#8
Tiba-tiba Putri menelponku keesokan harinya setelah aku makan siang Dengan Maxi dan Delano. Ia ingin aku ke rumahnya. Haduh aku masih ingin memanjakan badanku di sebuah salon dan spa langgananku. Akhirnya kami janjian di sana.
***
Kami berdua akhirnya benar-benar menikmati hari minggu dengan memanjakan badan. Sambil dimassage Putri ngoceh saja sementara aku memejamkan mataku menikmati pijatan dan aroma terapi yang menyegarkan pikiran dan badanku.
"Kayaknya kamu cocok deh In jadi mamanya Maxi, kemarin Delano ke rumah, dia cerita kalo Maxi bolak balik minta ketemu sama kamu, tapi Delano sungkan, kawatir kamu mengira hanya akal-akalan Delano saja," ujarnya mengagetkanku. Aku membuka mataku dan menoleh pada Putri.
"Oh yaaa, ah entahlah Put, aku kasihan dan terenyuh tiap melihat Maxi, wajah lugu, kerjab matanya saat melihatku, membuat aku ingin selalu menemani, memeluk dan menciumnya," ujarku termenung sambil menikmati enaknya pijatan Mbak Yayuk, terapis yang selalu aku minta tiap ke spa langgananku.
"Nggak pengen ta In kamu memeluk papanya Maxi?" Putri menggodaku dan tertawa terbahak.
"Heh dasar, mesum saja pikiranmu Put," ujarku dengan wajah memanas dan menoleh ke sisi lain.
"Tuh kan malu, masa badan bagus kayak gitu, sampek usia 40 gak ngapa-ngapain," kami berempat tertawa. Mau tidak mau aku ikut tertawa meski sebenarnya aku mangkel pada Putri.
Lalu kami sama-sama disuru berbalik oleh terapis kami. Aku memejamkan mataku berusaha rileks.
"Terus pejamkan matamu Inaaa, dan terus saja Mbak Yayuk pijit mulai dari dadanya, dan bayangkan In yang memijat Delano hihihi..," mulut Putri meracau tidak karuan. Mbak Yayuk dan Mbak Fitri tertawa geli mendengar ocehan Putri.
"Put, bisa berenti nggak sih kamu, ih ternyata ide buruk deh ngajak kamu ke spa hari ini, jadi nggak rileks," ujarku berusaha menikmati pijatan Mbak Yayuk.
"Hmmm coba tanya nih mbak-mbak terapis, gimana enaknya nih badan disentuh suami bener kan mbak hahahah, tuh tuh pas dada kamu dipijatin hmmm seandainya Delano yang memijit bukan hanya pake tangannya, tapi pake bibir dan lidah...wahaha," Putri semakin menjadi-jadi.
Mbak-mbak terapis tertawa-tawa cekikikan. Aku semakin dongkol rasanya. Ih direktur perusahaan dilecehkan sahabat sendiri, bikin darting bener tuh anak.
"Put aku jitak nanti kepalamu, ngomong terus,"aku berusaha menahan marah pada emak-emak mesum satu itu.
Bayanganku kembali pada Maxi, kasihan sekali anak itu, tapi aku juga sungkan jika aku ingin menemuinya, nanti dikira modus ingin bertemu papanya.
***
Sesampainya di rumah aku segera masuk kamar, diikuti oleh mama. Tumben, ada apa.
"Ina tadi ada laki-laki ke sini, mama kageeet banget wajahnya kayak almarhum Kevin, mama bilang kamu sedang ke luar, katanya kamu ditelepon bolak-balik nggak diangkat, akhirnya dia pulang, siapa dia In?" tanya mama.
Aku kaget, tidak biasanya Delano ke rumah.
"Saudara kembar Kevin itu ma," jawabku singkat. Aku segera membuka hp, sejak masuk spa aku belum membuka ponselku sama sekali. Terlihat 10 kali panggilan tak terjawab dan 5 pesan singkat dari Delano.
"Wajahnya seperi orang kawatir Ina, dan dia terburu-buru pulang," mama menjelaskan lagi.
"Ada hubungan apa kamu dengan dia Ina?" mama menanti jawabanku.
"Teman kerja, mama, tidak lebih" jawabku singkat. Dan aku kembali menangkap kekecewaan mama.
***
Segera aku telpon Delano. Aku kaget dan segera bergegas ganti baju dan melajukan mobil ke rumah Delano. Maxi kurang enak badan sejak pulang dari mall dan tidak mau makan. Beberapa kali ingin bertemu denganku kata Delano.
Aku disambut oleh mama Delano dan mengajakku ke kamar Maxi. Aku melihat Maxi yang tenggelam diantara selimutnya. Ku pegang dahinya, ah panas. Ia mulai membuka mata dan mengerjab perlahan, saat melihatku ia bangun dan memelukku yang duduk di samping kasurnya.
"Mmaaa maaa,"ujarnya pelan. Aku mengelus kepalanya dan membujuknya makan, ia menganggukkan kepalanya. Kusuapi perlahan dan terlihat ia tersenyum padaku. Aku sampai lupa untuk menyapa orang-orang di kamar itu.
"Ah maaf Bapak Wira, Delano, saya terlalu asyik dengam Maxi," ujarku sambil menahan malu karena aku yakin pipiku memerah jika aku malu.
"Tidak apa-apa Ibu Ina, kami yang seharusnya minta maaf, sudah mengganggu ibu di hari minggu, dan maaf jika cucu kami membuat Ibu tidak nyaman dengan panggilan mama" ujar pak Wira dengan santun.
Aku mengatakan tidak masalah karena Maxi membutuhkan orang yang mau mengerti dirinya. Lalu Pak Wira dan istrinya ke luar meninggalkan kami. Delano akhirnya duduk di sampingku begitu melihat papa dan mamanya ke luar kamar.
"Suapi aku juga Ina," ujar Delano dengan wajah memelas. Aku hanya menahan tawa, aneh sekali orang ini, merajuk seperti anak-anak.
"Kamu tidak mau mengalah pada anakmu?" tanyaku pelan sambil memberikan suapan terakhir pada Maxi, memberinya minum dan mencium keningnya. Kulihat Maxi tersenyum dan merebahkan badannya lagi. Segera kurapatkan selimut ke badannya. Dan mulai memejamkan matanya.
"Apakah aku harus bersaing dengan Maxi untuk mendapatkan perhatianmu?" tanya Delano dengan wajah semakin memelas. Aku berusaha menatap wajahnya. Meski aku agak takut, kuberanikan untuk menatap wajahnya agak lama.
Bukan, dia bukan Kevin, mata Kevin selalu menatap sayu dan lembut. Sedang mata dihadapanku, selalu menatap dengan tatapan menghujam dan membuat jantungku semakin cepat detaknya.
"Tatap mataku Ina, tatap agak lama, aku bukan Kevin, aku Delano, kami dua jiwa yang berbeda, belajarlah membuka diri, jangan punya pikiran bahwa jika kau menyukai orang lain maka kau mengkhianati Kevin, ia sudah tenang di surga, jangan usik dengan kesedihanmu, lihatlah aku sebagai laki-laki, tak bisakah kau menyadari bahwa aku selalu ingin menemui setiap hari, bukan karena Maxi atau apapun, tapi karena aku mulai menyukaimu, maukah kau belajar memulai dari awal, aku akan menunggumu" ujarnya dengan pelan namun tegas, diambilnya tanganku, dan diletakkannya di dadanya.
Aku merasakan tanganku yang gemetar. Aku menelan salivaku dan menunduk perlahan. Lalu memandangnya sekali lagi dan aku mengangguk meski pelan. Aku melihat mata Delano berbinar dan didekapnya aku dengan erat.
Aku merasakan debaran aneh yang semakin menjadi, kudorong pelan badan besar Delano. Ia mengerti dan segera melepaskan pelukannya.
"Maaf Ina, aku lupa, kau belum terbiasa," ujar Delano masih memegang bahuku.
***
Pulang dari rumah Delano aku mampir ke rumah Putri. Kuceritakan semuanya dengan nada bingung dan resah. Aku terlalu gegabah menerima tawaran Delano untuk belajar menyukainya.
"Aduh Ina, kamu ini gimana sih, masak kamu nggak ngerti, dan nggak bisa membedakan kamu suka apa tidak, kayak anak muda saja," ujar Putri tertawa geli dan terlihat senang.
"Kamu lupa ya Put, ini baru kedua kalinya aku memulai dengan laki-laki,bukan seperti kamu yang sejak smp sudah pacaran," ucapku dengan wajah kesal. Dan Putri tertawa riuh.
"Halah halaaah Ina, aku mau tanya, kamu berdebar apa tidak jika Delano menatapmu, memegang tanganmu atau memelukmu?" tanya Putri dan aku mengangguk dengan cepat.
"Lah ya itu berarti kamu ada rasa sama diaaaa, aduh aduuuuh ibu direktur yang terhormaaat," teriak Putri, kucubit lengannya, aku malu jika Ferdi sampai mendengar.
"Entahlah Put, aku takut tidak bisa mencintai Dee, tapi tadi pas dia memelukku, aku jadi gemeteran, aduh gimana ya Put," rengekku ketakutan dan ternyata di luar dugaanku Putri berteriak dan tertawa sampai anak-anaknya berlarian ke kamar tamu.
Wajahku memerah dan anak-anak Putri akhirnya ke luar kamar setelah di usir halus oleh Putri, tinggallah aku yang dongkol setengah mati, orang curhat kok malah diketawain.
"Ya Tuhaaan ternyata bener pake acara peluk-peluk segala, trus apa tadi "Dee" ahaaaa pakek panggilan kesayangan pula hahahhah...," suara Putri tetap membahana, mangkelku makin menjadi.
"Bukan begitu cereweeeet, aku memanggilnya Dee karena bingung mau manggil apa, Delano terlalu panjang jika aku hendak memanggil, masak Del, Lano, atau Ano nah kan nggak enak di dengar," ujarku memberikan alasan.
"Iyaaa iyaaaa aku percayaaa ibu direktuuur," ujar Putri dan tertawa sambil memegang perutnya, ah aku malu betul, apa aku terlalu lugu atau terlalu kaku untuk memulai sebuah hubungan yang serius?
Tiba-tiba Putri beringsut mendekatiku. Terlihat wajahnya mulai serius.
"Ina, dengarkan kata hatimu, mulailah terbuka pada cinta yang lain, aku ingin melihat kamu bahagia, belum terlambat, kamu masih cantik," ujar Putri tersenyum padaku, ah tumben dia waras.
***
Dua hari kemudian, sekitar jam 16.00 aku dijemput Delano ke kantor, sekalian aku pulang karena kebetulan pekerjaanku sudah selesai. Aku tinggalkan mobil di kantor.
Delano melajukan mobilnya menuju gerai makanan cepat saji, aku menunggu di mobil sebentar lalu kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Delano.
Sesampainya di sana Maxi sudah menunggu, dengan berjalan pelan dan mata berbinar ia mendekatiku, ah ia sudah sehat dan ceria lagi. Ia mulai memakan fried chickennya pelan, remahan yang berjatuhan aku pilih dan yang ada di sekitar bibirnya aku bersihkan menggunakan tisu. Tiba-tiba mama Delano sudah duduk di seberang meja dan menatapku dengan wajah serius.
"Maaf jika cucu kami selalu merepotkan Ibu, dan terima kasih sudah menyempatkan diri mengunjungi cucu kami, kami tahu bahwa pekerjaan ibu pasti banyak," ujar mama Delano dengan sedih.
"Jangan panggil saya ibu, panggil saja nama saya, saya lebih muda beberapa tahun dari Delano, dan tidak apa-apa bu, hal seperti ini tidak merepotkan saya, saya senang bisa menemani Maxi," ucapku pelan sambil tersenyum.
"Kami juga heran, tidak biasanya Maxi bisa dan mau dekat dengan seseorang, biasanya ia selalu merasa takut dan malu," ujar mama Delano melanjutkan. Aku membersihkan tumpahan air di baju Maxi, dan datang pembantu mengganti baju Maxi yang basah dan membawanya ke kamarnya.
***
Saat makan malam pak Wira sudah datang, jadi kami makan berempat, Maxi tidak mau makan karena masih kenyang. Saat makan aku sempat berbicara beberapa pekerjaanku yang tertunda dengan Pak Wira. Ada beberapa proyek kerja sama dengan perusahaan asing yang agak terkendala dan sepertinya Pak Wira akan membantuku. Selesai makan aku ijin pulang. Tapi sebelumnya aku sempatkan ke kamar Maxi untuk pamit. Sambil menunggu Delano yang tadi bilang masih mau mandi.
Aku buka perlahan kamar Maxi dan alangkah terkejutnya aku saat melihat Delano yang baru ke luar dari kamar mandi dan hanya menggunakan handuk yang dililitkan ke pinggangnya. Sesaat kami saling pandang.
"Mencariku Ina?" tanya Delano berjalan ke arahku. Aku menggeleng cepat.
"Maxi," jawabku sambil menahan napas. Aku semakin takut waktu ia semakin mendekatiku. Delano menarikku dan menutup pintu dengan kakinya. Aku semakin gelagapan dan ketakutan.
Wajahnya sangat dekat dengan wajahku aroma harum sabun tercium kuat dihidumgku. Aku hanya menunduk takut. Disentuhnya daguku dan diangkatnya sampai mata kami saling bertatapan.
"Wajahmu sedemikian takut melihatku, aku tidak akan menerkammu, aku tahu jika hubunganmu dengan Kevin hanya sebatas berciuman, aku tidak akan melakukan yang tidak-tidak Ina, aku tahu kamu takut," ucapnya pelan dan mulai menyentuhkan bibirnya pada bibirku, badanku gemetar, saat ia semakin memperdalam ciumannya, aku hanya memejamkan mataku dan memegang pinggang Delano, ku dorong dadanya perlahan saat aku kehabisan napas. Sekejab ia memandangku, tersenyum melihat wajahku yang terasa panas. Aku memekik perlahan saat handuk yang melilit pinggangnya hampir jatuh.
Delano tersenyum dan menyuruhku menunggu di kamar Maxi di sebelah karena ia akan memakai bajunya. Aku keluar dari kamarnya dengan memegang dadaku dan berjalan dengan bingung.
Aku tutup kamar Delano, ku sandarkan badanku pada pintu, ku tarik napas dalam-dalam, menenangkan diri dan mengatur napasku.
Kubuka pelan kamar Maxi terlihat ia sudah tidur, ku cium pelan dahinya dan ku elus pipinya juga rambutnya, anak tampan pikirku.
Ternyata di pintu kamar Maxi, Delano dan mamanya memandangi aku yang sejak tadi mengelus pipi dan rambut Maxi.
Aku pamit pada mama Delano yang tiba-tiba memelukku dan menangis di dadaku. Aku sungguh bingung. Saat pelukannya dilepaskan barulah perlahan ia bicara.
"Seandainya anda mamanya Maxi alangkah bahagianya saya, Maxi hanyalah anak yang kurang beruntung dalam hal kasih sayang mama, kami sudah memberikan segalanya, tapi kasih sayang mama akan terasa lain dalam kehidupan anak-anak, saya melihat anda sangat tulus mencintai Maxi, maaf jika omongan saya kemana-mana, silakan jika anda ingin pulang, maaf, saya sudah membuat anda terganggu," ujar mama Delano dengan mata sembab, aku tidak tahu harus berbicara apa. Aku hanya bisa sekali lagi memeluk mama Delano, dan pamit pulang.
****
Saat menunggu Delano di teras, ponselku berbunyi, aku lihat ah ternyata dari Zigma.
Ya, ada apa?
Kau di mana?
Di rumah Delano
Sebegitu jauh hubunganmu hingga kau sudah ke rumahnya? Kau bukan Ina yang aku kenal, kau mulai menyukainya pasti, aku tak ragu sejak awal karena dia perayu ulung, dulu pacarku pun dibuat lepas dariku
ZIG, DENGARKAN AKU, KALAUPUN AKU MEMULAI MEMBANGUN HUBUNGAN DENGANNYA ITU BUKAN URUSANMU
Ya memang bukan urusanku, tapi aku hanya menjaga agar kau tak sakit lagi, tak jatuh lagi Ina
Ina memasukkan ponselnyanya dengan napas memburu karena kesal.
Ia tak sadar Delano sudah di depannya, meraih tangannya dan menggengganya menuju mobil.
"Mengapa wajahmu terlihat marah? Apa kau marah karena aku cium tadi?" tanya Delano, aku berusaha tersenyum dan tak menanggapi pertanyaannya.
****
Revisi 13 November '19 (04.58)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top