02 - Jawaban Ibu
Bu Ajeng mengentakkan kakinya kesal usai mendapatkan pertanyaan balik dari Bu Ratmi. Dia banting kangkung yang sempat dipilihkanya tadi ke dalam tumpukan sayur. Mimik mukanya tidak ramah, begitu kecut saat menatap tajam Bu Ratmi dan Nawang.
“Mas, ndak jadi beli sayurnya. Ndak level kalau ada orang yang mulutnya ndak disekolahin. Sampai sumpahin orang cepet mati segala,” sewot Bu Ajeng sembari menggandeng sang mantu, lalu diajaknya pergi.
“Eh-eh, Bu. Tunggu dulu!” cegah Bu Ratmi, segera menghadang langkah Bu Ajeng. “Apa kata Bu Ajeng barusan? Mulutnya gak disekolahin? Maaf, nih. Siapa yang duluan menyinggung? Ibu sendiri, kan? Lah, saya serang kok, malah balik marah.”
“Niat saya itu baik, Bu Ratmi. Situnya saja yang singgungan." Bu Ajeng kian menggebu-gebu saja membalas ucapan Bu Ratmi.
“Loh, yang singgungan di sini siapa?” Bu Ratmi mengedikkan bahunya singkat. “Kan Ibu yang malah kabur seudah saya balikin pertanyaannya. Salah saya di mana coba? Ibu tanya ke mantu saya, saya tanya balik Ibu. Terus, sekarang yang singgungan ini siapa? Kan Ibu sendiri, tiba-tiba pergi gitu saja. Padahal, masih banyak yang mau saya tanyain loh, ke Bu Ajeng.”
“Hah! Gendeng!” sungut Bu Ajeng. Sambil misuh-misuh, Bu Ajeng pergi meninggalkan Bu Ratmi yang tengah menguar tawa puasnya usai membuat Bu Ajeng pulang dengan muka merah padam.
“Bu, sudah,” ucap Nawang sambil menarik tangan Bu Ratmi. “Kita kan niatnya mau beli sayur, bukan buat cek-cok. Ndak enak nanti jadi perhatian warga.”
“Biarin! Biar tidak ada lagi yang berani-berani tanya itu ke kamu, Mbak. Ibu saja ndak pernah nanya soal anak ke kamu, loh kenapa orang lain malah berani-beraninya? Punya hak apa kepo sama urusan orang lain? Orang itu rahim-rahim kamu, terserah kamu mau punya anak atau gak,” terang Bu Ratmi, malah balik mencekal lengan Nawang, lalu diajaknya pergi meninggalkan gerobak sayur.
“Loh … loh, Bu? Kok malah pergi juga? Rezeki saya gimana, toh?” tanya si abang tukang sayur, mulai panik karena kedua pelanggannya itu malah pergi selepas cek-cok di depan gerobaknya.
Pertanyaan itu pun cukup mewakili Nawang. Dia pun sama bingungnya, kenapa ibu mertuanya malah mengajaknya pergi.
“Tidak jadi, Mas. Saya mau minta mantu saya buat pesen makan online saja. Biar orang-orang pada tahu, mantu saya ini anak saya juga, bukan pembantu,” jawab Bu Ratmi, lalu melanjutkan langkahnya bersama Nawang.
Dalam hati, Nawang sudah bersorak kesenangan. Ibu mertuanya itu memang sangat baik. Selalu berpihak dan membelanya di saat para tetanggannya sering menggunjing perihal Nawang yang tak kunjung jua hamil.
“Sudah, Bu. Jangan marah-marah terus, nanti cepet tua, loh,” peringat Nawang dengan nada bergurau.
Bu Ratmi tetap menggebu-gebu melayangkan sumpah serapahnya yang ditujukan pada Bu Ajeng. Bibir Bu Ratmi sampai monyong-monyong.
“Bagaimana bisa Ibu gak marah? Omongannya Bu Ajeng itu bikin hati nyelekit banget. Dia ini perempuan juga, tapi kok mulutnya kayak tidak memahami perasaan sesama perempuan? Coba, bagaimana kalau posisi Bu Ajeng ditukar sama kamu. Apa dia bisa sesabar kamu hadapi mulut-mulut lemes tetangga, hah?” celoteh Bu Ratmi. Ayunan kakinya dia arahkan menuju sofa, lalu duduk ditemani sang menantu. “Kamu juga. Kalau ada yang ngomong aneh-aneh, jangan manggut-manggut saja. Balas balik. Jangan biarkan mereka menginjak-nginjak harga dirimu. Coba tadi kalau tidak ada Ibu. Sudah habis kamu kena wejangan tidak bermutu dari Bu Ajeng.”
“Iya, Bu. Nawang terima kasih sekali sama Ibu. Ibu selalu belain Nawang,” tutur Nawang dengan lembut. Dia pun sebenarnya sering sakit hati mendengar omongan orang-orang, ingin pula membalas dengan berani seperti yang mertuanya lakukan. Hanya saja, dia cukup sadar diri. Di lingkungan itu, dia hanya seorang pendatang. Jangan sampai karena emosinya yang tak terkendali malah menimbulkan masalah bagi ibu mertuanya dan sang suami.
“Ya, itu harus, dong!” seru Bu Ratmi. Diraihnya kedua tangan Nawang, lalu digenggamnya dengan erat.
Nawang dapat merasakan kehangatan seorang Ibu yang selama ini selalu dia rindukan. Kedua orang tuanya nan jauh di sana, berbeda pulau. Hubungan dengannya pun tak begitu baik sejak keputusan Nawang untuk menikah dengan Mas Awan ditentang keluarga.
“Walaupun kamu hanya menantu di keluarga ini, tetap saja posisinya sama dengan anak perempuan ibu yang lain. Anak kalau dihina sama orang lain, Ibu mana yang terima, kan? Begitupun dengan Ibu,” kata Bu Ratmi. Emosinya kini sudah reda. Gurat kemarahan yang semula tergambar di wajahnya, kini sudah berseri-seri ketika bertatapan dengan Nawang.
Nawang pun ikut tersenyum bahagia.
“Iya, Bu. Tapi … boleh Nawang bertanya sesuatu sama Ibu?” Sebelah alis Nawang terangkat singkat.
“Tentu saja boleh, dong. Mau tanya apa memangnya?”
Barang sesaat, tatapan Nawang tertuju ke bawah sembari menggigit bibir bawahnya pelan.
“Anu, Bu. Emmm … kenapa Ibu tidak pernah menanyakan soal kapan punya anak sama Nawang? Mas Awan kan anak laki-laki Ibu satu-satunya. Pastilah, Ibu mendambakan cucu dari Mas Awan. Iya, kan? Apa Ibu tidak berpikiran kalau aku mandul atau bagaimana gitu?” tanya Nawang, sedikit ragu bercampur takut jika jawaban yang akan dia dengar dari Bu Ratmi hanya akan membuat pikirannya kacau balau.
“Kalau boleh jujur, tentu mau sekali Ibu punya cucu dari Mas Awan sama kamu. Tapi sekali lagi, Allah yang kehendaki semuanya. Kalau Allah belum mengizinkan kalian punya anak, Ibu harus bagaimana? Ibu tidak pernah berpikiran kamu mandul. Hanya memang belum waktunya saja kalian punya anak. Lagi pula, Ibu sudah punya cucu banyak dari adik-adiknya Mas Awan. Kamu tidak perlu khawatir. Ibu bukan mertua yang sering desak-desak mantunya punya anak, kok. Rahim milikmu, hanya kamu yang berhak. Ibu tidak berhak. Paham?” terang Bu Ratmi panjang lebar.
Mata Nawang sampai berkaca-kaca setelah mendengarnya. Begitu mengharukan sampai-sampai Nawang tidak bisa menahan dirinya untuk tidak memeluk sang ibu mertua.
Direngkuhnya tubuh Bu Ratmi dengan erat. Seraya berbisik, “Terima kasih, Bu. Nawang merasa beruntung sekali memiliki Ibu mertua seperti Ibu. Tidak menyesal Nawang ngotot masuk ke keluarga Ibu.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top