," seru seorang gadis berusia sepuluh tahun, "masak apa?"
"Masak soto ayam buat kalian, ayam bakar dan gudangan buat Ayah."
"Ayah mau pulang, Bun?" Puspa mengekor adiknya.
Kencana mengangguk sambil tersenyum. Sudah empat tahun berlalu sejak Kencana mengetahui pernikahan siri suaminya. Kondisi memaksa dirinyanya untuk menerima keadaan. Lagipula selama ini mereka memang sudah menjalani pernikahan secara jarak jauh. Tak banyak yang berubah kecuali mengetahui bahwa suaminya sekarang bersama wanita lain di Bandung.
"Kalian ganti baju dulu, tiga puluh menit lagi buka puasa." Kencana melirik jam dinding yang tergantung di dinding ruang makan.
Kedua gadis yang baru saja pulang mengaji di masjid itu segera berlari ke kamar untuk berganti baju. Wajahnya terlihat semringah mendengar kabar ayahnya pulang hari ini. Sudah hampir tiga bulan mereka menahan rindu karena tak pernah bersua ayahnya secara langsung.
Pramudya datang tepat menjelang adzan maghrib berkumandang. Kedua putrinya sudah duduk rapi di meja makan menantikan saatnya berbuka puasa. Keduanya segera menghambur ke pelukan ayahnya begitu mengetahui yang dinanti telah tiba. Melepas rindu yang sekian lama tersimpan.
Kencana mencium tangan suaminya takzim. Dibalas oleh Pramudya dengan mencium kening istrinya mesra. Sebuah ritual penyambutan biasa yang selalu mereka lakukan sejak baru menikah. Tak ada yang berubah sampai sekarang.
"Mau mandi dulu apa nunggu buka aja dulu?" tanya Kencana sambil mengambil tas ransel suaminya.
"Kita buka puasa aja dulu," timpal Pramudya, "lima menit lagi adzan kan?" Pramudya melirik ke arah jam dinding.
Dengan tangkas Kencana menyiapkan piring khusus untuk suaminya dan menyajikan segelas es kelapa muda kinca untuknya. Sementara Pramudya membersihkan dirinya dan ikut bergabung di meja makan. Tak sampai lima menit mereka sudah menikmati hidangan berbuka puasa bersama.
Pramudya mengulum senyum. Ketangkasan Kencana sebagai seorang istri memang tak diragukan lagi. Apalagi soal menyajikan hidangan lezat untuk keluarganya. Suatu hal yang tak pernah ditemuinya ketika bersama Rengganis yang tak suka memasak.
"Enak, Mas?" tanya Kencana lembut.
"As always." Pramudya menjawab sambil menggenggam jemari Kencana.
Kencana tersenyum simpul. Pipinya sedikit merona mendengar jawaban suaminya. Siapa yang menduga jika suaminya sekarang begitu menyukai masakannya. Padahal di awal pernikahan mereka, riak kecil kerap terjadi hanya karena perbedaan seleran makanan. Kencana yang berasal dari Jawa Timur menyukai masakan bercita rasa pedas dan asin, sedangkan Pramudya lebih menyukai masakan yang cenderung manis.
"Gimana puasanya lancar, girls?" tanya Pramudya kepada kedua buah hatinya.
Kedua gadis itu serentak mengangguk penuh semangat.
"Sekar sudah puasa penuh sampai maghrib lho, Yah," lapor Sekar bersemangat.
"Iya sampai maghrib, tapi kalau siang dia masuk kulkas," cibir Puspa.
"Hah? Masuk kulkas, ngapain?" Pramudya terkekeh melihat kelakuan kedua putrinya.
"Kan haus, Ayah," ujar Sekar malu-malu.
Kencana dan Pramudya spontan tergelak mendengar ungkapan lugu putri bungsunya itu. Bahkan setitik air mata Kencana sempat menetes. Sebuah tetesan air mata kebahagiaan.
Saat ini Kencana sedang berusaha mensyukuri sedikit saja kebahagiaan yang didapatkannya. Mengikhlaskan apa yang sedang dihadapinya. Paling tidak Pramudya masih mau pulang dan memberikan perhatian kepada dirinya dan kedua putrinya. Apalagi secara materi Pramudya tak pernah melupakan tanggung jawabnya. Meski hati kecilnya sering menjerit karena merasa kurang diperhatikan oleh suaminya.
"Ayah punya hadiah buat kalian," ucap Pramudya riang.
"Apa?!" Sekar dan Puspa berseru secara bersamaan.
"Harusnya sih ini hadiah lebaran kalau puasa kalian full sebulan penuh," jelas Pramudya, "tetapi kalau lebaran kan Ayah tidak bisa pulang jadi dikasihkan sekarang saja, ya." Pramudya memberikan dua paper bag berwarna biru tua dan merah kepada kedua putrinya.
Kencana sontak terbelalak. Ternyata Pramudya tetap pada keputusannya untuk tidak pulang lagi lebaran setiap tahun. Hati Kencana bagaikan kuncup bunga yang mendadak layu disergap kekecewaan. Kebahagiaannya yang sesaat membuncah, tak sampai hitungan jam sudah kembali tergerus.
"Kita salat dulu, yuk," ajak Kencana dengan suara bergetar tak dapat menutupi kekecewaannya.
Dibereskannya gelas dan piring bekas makan mereka dan membawanya ke dapur. Dadanya kembali sesak. Selama empat tahun ini, Kencana hanya menemukan kekecewaan. Harapan Pramudya bisa meluangkan waktu lebih banyak untuk mereka selalu pupus.
🍀🍀🍀
Kencana mengeluarkan barang Pramudya dari dalam ransel miliknya. Hanya beberapa pakaian dan barang pribadi miliknya. Ia meletakkan barang-barang tersebut di laci-laci penyimpanan supaya Pramudya mudah mencarinya nanti.
Sementara Pramudya baru selesai mandi. Tetesan air yang membasahi rambutnya menambah kesan gagah dan menguatkan pesona lelaki empat puluh tahun itu di matanya. Dada Kencana berdesir melihat suaminya yang masih segagah dulu ketika mereka bertemu. Pramudya memeluk istrinya dari belakang. Aroma musk menguar menggoda indra penciuman Kencana.
"I miss you," bisik Pramudya di telinga istrinya.
Dada Kencana semakin bergetar. Selama ini hatinya memang selalu diliputi kekecewaan pada suaminya. Namun, tubuhnya tak bisa berbohong bahwa ia juga merindukan suaminya saat ini.
Dengan lembut Pramudya membimbing Kencana melepaskan bias kerinduannya yang telah tertahan selama hampir tiga bulan. Lampu kamar yang temaram mengantarkannya melakukan kewajibannya sebagai suami bagi Kencana.
🍀🍀🍀
"Mas, boleh aku meminta sesuatu?" tanya Kencana lirih.
"Hhmm apa, Sayang?" jawab Pramudya lembut.
"Kamu bisa menemaniku dan anak-anak pulang ke rumah Ibu di lebaran tahun ini?" pinta Kencana hati-hati.
Tangan Kencana erat memegang selimut untuk mengusir gugup dan cemas ada penolakan suaminya nanti. Pramudya beringsut dan memandang wajah istrinya.
Pramudya menghela napasnya. Wajahnya berubah serius. Sepertinya lelaki itu sedang merangkai kata yang tepat. Degub jantung Kencana pun berderap semakin kencang.
"Bukankan hal ini sudah kita bicarakan?" Pramudya menjawab lirih tetapi tegas.
Kencana menghela napasnya panjang. Seperti ada batu mengganjal dadanya dan membuatnya sesak. Memang selama ini mereka sepakat bahwa Pramudya akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga barunya termasuk ketika lebaran. Alasannya sebagai bentuk sikap adilnya karena Rengganis hanyalah istri sirinya, posisinya lemah di mata hukum jika terjadi sesuatu dengan dirinya.
"Tapi, Mas...," keluh Kencana.
"Tapi apa?" potong Pramudya cepat.
Hati Kencana menciut mendengarnya. Wajahnya berubah mendung.
"Ibu menanyakan apa tahun ini Mas bisa pulang ke Kediri atau tidak."
"Liburku tak panjang, Ken," jawab Pramudya sambil menghembuskan napasnya kasar.
Kencana hampir putus asa. Banyak hal yang diinginkannya tapi selalu tak tersampaikan kepada suaminya. Disampaikan pun lebih sering mendapatkan penolakan. Bahkan komunikasi mereka semakin jarang.
Pramudya memandangi wajah istrinya. Kencana hanya bisa membuang pandangannya ke arah jendela memandangi beberapa gemintang terlihat yang bersinar di langit Jakarta.
"Cutiku tak panjang, kamu tahu sendiri, kan sebabnya?"
Kencana menelan pilu. Pramudya memang selalu menghabiskan cuti tahunannya untuk mengajak mereka bertiga berlibur ketika musim libur sekolah tiba. Setiap lebaran, Kencana akan pulang ke rumah ibunya bersama kedua anaknya sementara Pramudya menghabiskan waktu bersama Rengganis dan anaknya. Kemudian mereka bertemu di hari ketiga di rumah orangtua Pramudya, dan menghabiskan libur lebaran di sana. Tanpa Rengganis tentunya.
Kencana masih merasa beruntung kedua mertuanya lebih mengakui dirinya sebagai menantu. Hingga saat ini tak sekali pun kedua mertuanya mengizinkan Rengganis datang ke Pekalongan.
Pramudya beringsut mengambil sesuatu dari dalam laci. Kencana melirik suaminya yang tengah menuliskan sesuatu pada buku kecil yang diketahuinya adalah buku cek.
"Ini cukup kan untuk membeli semua perlengkapan lebaran kalian?" Pramudya menyodorkan selembar cek berisi delapan digit angka.
Selama ini Pramudya selalu menghujani Kencana dan kedua anaknya dengan hadiah dan kiriman uang yang cukup besar. Lagi-lagi sebagai bentuk kompensasi dirinya yang tak bisa banyak meluangkan waktu untuk keluarganya.
Hati Kencana mencelos. Hanya sebesar itukah harganya dan kedua anaknya di mata Pramudya. Dirinya merasa tak ubahnya seorang pelacur yang dibayar ketika selesai menunaikan tugasnya.
"Aku kembali ke Bandung nanti jam 7 pagi." Pramudya mengecup lembut kening istrinya kemudian turun dari ranjang menuju ke kamar mandi.
"Besok kan masih hari Sabtu?" protes Kencana. "Biasanya Mas Pram di sini sampai Senin pagi, kan?"
"Maafkan aku." Pramudya mencium tangan Kencana dalam-dalam, "anak ... hhmm ulang tahun," jawab Pramudya ragu.
Kencana membuang mukanya. Ia sudah mengira siapa yang berulang tahun. Inginnya berteriak melarang. Namun, lagi lagi tenggorokannya tercekat. Lalu hanya bisa menghembuskan napasnya kasar.
Hampir tiga bulan mereka tak bertemu dan Pramudya hanya datang semalam saja itupun hanya untuk menunaikan kewajibannya sebagai suami. Hati Kencana kembali ditelan nelangsa.
Jika bisa, Kencana ingin berteriak dan menggugat bahwa bukan ini yang diinginkannya. Bukan rumah mewah, limpahan hadiah mahal, bahkan kiriman berdigit-digit angka ke rekeningnya. Ia ingin sedikit perhatian suaminya.
Air matanya menetes tanpa henti. Kencana merasa mulai lelah dengan kondisi rumah tangganya. Ia menginginkan kehidupan keluarga yang normal. Saat ini yang dirasakannya tak ubah bagaikan seorang wanita penghibur yang didatangi dan dibayar di kala mau. Bedanya, ia sah secara hukum dan agama untuk didatangi.
Namun, dirinya bisa apa. Kencana hanya ibu rumah tangga yang tak pernah memiliki pengalaman kerja. Ditambah usianya yang hampir empat puluh tahun membuatnya tak percaya diri jika nekat berpisah dengan Pramudya. Apalagi kedua putrinya sudah terbiasa dengan kehidupan mewah yang ditawarkan oleh ayahnya.
🍀🍀🍀
Notes:
*bondho kuwi iso digoleki, tapi wektu ora iso bali : kekayaan bisa dicari, tetapi waktu tak bisa kembali.
*gudangan : urap-urap, sayuran yang dikukus kemudian dibumbui bumbu kelapa muda
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top