Bagian 2

Sesuai janjinya pada Hanan, Safina akan mengajak putranya ke rumah sakit untuk menjenguk Wulan. Dia tak ingin membuat Hanan kecewa karena tidak memenuhi janji. Menuruti permintaan Hanan adalah salah satu cara membangun kepercayaan padanya. Jika Hanan sudah percaya pada Safina, maka akan mudah membujuknya agar mau menerima kehadarikan Safina dengan cara membuat putranya senang dan nyaman.

Senyum menghiasi raut Safina saat melihat Hanan keluar dari kelas. Sudah beberapa jam Safina menunggu di tempat biasa seperti hari sebelumnya. Beberapa orang tua murid kembali memandang Safina penuh tanda tanya. Mereka mengira jika Safina tante atau pengasuh Hanan. Memang tidak ada yang tahu jika Safina ibu kandung Hanan, dan hanya tahu jika Wulan ibu kandung Hanan. Wulan menutup rapat aib Safina. Hal itu dia lakukan untuk kebaikan Safina dan Hanan.

"Tante. Kapan Hanan ketemu Ibu? Katanya Tante mau ajak Hanan ketemu Ibu?" Hanan menagih ketika tiba di hadapan Safina.

Safina beranjak dari bangku, lalu meraih tangan Hanan. "Iya, Sayang. Tapi ada syaratnya."

"Apa?" tanyanya dengan raut penasaran.

"Panggil Tante 'Bunda', baru Tante ajak ketemu Ibu," pintanya.

Hanan menggeleng.

Hanan masih teringat akan kejadian tempo hari saat Wulan mengungkapkan jika Safina adalah ibu kandungnya, dan Hanan bereaksi tak terima. Dia menangis histeris dan hanya mengakui Wulan sebagai ibunya. Sejak saat itu, Safina atau Wulan tak ingin memaksa Hanan. Mereka membiarkan Hanan pada keputusannya, hanya menganggap Safina sebagai tantenya dan menganggap Wulan sebagai ibunya. Safina sangat menyesal karena telah menjauhi Hanan.

"Iya, Tante ngerti. Tante nggak akan rebut Hanan dari Ibu Wulan. Ibu Wulan akan tetap jadi ibunya Hanan. Tante cuma mau dekat sama Hanan dengan minta dipanggil seperti itu. Nggak ada maksud lain, Sayang. Bisa?"

Tak ada jawaban. Safina menghentikan langkah, lalu menatap putranya.

"Bun-da," ucap Hanan terbata.

Senyum bahagia terlihat jelas pada raut Safina. Dia memeluk Hanan. 'Terima kasih, Sayang. Bunda senang dengarnya. Panggilan itu membuat semangat Bunda bertambah untuk terus meyakinkanmu. Terima kasih sudah membuka hati untuk Bunda.'

"Kita ke rumah sakit sekarang," ajak Safina pada Hanan setelah melepas pelukan.

Hanan bersorak gembira. Wajahnya terlihat bahagia saat tahu jika Safina akan mengajaknya bertemu Wulan. Ada rasa cemburu merasuk hatinya saat Hanan antusias ingin bertemu ibu yang merawatnya. Safina masih harus bersabar sampai waktu yang belum bisa ditentukan.

***

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam, Safina dan Hanan tiba di rumah sakit tempat di mana Wulan akan melahirkan. Hanan sudah tak sabar ingin bertemu dengan Wulan dan adik bayinya. Selama di jalan, Hanan tak hentinya bertanya mengenai Wulan. Safina hanya membalas sekenanya.

"Ayah!" seru Hanan ketika mereka akan tiba di ruang tujuan dan melihat suami Wulan duduk di depan ruang bersalin. Hanan melepas genggaman tangan Safina, lalu berlari menghampiri Rizal, suami Wulan.

Rizal menyungging senyum saat melihat Hanan berlari ke arahnya. Cukup lama Wulan menikah dengan Rizal. Bahkan sebelum kejadian kelam yang menimpa Safina, mereka masih belum dikaruniai buah hati. Sudah hampir sepuluh tahun mereka menikah sampai saat ini. Hanan seperti menjadi ikhtiar mereka untuk memancing Wulan agar hamil, dan usaha mereka berhasil. Alhamdulillah. Setelah mengasuh Hanan selama enam tahun, akhirnya mereka dikaruniai keturunan. Allah mengatur semua itu dengan sangat tepat.

"Masih belum lahir, Om?" tanya Safina pada Rizal ketika tiba di hadapan pamannya.

"Sedang proses," balas Rizal ramah.

"Semoga berjalan lancar," timpal Safina.

"Aamiin."

Safina duduk di kursi untuk ikut menanti. Setidaknya sampai rasa rindu Hanan pada Wulan dan Rizal terobati. Lagipula Wulan belum bisa ditemui karena sedang proses persalinan. Hanan pun terlihat sedih karena tidak bisa bertemu dengan Wulan. Rizal berusaha menghibur Hanan. Meski Hanan bukan anak kandung mereka, tapi Rizal dan Wulan memperlakukan Hanan dengan baik dan lembut seperti anak mereka. Mungkin hal itu menjadikan alasan Hanan tak mudah dekat dengan orang lain atau menganggap Safina sebagai ibu kandungnya. Dia hanya tahu dan kukuh bahwa Wulan adalah ibu kandungnya.

"Hanan pulang sama Bunda, ya. Ayah masih harus di sini buat jagain Ibu karena adik bayinya mau keluar. Di sini nggak bagus buat Hanan. Nanti Hanan dimarahi dokter kalau lama-lama di sini." Rizal memberi pengertian pada Hanan.

"Nggak mau. Hanan mau di sini sama Ibu dan Ayah." Hanan menolak.

"Kalau Hanan di sini, nanti gimana ngajinya? Memang Hanan mau dihukum sama Ustazah Sofia kalau nggak masuk dan setor hafalan?" tanya Safina menyambar.

Hanan menggeleng lemah.

Rizal mengusap kepala Hanan lembut. "Ayah dan Ibu pasti pulang kalau adik bayinya lahir. Hanan pulang dulu sama Bunda Fina, ya. Hanan harus nurut."

"Tapi Hanan mau di sini sama Ayah."

"Hanan ada PR, 'kan? Ada tugas hafalan juga dari Ustazah Sofia? Kita pulang dulu ngerjain tugasnya, nanti ke sini lagi kalau adik bayinya sudah lahir. Katanya Hanan mau renang lagi di kolam belakang rumah Bunda?" Safina menambahi.

"Ayah izinin Hanan mainan air sepuasnya di rumah Bunda Fina."

Raut Hanan masih muram. Safina bergegas menggandeng tangan putranya, lalu berpamitan pada Rizal untuk pulang.

"Hanan mau beli es krim nggak? Atau coklat? Atau mainan?" Safina menawarkan. Sengaja melakukan hal itu untuk menghibur putranya.

Jika Safina tidak bisa membujuk atau pengertian darinya belum diterima oleh Hanan, setidaknya dia bisa membujuk dengan cara lain. Masih banyak jalan menuju Roma.

"Hanan mau beli mainan," pinta Hanan.

"Oke. Kita beli mainan sambil pulang. Tapi Hanan nggak boleh sedih lagi. Janji?"

Hanan hanya mengangguk. Setidaknya Hanan sudah lebih tenang. Untuk saat ini, hanya dengan cara seperti itu yang bisa Safina lakukan. Selama membuat anaknya senang kenapa tidak? Safina akan melakukan apa saja demi Hanan. Demi mendapat hati putranya.

***

"Bunda cepetan, dong! Nanti Hanan terlambat ngajinya!" seru Hanan dari arah luar kamar mandi.

"Iya, Sayang!" balas Safina berseru, lalu keluar dari kamar mandi setelah keperluannya selesai di dalam sana.

Safina dan Hanan tertidur pulas setelah selesai membaca buku cerita mengenai dinosaurus. Jangan heran jika Hanan akan mengoleksi apa pun yang berhubungan dengan binatang besar itu. Bagi Safina tidak masalah selama membuat Hanan nyaman dan dekat dengannya.

Setelah siap, Safina dan Hanan keluar dari rumah untuk menuju TPA. Jarak antara TPA dan rumah Sakinah cukup dekat. Hanya memakan waktu sekitar 10 menit dengan berjalan kaki.

"Bunda. Buku ceritanya Hanan bawa ke tempat ngaji," ungkap Hanan saat mereka berjalan menuju TPA.

Safina mengangguk sambil tersenyum. Hal lain yang membuat Safina bahagia adalah saat Hanan mulai terbiasa memanggilnya dengan kata 'bunda'. Satu kata penuh makna. Safina tak banyak meminta lebih dari Hanan kecuali putranya percaya jika dia orang yang melahirkannya.

"Ustaz Kahfi!" seru Hanan.

Perhatian Safina teralih. Pandangannya mengikuti wajah Hanan yang menatap ke arah taman TPA. Terlihat seorang laki-laki tinggi, tampan, mengenakan pakaian rapi, dan senyum menghiasi wajahnya saat menatap Hanan. Tangan Hanan terlepas dari genggaman Safina. Hanan berlari menghampiri laki-laki itu. Ustaz Kahfi. Safina baru melihat sosok laki-laki itu setelah beberapa hari mengantar Hanan.

Apa dia Ustaz baru? Atau Ustaz lama yang libur, lalu baru kembali masuk?

Langkah Safina terayun untuk beranjak dari posisinya karena Hanan sudah masuk ke dalam kelas bersama laki-laki itu. Safina akan menunggu Hanan di tempat biasa sampai putranya selesai belajar.

♡♡♡

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top