2. Rapuh
Versi lengkap sudah ada di buku dan e book. Buku cetak bisa dibeli lewat shopee dan tokopedia LovRinz Store, ya.
Selamat Membaca
***
Kencana bersimpuh di depan kaki kedua mertuanya. Air matanya terus mengalir menganak sungai di pipinya. Sudah belasan menit berlalu sejak ia sampai di rumah ini, tak ada sepatah kata pun sanggup ia ucapkan.
Rumah keluarga Padmosuprapto hening. Hanya terdengar suara isak tangis dari arah balai apit, ruangan yang membatasi teras dengan balai kerja. Sementara dua gadis kecil terlihat asyik bermain sepeda di pelataran, di antara kain-kain batik tulis yang sedang dijemur.
Kencana langsung menuju Pekalongan untuk meminta penjelasan dari kedua mertuanya. Atau lebih tepatnya dukungan. Ia merasa sangat rapuh saat ini.
"Kami harap kamu bisa mengerti keadaan kami, Nduk." Suara Bapak memecah keheningan.
Isak Kencana masih terdengar lirih. Dua belas tahun ia mendampingi Pramudya sebagai istrinya, susah senang mereka rasakan bersama. Kini, ketika Pramudya sudah mendapatkan kejayaannya, ia berpaling pada yang lebih muda.
"Kami menyetujui pernikahan Pramudya juga demi kalian," timpal Ibu, "demi kamu dan anak-anakmu," lanjutnya.
Kencana terhenyak. Hatinya kian meradang. Namun, sisa-sisa energinya saat ini hanya mampu untuk membuatnya terus terisak.
Ibu menghela napas panjang. Matanya beralih pada dua gadis kecil yang sedang bermain di ruang keluarga. Puspa dan Sekar tetap bermain dengan ceria, belum megerti kemelut yang tengah dihadapi kedua orangtuanya.
Ibu meraih lengan Kencana. Diajaknya menantunya itu untuk bangkit dan duduk di kursi di hadapan mereka.
Kencana masih tertunduk. Isaknya tertahan. Rasa sedih sedang menguasai seluruh hatinya.
"Kenapa kalian tega?" Ingin Kencana berteriak meluapkan kesahnya di hadapan kedua mertuanya. Namun, tercekat di tenggorokannya.
"Saya harus bagaimana, Bu?" Hanya suara lirihnya yang terdengar di sela isak.
"Pramudya berjanji akan bertindak adil." Bapak berujar. Sesekali dihisapnya cerutu yang kemudian mengepulkan asap putih.
Kencana menghela napas berat. Bahkan di awal Pramudya menikah lagi, Kencana sudah merasakan ketidak adilan.
"Keadilan?" tanya Kencana dalam hati, "keadilan seperti apa yang bisa diharapkan dari sebuah perselingkuhan?"
"Sudah tiga bulan ini Mas Pram tak pulang," ujar Kencana lirih.
Kencana kembali terisak lirih. Dirinya merasa hampa dan hancur. Kalimatnya seolah ingin membuktikan bahwa suaminya telah bertindak tidak adil, bahkan di awal pernikahannya yang kedua.
"Tapi Pramudya tetap mengirimkan uang kepada kalian, kan?" tanya Ibu.
Hati Kencana kian meradang mendengar pertanyaan mertuanya. Saat ini hatinya remuk bagaikan pecahan gelas kaca yang terjatuh beradu dengan lantai. Ia sadar bahwa sudut pandang kedua mertuanya mengenai poligami yang dilakukan suaminya sudah berbeda. Pantas saja jika mereka menyetujui pernikahan siri Pramudya.
"Semua tak selalu soal materi, Bu." Suara Kencana bergetar. "Mas Pramudya bahkan sudah bertindak tak adil dengan diam-diam berhubungan dengan wanita lain."
Bapak mengganjur napasnya. Disesapnya kopi hitam yang mulai dingin.
"Pramudya memang salah," ujar Bapak sambil kembali menarik napasnya. "Tapi dia itu laki-laki, punya jabatan, wajar jika banyak yang mendekat."
"Lagipula dulu kenapa kamu tidak ikut saja ke Bandung to, Nduk?" ujar Ibu menimpali.
Kencana kian dikepung nelangsa. Diam-diam menikah adalah sebuah penghianatan besar. Tetapi kenapa kedua mertuanya mempermasalahkan hubungan jarak jauh mereka. Toh, dulu mereka menjalani pernikahan jarak jauh juga hasil kesepakatan, karena Puspa sudah mulai sekolah, dan pekerjaan Paramudya di sebuah BUMN sering mengharuskannya berpindah tempat. Kasihan jika gadis kecil itu harus ikut berpindah sekolah terus.
"Kami dulu sudah sepakat, Bu," sanggah Kencana pelan.
"Wong wedok kuwi sisihane wong lanang," tutur Ibu lembut, "jadi perempuan itu tempatnya ya harus di sisi suaminya dimanapun berada, bukan terpisah."
Bibir Kencana kelu, air matanya tiba-tiba seolah mengering. Dirinya kian merana mendengar ucapan ibu mertuanya. Berharap mendapatkan penjelasan dan dukungan, tetapi dirinya malah dipersalahkan. Jika bisa digambarkan, Kencana bagaikan terjatuh dalam lubang yang dalam kemudian seseorang menutup lubang tersebut.
"Tapi apa itu pantas menjadi sebuah alasan untuk berselingkuh, Bu?" Kencana kembali terisak pilu.
"Wis wis ora usah debat," potong Bapak.
Kencana merasa sendiri sekarang. Sedikit dukungan yang diharapkan bisa didapatkan dari kedua mertuanya ternyata sia-sia.
"Perempuan itu sudah hamil waktu Pramudya meminta izin untuk menikahinya." Mata Bapak menerawang.
Isak Kencana semakin keras terdengar. Ia sama sekali tak menyangka suaminya bisa melakukan itu.
"Jika Pramudya tidak menikahinya, karir Pramudya yang terancam, Nduk." Ibu menimpali. "Kalian juga akan kena imbasnya."
Kencana hanya bisa menangis dalam diam. Semua seolah tak berpihak kepadanya lagi.
"Tetapi apa dengan membohongi kami," lirih Kencana pilu.
"Lha tapi kalau minta izin, apa lantas kauizinkan?" tanya Ibu, "padahal wanita itu sudah hamil dan terus mengancam melaporkannya ke kantor suamimu."
Saat ini yang dirasakan Kencana adalah ingin segera pergi dan lari dari tempat ini. Kedua mertuanya sudah tak bisa menjadi tempat berbagi lagi untuknya.
"Iya, Nduk. Kamu harus mengerti hal ini." Bapak menimpali.
"Toh nasi sudah menjadi bubur, mau diapakan lagi?" sambung Ibu.
Kencana nelangsa. Hatinya diliputi lara. Jika tak ingat dengan kedua anaknya, Kencana ingin meminta nyawanya dicabut saja dari raganya.
"Kalau begitu ...," ujarnya tertahan, "saya akan mengajukan gugatan perpisahan."
Mata Bapak dan Ibu terbeliak mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Kencana.
"Apa maksudmu?" tanya Bapak dan Ibu hampir bersamaan.
"Iya, Bu Pak Kencana sebaiknya mundur saja." Ia menghela napas panjang.
Ibu mendekati menantunya. Tangannya meraih tangan Kencana yang dingin dan bergetar.
"Nduk, jangan memutuskan sesuatu ketika hati dan kepala sedang panas." Ibu memberikan nasihatnya.
Kencana merasa sudah tak sanggup bertahan pada pernikahan yang sudah berbalut kebohongan. Jika dilanjutkan pun, ia sendiri tidak tahu apakah bisa menerima dan melayani Pramudya seperti dulu lagi.
"Lagipula, kalau kalian berpisah bagaimana dengan Puspa dan Sekar," tambah Ibu.
"Kamu itu tidak kerja lho, Nduk," timpal Bapak. "Bagaimana kamu membiayai kebutuhan mereka?"
Kencana terdiam. Sejujurnya ia tak tahu bagaimana harus memenuhi kebutuhan kedua anaknya jika memutuskan berpisah. Selama ini mereka bergantung sepenuhnya pada Pramudya. Namun, rasa sakit yang menggelayut di dada juga tak bisa begitu saja diabaikan.
"Selama Pramudya masih bertanggung jawab kepadamu dan anak-anakmu, bertahanlah."
Rasa sesak kian dalam menekan seluruh rongga dadanya. Seperti tak ada lagi ruang yang bisa dimasuki oksigen. Kencana rapuh, hancur berkeping-keping.
🍀🍀🍀
Udara sore masuk melewati jendela yang masih terbuka menerpa wajah Kencana yang menerawang dengan tatapan kosong ke arah taman belakang. Kedua putrinya masih asyik mengejar kupu-kupu yang banyak hinggap di atas mahkota bunga Zinnia miliknya.
Sudah satu bulan Kencana kehilangan gairah hidupnya. Ia hanya bisa terdiam dan melamun. Ketika malam tiba, dirinya hanya bisa menangis dalam diam.
"Bunda," panggil Sekar tiba-tiba.
Kencana terhenyak dan segera menghapus jejak basah di pipinya. Bagaimanapun, Puspa dan Sekar masih terlalu kecil untuk mengerti masalahnya saat ini.
"Bunda nangis?" tanya gadis kecil itu seraya memegang kedua pipi ibunya yang dingin.
"Enggak, Bunda gak nangis kok," kilah Kencana, "cuma kelilipan."
Kencana tersenyum kepada putrinya. "Sudah selesai cari kupu-kupunya?" tanyanya.
"Heem, sudah mau maghrib," timpal Sekar.
"Oh, kalau begitu sana ajak Kakak cuci tangan dan kaki lalu siap-siap salat."
"Oke Bunda," sahut Sekar riang sambil berlari kecil menuju kamar mandi.
Kencana meraih ponselnya di meja. Hari ini kembali dirinya tidak memasak apapun. Dengan lincah ia mengetikkan pesan chat pada aplikasi yang logonya berwarna hijau. Dipesannya beberapa menu makanan di warung milik temannya. Kehilangan gairah hidup juga menghilangkan semangatnya untuk melakukan apapun.
"Kita mau makan apa, Bun? tanya Puspa yang memasuki dapur untuk mengambil minuman dingin.
"Bunda pesan rawon, empal dan perkedel kentang tadi di warung Tante Emy.
"Yaah, Bunda gak masak lagi?" keluh Puspa sambil memoncongkan bibirnya beberapa centi.
"Bunda lagi kurang sehat, Nak," kilah Kencana lagi, "nanti ya kalau Bunda sudah enakan Bunda bakalan masak lagi."
"Iya," jawab Sekar sambil menghela napas.
Selama ini Kencana memang selalu melakukan sendiri semua pekerjaan rumah tangga termasuk memasak dan memenuhi segala keperluan kedua anaknya.
"Bunda, Puspa boleh tanya sesuatu?" tanya gadis sepuluh tahun itu hati-hati.
"Iya, ada apa, Sayang?"
"Ayah ...," ucap Puspa ragu, "kenapa tinggal di rumah tante itu?" tanyanya polos.
Hati Kencana bagai ditusuk ribuan jarum. Badannya menggigil seolah tersiram es yang beku. Bibir Kencana terkatup rapat. Butiran bening mulai menggenang di sudut matanya.
"Bunda, Puspa salah ya?" tanya gadis itu dengan nada takut.
Kencana menggeleng cepat. Ia menghela napasnya untuk menghalau kesah yang kembali datang.
"Bunda mau istirahat dulu ya," pamit Kencana pada kedua putrinya.
Diangsurkannya beberapa lembar uang berwarna biru kepada Puspa. "Ini untuk membayar pesanan makanan nanti, ya."
"Mbak Puspa buat Bunda marah, tuh." Sekar mencebik menyalahkan kakaknya.
Puspa hanya bisa mengedikkan bahunya. Kedua gadis itu membayangkan kembali makan berdua saja malam ini. Melihat reaksi Kencana menanggapi pertanyaan Puspa, mustahil jika ibunya akan makan malam ini. Sudah satu bulan lebih sejak rencana kejutan mereka mengunjungi ayahnya secara diam-diam berantakan.
Puspa masih bingung pada semua kejadian yang dialami keluarganya belakangan ini. Otak seorang anak berusia sepuluh tahunnya tidak mampu memikirkan apa yang terjadi pada keluarganya. Apalagi Sekar.
Puspa dan Sekar tahu persis bagaimana ibunya menangis sepanjang malam. Bahkan wajah ibunya yang selama ini selalu berbalut senyuman, berubah muram digelayuti mendung gelap.
Malam ini, keadaan yang sama seperti malam-malam sebelumnya selama satu bulan terakhir. Kencana lebih asyik menyendiri di dunianya, meratapi perselingkuhan suaminya dan kondisi rumah tangganya saat ini. Menangis hingga air mata mengering.
Sementara itu, Puspa dan Sekar dua gadis kecil itu terpaksa juga harus dewasa sebelum waktunya. Terutama Puspa yang harus mengurus adiknya sementara ibunya lebih banyak mengurung diri. Saat ini, Puspa lebih seperti seorang remaja dibandingkan seorang anak berusia sepuluh tahun.
Keputusan Pramudya menikah lagi sudah melukai keluarganya. Hati Kencana pun seolah semakin rapuh saat tak ada seorang pun sebagai tempatnya berbagi.
Berkeluh kesah pada ibunya sama dengan mengantar wanita yang paling dihormatinya itu ke liang lahat. Ibunya mungkin saja bisa terkena serangan jantung. Menceritakan kepada adiknya, sama saja. Bercerita pada teman, ah ini masalah rumah tangga tak pantas orang lain mengetahui kondisi dapurnya.
Air mata Kencana kembali menetes. Dihelanya napas berat berkali-kali. Seandainya melampiaskan amarahnya kepada Pramudya dan Rengganis bisa mengobati sakitnya, pasti sudah dilakukannya sejak dulu. Namun, buat apa?
***
Wong wedok kuwi sisihane wong lanang : perempuan itu pasangannya laki-laki, menurut falsafah Jawa perempuan harus berada di samping suaminya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top