Bagian 3
Mata Safina tak hentinya menatap Hanan yang terlihat bahagia karena bertemu Wulan. Mereka kembali mengunjungi Wulan karena bayinya sudah lahir. Hanan selalu menanyakan tentang kelahiran sepupunya itu. Safina terpaksa menuruti permintaan putranya untuk mengunjungi Wulan. Ada rasa sedih pada diri Safina saat melihat Hanan kembali dekat dengan Wulan setelah beberapa hari tinggal bersamanya. Safina kembali merasa seperti orang asing dalam kehidupan anaknya sendiri. Dia menyadari semua ini karena kesalahannya sendiri yang tak peduli pada Hanan dan membebankan tugas sebagai ibu pada Wulan saat itu. Mata Safina berkaca.
"Semua butuh proses, Na. Buktinya Hanan mau tinggal sama kamu selama Bibi di rumah sakit."
Safina menundukkan kepala. Tangannya bergerak mengusap air mata yang hampir menetes. Setidaknya dia sudah berusaha. Lagipula Hanan sudah sering melihatnya melalu telepon video selama satu tahun ini. Meski tidak setiap hari, tapi Hanan cukup mengenalnya dan hanya menganggap Safina sebagai tantenya.
"Percaya sama Bibi. Hanan pasti akan nurut sama kamu. Kamu punya bakat dekat dengan anak-anak. Anak orang saja bisa dekat sama kamu, kenapa dengan anak kamu sendiri nggak bisa?"
"Iya, Bi." Safina mengangguk.
"Kamu nggak nengokin Om Jamal, Na?"
Pertanyaan Wulan membuat Safina segera menatap wanita yang sedang berbaring di atas brankar. Bayang wajah laki-laki itu sekilas melintas di pikiran Safina, lalu disusul kejadian saat dia dipukuli karena telah menimbulkan aib pada keluarganya. Safina memejamkan mata sesaat. Takut. Masih terasa sakit di dalam hati mengenai kejadian itu sampai saat ini.
"Bibi cuma nanya saja, Na. Nggak ada niat Bibi buat maksa kamu ketemu beliau. Kemarin beliau nanya masalah kepulangan kamu. Bibi cuma jawab seadanya saja kalau kamu memang sudah pulang dan tinggal di rumah kamu sendiri, bukan di rumah Bibi," jelas Wulan menenangkan.
Setelah kejadian itu, Safina memang sama sekali tak pulang ke Jakarta karena takut akan kembali mendapat pukul atau gunjingan dari tetangga. Bahkan saat ibunya meninggal pun Safina tak pulang. Safina hanya mendapat kabar dari Wulan jika ibunya meninggal karena sakit dan posisi Safina saat itu masih di Turki. Saat itu Safina ingin sekali pulang, tapi kondisi memaksanya untuk tidak pulang. Salah satunya karena takut pada sang ayah. Bahkan sampai sekarang Safina belum melihat makam sang ibu atau melihat kondisi keluarganya.
"Kapan waktunya juga kamu butuh beliau, Safina. Beliau wali kamu." Wulan menambahi.
"Fina kayaknya nggak akan nikah, Bi. Siapa yang mau nikah dengan wanita yang nggak jelas seperti Fina? Belum menikah tapi sudah punya anak." Safina angkat suara.
"Jangan bilang gitu, Na. Pasti ada laki-laki yang mau terima kamu dan Hanan apa adanya. Kamu kok jadi pesimis gitu?"
"Udah, ah. Fina mau pulang. Hanan harus tidur siang karena nanti sore dia ada hafalan." Safina beranjak dari kursi.
"Jangan biasain Hanan minta apa-apa dituruti," peringat Wulan.
Tak ada jawaban. Safina tak menanggapi ucapan Wulan, memilih untuk mendekati Hanan dan mengajaknya pulang. Malas berbicara dengan Wulan jika pada akhirnya akan membahas masalah jodoh dan ayahnya. Setelah berpamitan pada Wulan, Safina dan Hanan bergegas keluar dari ruangan itu.
"Bunda. Hanan kan masih mau sama Ibu. Hanan belum lihat dedek bayi," gerutu Hanan karena kesal diajak pulang sedangkan dia masih ingin bersama Wulan.
"Nanti ke sini lagi. Hanan ada hafalan loh nanti sore." Safina mengingatkan putranya.
Dengan berat hati, Hanan menuruti ucapan Safina. Mereka bergegas meninggalkan ruang rawat Wulan. Langkah Safina terhenti saat melihat dua sosok yang sangat dia kenali.
"Bu Ustazah." Hanan menyapa.
Dua sosok itu adalah Ustazah Sofia dan Ustaz Kahfi. Safina menundukkan pandangan saat kedua orang itu mendekat ke arahnya. Ustazah Sofia menyapa Safina dengan salam.
"Wa alaikum salam." Safina mengangguk.
"Saya mau jenguk Teh Wulan," ungkap Ustazah Sofia.
"Oh, saya bilang dulu ke beliau."
Ustazah Sofia mengangguk. Safina kembali masuk ke dalam ruang rawat Wulan untuk menyampaikan jika Ustazah Sofia datang.
"Kenapa balik lagi? Ada yang ketinggalan?" tanya Wulan ketika Safina masuk ke dalam ruangannya.
"Ada Ustazah Sofia di luar mau nengokin Bibi," ungkap Safina.
"Ustazah Sofia? Kenapa nggak langsung suruh masuk?" tanya Wulan heran.
Safina menjulingkan mata, beranjak keluar untuk mengizinkan tamu masuk. Wulan beranjak duduk, merapikan pakaiannya yang berantakan. Safina mengizinkan Ustazah Sofia masuk ke dalam untuk menjenguk Wulan. Safina mengurungkan niatnya untuk pulang karena harus menemani sang bibi menjamu tamu. Ustaz Kahfi tak ikut masuk, memilih menanti di luar. Rizal belum kembali karena sedang pulang untuk mengambil pakaian ganti untuk Wulan.
"Sof, ini anak kakak saya, namanya Safina. Dia baru pulang dari Turki seminggu yang lalu." Wulan mengenalkan Safina pada Ustazah Sofia.
Safina mengerutkan dahi saat mendengar sang bibi memanggil wanita itu hanya namanya saja.
"Oh, jadi ini amahnya Hanan." Ustazah Sofia terlihat kaget. Baru tahu jika Safina adalah bibinya Hanan.
Senyum getir menghiasi wajah Safina. Dia sudah menduga jika Ustazah Sofia akan berpikiran jika Safina adalah bibi dari Hanan atau pengasuhnya. Orang sekitar hanya tahu jika Hanan anaknya Wulan, bukan anak Safina. Hati Safina seperti ditusuk pisau jika mengingat hal itu.
"Ke sini sama siapa?" tanya Wulan pada Ustazah Sofia.
Ingatan Safina tertuju pada laki-laki yang sedang duduk luar ruangan itu menanti Ustazah Sofia. Hanan masih di luar bersama Ustaz Kahfi. Jika sebelumnya Safina hanya melihat laki-laki itu dari arah jauh, berbeda dengan beberapa menit yang lalu. Safina bisa melihat jelas wajah laki-laki itu. Sangat tampan dan sempurna. Safina menggelengkan kepala. Dia tidak boleh memikirkan laki-laki yang bukan mahramnnya apalagi Ustaz Kahfi suami Ustazah Sofia.
***
"Na, menurut kamu, Ustaz Kahfi gimana?" tanya Wulan pada keponakannya yang sedang sibuk pada layar ponsel.
"Gimana apanya?" tanya Safina balik tanpa memandang bibinya.
"Ganteng nggak? Ciri-ciri calon kamu nggak?"
"Tapi sudah sold out, Bi," balas Safina datar masih sibuk pada layar ponsel.
"Kata siapa?"
Safina menatap sekilas ke arah Wulan, lalu kembali pada layar ponsel. "Bukannya dia suami Ustazah Sofia."
Wulan tertawa saat mendengar ucapan Safina mengenai hubungan kedua orang itu. Entah apa yang membuat Wulan tertawa. Apa ucapan Safina salah?
"Ustazah Sofia itu adiknya Ustaz Kahfi, Na. Ustazah Sofia memang sudah menikah, tapi Ustaz Kahfi belum. Suami Ustazah Sofia lagi kuliah S2 di Sudan. Kamu sotoy, ya." Wulan menjelaskan setelah tawanya reda.
Jadi Ustaz Kahfi belum menikah? Aku kira sudah. Syukurnya aku cuma bilang sama Kak Wulan saja kalau dugaan aku salah. Safina membatin.
"Tadi Sofia nanyain kamu. Sudah berapa lama tinggal di Turki? Bibi cuma jawab sesuai kenyataan saja kalau kamu ke Turki buat kerja, bukan buat belajar," lanjut sang bibi.
"Ngapain Ustazah Sofia nanya-nanya masalah aku pergi di sana?" tanya Safina penasaran.
"Barangkali nyariin jodoh buat Abangnya."
Safina menjulingkan mata mendengar ucapan Wulan. Lebih baik dia fokus pada ponsel, mengabaikan ucapan sang bibi daripada menanggapi jika akhirnya akan membahas masalah jodoh.
"Kamu nggak tertarik sama Ustaz Kahfi, Na?"
Pembahasan yang Safina hindari kembali diungkapkan oleh sang bibi. Memilih diam adalah jalan terakhir bagi Safina. Lagipula Safina memang sedang tak fokus dengan apa pun kecuali Hanan.
"Na."
"Apaan sih, Bi?" tanya Safina kesal.
"Ustaz Kahfi."
"Nggak tau. Aku cuma mau fokus sama Hanan." Safina beranjak dari kursi untuk keluar dari ruangan itu. Lebih baik menghindari sang bibi daripada harus bersamanya tapi disudutkan kembali mengenai jodoh.
Jika saja Hanan tidak tidur, mungkin Safina akan mengajaknya pulang. Hanan tidur di waktu yang tidak tepat. Setelah kepulangan dua tamu itu, Hanan tertidur dalam dekapan Wulan. Niatnya untuk pulang terhambat karena kedatangan tamu Wulan, lalu disusul Hanan tertidur.
Safina duduk di bangku yang sebelumnya diduduki Ustaz Kahfi. Sekilas, wajah Ustaz Kahfi melintas di pikirannya. Safina menggelengkan kepala, lalu menutup wajah dengan kedua tangannya. Tidak ingin berharap lebih mendapat calon suami seperti Ustaz Kahfi. Laki-laki itu sangat sempurna, sedangkan safina? Safina tak ada apa-apanya dengan Ustaz Kahfi yang jelas nasabnya, berpendidikan, dan rupawan. Bagaimana dengan Safina? Safina memiliki masa lalu suram, minim ilmu agama, dan statusnya tidak jelas. Tentu laki-laki manapun akan berpikir dua kali untuk menikah dengannya, termasuk Ustaz Kahfi. Ini alasan Safina tak ingin menikah. Khawatir ditolak karena memiliki aib besar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top