1. Kejutan yang Menyakitkan

Selamat datang kalian yang baru nemu cerita ini. Aku ucapkan selamat membaca dan semoga suka. Versi lengkap sudah ada di e  book ya. Buku cetak bisa didapatkan di shopee dan tokopedia @LovRinzStore


Kencana membayar taksi yang mengantarkan ia dan kedua anaknya dari stasiun kereta api menuju rumah yang ditempati suaminya. Rumah mungil berpagar kayu, terdapat bambu Jepang di sisi kiri pagar.

Kencana mengernyitkan dahi memandang rumah di hadapannya. Ia seperti tak mengenali rumah itu lagi, nampak kusam dan tak terawat. Lampu teras dan lampu jalan masih menyala menguatkan bahwa rumah itu kosong. Sampah daun bambu dan daun mangga di sudut halaman terserak di mana-mana.

"Hore kita sudah sampai ya, Bunda," sorak Sekar.

Gadis berusia lima tahun itu sepertinya sangat merindukan ayahnya. Selama ini ia merengek terus minta bertemu ayahnya. Apalagi, sudah tiga bulan ini, Pramudya memang sibuk dan sering dinas ke luar kota sehingga jarang menengok mereka di Jakarta.

Kencana menyeret dua koper berisi baju milik mereka bertiga. Sedangkan Puspa dan Sekar membawa backpack masing-masing.

"Kok sepi sekali, kemana Mas Pram?" pikir Kencana.

Untungnya kunci rumah ini selalu menempel jadi satu dengan kunci rumahnya yang di Jakarta. Dikeluarkannya kunci cadangan untuk membuka pintu pagar dan rumah itu.

"Kayaknya Ayah sedang tidak di rumah, Bun." Puspa berkata, matanya memeriksa ke seluruh rumah.

"Mungkin Ayah sedang dinas ke luar kota, nanti Bunda telepon dulu," timpal Kencana.

"Yaah kejutan kita gagal dong," keluh Sekar lesu.

Kencana tertawa sambil mengacak rambut lurus putri kecilnya itu.

"Ya enggak dong, nanti kalau Ayah ditelpon Bunda kita sedang di sini kan tetap jadi kejutan.

Mereka bertiga memasuki rumah.
Jaring laba-laba memenuhi pintu dan langit-langit rumah memberikan sambutan kepada mereka bertiga. Kencana kembali mengernyitkan dahinya heran.

"Kok rumahnya kayak rumah hantu sih, Bun?" tanya Sekar lugu.

"Kenapa rumah ini jadi tak terawat begini?" gumam Kencana.

"Kalau begitu, kita kerja bakti ya," ajak Kencana, "setelah bersih baru kita telpon Ayah dan bilang sedang ada di rumah Bandung."

"Oke," seru Puspa dan Sekar bersamaan.

Gadis berusia sepuluh dan lima tahun itu segera meletakkan tas mereka dan berlari mencari sapu dan segala alat kebersihan yang bisa dipakai. Rasa lelah setelah menempuh perjalanan tak dirasakan lagi. Beberapa jam mereka bergotong royong membersihkan rumah hingga nampak bersih dan layak ditinggali.

"Eh Ibu Kencana." Suara Teh Lilis mengangetkan Kencana saat akan membuang sampah.

"Teh Lilis," sambut Kencana.

Wanita bertubuh kurus itu sudah lama bekerja dengan mereka, sejak suaminya dipindah tugaskan di Bandung tiga tahun lalu. Teh Lilis menyalami Kencana dan menundukkan kepalanya.

"Teh Lilis tidak kerja di rumah lagi?" tanya Kencana penasaran.

Teh Lilis hanya menggeleng. Wajahnya menunduk.

"Ibu yang sabar ya," ucap Teh Lilis lirih.

"Lho ada apa?"

"Teteh sudah beberapa bulan ini tidak kerja lagi di sini," ucap Teh Lilis lirih.

Perempuan kurus itu menghembuskan napasnya kasar. Matanya tak berani menatap istri mantan majikannya itu.

"Suami sakit lagi?" tanya Kencana.

Awal mereka mempekerjakan Teh Lilis memang suaminya sering sakit-sakitan. Kencana paham betul jika Teh Lilis dulu sering izin tidak masuk karena harus membawa suaminya berobat.

Teh Lilis menggelengkan kepalanya. Tak sampai hati dirinya mengatakan yang sebenarnya kepada perempuan ayu di depannya itu. Mantan majikan perempuannya ini selalu baik kepadanya.

"Oh tidak apa-apa kok, Teh." Kencana memegang bahu Teh Lilis.

"Rumah ini sudah tak ditempati lagi, jadi tenaga saya sudah tak diperlukan lagi," jelas Teh Lilis lesu.

Wanita itu sebenarnya sangat menyukai pekerjaannya. Apalagi ketika Kencana berkunjung, ia pasti kecipratan berbagai macam oleh-oleh mulai dari makanan hingga baju.

Namun, kebiasaan yang dilakukan majikan laki-lakinya hampir dua tahun terakhir membuatnya tidak betah. Teh Lilis mengalami dilema antara jujur atau diam saja. Akhirnya suaminya memintanya untuk tidak bekerja lagi.

"Apa?! Tidak ditempati lagi bagaimana, Teh?" sahut Kencana penasaran.

Kencana terperanjat. Manik matanya membulat menatap Teh Lilis. Sementara yang ditunggu penjelasannya hanya terdiam menunduk.

"Saya pamit dulu ya, Bu," ujar Teh Lilis seraya melangkah tergesa.

Kencana terdiam. Ia heran dengan sikap aneh yang ditunjukkan Teh Lilis barusan.

"Bu Pramudya." Seorang wanita berperawakan agak tambun berganti menyapanya dari jauh.

Wanita itu menghampiri Kencana dan menyalaminya dengan ramah yang dibalas dengan senyuman ramah dan jabat tangan hangat.

Kencana sangat mengenal perempuan yang wajahnya selalu semringah itu. Dia adalah istri Pak Dadang, ketua RT di kompleks perumahan tempat Pramudya tinggal.

"Mau mencari Pak Pramudya?" tanyanya dengan wajah yang tak bisa dimengerti oleh Kencana. "Ibu yang sabar, ya." Bu RT itu menepuk bahu Kencana lembut.

Kencana semakin merasa aneh dengan setiap hal yang ditemuinya. Mulai dari rumah yang kosong tak ditinggali, Teh Lilis yang tidak bekerja lagi, sampai sambutan Bu RT kepadanya.

"Kalau ada apa-apa jangan sungkan ke rumah kami," ujar Bu RT dengan wajah pilu.

"Iya," jawab Kencana dengan wajah tak bisa menutupi rasa herannya.

"Kalau mau mencari Pak Pramudya bisa mencarinya di rumah Antapani," lirih Bu RT.

"Antapani?" tanya Kencana bingung.

Bu RT menghela napas dan menghembuskannya kasar. Kembali ditepuknya bahu Kencana dengan lembut. Seperti seorang kakak menenangkan adiknya.

"A ... ada apa ini, Bu?" Kencana mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan suaminya.

"Sebenarnya saya tidak mau ikut campur," tutur Bu RT sedih. "Hanya ini yang bisa saya bantu."

Bu RT menyodorkan sebuah kertas lusuh bertuliskan alamat di daerah Antapani Bandung. Sebuah kompleks perumahan elit.

"Terima kasih, Bu." Kencana menyambut kertas lusuh itu dengan ekspresi bingung.

🍀🍀🍀

Kencana turun dari taksi disusul Sekar dan Puspa kemudian. Mereka berada di depan rumah berlantai dua. Rumah bergaya minimalis tanpa pagar itu terlihat megah.

Hati Kencana mencelos melihat sebuah mobil SUV suaminya terparkir di carport. Selama ini suaminya yang merupakan seorang karyawan BUMN itu tak pernah menceritakan jika telah membeli rumah baru.

Kencana memencet bel di pintu rumah bercat putih dan krem itu. Tak lama, seorang perempuan muda keluar. Wanita berambut sebahu itu, berusia sekitar dua puluh tahunan, mengenakan daster pendek tanpa lengan di atas lutut.

"Iya, mau mencari siapa?" tanya wanita muda itu ramah.

Belum menjawab pertanyaan perempuan yang membukakan pintu untuknya, jantung Kencana hampir tercerabut dari dadanya. Di belakang wanita itu, terlihat sosok yang sangat dikenalnya tengah berdiri sambil menggendong bayi merah.

Matanya terbeliak dan membuat tubuhnya seketika membeku. Kencana melirik wanita di hadapannya. Dari tubuhnya terlihat jika wanita itu baru saja melahirkan.

"Ayah," seru Puspa dan Sekar riang.

Sementara lelaki yang berada di dalam rumah juga sama. Hanya diam membeku tak bergerak.

"Ma ... Mas Pram," lirih Kencana.

Wanita yang membukakan pintu untuk Kencana pun tak kalah bingung. Ia hanya terdiam sambil menempelkan punggungnya pada daun pintu.

Banyak sekali penjelasan yang akan diminta oleh Kencana. Baru saja beberapa jam ia datang di Kota Bandung untuk memberikan kejutan buat suaminya. Namun, lebih banyak kejutan yang malah diterimanya.

"Kencana, kenapa kalian ke sini?" tanya Pramudya terbata. "Darimana kalian tahu alamat rumah ini?"

"Dan rumah siapa ini, Mas?" tanya Kencana dengan suara bergetar.

"Kalian masuk dulu." Pramudya mengajak Kencana dan kedua anaknya untuk masuk ke dalam rumah. "Puspa ajak adikmu main di taman samping, ya," titahnya kepada Puspa.

Dengan tangan gemetar Kencana duduk di sofa ruang tamu. Sementara perempuan muda tadi hanya diam membisu.

"Kamu minum dulu." Pramudya menyodorkan segelas air dingin untuk Kencana.

"Aku tak butuh ini, aku butuh penjelasan," sergah Kencana.

Pramudya menghela napasnya berat. Ia hanya bisa terdiam untuk beberapa saat.

"Siapa dia, Mas?" cecar Kencana tak sabar.

Pramudya masih terdiam. Begitu pun dengan perempuan di sebelahnya. Terdiam dan hanya bisa menunduk.

"Aku harap kamu bisa mengerti," pinta Pramudya dengan suara bergetar.

Kencana semakin yakin ada sesuatu yang tak beres dengan rumah tangganya saat ini.

"Dia," ujar Pramudya ragu, "istriku."

Bagaikan tersambar petir, tubuh Kencana bergetar hebat. Ia merasa sangat marah, ingin menangis dan berteriak menghardik mereka berdua.

"Kami menikah siri," lanjut Pramudya pelan.

"Dasar, tega sekali kamu berselingkuh." Kencana ingin meneriakkan kalimat ini kepada suaminya. Namun, kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya.

Kencana hanya bisa terdiam. Dadanya sangat sesak. Ia bahkan seperti tak bisa bernapas lagi.

"Sejak kapan?" tanya Kencana singkat.

"Kami minta maaf," sahut Pramudya.

"Sejak kapan?!" bentak Kencana mulai tak sabar.

"Kami menikah enam bulan yang lalu," jelas Pramudya lirih.

"Sejak kapan kalian berhubungan?"

"Dua tahun," jawab Pramudya dengan wajah tertunduk.

Embun merebak di mata Kencana. Ia tak sanggup lagi terus berada di rumah itu. Dadanya semakin sesak, paru-parunya tak mampu mengambil udara lebih banyak lagi.

Kencana beranjak dari tempat duduknya.

"Puspa, Sekar kita pulang," titah Kencana kepada dua anaknya sambil berjalan cepat keluar dari halaman.

🍀🍀🍀

"Kencana aku minta kamu bisa mengerti keadaanku," pinta Pramudya.

Kencana bergeming. Wajahnya pias. Tubuhnya kaku membeku. Pandangannya kosong menatap objek yang tak jelas.

Berkali-kali Pramudya mengucapkan permohonan. Namun, Kencana tetap bergeming.

"Kenapa, Mas?" lirih Kencana.

Berganti Pramudya yang hanya bisa terdiam. Kencana adalah istri yang sempurna, tanpa cacat. Wanita itu bahkan mampu meluluhkan hatinya sejak pandangan pertama. Cinta yang datang ketika pandangan mereka bersirobok di lobby kantor saat Kencana menjadi pegawai magang.

"Apa salahku?" tanya Kencana lirih, "apa kekuranganku?"

Mata Kencana mulai meremang. Sudutnya sudah dipenuhi oleh butiran bening yang siap untuk ditumpahkan.

"Kamu tidak salah," tukas Pramudya.

Pramudya menghembuskan napasnya kasar.

"Namanya Rengganis, asalnya dari Sukabumi," tutur Pramudya dengan suara bergetar. "Dia pegawai kontrak di kantor."

Pertemuannya dengan Rengganis yang merupakan pegawai kontrak itu membuat Pramudya lupa diri. Gadis berkulit putih itu berhasil meruntuhkan iman Pramudya yang selama ini selalu kukuh setia pada keluarganya.

Perselingkuhan yang telah berjalan dua tahun membuahkan seorang bayi di rahim Rengganis. Mau tak mau Pramudya harus menikahinya meski hanya secara siri karena kedua orangtua Rengganis memaksa Pramudya untuk menikahi putrinya.

"Keluargamu tahu?" tanya Kencana singkat.

Pramudya mengangguk. Ia berhasil meyakinkan kedua orangtuanya untuk menikahkan dirinya dengan Rengganis.

Kencana mencelos. Hatinya remuk redam mengetahui kenyataan pahit yang terjadi pada rumah tangganya.

Ia sakit hati hingga tak ingin lagi melihat wajah suaminya. Bagaimana bisa ia berselingkuh di belakangnya seperti ini.

Kencana menutup matanya rapat. Bayangan Pramudya bermesraan dengan perempuan lain membuatnya sesak.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top