#7
Aku sedang konsentrasi pada pekerjaanku saat ada notifikasi masuk. Masih aku biarkan saja, nanggung pikirku. Saat notifikasi kesekian masuk, baru aku menggapai ponselku.
Sudah makan siang?
Jaga kesehatan, jangan lupa bahwa bahagia itu ada karena kita sehat
Wah bener-bener sibuk nih ibu direktur, ya dah aku nggak ganggu
Aku tersenyum membaca pesan singkat dari Delano, tapi aku tidak berniat untuk membalas
***
Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku, aku berusaha untuk mengabaikan, jangan Ina, jangan, selalu seperti itu hatiku mengingatkan.
Aku hanya terenyuh saat melihat besarnya cinta Delano pada anaknya yang butuh perhatian khusus. Tidak semua laki-laki seperti itu. Ia tidak malu mengenalkan anaknya. Cintanya yang besar pada anaknya itulah yang membuat hatiku berbisik lain. Meski aku tahu dulunya ia pernah berjalan di jalan yang salah. Sex bebas, dan segala macam kenalan, namun ia telah membayar saat istri yang ia cintai justru mengkhianatinya, dan memilih meninggalkannya dengan anak yang berkebutuhan khusus.
Entah mengapa hari itu aku membalas agak panjang saat Delano mengirim pesan singkat saat aku hendak tidur.
Sudah tidur?
Belum, masih pegang hp
😀
Kok tertawa
Kamu itu direktur tapi jawabanmu kok lugu banget, bilang kek belum tidur, masih melamun ato apa
Lah kan aku memang pegang hp Dee
Dee?
Ya, nama kamu aneh, aku kesulitan manggil kamu dengan nama pendek
Hmm panggilan manis juga sih
Ih, manis, aku ngantuk Dee, bai
Ok tidurlah mimpiin aku
😛
😘
Iiiiih aku tidur Dee
Iya iya tidurlah
Aku masih tersenyum memandang ponselku dan meletakkannya tidak jauh dari kasurku dan aku terbang ke alam mimpi menaiki awan gelap menuju bulan.
***
Keesokan harinya, di kantorku.
Tiba-tiba Asri sekretarisku masuk.
"Ibu ada tamu, menurut tamu ibu, sudah ada janji dengan ibu, tapi di jadwal saya tidak ada nama tamu ibu ini," ujar Asri dengan bingung. Belum selesai Asri berbicara tiba-tiba menyembul kepala Delano di balik pintu dengan senyumnya yang khas.
"Oh iya iya, betul kami sudah ada janji," ujarku cepat dan Asri berlalu, namun kembali lagi.
"Tapi satu jam lagi ibu ada rapat dengan dewan direksi di ruang meeting,"Asri kembali mengingatkanku. Aku mengangguk sambil tersenyum pada Asri. Asri ke luar dengan pandangan aneh, ada apa dengan anak itu.
Delano datang membawa boks kue.
"Makanlah, ini jam makan siang," ujarnya membuka boks, dan aku melihat bermacam kue lezat.
"Aku harus menghabiskan ini semua?" tanyaku, Delano menganguk.
"Aku temani kamu makan siang," kata Delano mengambil sepotong roti isi tuna. Aku makan dalam diam, sambil menyiapkan kopi kesukaan Delano, aku menyiapkan lemon tea untuk ku sendiri.
"Apakah hanya lewat pesan singkat kamu bisa ramah?" tanyanya lagi, aku sampai tersedak dan segera minum.
"Maksudmu?" tanyaku pada Delano.
"Ah Ina, kalo lewat pesan singkat kamu bisa bergurau, tapi jika bertemu begini kamu seperti kembali jadi Ina yang dingin," ujar Delano menatapku dengan tatapan aneh.
Aku tersenyum dan Delano mulai menyesap kopinya sambil memejamkan mata.
"Pas benar kopi buatanmu Ina, aku mau jika tiap hari kamu buatkan aku seperti ini," ujar Delano sambil menatapku lagi. Aku kembali tersenyum samar.
"Ah waktuku tinggal 15 menit, kenapa waktu berjalan begitu cepat, boleh aku kapan-kapan ke sini lagi Ina?" tanya Delano.
Aku menatapnya sekilas. Dan mengangguk.
"Ya, tidak apa-apa, asal aku sedang tidak sibuk," jawabku pelan.
"Aaaah akhirnya aku mendengar suaramu agak lama," jawab Delano sambil memejamkan mata dan ia berdiri.
"Aku kembali ke kantor ya Ina, terima kasih kopinya, waktunya, senyum samarnya," ujarnya lagi sambil berjalan menuju pintu. Aku antar sampai depan pintu ruang kerjaku. Sekali lagi Delano menoleh dan aku berusaha tersenyum.
Baru saja aku menutup pintu, tiba-tiba pintu terbuka dan aku kaget saat menoleh dan melihat wajah Zigma yang tanpa senyum.
"Maaf, sebentar lagi aku rapat Zig, dewan direksi juga hadir," ujarku dan Zigma tetap duduk.
"Apa karena aku yang ke sini, lalu kau mengatakan rapat? Sementara laki-laki yang sepertinya mampu meluluhkanmu bisa berlama-lama di sini?" tanya Zigma dengan wajah dingin.
Aku menatap wajahnya dengan tatapan marah.
"Silakan kau ke sekretarisku, lihat jadwalku hari ini, aku juga mengusirnya, lagi pula apa urusanmu? Aku mau dekat dengan siapapun, itu urusanku, usiaku 40 tahun, terlalu tua untuk kau atur, dan ingat, kau bukan apa-apaku."
Aku meraih agenda, bolpoin dan ponselku, meninggalkan Zigma di ruanganku.
Langkahku tergesa menuju ruang meeting, napas menderu karena menahan marah, terasa semakin menyesakkan.
Aku berusaha menormalkan napasku di depan ruang meeting, membuka pintu, dan berusaha tersenyum pada beberapa orang yang sudah menunggu di ruangan itu.
***
Hari sabtu siang, aku mengemudikan sendiri mobilku ke sebuah mall ternama di kotaku. Aku menuju gerai bodyshop membeli beberapa kebutuhan mandi, aku bisa berjam-jam di gerai ini.
Setelah selesai baru aku menuju tempat lain, karena sendiri aku agak bingung juga akan ke mana. Aku langkahkan kakiku sambil melihat-lihat sepatu.
Tiba-tiba lenganku ada yang menarik. Seketika badanku menegang, saat aku menoleh mataku terbelalak.
"Maxiiii, dengan siapa kamu sayang," aku langkahkan kakiku menuju Maxi yang kesuitan melangkahkan kakinya,kupeluk erat dan kucium ujung kepalanya.
Maxi menoleh ke arah samping dan tersenyum pada papanya. Ku lihat wajah Delano yang menatapku dengan pandangan kesal. Aku mengangkat alisku.
"Betul kan, hanya pada Maxi kamu tersenyum lebar, bersuara lembut dan memeluk dengan hangat," ujar Delano berjalan di sampingku.
Aku mengabaikan rengekannya dan menuntun Maxi menuju rumah makan yang menyajikan masakan Jepang.
Setelah memesan, aku asyik berbicara dengan Maxi menanyakan kegiatannya selama di Indonesia, bagaimana sekolahnya dan lain-lain. Saat makanan datang aku layani anak itu, ia tersenyum dengan mata berbinar, seketika dadaku sakit.
Apakah mamanya tidak merindukan tatapan lembut anak ini. Aku pandangangi wajah lugu Maxi, remaja seusianya pasti sudah hangout ke mana-mana, tapi anak ini masih memerlukan orang lain untuk menjaga dan melayaninya.
Ah seketika aku sadar jika aku mengabaikan Delano, waktu aku menoleh ternyata dia sedang memandangiku, terlihat dia juga kaget tapi kemudian tersenyum.
"Maaf Dee, jangan marah ya, aku..," kataku merasa bersalah. Dia menggeleng pelan.
"Tidak apa-apa, aku senang Maxi bisa tertawa dan makan dengan lahap karena kamu menemaninya dengan baik," ujar Delano.
Aku tersenyum dan aku melihat Delano melihatku dengan tatapan aneh.
"Ahh akhirnya kau bisa tersenyum manis padaku," ucapnya masih memandangiku.
Dan seketika senyumku hilang berganti dengan wajah bingung, aku kembali menemani Maxi menghabiskan makan siangnya.
Tiba-tiba Delano duduk di dekatku dan berbisik di telingaku.
"Kayaknya, kamu cocok jadi mamanya Maxi."
Aku menoleh, menatapnya dengan tatapan jengkel, dan dia hanya menahan tawa melihat kejengkelanku.
****
Revisi 11 November '19 (14.47)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top