Bagian 8
Keegoisan yang selama ini Safina pertahankan akhirnya luluh saat melihat sang ayah memohon maaf padanya sambil menangis. Jamal mengakui kesalahannya telah menyakiti fisik dan hati putrinya karena kejadian beberapa tahun silam. Safina memaafkan sang ayah meski masih menyisakan luka di dalam hati. Jika luka fisik mudah disembuhkan, berbeda dengan luka hati. Sampai akhir hayat tidak akan bisa terlupa meski sudah sembuh.
Setidaknya, saat ini hubungan Safina dan Jamal sudah lebih baik dari sebelumnya. Jika saja Jamal tidak mengalami sakit, mungkin Safina belum datang menemuinya. Terkadang, perlu adanya pengorbanan untuk mengembalikan keadaan.
"Kak. Jangan pulang ke Bogor, ya. Kakak tinggal di sini saja sama Hanan. Kalau bukan demi Ayah, aku, atau Bang Gofar, seenggaknya Kakak tinggal di sini demi Ibu. Ibu ingin Kakak balik ke rumah dan tinggal lagi di sini," ungkap Fani sambil menatap kakaknya yang sedang menuang nasi goreng ke dalam mangkuk besar
Tak ada jawaban dari Safina. Bukan karena tak ingin menjawab permintaan adiknya, tapi Safina masih memikirkan untuk tinggal di rumah itu. Keadaan hati Safina masih belum stabil. Belum lagi gosip tetangga.
"Kak." Fani menggoyang lengan kakaknya.
"Apa sih, Fan?" tanya Fina sambil menatap adiknya.
"Mau, ya?" pinta sang adik dengan memohon.
Safina meninggalkan dapur sambil membawa mangkuk berisi nasi goreng ke ruang makan. "Antar buburnya ke kamar Ayah," perintah Safina pada sang adik.
"Nggak mau. Kakak saja nggak mau tinggal di sini lagi," balas Fani dengan nada ketus sambil berjalan pergi meninggalkan sang kakak.
Tatapan Safina tertuju pada punggung sang adik yang perlahan menghilang di ruang tengah. Kepala Safina menggeleng lemah karena heran dengan kelakuan adiknya. Dia terpaksa membawa mangkuk berisi bubur dan segelas air putih hangat ke kamar Jamal karena sudah masuk waktu minum obat.
Tatapan Safina mengitari kamar itu saat sosok ayahnya tak ada di atas tempat tidur. Terlihat sang ayah sedang berjalan kecil di teras kamar. Safina menghela napas lega karena ternyata ayahnya tak mengalami apapun. Dia bergegas menuju dipan, lalu meletakkan nampan berisi sarapan di atasnya. Kemudian langkahnya menghampiri sang ayah.
"Yah, sarapan dulu," ucap Safina ketika tiba di pintu.
Perhatian Jamal teralih, lalu menatap sumber suara. Senyum menghiasi wajahnya saat mendengar kalimat yang tak pernah dia dengar dari sang putri.
"Sini, Fin." Jamal menginstruksi Safina untuk duduk bersamanya.
"Fina ambil sarapan Ayah dulu. Takut buburnya dingin nanti malah nggak enak." Safina beranjak dari posisi untuk meraih nampan yang dia letakkan di atas dipan.
Cobaan yang menimpa keluarga itu seakan mendatangkan banyak hikmah saat ini. Safina mengalami banyak perubahan bukan hanya dari segi fisik, tapi hati dan akhlaknya pun berubah. Safina termasuk anak yang manja saat masih kecil sampai menjelang remaja. Dia tak pernah mengerjakan pekerjaan rumah meski hanya menyapu lantai. Jangankan mengerjakan, membantu ibunya di dapur saja tidak pernah. Tapi sekarang semua itu berubah. Safina bukan lagi anak yang manja dan malas. Dia berubah menjadi wanita kuat, tabah, dan rajin.
Safina meletakkan nampan berisi sarapan untuk sang ayah di atas meja. Tak lupa obat pun sudah dia siapkan. Keadaan membuatnya kikuk meski Jamal terlihat santai dan senang mendapat peehatian dari putrinya.
"Temani Ayah sarapan, Fin. Sekalian ada yang mau Ayah omongin," ungkap Jamal sebelum Safina pergi dari hadapannya.
Putrinya mengangguk lemah, lalu duduk di kursi kosong yang tersedia. Jamal kembali menyungging senyum, lalu mulai menikmati sarapan yang disajikan Safina.
"Ini kamu yang bikin?" tanya sang ayah.
"Iya," balas Safina singkat.
"Enak. Ayah nggak nyangka kalau sekarang kamu pintar masak. Kamu banyak berubah, Fin. Ayah senang lihatnya."
"Apa yang mau Ayah omongin sama Safina?" tanya Safina mengalihkan topik.
"Kamu nggak ingin tinggal di sini lagi?" tanya Jamal serius.
Fina bukan nggak mau tinggal di sini lagi, Yah. Keadaan yang memaksa Fina buat tinggal di sana.
Jamal menatap putrinya yang terdiam. Anak sulungnya terlihat menunduk dengan raut susah dibaca. "Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau tinggal di rumah Ayah lagi. Ayah cuma bisa berharap kita kumpul kayak dulu lagi walaupun sudah nggak ada Ibu kamu. Seenggaknya adanya kamu bisa gantiin dia. Lagian rumah ini sepi kalau Gofar kerja dan Fani sekolah," ungkap Jamal.
Perkataan Jamal kembali tak mendapat respon dari Safina. Dia tak banyak berharap pada putrinya karena paham jika Safina masih merasa segan. Bisa mendapat maaf dari Safina saja sudah membuatnya bersyukur. Suasana kembali hening tanpa ada kelanjutan obrolan.
"Safina tinggal buat nyari Hanan dulu. Jangan lupa obatnya di minum." Safina beranjak dari kursi.
Sang ayah hanya mengangguk lemah. Hatinya kecewa karena Safina tak memberi keputusan. Helaan napas terlihat pada ekspresi Jamal. Dia harus lebih bersabar sampai Safina sepenuhnya memaafkan.
Langkah Safina terhenti saat mendengar suara deringan ponsel tanda panggilan masuk. Dia bergegas meraih benda itu dari dalam saku gamisnya. Gamis yang dia kenakan saat ini adalah milik sang ibu yang pas di tubuhnya. Dahi Safina berkerut saat melihat nama Wulan menghiasi layar ponselnya.
Bukannya aku sudah bilang sama Bibi kalau mau tidur di sini? Ada apa Bibi telepon aku pagi-pagi begini? tanya Safina dalam hati sambil menggeser layar ponsel.
"Assalamu'alaikum," sapa Safina setelah benda itu menempel telinganya.
"Wa alaikumussalam. Kamu mau pulang kapan?" tanya Wulan.
"Rencanyanya hari ini. Tapi Ayah minta Fina tinggal di sini lagi. Memangnya kenapa, Bi?" Safina memastikan.
"Ya nggak apa-apa kalau kamu mau tinggal di situ. Lagian Ayah kamu lagi sakit. Beliau pasti kangen dan butuh dukungan dari kamu biar cepat sembuh. Bibi malah seneng kalau kamu sama Hanan tinggal di sana dan jagain Bang Jamal. Nanti Bibi suruh Mas Rizal antar baju kamu dan Hanan ke sana," papar Wulan.
Semua orang mendukung Safina untuk tinggal di rumah itu, tapi Safina masih merasa berat untuk mengambil keputusan. Siapa yang tidak betah tinggal di rumah yang sudah membesarkannya. Safina ingin sekali tinggal kembali di rumah itu, tapi hatinya bimbang.
"Fin," panggil Wulan.
"I-iya, Bi."
"Tadi sore Ustazah Sofi-"
"Kak Safina!"
Perhatian Safina teralih saat mendengar panggilan Fani. Safina bergegas dari posisinya untuk menemui sang adik. "Kakak di dapur, Fani," balas Safina sambil mengayun langkah.
"Bi, sudah dulu, ya. Nanti lanjut lagi kalau Fina nggak sibuk. Fina mau mandiin Hanan dulu," kata Safina pada sang Bibi.
"Kak, ada orang mau ketemu Kakak," kata Fani ketika tiba di depan Safina.
Safina memasukkan ponselnya ke dakan saku gamis setelah melihat sambungan telepon bersama Wulan terputus. "Siapa?" tanyanya pada sang Adik.
"Kakak lihat saja sendiri di depan," balas Fani.
Tatapan Safina beralih pada adiknya. Raut Fani terlihat susah ditebak. Safina mengayunkan langkah untuk memastikan orang yang ingin bertemu dengannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top